Share

Part 6

"Oh, tentang uang itu. Tidak usah dikembalikan."

Aku mengernyitkan dahi, mencerna ucapan Arka. Lalu, menatap Aish meminta pendapat atas kebingunganku. Aish hanya tersenyum santai.

"Maksud anda gimana, yah? Maaf Pak, Anda pikir saya tidak mampu membayarnya? Saya bisa bayar sendiri. Jadi, Bapak gak usah repot-repot membayarkannya. Tolong, diterima. Jangan macam-macam," hardikku.

"Bukan gitu maksud saya, Mbak Elin. Tolong jangan salah paham."

"Terus maksud Bapak apa?" tanyaku dengan intonasi tinggi.

"Saya tidak ingin, uangnya dikembalikan karena ingin menjalin kerja sama sama Mbak Elin. Jadi, anggap saja, uang itu modal awal saya."

Kepalaku makin oleng mendengar penjelasan Arka. Sebenernya apa yang dia mau? ribet dan berbelit-belit.

"Aduh, Mbak Elin Lola banget. Jadi, Mas Arka mau colab bisnis di bidang restoran sama Mbak Elin," papar Aish geregetan.

"Kerja sama? Anda tahu dari mana saya punya bisnis restoran?"

"Aish yang cerita. Saya jadi tertarik menjadi panter bisnis anda. Kebetulan, saya akan membuka cabang WO ini di Jakarta, maka saya butuh patner pemilik restoran untuk rekomendasi hidangan di acara pernikahan para costumer saya."

Aku Hanya bisa melotot menatap Aish. Anak itu mudah sekali membicarakan hal-hal pribadi dengan orang baru. Dasar sembrono. Dia pikir, menjalin kerja sama seperti membuat gorengan? tidak semudah itu, Ferguso.

"Terima saja, Mbak. Itung-itung tanda terima kasih kita atas bantuan Mas Arka. Lagian, kerja sama ini bakal saling menguntungkan. Menurut prediksi ekonom Aishyah Qonita putri, kerja sama ini bisa membuat bisnis resto mbak makin berkembang. Mbak harus buktikan, kalau Mbak hebat meskipun sudah di sakiti Mas Wisnu, dan bisa merdeka secara finansial tanpanya."

Aish memang mahasiswa jurusan ekonomi, sama sepertiku. Pemikirannya cukup bagus.  Aku harus merdeka secara keuangan, agar tidak bergantung lagi pada Mas Wisnu. Selama ini, bisnis restoku hanya sampingan untuk mengusir kebosanan. Akan tetapi, saat ini, usaha tersebut harus di kembangkan lebih pesat. 

"Bagaimana, Mbak Elin?" tanya Arka.

"Baiklah."

"Good job, soal perjanjian kerja sama kita urus nanti saat saya sudah di Jakarta. Sekarang, Mbak Elin lebih baik fokus mengurus masalah dengan suaminya."

"Oke, terserah kalian. Saya mau pulang dulu."

"Silakan, Mbak Elin. Hati-hati di jalan."

Aku beranjak dan mengabaikan ucapan Arka. Saat ini, aku hanya ingin pulang.

"Sampai jumpa lagi, Mas Arka," ujar Aish dengan senyum semringah.

Aneh, mereka terlihat sangat akrab. Aish malah terus cari perhatian sama Si Arka. Beginilah, kalau punya adik labil yang mau beranjak dewasa.  Dipikirannya hanya ada cowok ganteng.

"Yeh, akhirnya Mbak mau menjalin kerja sama. Kita bisa ketemu Mas Arka lagi, dong."

"Terserah kamu, Aish. Mbak pusing."

"Jeh, mangkannya jangan sepaneng banget. Hidup harus santai. Hadapi masalah dengan santuy, Jangan tegang. Nanti edan," celoteh Aish saat menyalakan mesin motor.

"Mbak hampir edan karena Mas Wisnu dan kamu, Aish."

"Sembarangan, ko, gara-gara aku. Mbak hampir edan ya, karena Mas Wisnu. Mangkannya pake cara halus ngadepin mereka. Kalau bar-bar, si pelakor makin kesenengan."

"Ya sudah, pikirkan rencana hebat untuk menghadapi pelakor," celetukku.

"Gampang. Tapi sebelum itu, Mbak harus ke rumah ibunya Mas Wisnu dulu."

"Ngapain? makan ati doang."

"Justru itu. Mbak harus dapetin hati mertua Mbak dulu. Jangan mau kalah sama si Aida. Buat Mbak terlihat luar biasa di depan mereka, dalam segi apapun. Setelah mereka sadar, Mbak adalah perempuan luar biasa. Baru deh, hempaskan Mas Wisnu. 'Kan rasanya makin jleb gitu."

Perkataan Aish memberi wangsit kepadaku. Otak memang harus digunakan saat dihimpit masalah. Jangan ceroboh, dan berbuat sesuatu yang merugikan.

"Tumben encer otakmu, Aish."

"Dih, dari dulu kali."

"Hahaha, baiklah. mulai saat ini, seorang Elina akan berganti profesi menjadi artis, yang pintar memainkan akting di depan para penghianat."

"Cakep. Gitu dong. Jangan jadi cewe lemah yang bisanya ku menangis doang."

"Kang sinteron kamu, Aish. Tapi baguslah. Ayok, kita ke rumah Ibunya Mas Wisnu."

"Berang-berang, makan tikus. ayok kita gass terus."

Sekitar dua puluh menit, Akhirnya kami sampai di rumah ibu Anna--Mertuaku. Sudah dapat dipastikan, kedua penghianat sedang bersembunyi di rumah itu. Aku harus mengontrol hati, agar tidak berbuat kekacauan.

"Assalamualaikum."

"W*-waalaikumsalam," jawab Aida membuka pintu.

"Siapa yang datang, Aida?" tanya Ibu mertua.

Aida hanya terdiam sambil menatap sinis. Tanpa permisi, aku langsung masuk bersama Aish. Menuju ruang tamu, untuk bertemu Ibu.

"Elina?" tanya Ibu mertua. 

Mas Wisnu juga menghampiriku di ruang tamu. Mereka menatap penuh tanda tanya.

"Bu." Aku mencium tangan Ibu, begitu pula dengan Aish. 

"Duduk, Nak."

"Elina, ngapain kamu ke sini? belum puas menghancurkan pesta pernikahanku?" 

Wah, pelakor sangat percaya diri mengatakan hal tersebut. Inilah dunia terbalik. Maling, malah teriak maling.

"Diam, Aida. Kita dengarkan dulu, tujuan Elin datang ke sini," sergah Ibu mertua. 

"Maaf Bu, kedatangan Elina ke sini, hanya ingin meminta maaf kepada Ibu. Jika selama ini, Elina belum bisa jadi menantu yang baik. Apapun yang terjadi, Ibu sudah Elin anggap sebagai orang tua sendiri.  Meskipun tidak dipungkiri, hati Elin sangat sakit."

"Elin, harusnya Ibu yang minta maaf. Rumah tanggamu harus kacau seperti ini. Ibu juga tidak menginginkannya, tapi ...."

"Bu." 

Mas Wisnu seakan memberi kode, agar Ibu tidak melanjutkan ucapannya.

"Sudahlah, Elin. Ibu yakin, kamu pasti kuat. Cinta Wisnu kepadamu, tidak akan berubah."

Jujur, aku muak mendengar omong kosong ini. Namun, aku harus sabar. Melawan mereka, harus bisa main cantik. Jika, menggunakan cara bar bar. Hanya akan menguntungkan pihak pelakor. Aku harus merebut lagi, apa yang menjadi milikku. Meskipun, setelah mereka kembali, aku akan mencampakannya.

"Elin hanya ingin meminta maaf sama Ibu. Soal Mas Wisnu, biar dia yang menjelaskannya sendiri." 

Aku tatap Mas Wisnu. Dia hanya melihatku dengan raut kesedihan. Entah, apa maksudnya.

"Ibu juga minta maaf, atas ketidakberdayaan Ibu."

Apa maksud perkataannya? Ribuan tanda tanya berterbangan di kepala. Aku tidak bisa mempertanyakannya sekarang. Ibu tidak akan jujur, pasti ada sesuatu yang sengaja di sembunyikan. 

"Baiklah Bu, Elin pamit pulang ke Jakarta. Jika Mas Wisnu tidak ikut pulang, surat gugatan cerai, akan segera Elin berikan," ucapku lembut tapi mengandung ancaman.

"Neng, Mas ikut kamu pulang." Mas Wisnu memegang tangan.

Aku hanya tersenyum kecut. Aida terlihat tidak suka melihat pemandangan ini. Rencana Aish memang ampuh. 

"Mas Wisnu pulang saja bersama Mbak Elin, biar motor aku yang bawa," usul Aish.

"Tidak boleh," cegah Aida sambil membocorkan tajam kepada Mas Wisnu.

"Neng, nanti Mas nyusul, yah."

"Terserah. Aku tunggu kamu pulang, Mas. Kamu tahu 'kan, aku tidak pernah main-main dengan ucapanku sendiri." Tangan Mas Wisnu aku hempaskan.

Mas Wisnu hanya mengangguk. Mengapa sorot memancarkan rasa sayang yang dalam saya? dulu itu, tidak pernah berubah. Ah, mungkin hanya ilusi. Jika Mas Wisnu sangat mencintaiku, harusnya dia tidak akan menikahi Aida.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
D N
buruan pulang Elina selamatkan aset2 berharga seperti surat2 dan barang2 berharga sebelum pelakor itu menguasainya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status