Share

7. Memutuskan Pergi

Dengan sekuat tenaga, Amber melempar sweater ke arah Tuan Dingin.

“Ini ... kukembalikan milikmu. Maaf kalau aku sudah merusak satu hari dalam hidupmu. Kau tidak perlu memikirkan kerugian yang kutimbulkan. Aku pasti akan membayarnya nanti,” ujar wanita itu dengan nada tegas walau pita suaranya masih dililit kekesalan.

“Mulai sekarang, aku tidak akan mengusik ketenanganmu lagi. Berbahagialah dengan kesendirianmu dalam pondok ini.”

Sedetik kemudian, Amber keluar dan menutup pintu. Tidak ada lagi suara yang terdengar setelah kepergiannya. Tuan Dingin pun ikut menjaga hening. Pisau di tangannya tidak lagi bergerak memotong daun pinus. Selang satu helaan napas berat, barulah ia menoleh ke arah sweater yang tersangkut di pundaknya.

“Jadi, dia memutuskan pergi?” batin laki-laki itu sambil berkedip lambat. “Baguslah. Dengan begitu, aku tidak perlu memikirkan cara untuk membuatnya sengsara lagi.”

Dengan ekspresi datar, Tuan Dingin melangkah menuju kamar. Setibanya di sana, ia membuka kotak merah lalu menyempal sweater putihnya ke dalam. Kemudian, dengan kasar, pria itu melemparnya ke dasar lemari.

“Kau tidak seharusnya keluar dari dalam sana,” gumamnya sebelum membanting pintu dan berjalan keluar.

Seolah tidak terjadi apa-apa, Tuan Dingin kembali memotong daun pinus di dapur. Sorot matanya yang suram sangat sulit untuk ditebak. Apakah pria itu memikirkan teh yang akan diseduhnya? Ketenangan yang ia rindukan selama 24 jam terakhir? Atau nasib wanita yang baru saja meninggalkan pondoknya? Tidak ada yang tahu sebelum pria itu tertunduk dan memejamkan mata.

“Apa yang telah kulakukan?” sesalnya seraya menjepit pangkal hidung. “Bagaimanapun, dia tetap seorang manusia.”

Setelah berdecak satu kali, Tuan Dingin akhirnya meraih mantel dan senter. Selang beberapa saat, ia mulai menembus salju menuju jalan beraspal. Pria itu sama sekali tidak tahu bahwa Amber mengambil arah yang berbeda.

***

“Apakah aku memilih jalur yang salah?” gumam si wanita bermantel putih seraya menyeka hidungnya yang merah. Bukannya menemukan rumah penduduk, ia malah tiba di tepi danau luas yang membeku. “Haruskah aku kembali ke pondok terkutuk itu?”

Selagi berpikir, Amber mendongak menatap langit. Cahaya hijau sedang menari-nari di antara bintang. Namun, bukannya tersenyum, ia malah mendesah pasrah.

“Atau mungkin ... inilah malam terakhir aku hidup? Karena itukah Tuhan memperlihatkan pemandangan seindah ini kepadaku?”

Sembari mendekap diri sendiri lebih erat, Amber menurunkan pandangan. Sesaat kemudian, tatapannya tertuju pada lampu kecil di sisi lain dari danau.

“Tunggu! Apa itu?”

Seraya menyipitkan mata, sang wanita memiringkan kepala. Sinar yang diperhatikannya tampak bergerak-gerak. Dalam sekejap, desah lega mengepulkan uap di udara.

“Itu pasti orang baik yang akan menyelamatkanku! Terima kasih, Tuhan.”

Tanpa berpikir panjang, Amber mulai berlari menyibak timbunan salju di atas danau. “Hei!” teriaknya sembari melambai. Ia ingin berbicara lebih panjang, tetapi energinya terbatas. Takut melewatkan kesempatan, wanita itu pun mempercepat langkah.

Saking bersemangatnya, Amber tidak lagi memperhatikan jalan. Wanita itu tidak sadar bahwa di depan, timbunan salju mendadak hilang dan permukaan danau hanya tertutupi lapisan es tipis. Begitu ia menginjaknya, bunyi retakan langsung terdengar. Sedetik kemudian, Amber tercebur ke dalam air yang sangat dingin.

“Oh, tidak!” batin wanita itu panik. Sambil menggerak-gerakkan badan, ia mencari pijakan. Akan tetapi, dasar danau berada jauh di bawah kakinya.

“Tidak,” desah Amber sembari mencoba menggapai tepian kolam. Malangnya, rasa dingin telah membekukan otot. Tangannya yang gemetar tidak sanggup meraih lapisan es terdekat.

“Ya Tuhan, kenapa hal ini harus terjadi padaku?” pikir wanita itu sambil berusaha berenang. “Aku belum siap mati.”

Selang beberapa saat, ia tidak juga bergerak maju. Mantelnya yang basah terlalu berat untuk dibawa.

“Tolong,” bisik Amber, tidak sanggup berteriak. Bibirnya yang membiru mulai sulit digerakkan dan air sesekali masuk ke dalam mulutnya.

Perlahan-lahan, gerakan wanita itu melemah. Kepalanya pun semakin jarang keluar mengambil udara. Tak berapa lama, Amber kehabisan tenaga. Dengan tangan terulur ke atas, ia mulai turun ke dasar danau.

Melihat sang wanita tidak lagi muncul di permukaan, Tuan Dingin mempercepat lajunya. Begitu hampir tiba, ia bergegas menggigit senter dan menjatuhkan mantel. Kemudian, dengan cekatan, pria itu meraih tangan yang masih berada dalam jangkauannya. Hanya dengan satu sentakan, ia berhasil menarik Amber keluar dari kolam buatannya.

“Nona? Nona!” panggilnya seraya menepuk-nepuk pipi sang wanita.

Tak mendapat jawaban, Tuan Dingin pun mendekatkan telinga ke hidung Amber. Wanita itu ternyata sudah tidak bernapas.

“Gawat!”

Tanpa berpikir panjang, sang pria memberikan napas buatan. Beruntung, Amber akhirnya terbatuk-batuk. Dengan sigap, Tuan Dingin memiringkan kepala wanita itu.

“Ah, syukurlah,” desah si penyelamat tanpa sadar. Dengan lembut, diusapnya punggung sang wanita.

Setelah mengeluarkan air dari paru-parunya, Amber berusaha mengatur napas. Sambil terengah-engah, ia kembali berbaring dengan mata terpejam. Kepala yang terasa berat dan tubuh yang menggigil membuatnya tak berdaya. Wanita itu terus bergeming hingga tiba-tiba, sebuah tangan yang hangat menangkup pipinya.

“Kau hipotermia. Aku harus melepas mantelmu lagi.”

Mendengar penjelasan itu, Amber sontak membuka mata. Namun, belum sempat ia menjawab, Tuan Dingin sudah menurunkan resleting mantelnya.

“Jangan,” desah Amber seraya mengerutkan alis. Ia ingin menghalangi tangan sang pria. Akan tetapi, tenaganya masih terbatas.

“Tenang saja. Di sini gelap. Aku tidak bisa melihat,” bohong sang pria, mencoba menghindari perdebatan.

Terlalu lemah untuk melawan, Amber pun pasrah. Ketika Tuan Dingin memakaikan mantel lain di tubuhnya, ia hanya tertunduk. Bahkan, saat pria itu menggendongnya, mulutnya tetap terkatup.

“Aku akan mengambil mantelmu besok pagi. Tidak akan hilang,” jelas Tuan Dingin di sela desah napas yang bergemuruh. Sedetik kemudian, ia fokus mencari lintasan yang paling minim salju.

Begitu diturunkan ke lantai, Amber langsung meringkuk menghadap pemanas. Meski suhu di dalam pondok jauh lebih hangat, ia tetap saja gemetar.

“Kau baik-baik saja?” tanya sang pria sembari menambah kayu ke dalam perapian.

“Ya,” sahut Amber singkat.

Tak percaya, Tuan Dingin memeriksa sendiri keadaan sang wanita. Begitu menyentuh kulit yang sedingin salju, ia bergegas membuka baju. “Jangan salah paham! Aku hanya ingin menghangatkanmu.”

“Tidak perlu,” sela Amber sambil mencengkeram mantel yang membungkus tubuhnya. “Aku tidak butuh bantuanmu.”

Mengabaikan penolakan itu, sang pria menarik selimut dari sofa dan ikut berbaring miring. “Kemarilah,” bisiknya seraya merapat.

“Kubilang, aku tidak butuh bantuanmu!” hardik Amber dengan suara serak. Sorot matanya yang redup tampak begitu dingin dan menusuk. “Aku sudah berjanji untuk tidak mengganggu ketenanganmu. Jadi, uruslah dirimu sendiri. Aku hanya akan tidur dengan tenang.”

Mendengar suara pedih itu, Tuan Dingin sontak menahan napas. Untuk pertama kalinya dalam dua tahun, hatinya dilanda rasa bersalah.

“Dan kau tidak perlu khawatir. Saat bangun nanti, aku akan langsung pergi dari pondok ini. Aku tidak akan mengusik apa pun di rumahmu.” Setelah menyeka air mata yang mengalir di pelipis, Amber terpejam dan memeluk diri lebih erat. Meski paru-parunya masih menggila, sebisa mungkin ia menahan napas agar tidak menimbulkan kebisingan.

Melihat keteguhan hati sang wanita, Tuan Dingin pun menelan ludah. Setelah sempat bergeming, ia akhirnya menyingkir dan kembali mengenakan pakaian. Dari sofa tidurnya, laki-laki itu memperhatikan punggung yang terus bergetar. Ia tidak berani merapatkan mata kalau Amber belum berhenti mengigil. Si pemilik pondok sadar, kemalangan yang menimpa wanita itu adalah akibat dari keegoisannya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
aviel davine aritonang
free tapi ngak bisa dibuka, hanya sampai bab ini
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status