Dengan sekuat tenaga, Amber melempar sweater ke arah Tuan Dingin.
“Ini ... kukembalikan milikmu. Maaf kalau aku sudah merusak satu hari dalam hidupmu. Kau tidak perlu memikirkan kerugian yang kutimbulkan. Aku pasti akan membayarnya nanti,” ujar wanita itu dengan nada tegas walau pita suaranya masih dililit kekesalan.
“Mulai sekarang, aku tidak akan mengusik ketenanganmu lagi. Berbahagialah dengan kesendirianmu dalam pondok ini.”
Sedetik kemudian, Amber keluar dan menutup pintu. Tidak ada lagi suara yang terdengar setelah kepergiannya. Tuan Dingin pun ikut menjaga hening. Pisau di tangannya tidak lagi bergerak memotong daun pinus. Selang satu helaan napas berat, barulah ia menoleh ke arah sweater yang tersangkut di pundaknya.
“Jadi, dia memutuskan pergi?” batin laki-laki itu sambil berkedip lambat. “Baguslah. Dengan begitu, aku tidak perlu memikirkan cara untuk membuatnya sengsara lagi.”
Dengan ekspresi datar, Tuan Dingin melangkah menuju kamar. Setibanya di sana, ia membuka kotak merah lalu menyempal sweater putihnya ke dalam. Kemudian, dengan kasar, pria itu melemparnya ke dasar lemari.
“Kau tidak seharusnya keluar dari dalam sana,” gumamnya sebelum membanting pintu dan berjalan keluar.
Seolah tidak terjadi apa-apa, Tuan Dingin kembali memotong daun pinus di dapur. Sorot matanya yang suram sangat sulit untuk ditebak. Apakah pria itu memikirkan teh yang akan diseduhnya? Ketenangan yang ia rindukan selama 24 jam terakhir? Atau nasib wanita yang baru saja meninggalkan pondoknya? Tidak ada yang tahu sebelum pria itu tertunduk dan memejamkan mata.
“Apa yang telah kulakukan?” sesalnya seraya menjepit pangkal hidung. “Bagaimanapun, dia tetap seorang manusia.”
Setelah berdecak satu kali, Tuan Dingin akhirnya meraih mantel dan senter. Selang beberapa saat, ia mulai menembus salju menuju jalan beraspal. Pria itu sama sekali tidak tahu bahwa Amber mengambil arah yang berbeda.
***
“Apakah aku memilih jalur yang salah?” gumam si wanita bermantel putih seraya menyeka hidungnya yang merah. Bukannya menemukan rumah penduduk, ia malah tiba di tepi danau luas yang membeku. “Haruskah aku kembali ke pondok terkutuk itu?”
Selagi berpikir, Amber mendongak menatap langit. Cahaya hijau sedang menari-nari di antara bintang. Namun, bukannya tersenyum, ia malah mendesah pasrah.
“Atau mungkin ... inilah malam terakhir aku hidup? Karena itukah Tuhan memperlihatkan pemandangan seindah ini kepadaku?”
Sembari mendekap diri sendiri lebih erat, Amber menurunkan pandangan. Sesaat kemudian, tatapannya tertuju pada lampu kecil di sisi lain dari danau.
“Tunggu! Apa itu?”
Seraya menyipitkan mata, sang wanita memiringkan kepala. Sinar yang diperhatikannya tampak bergerak-gerak. Dalam sekejap, desah lega mengepulkan uap di udara.
“Itu pasti orang baik yang akan menyelamatkanku! Terima kasih, Tuhan.”
Tanpa berpikir panjang, Amber mulai berlari menyibak timbunan salju di atas danau. “Hei!” teriaknya sembari melambai. Ia ingin berbicara lebih panjang, tetapi energinya terbatas. Takut melewatkan kesempatan, wanita itu pun mempercepat langkah.
Saking bersemangatnya, Amber tidak lagi memperhatikan jalan. Wanita itu tidak sadar bahwa di depan, timbunan salju mendadak hilang dan permukaan danau hanya tertutupi lapisan es tipis. Begitu ia menginjaknya, bunyi retakan langsung terdengar. Sedetik kemudian, Amber tercebur ke dalam air yang sangat dingin.
“Oh, tidak!” batin wanita itu panik. Sambil menggerak-gerakkan badan, ia mencari pijakan. Akan tetapi, dasar danau berada jauh di bawah kakinya.
“Tidak,” desah Amber sembari mencoba menggapai tepian kolam. Malangnya, rasa dingin telah membekukan otot. Tangannya yang gemetar tidak sanggup meraih lapisan es terdekat.
“Ya Tuhan, kenapa hal ini harus terjadi padaku?” pikir wanita itu sambil berusaha berenang. “Aku belum siap mati.”
Selang beberapa saat, ia tidak juga bergerak maju. Mantelnya yang basah terlalu berat untuk dibawa.
“Tolong,” bisik Amber, tidak sanggup berteriak. Bibirnya yang membiru mulai sulit digerakkan dan air sesekali masuk ke dalam mulutnya.
Perlahan-lahan, gerakan wanita itu melemah. Kepalanya pun semakin jarang keluar mengambil udara. Tak berapa lama, Amber kehabisan tenaga. Dengan tangan terulur ke atas, ia mulai turun ke dasar danau.
Melihat sang wanita tidak lagi muncul di permukaan, Tuan Dingin mempercepat lajunya. Begitu hampir tiba, ia bergegas menggigit senter dan menjatuhkan mantel. Kemudian, dengan cekatan, pria itu meraih tangan yang masih berada dalam jangkauannya. Hanya dengan satu sentakan, ia berhasil menarik Amber keluar dari kolam buatannya.
“Nona? Nona!” panggilnya seraya menepuk-nepuk pipi sang wanita.
Tak mendapat jawaban, Tuan Dingin pun mendekatkan telinga ke hidung Amber. Wanita itu ternyata sudah tidak bernapas.
“Gawat!”
Tanpa berpikir panjang, sang pria memberikan napas buatan. Beruntung, Amber akhirnya terbatuk-batuk. Dengan sigap, Tuan Dingin memiringkan kepala wanita itu.
“Ah, syukurlah,” desah si penyelamat tanpa sadar. Dengan lembut, diusapnya punggung sang wanita.
Setelah mengeluarkan air dari paru-parunya, Amber berusaha mengatur napas. Sambil terengah-engah, ia kembali berbaring dengan mata terpejam. Kepala yang terasa berat dan tubuh yang menggigil membuatnya tak berdaya. Wanita itu terus bergeming hingga tiba-tiba, sebuah tangan yang hangat menangkup pipinya.
“Kau hipotermia. Aku harus melepas mantelmu lagi.”
Mendengar penjelasan itu, Amber sontak membuka mata. Namun, belum sempat ia menjawab, Tuan Dingin sudah menurunkan resleting mantelnya.
“Jangan,” desah Amber seraya mengerutkan alis. Ia ingin menghalangi tangan sang pria. Akan tetapi, tenaganya masih terbatas.
“Tenang saja. Di sini gelap. Aku tidak bisa melihat,” bohong sang pria, mencoba menghindari perdebatan.
Terlalu lemah untuk melawan, Amber pun pasrah. Ketika Tuan Dingin memakaikan mantel lain di tubuhnya, ia hanya tertunduk. Bahkan, saat pria itu menggendongnya, mulutnya tetap terkatup.
“Aku akan mengambil mantelmu besok pagi. Tidak akan hilang,” jelas Tuan Dingin di sela desah napas yang bergemuruh. Sedetik kemudian, ia fokus mencari lintasan yang paling minim salju.
Begitu diturunkan ke lantai, Amber langsung meringkuk menghadap pemanas. Meski suhu di dalam pondok jauh lebih hangat, ia tetap saja gemetar.
“Kau baik-baik saja?” tanya sang pria sembari menambah kayu ke dalam perapian.
“Ya,” sahut Amber singkat.
Tak percaya, Tuan Dingin memeriksa sendiri keadaan sang wanita. Begitu menyentuh kulit yang sedingin salju, ia bergegas membuka baju. “Jangan salah paham! Aku hanya ingin menghangatkanmu.”
“Tidak perlu,” sela Amber sambil mencengkeram mantel yang membungkus tubuhnya. “Aku tidak butuh bantuanmu.”
Mengabaikan penolakan itu, sang pria menarik selimut dari sofa dan ikut berbaring miring. “Kemarilah,” bisiknya seraya merapat.
“Kubilang, aku tidak butuh bantuanmu!” hardik Amber dengan suara serak. Sorot matanya yang redup tampak begitu dingin dan menusuk. “Aku sudah berjanji untuk tidak mengganggu ketenanganmu. Jadi, uruslah dirimu sendiri. Aku hanya akan tidur dengan tenang.”
Mendengar suara pedih itu, Tuan Dingin sontak menahan napas. Untuk pertama kalinya dalam dua tahun, hatinya dilanda rasa bersalah.
“Dan kau tidak perlu khawatir. Saat bangun nanti, aku akan langsung pergi dari pondok ini. Aku tidak akan mengusik apa pun di rumahmu.” Setelah menyeka air mata yang mengalir di pelipis, Amber terpejam dan memeluk diri lebih erat. Meski paru-parunya masih menggila, sebisa mungkin ia menahan napas agar tidak menimbulkan kebisingan.
Melihat keteguhan hati sang wanita, Tuan Dingin pun menelan ludah. Setelah sempat bergeming, ia akhirnya menyingkir dan kembali mengenakan pakaian. Dari sofa tidurnya, laki-laki itu memperhatikan punggung yang terus bergetar. Ia tidak berani merapatkan mata kalau Amber belum berhenti mengigil. Si pemilik pondok sadar, kemalangan yang menimpa wanita itu adalah akibat dari keegoisannya.
Amber diam-diam membuka pintu ruang kerja. Melihat suaminya sedang melamun, ia pun menarik sebelah sudut bibir. "Apa yang sedang kau lakukan, Jewel?" Adam spontan menoleh ke arah datangnya suara. Melihat kehadiran sang istri, senyumnya pun mengembang. "Hei .... Apakah Ashley sudah tidur?" "Sudah dari tadi," sahut Amber seraya menghampiri. Kemudian, dengan santai, ia duduk di pangkuan sang suami. "Kenapa kau masih di sini? Apakah pekerjaanmu belum selesai?" Selagi sang suami menggosok tengkuk, ia mulai menyoroti meja. Ternyata, komputer sudah dimatikan. Berkas-berkas pun sudah tertata rapi dalam map. Yang tersisa di sana hanyalah ponsel yang memajang sebuah gambar. "Kau sangat menyukai foto itu, hmm?" simpul Amber seraya melirik dengan tatapan manis. Disoroti oleh mata sehangat itu, Adam pun mendesahkan senyum. Setelah mengecup pundak sang istri, ia mengangguk. "Terima kasih, Precious. Semua ini berkat dirimu. Aku tidak mungkin bisa memperbaiki hubunganku dengan Ibu kalau kau ti
"Aku tahu, kau pasti meragukan ucapanku," ringis Nyonya Smith memecah keheningan. "Apa ada sesuatu yang harus kulakukan untuk membuktikan ucapanku? Ibumu ini sungguh-sungguh ingin berubah, Adam." Masih dengan alis berkerut, sang pria mendengus. "Kenapa baru sekarang? Apakah karena Ed menelantarkan Ibu?" Nyonya Smith menggeleng sigap. "Tidak, kau jangan salah paham. Ketegangan di antara kita tidak ada sangkut pautnya dengan Ed. Akulah yang terlalu bodoh memanfaatkannya untuk merebut semua milikmu." "Omong kosong ...." "Apa kau tahu kalau Ed memarahiku? Dia sudah jenuh terseret oleh keegoisanku. Kakakmu itu bilang kalau dia tidak mau membantuku untuk menindasmu lagi." Sebelum Adam sempat membantah, Nyonya Smith lanjut bicara. "Sejak itu, aku mulai sadar. Tapi, aku masih meyakinkan diri kalau kau tidak layak bahagia. Ibumu ini sangat bodoh, hmm?" Adam mendadak bungkam. Dari bawah kernyit dahinya, ia menatap sang ibu dengan saksama. "Karena itu juga, aku belum menggunakan sepeser
Usai sang ibu membanting pintu, Adam mengusap-usap lengan Amber. Sambil memperhatikan wajah kusut istrinya itu, ia berbisik, "Kau baik-baik saja?" Sang wanita mengangguk. "Kau?" Adam menarik napas panjang. Setelah menaikkan alis, ia melengkungkan bibir. "Ya. Aku lega tidak terjadi apa-apa. Aku sempat takut kalau ibuku melakukan sesuatu yang nekat. Maaf telah membiarkannya menggendong Ashley." "Tidak apa-apa, Jewel. Kurasa, Ashley justru senang telah bertemu dengan neneknya," tutur Amber seraya mengeus kepala sang putri. Bayi mungil itu sudah kembali merapatkan mata. "Lihatlah, dia tersenyum lagi." "Dia pasti ingin menghiburmu," bisik Adam sebelum mendaratkan kecupan lembut di kening Ashley. "Bukan hanya aku, tapi kau juga. Kita beruntung dikaruniai anak yang berbakti. Ini pasti karma baikmu. Kau tetap sabar menghadapi ibumu, meskipun sudah berkali-kali disakiti." Adam spontan menggeleng. "Karma baikmu juga, Precious. Kau jauh lebih ber
Beberapa detik berlalu, orang-orang masih bertukar pandang. Tidak ada yang berani bicara sampai Ruby memecah keheningan. "Apakah aku boleh menggendongnya?" "Tentu saja," sahut Amber seraya menepuk-nepuk lengan Adam. Memahami kode yang diberikan, Adam pun mengeluarkan Ashley dari tempat tidur mungilnya. Begitu bayi itu tiba dalam dekapan Ruby, semua mata mulai berkaca-kaca. "Astaga .... Dia menggemaskan sekali," bisik Ruby dengan suara bergetar. Keharuan nyaris mendesak air mata keluar dari batasnya. "Lihatlah hidung mungil ini ... sangat mirip dengan milik Amber, sedangkan bibir tipis ini ... seratus persen salinan ayahnya." "Apakah kau mau berfoto dengan Ashley?" tanya Amber ringan. Dalam sekejap, mata sendu Ruby diwarnai keterkejutan. "Apakah boleh? Bukankah kalian sepakat untuk tidak mempublikasikan wajah putri kalian?" "Berfotolah untuk kenang-kenangan. Kau bisa mencetak lalu menyimpannya dalam dompet atau buku harian," ujar Amber sembari melirik ke arah Nick. Menyad
“Cepatlah! Aku sudah tidak tahan!” pekik Amber seraya meremas baju suaminya. Adam pun berputar-putar memeriksa pekarangan. Barangkali, ia menjatuhkan kuncinya di sekitar sana. Sementara itu, Nick malah sibuk meraba tubuhnya sendiri. Ketika tangannya menekan saku celana, matanya membulat sempurna. "Bagaimana kalau kita naik mobilku saja?" usul pria berbadan gempal itu seraya memperlihatkan kunci mobilnya. Masih dengan napas tersengal-sengal, Amber menoleh ke arah kendaraan yang terparkir di samping mobil Adam. "Kalian kira beratku mencapai satu ton? Orang-orang pasti tertawa melihat kalian membawaku dengan truk itu!" omelnya dengan suara melengking. Nick spontan meringis mendengarnya. "Maaf, Nyonya. Itu bukan truk, tapi mini box van untuk kargo kering. Aku biasa menggunakannya untuk mengantar perhiasan." "Kau tidak perlu malu, Precious," sambung Adam ditemani anggukan meyakinkan. "Mobil itu terbiasa membawa baran
"Halo, Nyonya Smith. Bagaimana kondisimu dan si Kecil?" sapa Nick ketika menyambut kedatangan Amber dan Adam. Diam-diam, ia merasa bangga melihat peluitnya tergantung di leher sang wanita. "Sangat baik. Maaf kalau harus merepotkan dirimu. Sebetulnya, ini satu minggu lebih awal dari prediksi dokter. Tapi, Adam terus mendesak agar kami menginap di rumahmu." Melihat raut bersalah Amber, Nick pun terkekeh. "Sama sekali bukan masalah, Nyonya. Apa yang dipikirkan oleh Bos memang benar. Ada baiknya jika kita berjaga-jaga. Rumah sakit terlalu jauh dari pondok kalian." "Kau memang bijak, Nick," ujar Adam seraya menenteng tiga tas besar yang diambilnya dari bagasi. "Tidak salah jika aku menaruh kepercayaan padamu." Sekali lagi, pria bertubuh gempal itu terkekeh. Setelah mengambil salah satu tas dari tangan Adam, ia melambai. "Ayo kutunjukkan kamar kalian! Aku sudah meminta Tina untuk membersihkannya tadi pagi." Selagi Nick memimpin jalan, Amber mencondo
"Ikhlas," angguk Amber sigap. "Hanya saja, aku menyayangkan sikap mereka yang tidak pernah berubah. Entah sampai kapan mereka betah membuatmu menderita." Sembari tersenyum kecil, Adam mengelus pipi istrinya. "Tenang saja! Setelah ini, aku yakin mereka tidak akan meminta yang macam-macam lagi. Aku sudah tidak punya apa-apa untuk mereka rebut." "Bagaimana dengan rumah kita? Haruskah kita mengajukan pengalihan aset? Kurasa akan lebih aman kalau sertifikatnya tercatat atas namaku." Sembari menahan tawa, Adam mengangguk. Ia tahu, sebagian hati Amber sesungguhnya tidak rela melihatnya berkorban sedemikian besar. "Karena itulah, aku bersikeras untuk menyerahkan perusahaan kepadamu. Tapi kau menolak terus." "Aku tidak mau orang-orang menganggapmu budak cintaku, Jewel. Laki-laki mana yang menyerahkan seluruh hartanya kepada sang istri? Hanya laki-laki bodoh. Aku tidak mau kau dicap seperti itu." Gemas dengan sang istri, Adam pun mengecup
"Sekarang giliran aku yang memberikan hadiah," tutur Ruby canggung. "Hadiah? Kapan kau menyiapkannya?" tanya Amber terbelalak. "Belanja online bukanlah sesuatu yang sulit," tutur Ruby sebelum tersenyum simpul. Tanpa basa-basi lagi, ia menyodorkan kotak. "Bukalah! Anggap ini sebagai permintaan maaf sekaligus terima kasihku." Setelah menyerahkan peluitnya kepada Adam, si wanita hamil mengangkat penutup kotak. Begitu menemukan kain rajut merah yang terlipat rapi, ia mendesah samar. "Apakah ini bentuk protes karena kami membuang sweater putih pemberianmu dulu?" "Justru aku ingin mengubur kenangan buruk tentang itu. Kuharap, ini bisa membantu kalian mengingat Ruby yang baru." "Kalau begitu, mulai detik ini, aku dan Adam akan membuat banyak kenangan manis bersama sweater ini," tutur Amber seraya mengeluarkan hadiah dari dalam kotak. Namun, sedetik kemudian, lengkung bibirnya membeku. Ternyata, masih ada sweater lain di dalam kotak. "Kau memberi kami sweater pasangan?" desahnya tak pe
"Maaf," ucap Amber, enggan menyebut nama kakak iparnya, "Ruby ingin bicara denganmu." Dalam sekejap, mata Ed melebar. Tanpa basa-basi, ia masuk melalui celah antara pintu dan Amber. "Apakah Ruby berubah pikiran?" selidik Adam seraya bangkit dari kursi. Setelah menutup pintu, ia memandu sang istri untuk duduk dengan hati-hati. "Tidak." Alis sang pria pun melengkung sempurna. "Lalu?" "Ruby ingin mengakhiri hubungan mereka secepatnya. Dengan begitu, dia bisa tinggal di kediaman Tuan Berg tanpa kekhawatiran," terang Amber sebelum menyentak alis. "Lalu, bagaimana denganmu? Apakah terjadi sesuatu selama aku masih di dalam?" Sambil meninggikan sudut bibir, Adam mengecup tangan sang istri. "Percaya atau tidak, aku merasa biasa-biasa saja. Ya, aku kesal melihat wajah Ed. Tapi, mengetahui dia sudah mendapat balasan yang setimpal, aku tidak juga merasa lega. Hanya ... biasa-biasa saja, seperti tidak ada yang berubah."