"Kamu beneran mau nikah sama aku, Mas?" tanyaku waktu itu di saluran telepon yang cukup jernih. Mas arfen meneleponku dari klinik karena katanya masih ada sedikit waktu sebelum berangkat ke rumah sakit. "Yakin, kamu nggak akan menyesal, Mas?" "Iya. Yakin. Kenapa harus menyesal, Sayang?" "Ya, mana tahu kan, Mas?" sahutku sambil melanjutkan menggambar bunga Kamboja merah jambu di buku diary. Itulah uniknya aku. Selain menulis, buku diary juga aku gunakan untuk menggambar apa saja yang kuinginkan. "Kamu kan, dokter spesialis kandungan sedangkan aku, lulus kuliah pun belum. Ini aku baru selesai KKN lho, Mas. Masih harus nyusun skripsi …!" "Nggak masalah itu, Sayang. Memang harus begitu prosesnya. Aku bersedia menunggu sampai kamu lulus kuliah." Aku auto jingkrak-jingkrak di kamar. Seketika hati rapuh oleh traumaku ditumbuhi oleh berjuta-juta kebahagiaan. Berbunga-bunga, manis dan indah. "Serius, Mas? Tapi masih lama banget lho, Mas. Dua semester lagi, lah." "Nggak masalah, Say
Ha, apa, Naufal?Naufal yang itu? Maksudku Naufal yang menyukai aku sejak SMA kelas satu dulu itu? Dia, laki-laki yang sudah membuatku patah hati bahkan sebelum sinyal cinta itu berdenging? Dia malah mati-matian mendekati Abrina. Padahal jelas, aku selalu gila setiap kali bertemu dengannya. Parah tidak sih, kalau seperti itu? Ya, gila. Salah tingkah, mempercantik diri, mempermanis pembawaan, melembut-lembutkan perkataan. Sampai-sampai aku tidak berani bernapas. Takut kalau-kalau mulutku bau bakwan, siomay atau batagor. Ugh, aku juga takut kalau mendadak buang angin, serius. Dan sekarang dia datang. Justru di saat aku sudah menjadi isteri Mas Arfen. Sebenarnya, anak manusia bernama Naufal itu punya hati tidak, sih? Kalau punya, hatinya berisi perasaan atau tidak? "Na---Naufal, Mom?" tanyaku sambil membuka pintu. "Naufal Tasnim?" Mommy memandangku dengan senyum gembira mereka di bibir. "Iya, Naufal teman SMA kamu dulu. Temui dulu, gih. Kasihan dia, jauh-jauh datang dari Bali."Ha, B
Akhirnya karena aku terus-menerus khawatir dan Mama juga rewel, kami berangkat ke rumah sakit. Mbak Sri tidak henti-henti menangis di sisi tempat tidur Mama. Dia mengaku merasa sangat bersalah atas musibah ini tetapi aku tidak menyalahkan sama sekali. Siapa yang dapat menduga? Aku dan Mommy bahkan mau minta tolong Mama untuk datang ke rumah."Mama!" aku berjalan mendekat. "Lekas sembuh, Mama." kataku tersendat-sendat oleh karena menahan tangis. "Maaf, Mirah baru bisa ke sini. Sudah sering kerasa Mama, tapi belum ada bukaan.""Ya, nggak apa-apa. Mama doakan mudah dan lancar semuanya." "Makasih, Mama. Mama sudah makan siang?" Mama menggeleng. Tersenyum sedih, hampir menangis. "Mama keingetan Arfen terus, Mirah. Nggak mikir tapi kepikiran terus. Kangen banget, rasanya di pelupuk mata terus."Aku mengelus dada. Bisa merasakan berapa sedih dan hancurnya Mama atas kecelakaan hukum yang menimpa Mas Arfen. "Ya, Mama. Tapi Mama harus makan, sedikit-sedikit biar cepat sembuh. Mirah suapi ya,
Sumpah, rasanya malu bercampur takut. Jangankan merenggangkan paha seperti yang Dokter Nafsin minta. Untuk menekuk kaki saja rasanya sudah luar biasa. Bersyukur, Mommy dan Bella terus meyakinkan kalau ini adalah hal yang wajar terjadi dalam persalinan. Sempat ragu juga sih, mengingat Bella kan, belum menikah?"Nah, begitu, bagus." kata Dokter Nafsin sambil memegangi lutut kananku. "Tarik napas panjang, biar nggak sakit pas diperiksa.""Hiks …!" lagi, entah untuk yang ke berapa kali aku merengek, malu dan takut. "Yuk, napas panjang …!" Dokter Nafsin memberi contoh. Reflek aku mengikuti sambil memejamkan mata, meyakinkan diri bahwa semuanya dalam keadaan baik-baik saja. All be fine and everything is going to be all right. "Auuuh, Dokter, sakit! Nggak jadi diperiksa saja, Dok. Auuuh …!" Mama terus mengusap-usap kepalaku. "Sabar, sabar. Jangan dirasakan sakitnya."Sementara itu, Bella tertawa tetapi lalu membungkam mulutnya sendiri. "Ups, sorry, Mirah Zeyenk. Aku kelepasan."Dokter Naf
Aku sedang bermain gym ball di teras ketika Bu Bidan datang dengan wajah berseri-seri. Aku dapat melihat ketenangan dalam setiap gesture tubuhnya. Tenang dan sabar untuk lebih tepatnya. "Permisi, benar ini rumah Mbak Mirah?" sapanya sopan, ramah dan hangat. Senyumnya terus terkulum di bibir tipisnya yang dipoles lipstik berwarna merah bata. Serasi dengan kulit kuning langsatnya. "Saya bidan Dokter Nafsin.""Benar, Bu Bidan." jawabku sambil meringis menahan sakit. Kontraksi datang lagi. "Silahkan masuk, Bu Bidan." kataku lagi setelah kontraksi berlalu."Baik, terima kasih, Mbak mirah." gegas wanita muda, sekitar dua tahun di bawahku itu berjalan masuk. "Mari, Mbak Mirah, langsung saya periksa saja!" Perlahan-lahan namun pasti aku berdiri. Bu Bidan membantuku, tentu saja. Detik berikutnya mengikutiku masuk ke kamar melewati ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan dan ruang baca. "Mommy, Bu Bidan sudah datang." kataku memberi tahu. Wanita hebat yang telah membesarkanku seorang diri s
[Halo, Sayang!] [How are you today?][Buket bunga aku sudah sampai kan, Sayang?][Gimana, suka?] Chat romantis Mas Arfen kembali terbayang dalam benakku. Mengganggu, mengobrak-abrik suasana hati yang mulai tenang. [Oh ya, buku motivasi Menikah Muda Perjuangan Terindah juga sudah sampai, kan?][Aku sengaja hunting di toko buku lho, Sayang. Buat kamu.]Sengaja. Aku sengaja tidak membalas chat Mas Arfen. Biasanya kalau sudah seperti itu, Mas Arfen akan menelepon, mengobrol sampai berjam-jam. Pernah lho, Mas Arfen lupa mematikan teleponnya karena ada pasien datang dengan pembukaan lengkap dan pecah ketuban. Ya, aku juga tidak mematikan. Terus mendengarkan sampai bayinya lahir. Dari sanalah aku tahu kalau Mas Arfen dokter spesialis kandungan yang penyabar. Pasiennya menjerit-jerit kesakitan dan berteriak-teriak saja dia bisa sabar. So sweet, bukan? Oh, hampir saja aku menjerit. Bukan hanya karena menahan kontraksi tetapi juga bayangan Mas Arfen dan seluruh kenangan bersamanya yang mem
Semua terjadi begitu cepat. Dokter Nafsin memasang jarum infus di punggung tangan kiriku. Bella memberiku susu kental manis. Mommy memberiku air kelapa muda setelah itu dan Brilliant mondar-mandir di depan pintu kamar. Sebagai lelaki yang belum menikah tetapi berempati tinggi, pasti dia cemas sekali. Situasi ini memang luar biasa. Lebih dari genting berlipat-lipat. "Saya mau pipis, Dokter." kataku dengan jujur dan apa adanya. "Oh, ya? Pipis di sini saja, Bu Mirah.""Malu, Dokter." Dokter Nafsin tertawa lirih. "Nggak perlu malu, Bu Mirah. Ini hal yang biasa terjadi. Pipis saja, jangan ditahan atau perlu saya sedot pakai selamg kateter?""Emh!"Mommy yang baru masuk kembali entah dari mana, langsung mendekat ke kepala tempat tidur. "Bagaimana, Dokter?""Nunggu kepala bayinya sandar, Bu. Masih agak tinggi ini. Nggak bagus kalau Bu Mirah ngeden dari sekarang. Nanti jalan lahirnya bisa bengkak. Kalau bengkak, mempersulit lolosnya kepala bayi nan---""Aaaaaaa …!" tak sanggup rasanya, kal
Time flies so fast!Enam bulan sudah berlalu dari sejak kelahiran Baby Twins, Tulip dan Olive. Aku sudah kembali ke rumah Mama karena semenjak kakinya patah, Mama jadi sering sakit-sakitan. Benar, ada Mbak Sri tetapi yang lebih berhak untuk merawat Mama kan, aku? Selain itu, Mommy sudah menikah lagi dengan cinta monyetnya dulu, Om Damar dan ikut pindah ke Belanda. Om Danar bekerja di Kedutaan Besar Indonesia yang ada di sana. Sejujurnya aku lebih dari syok, tahu Mama menyimpan rahasia itu. Bayangkanlah! Ternyata mereka berpacaran lagi seratus hari setelah Daddy meninggal dunia. Gila tidak, sih? Bagiku seratus hari itu waktu yang sangat singkat. Tanah kuburan Daddy pun masih basah. Ya, tetapi aku bisa apa? Waktu aku konfirmasi, Mommy mengatakan kalau dia dan Om Damar sudah berkomitmen, hanya akan menikah kalau aku sudah menikah. "Walaupun pernikahan Mirah berantakan seperti ini, Mommy?" secara tidak langsung aku mengajukan protes waktu itu. "Memangnya Mommy tega meninggalkan Mirah