"Oh, tentang uang itu. Tidak usah dikembalikan."
Aku mengernyitkan dahi, mencerna ucapan Arka. Lalu, menatap Aish meminta pendapat atas kebingunganku. Aish hanya tersenyum santai.
"Maksud anda gimana, yah? Maaf Pak, Anda pikir saya tidak mampu membayarnya? Saya bisa bayar sendiri. Jadi, Bapak gak usah repot-repot membayarkannya. Tolong, diterima. Jangan macam-macam," hardikku.
"Bukan gitu maksud saya, Mbak Elin. Tolong jangan salah paham."
"Terus maksud Bapak apa?" tanyaku dengan intonasi tinggi.
"Saya tidak ingin, uangnya dikembalikan karena ingin menjalin kerja sama sama Mbak Elin. Jadi, anggap saja, uang itu modal awal saya."
Kepalaku makin oleng mendengar penjelasan Arka. Sebenernya apa yang dia mau? ribet dan berbelit-belit.
"Aduh, Mbak Elin Lola banget. Jadi, Mas Arka mau colab bisnis di bidang restoran sama Mbak Elin," papar Aish geregetan.
"Kerja sama? Anda tahu dari mana saya punya bisnis restoran?""Aish yang cerita. Saya jadi tertarik menjadi panter bisnis anda. Kebetulan, saya akan membuka cabang WO ini di Jakarta, maka saya butuh patner pemilik restoran untuk rekomendasi hidangan di acara pernikahan para costumer saya."
Aku Hanya bisa melotot menatap Aish. Anak itu mudah sekali membicarakan hal-hal pribadi dengan orang baru. Dasar sembrono. Dia pikir, menjalin kerja sama seperti membuat gorengan? tidak semudah itu, Ferguso."Terima saja, Mbak. Itung-itung tanda terima kasih kita atas bantuan Mas Arka. Lagian, kerja sama ini bakal saling menguntungkan. Menurut prediksi ekonom Aishyah Qonita putri, kerja sama ini bisa membuat bisnis resto mbak makin berkembang. Mbak harus buktikan, kalau Mbak hebat meskipun sudah di sakiti Mas Wisnu, dan bisa merdeka secara finansial tanpanya."
Aish memang mahasiswa jurusan ekonomi, sama sepertiku. Pemikirannya cukup bagus. Aku harus merdeka secara keuangan, agar tidak bergantung lagi pada Mas Wisnu. Selama ini, bisnis restoku hanya sampingan untuk mengusir kebosanan. Akan tetapi, saat ini, usaha tersebut harus di kembangkan lebih pesat.
"Bagaimana, Mbak Elin?" tanya Arka.
"Baiklah."
"Good job, soal perjanjian kerja sama kita urus nanti saat saya sudah di Jakarta. Sekarang, Mbak Elin lebih baik fokus mengurus masalah dengan suaminya."
"Oke, terserah kalian. Saya mau pulang dulu."
"Silakan, Mbak Elin. Hati-hati di jalan."
Aku beranjak dan mengabaikan ucapan Arka. Saat ini, aku hanya ingin pulang.
"Sampai jumpa lagi, Mas Arka," ujar Aish dengan senyum semringah.
Aneh, mereka terlihat sangat akrab. Aish malah terus cari perhatian sama Si Arka. Beginilah, kalau punya adik labil yang mau beranjak dewasa. Dipikirannya hanya ada cowok ganteng.
"Yeh, akhirnya Mbak mau menjalin kerja sama. Kita bisa ketemu Mas Arka lagi, dong.""Terserah kamu, Aish. Mbak pusing."
"Jeh, mangkannya jangan sepaneng banget. Hidup harus santai. Hadapi masalah dengan santuy, Jangan tegang. Nanti edan," celoteh Aish saat menyalakan mesin motor.
"Mbak hampir edan karena Mas Wisnu dan kamu, Aish."
"Sembarangan, ko, gara-gara aku. Mbak hampir edan ya, karena Mas Wisnu. Mangkannya pake cara halus ngadepin mereka. Kalau bar-bar, si pelakor makin kesenengan."
"Ya sudah, pikirkan rencana hebat untuk menghadapi pelakor," celetukku."Gampang. Tapi sebelum itu, Mbak harus ke rumah ibunya Mas Wisnu dulu."
"Ngapain? makan ati doang."
"Justru itu. Mbak harus dapetin hati mertua Mbak dulu. Jangan mau kalah sama si Aida. Buat Mbak terlihat luar biasa di depan mereka, dalam segi apapun. Setelah mereka sadar, Mbak adalah perempuan luar biasa. Baru deh, hempaskan Mas Wisnu. 'Kan rasanya makin jleb gitu."
Perkataan Aish memberi wangsit kepadaku. Otak memang harus digunakan saat dihimpit masalah. Jangan ceroboh, dan berbuat sesuatu yang merugikan.
"Tumben encer otakmu, Aish."
"Dih, dari dulu kali."
"Hahaha, baiklah. mulai saat ini, seorang Elina akan berganti profesi menjadi artis, yang pintar memainkan akting di depan para penghianat."
"Cakep. Gitu dong. Jangan jadi cewe lemah yang bisanya ku menangis doang."
"Kang sinteron kamu, Aish. Tapi baguslah. Ayok, kita ke rumah Ibunya Mas Wisnu."
"Berang-berang, makan tikus. ayok kita gass terus."
Sekitar dua puluh menit, Akhirnya kami sampai di rumah ibu Anna--Mertuaku. Sudah dapat dipastikan, kedua penghianat sedang bersembunyi di rumah itu. Aku harus mengontrol hati, agar tidak berbuat kekacauan.
"Assalamualaikum.""W*-waalaikumsalam," jawab Aida membuka pintu.
"Siapa yang datang, Aida?" tanya Ibu mertua.
Aida hanya terdiam sambil menatap sinis. Tanpa permisi, aku langsung masuk bersama Aish. Menuju ruang tamu, untuk bertemu Ibu.
"Elina?" tanya Ibu mertua.
Mas Wisnu juga menghampiriku di ruang tamu. Mereka menatap penuh tanda tanya.
"Bu." Aku mencium tangan Ibu, begitu pula dengan Aish.
"Duduk, Nak."
"Elina, ngapain kamu ke sini? belum puas menghancurkan pesta pernikahanku?"
Wah, pelakor sangat percaya diri mengatakan hal tersebut. Inilah dunia terbalik. Maling, malah teriak maling.
"Diam, Aida. Kita dengarkan dulu, tujuan Elin datang ke sini," sergah Ibu mertua."Maaf Bu, kedatangan Elina ke sini, hanya ingin meminta maaf kepada Ibu. Jika selama ini, Elina belum bisa jadi menantu yang baik. Apapun yang terjadi, Ibu sudah Elin anggap sebagai orang tua sendiri. Meskipun tidak dipungkiri, hati Elin sangat sakit."
"Elin, harusnya Ibu yang minta maaf. Rumah tanggamu harus kacau seperti ini. Ibu juga tidak menginginkannya, tapi ...."
"Bu."
Mas Wisnu seakan memberi kode, agar Ibu tidak melanjutkan ucapannya.
"Sudahlah, Elin. Ibu yakin, kamu pasti kuat. Cinta Wisnu kepadamu, tidak akan berubah."
Jujur, aku muak mendengar omong kosong ini. Namun, aku harus sabar. Melawan mereka, harus bisa main cantik. Jika, menggunakan cara bar bar. Hanya akan menguntungkan pihak pelakor. Aku harus merebut lagi, apa yang menjadi milikku. Meskipun, setelah mereka kembali, aku akan mencampakannya.
"Elin hanya ingin meminta maaf sama Ibu. Soal Mas Wisnu, biar dia yang menjelaskannya sendiri."
Aku tatap Mas Wisnu. Dia hanya melihatku dengan raut kesedihan. Entah, apa maksudnya.
"Ibu juga minta maaf, atas ketidakberdayaan Ibu."
Apa maksud perkataannya? Ribuan tanda tanya berterbangan di kepala. Aku tidak bisa mempertanyakannya sekarang. Ibu tidak akan jujur, pasti ada sesuatu yang sengaja di sembunyikan.
"Baiklah Bu, Elin pamit pulang ke Jakarta. Jika Mas Wisnu tidak ikut pulang, surat gugatan cerai, akan segera Elin berikan," ucapku lembut tapi mengandung ancaman."Neng, Mas ikut kamu pulang." Mas Wisnu memegang tangan.
Aku hanya tersenyum kecut. Aida terlihat tidak suka melihat pemandangan ini. Rencana Aish memang ampuh.
"Mas Wisnu pulang saja bersama Mbak Elin, biar motor aku yang bawa," usul Aish.
"Tidak boleh," cegah Aida sambil membocorkan tajam kepada Mas Wisnu.
"Neng, nanti Mas nyusul, yah."
"Terserah. Aku tunggu kamu pulang, Mas. Kamu tahu 'kan, aku tidak pernah main-main dengan ucapanku sendiri." Tangan Mas Wisnu aku hempaskan.
Mas Wisnu hanya mengangguk. Mengapa sorot memancarkan rasa sayang yang dalam saya? dulu itu, tidak pernah berubah. Ah, mungkin hanya ilusi. Jika Mas Wisnu sangat mencintaiku, harusnya dia tidak akan menikahi Aida."Mbak Elin!""Astagfirulloh, kenapa sih, teriak-teriak."Suara cetar Aish menyadarkanku dari lamunan. Kembali ke rumah, malah mengingatkanku pada memori indah selama enam tahun ini, bersama Mas Wisnu."Lagian ngelamun Mulu. Mulai di perjalanan, sampai di rumah, masih aja ngelamun. Tenang ajah, Mas Wisnu pasti pulang," tegur Aish.Sejak siang, sampai malam ini, bayangan Mas Wisnu dan kejadian kemarin, masih terekam jelas di ingatan. Rasanya seperti mimpi. Aku ingin bangun dari mimpi buruk ini, akan tetapi, semuanya memang sudah terjadi. Bukan khayalan apalagi bunga tidur."Apa iya, Aish?""Iya. Dia kelihatannya masih sayang sama Mbak. Tapi kenapa mendua, yah? sepertinya, ada misteri yang harus kita pecahkan, Mbak.""Misteri?""Iya. Dari ucapan dan tatapan Mas Wisnu sama Ibunya, Aish yakin, ada yang tidak beres tentang pernikahan Mas Wisnu dan Aida.""Hal yang tidak beres apa, Aish?""Ya, mana Aish tahu. Ini baru dugaan. Mangkanya, kita cari tahu.""Bener juga, sih. Terus Mbak harus apa
Aku hanya bisa geleng-geleng mendengar pengakuan Aish. Dia sangat cerdas. Meskipun, rasa tidak tega sangat kuat kepada Mas Wisnu."Aish, apa tidak bahaya? kenapa Mas Wisnu yang dikasih obat pencahar. Harusnya si Aida.""Aish sengaja melakukan itu, agar Mbak bisa caper sama Mas Wisnu. Biar dia sadar, kalau Mbak adalah perempuan yang sangat tulus mencintainya. Ya meskipun, pada waktu yang tepat, Aish berharap kalian bercerai."Perkataan Aish menampar hatiku. Cepat atau lambat, perasaan ini harus sirna. Aku sendiri tidak yakin, bisa kuat saat dipoligami. Walaupun Mas Wisnu berusaha adil, tetap saja, masalah hati tidak bisa dikontrol. Mas Wisnu akan sulit untuk berbuat sama rata menyikapi perasaanku dan Aida."Terus Mbak harus Apa?""Aduh, nanya mulu. Untung punya adik yang kesabarannya seluas sungai Amazon. Nih, kasih obat ini sama Mas Wisnu. Sebelumnya, bawakan teh hangat sama biskuit buat mengganjal perutnya yang kosong.""Ide luar biasa.""Iya dong, siapa dulu dalangnya, Aish.""Hahah
"Neng, Aida kenapa?" Aku hanya menautkan alis tanda tak tahu."Pergi kamu, Setan!""Ayok, kita liat."Drama apalagi yang dibuat madu baruku? pagi-pagi sudah bikin rusuh aja. Terpaksa, aku mengekor di belakang Mas Wisnu. Penasaran dengan apa yang menimpa Aida, sampai berteriak ketakutan."Ada ap-" Mas Wisnu tidak meneruskan ucapannya.Matanya mebelalak menatap Aida. Mas Wisnu menggeleng heran ke arah gundik yang biasanya nampak cantik, berubah bak nenek lampir. Senyum tipis, tersungging di bibirku. Di dalam hati, aku bersorak bahagia memperhatikan ekspresi kepanikan di wajah Aida."Mas, parasku jadi seram gini. Pasti perbuatan Elina. Dasar perempuan gila."Aida menghampirku, siap melayangkan tamparan. Tangan Mas Wisnu, sigap menangkisnya. "Jangan sembarangan nuduh. Dari tadi, Elina bersamaku. Harusnya aku yang nanya, ngapain kamu coret-coret muka gitu.""Aku juga gak tahu, Mas. Pas bangun udah gini.""Mangkannya kalau tidur jangan kaya kebo," cibirku."Diam kamu. Pasti kamu 'kan yan
"Mas, aku juga mau dibelikan Mobil." Aida menerobos masuk. Emosi memicunya lupa diri. Hatiku bersorak girang memandang kecemburuan dari mukanya. "Ada yang ngintip, nih," sindirku. "Mas, kamu harus adil. Aku juga mau dibelikan mobil dan uang 500 juta. Masa Elina doang, aku lebih berhak. Kamu tau 'kan aku yang akan memberi keturunan untukmu?" "Maksud kamu?" tanyaku. Sudah beberapa kali, Aida mengungkapkan kata yang mengisyaratkan bahwa dia tengah mengandung darah daging Mas Wisnu. Apa Aida hamil? tak mungkin secepat itu. "Tidak Neng. Aida memang suka aneh." "Pokoknya, Mas harus memperlakukanku sama rata dengan Elin" "Baik-baik, aku akan adil." "Nah, gitu dong." Kesian sekali Mas Wisnu. Kalau begini, bisa jatuh miskin dia. Namun, biar terjadi seperti ini. Aku senang melihatnya. Mas Wisnu akan merasakan resiko punya dua istri. Satu saja tidak habis, dan ribet, malah nambah lagi. "Mas, aku juga mau dibelikan berlian, yah. Malu dong, pemilik restoran gak punya perhiasan." "Per
POV Wisnu"Nikahi Aida, Wisnu," perintah Ibu saat aku berkunjung ke Bandung."Tidak Bu. Wisnu sudah bilang, balas Budi gak harus menikahinya. Wisnu siap menanggung hidup Aida. Memberinya uang tiap bulan. Asal, tidak menikah dengannya.""Gak bisa Wisnu. Itu permintaan terakhir Pak Reno. Dia ingin kamu menjaga Aida.""Aku bisa menjaganya, tanpa harus menikah dengannya, Bu!" bentakku geram."Tolong, Wisnu, menikahlah dengan Aida, agar kamu bisa punya anak. Lihatlah, sudah enam tahu pernikahan, kalian belum mempunyai anak.""Belum rezeki, Bu. Kami sama-sama subur. Jadi, jangan beri alasan apapun. Sampai kapan pun, Wisnu tidak akan mempoligami Elina. Wisnu sangat mencintainya.""Wisnu, mau ke mana?""Aku mau kembali ke Jakarta.""Wisnu, jangan pergi. Temani Ibu!" teriak Ibu tak aku hiraukan.Aku berlalu pergi dari rumah Ibu. Sungguh, permintaannya diluar akal sehat. Aku sangat mencintai Elina. Perempuan paling sempurna di mataku.Sekuat tenaga, aku tolak permintaan gila dari Ibu. Tak akan
Pov Elina"Tidak, aku tidak mau, Mas. Aku ingin periksa ke Dokter Mawar saja. Dia sahabat kita, pasti memberi pelayanan terbaik," sanggah Aida panik"Halah, kamu takut 'kan? lihat tuh, gundikmu, Mas. Kebakaran jenggot takut ketahuan." Dia pikir aku bodoh dan bisa masuk perangkapnya? oh tidak, semudah itu. Aku sudah bisa membaca kelakuan pelakor model Aida. Sekarang, dia panik karena permainannya sendiri."Diam! biar aku yang menentukan!" bentak Mas Wisnu.Hatiku dongkol kepada Mas Wisnu. Hanya karena istri keduanya, dia membentakku. Tak ada penawar bagi lukaku ini. Tekad semakin bulat untuk menggugat ceria. Modal usaha sudah aku kantongi. Soal aset rumah, aku tak berminat menguasainya.Harta bukan penentu sebuah kebahagian. Hal terpenting, aku punya modal untuk memulai hidup baru tanpa Mas Wisnu. Dibandingkan terus bertahan tapi tersakiti. Uang masih bisa aku cari sendiri. Namun, kebahagian dan kesehatan mental tidak bisa dibeli materi. Buat apa aku berhasil mengeruk harta Mas Wisnu
Prang!Mas Wisnu memecahkan meja kaca menggunakan hiasan patung dari batu yang ada di lemari tempat televisi."Jangan pergi, atau aku bunuh diri," gertak Mas Wisnu sambil meletakan pecahan kaca pada lengan kirinya."Mas istigfar, Mas," seruku panik."Jangan pergi, Elin aku mohon." "Biarin aja, Mbak. Dia cuman drama doang. Kalau gak mau kehilangan, harusnya jangan mendua," sungut Aish."Mas tidak bercanda, Elina. Tolong jangan pergi. Mas sangat mencintaimu.""Modus!" sergah Aish."Ayok, Aish, kita pergi," seruku."Tidak."Mas Wisnu menghadang kami. Dia berjaga di pintu, agar aku tak bisa keluar. Kenapa kamu nekat seperti ini, Mas?"Awas!" teriak Aish."Tolong biarkan kami pergi, Mas!" hardikku."Silakan, pergi. Jika kamu rela melihatku mati.""Arrgh!" jerit aku dan Aish saat melihat darah bercucuran.Serpihan kaca, berhasil membelah lapisan kulit Mas Wisnu. Jelas terlihat, kulit yang menganga dengan cairan merah yang perlahan melingkari tangannya."Mas wisnu, hiks, hiks."Tanpa pikir
"Berhenti!" Aku pasang badan agar Arka tidak lagi dipukul. Mas Wisnu menatap heran. Dia menggelengkan kepala seakan tak percaya, bahwa aku lebih membela Arka dibandingkan suami sendiri."Elina, jangan halangi aku. Pria itu sudah kurang ajar!" umpat Mas Wisnu."Elina, mari ikut bersamaku. Tinggalkan suami tak berguna seperti dia."Kenapa Arka berbicara seperti itu? pasti ada sesuatu yang tidak beres. "Diam! tidak boleh ada yang bertengkar. Mas Wisnu jangan main hakim sendiri.""Kenapa kamu bela dia, Elina? sudah jelas, dia merendahkanku. Dia bicara bohong kalau kamu mantannya. Dia juga berani mengancam akan merebutmu dariku.""Tenang, Mas Wisnu. Sepertinya pria itu memang jujur. Buktinya, kemarin-kemarin dia juga sengaja membantu Elina mengacaukan resepsi kita. Biarkan Elina pergi bersamanya. Mereka juga sama-sama penghianat ," ujar Aida memanas-manasi."Jangan ikut campur, Aida. Keberadaanmu malah menambah keruh suasana!" bentak Mas Wisnu sambil menghempaskan tangannya."Elina, ayok