“Hei ...” desah Adam sembari ikut duduk di sofa. Setelah menyerahkan secangkir teh hangat kepada Amber, ia merangkul pundak wanita itu dengan sebelah lengan. “Apa yang sedang kau lamunkan?” tanyanya seraya melirik ke arah buku yang terbuka di atas meja. Sebuah bros cantik dan penjepit dasi keren tergambar di sana. Keduanya sama-sama memiliki hiasan yang berbentuk huruf A. “Aku tidak melamun,” timpal Amber seraya memalsukan senyuman. “Hanya memikirkan betapa beruntungnya aku bisa mendapatkanmu.” Lengkung bibir Adam seketika terkulum. Sambil memiringkan kepala, ia berbisik, “Kau yakin? Kukira kau sedang menerka-nerka harga cincin barumu itu.” Tawa Amber sontak menggetarkan udara. Kekakuan di wajahnya pun sedikit mengendur. “Aku sudah bukan perempuan semacam itu lagi, Tuan Dingin,” gerutunya seraya menyikut dada Adam. “Aku tahu. Kau adalah calon istriku yang bijak sekarang.” Usai membenamkan kecupan di pelipis, ia membiarkan wanita itu menyeruput teh pinusnya. “Apakah ada kabar te
Sambil menurunkan sweater yang bergulung di perutnya, Adam melangkah keluar kamar. Ia seperti mendengar suara ketukan pintu tadi. Begitu menemukan sang kekasih sedang berdiri di dekat jendela dengan kepala tertunduk dan tangan mencengkeram tirai, kerut alisnya bertambah dalam. “Ada apa, Amber? Siapa yang datang?” Dengan mata bulat yang memancarkan kebingungan, Amber berbalik. Telunjuknya terangkat ragu ke arah pintu. “Orang tuaku datang,” sahutnya setengah berbisik. “Orang tuamu?” Adam tidak yakin dengan pendengarannya. Selang satu kedipan lambat, wanita berekspresi datar itu meraih gagang pintu. Sambil menelan ludah, ia mengumpulkan nyali untuk berhadapan dengan kedua orang tuanya. “Papa? Mama?” sapanya datar. “Amber,” balas wanita bermantel cokelat yang menyunggingkan senyum elegan. “Bagaimana kabarmu?” Masih dengan tangan menggenggam tuas pintu, Amber mengangguk. “Baik. Ada kepentingan apa Papa dan Mama datang kemari?” “Bukankah wajar jika orang tua mengunjungi putri tungga
"Amber?" desah Nyonya Lim dengan nada tak percaya. "Ya, aku mencintai Adam dan kami akan menikah dalam waktu dekat. Kami bahkan sudah menyerahkan semua berkas yang dibutuhkan," tegas Amber tanpa melepas dekapan. Tuan Lim sontak mendengus kesal. Matanya mulai bergurat merah menahan kemarahan. "Ternyata ini kelakuanmu selama ini? Kau bukan belajar mendesain perhiasan, tapi bermesraan dengan suami wanita lain?" "Tunggu dulu, Tuan Lim," sela Adam sembari mengangkat sebelah tangan. "Ini perlu diluruskan. Media memang belum pernah memberitakannya, tapi saya sesungguhnya sudah bercerai." "Jadi kau lebih memilih seorang duda dibandingkan laki-laki pilihan orang tuamu?" tanya Tuan Lim kepada sang putri dengan nada bicara yang semakin tinggi. Melihat rahang si pria muda mulai berdenyut-denyut, Nyonya Lim bergegas memegangi lengan suaminya. Ia sadar, mulut yang terkatup rapat itu sedang berusaha mencegah keributan yang lebih besar. "Maaf, Tuan Smith. Suami saya tidak bermaksud merendahka
Alih-alih membantah, Adam malah membalikkan halaman. Sedetik kemudian, ia mengangkat buku itu ke hadapan Tuan Lim. “Jika saya memberikan pengaruh buruk kepada Amber, apa mungkin dia bisa menggambar ini?” Langkah pria tua itu sontak terhenti. Dari bawah kernyitan dahi, ia memeriksa apa yang dimaksud oleh Adam. Ternyata, sebuah bros dan penjepit dasi berinisial A tergambar di sana. “Apa kau sedang memamerkan besarnya cinta Amber terhadapmu?” tanya Tuan Lim seraya menaikkan alis. Sebelum sang duda sempat menjawab, ia mendengus remeh. “Aku tidak peduli tentang hal itu, Tuan Smith. Sampai kapan pun, kau tidak akan pernah mendapat restu dari kami.” “Apakah Anda mengira bros dan penjepit dasi ini untuk kami?” sela Adam dengan nada mengejek. Sambil mengulum senyum, ia menggeleng. “Maaf mengecewakan Anda, Tuan Lim. Tapi saya tidak pernah mengenakan penjepit dasi dan Amber pun tidak pernah menceritakan tentang koleksi brosnya. Dia pasti menggambar ini karena teringat tentang kalian.” Selang
“Adam,” panggil Amber sebelum tersedak oleh ketakutan, “putar balik!” Bukannya menuruti perintah, Adam malah terpaku pada wajah bengis para pria yang mendekat. Dalam hati, ia bertanya-tanya. Mampukah ia mengalahkan dua tukang pukul itu? “Adam!” Amber mengguncang lengan sang kekasih hingga pria itu tersentak. “Cepat putar arah! Papa pasti memerintahkan mereka untuk menyeretku pulang.” Selang satu embusan cepat, Adam bergegas mengganti gigi. Namun, tepat ketika ia memeriksa spion, matanya terbelalak maksimal dan tubuhnya menegang. Dua mobil lain juga telah menghalangi arah sebaliknya. “Gawat,” batinnya sambil menahan gemuruh napas. Melihat sang kekasih mendadak bergeming, Amber pun menoleh ke belakang. Begitu mendapati empat orang telah bersiaga di balik mobilnya, keringat dingin mulai membutir. “Adam, bagaimana ini?” desah wanita itu panik. Napasnya mulai memendek. Secepat kilat, Adam meraih jemari Amber. Sembari menggenggamnya erat, ia menyejajarkan pandangan. “Tenang saja. Aku
“Hei,” desah Adam sembari mengelus pipi sang kekasih dan memajukan wajahnya. “Lihat aku, Amber ... lihat aku!” Di bawah alis yang berkerut tipis, mata sang wanita kembali terbuka. Tatapannya lemah dan tampak sangat lelah. “Kau tidak perlu panik lagi. Aku sudah di sini, bersamamu,” bisik sang pria sembari memberikan senyum terbaik semampunya. Selang satu kedipan, tangan Amber terangkat mencengkeram mantel kekasihnya. “Adam ....” “Benar, ini aku. Sekarang kendalikan dirimu! Atur napasmu!” Adam menggenggam jemari dingin sang wanita untuk memberinya kekuatan. “Ayo, Precious. Kau pasti bisa.” Sambil mengangguk samar, Amber mencoba untuk menarik napas lebih panjang. Malangnya, desakan dalam dada terlalu besar untuk dikalahkan. “Tidak bisa,” desahnya sebelum menjatuhkan lebih banyak air mata. Sedetik kemudian, Adam memindahkan tangan sang kekasih ke perut. “Coba pikirkan bayi kita! Dia juga ingin bernapas. Kau tidak boleh menyerah.” Tiba-tiba, Amber balik mencengkeram tangan Adam. Sam
Dari kursi di samping tempat tidur, Amber terus menggenggam tangan Adam. Sesekali, ia mengangkat telapak besar itu dan menempelkannya di pipi. Namun, bukannya menjadi tenang, hatinya malah semakin gundah. Melihat kegelisahan wanita itu, Tuan Berg pun membuka pintu lebih lebar dan berjalan masuk. "Tak usah khawatir, Nona. Kakakku adalah dokter terhebat di daerah sini. Jadi, analisisnya tidak mungkin salah. Tuan Smith baik-baik saja." "Tapi kenapa dia belum bangun juga? Ini sudah lebih dari tiga jam," timpal Amber dengan suara serak dan kerut alis yang dalam. Merasa iba, Tuan Berg duduk di sampingnya. "Meskipun Tuan Smith adalah laki-laki yang kuat, dia tetap butuh waktu untuk pemulihan. Jadi, biarkan saja dia beristirahat. Yang penting, lukanya sudah diobati dan tanda vitalnya aman." "Dia pasti bangun, bukan?" tanya Amber lirih. "Tentu saja. Sekarang, bagaimana kalau kau ikut makan bersama kami? Putri dan keponakanku sudah datang. Mereka menunggumu di ruang makan." Dalam sekeja
Tak tahan menyaksikan kehebohan keluarga besarnya, Tuan Berg pun mengangkat tangan. “Perhatian, perhatian! Bukankah kita baru saja mendapat pelajaran berharga dari Ella dan Freja? Kenapa kalian malah melakukan kesalahan mereka sekarang?” Dalam sekejap, orang-orang di meja makan itu terdiam. Tidak ada lagi yang berani membicarakan tentang kanibal. Mereka sadar bahwa hal itu belum tentu benar. Mereka telah terhasut oleh kabar yang beredar. “Sepertinya, Anda harus menjelaskan tentang julukan itu, Tuan Smith. Mengapa Anda dipanggil kanibal?” Mendengar usulan Ella tersebut, Amber spontan menggoyangkan tangan yang menggenggamnya. “Adam, apa kau mau aku yang menceritakannya?” bisik wanita itu cemas. Sambil tersenyum kecil, sang pria menggeleng. “Tetaplah di sampingku. Itu saja sudah lebih dari cukup.” Sedetik kemudian, ia menarik napas dalam-dalam dan melebarkan lengkung bibir. “Sejujurnya, aku mengalami depresi berat setelah bercerai. Demi menyembuhkan diri, aku menyendiri di sebuah po