Share

3. Menantu Penebus Utang

Author: Setia_AM
last update Last Updated: 2021-05-15 00:16:53

Marcel mendengar cerita lengkapnya dari Eli. Ternyata pagi itu Marcel ditemukan dalam keadaan pingsan oleh penjaga rumah, dan langsung dibawa ke rumah sakit karena tidak ditemukan tanda-tanda kehidupan dalam nadinya.

“Semua orang sudah berpikir yang tidak-tidak,” ucap Eli dengan wajah tegang, seakan kejadian itu baru saja terjadi kemarin hari. “Pak Marcel sama sekali tidak bergerak, pucat, dengan mata terpejam rapat ....”

Marcel bergidik, kenapa ceritanya terlihat lebih mengerikan dari kacamata orang lain?

“Tapi syukurlah Pak Marcel bisa sembuh dengan sangat cepat,” sambung Eli dengan wajah luar biasa lega. “Bahkan bisa beraktivitas seperti biasanya.”

Marcel yang baru saja membantu tukang kebun membabat alang-alang, mengangguk samar sambil beristirahat sejenak. Eli menuang dua cangkir teh hangat untuknya dan tukang kebun yang masih bekerja.

“Pak Marcel masih kuat?” tanya Mail, tukang kebun yang bekerja sedari pagi dengan Marcel.

“Masih, Pak!” angguk Marcel sambil tersenyum.

“Jangan dipaksakan, Bapak kan habis sakit.” Mail mengingatkan. “Sisanya biar saya yang selesaikan.”

“Terima kasih, Pak!” ucap Marcel, dia menghabiskan tehnya kemudian berdiri.

Setibanya di dalam rumah, dia disambut Ciko. Kakak kedua Shirley ini merupakan orang yang paling sering mengusiknya.

“Percobaan bunuh diri yang gagal ya?” Cemooh Ciko. “Kasihan, itu karena nyawa kamu masih terikat kontrak sama keluarga kami! Kecuali kamu lunasi utang-utang ayah ibu kamu, setelah itu kamu bisa bebas melenyapkan nyawamu!”

Marcel tidak menanggapi kalimat jahat yang dilontarkan Ciko kepadanya. Siapapun tahu, bahwa dia memang menjadi alat penebus utang atas kerugian yang ditimbulkan kedua orang tuanya terhadap keluarga Delvino.

“Cel, ke sini cepat!” teriak Shirley dari arah lantai dua kamar mereka.

Marcel segera berlari melompati anak tangga sekaligus dua sehingga cepat sampai di depan kamar Shirley.

“Ada apa teriak-teriak?” tanya Marcel kepada istrinya, dia selalu kagum dengan suara keras Shirley yang menjangkau bagian ruangan manapun di dalam rumah ini.

“Cepat kamu bawa baju-baju kotor aku ke belakang, kamu yang cuci ya?” perintah Shirley sambil menyodorkan sekeranjang pakaian kotor ke arah Marcel. “Ini ada gaun yang gampang rusak kalau pakai mesin cuci, jadi kamu harus kucek pakaian aku menggunakan tangan kamu. Ingat ya?”

Marcel tidak memiliki jawaban lain kecuali iya.

Setelah itu pekerjaan rumah tiada henti ditimpakan ke puncak Marcel oleh kakak-kakak iparnya, meskipun di rumah itu ada banyak pelayan yang bisa mereka suruh dengan leluasa.

Namun, mereka sengaja memerintah Marcel yang tinggal di sana sebagai penebus utang orang tuanya. Sehingga mulai dari pekerjaan berat sampai pekerjaan yang remeh temeh pun akan mereka bebankan kepada Marcel dan dianggap sebagai cicilan utang yang sah.

Ya, Marcel yang tidak punya warisan uang sepeser pun terpaksa menebus utang ayah ibunya menggunakan waktu dan tenaga yang dia miliki.

“Aku sudah selesai mengerjakan tugas-tugas rumah, jadi aku mau ke lab sebentar.” Marcel memberi tahu Eli. “Tolong sampaikan ke Bi Nana kalau dia atau yang lain tanya aku ke mana.”

“Baik, Pak!” angguk Eli. Dahulu dia dan pelayan lain sempat memanggil Marcel dengan sebutan tuan, tapi Ronnie melarang mereka.

“Dia memang menantu di rumah ini, tapi menantu yang jadi penebus utang.” Ronnie menjelaskan kepada para pelayannya ketika itu. “Jadi jangan ada yang memanggilnya tuan, ingat itu!”

Secara pribadi Marcel tidak mempermasalahkannya, dia justru muak jika ada yang memanggilnya dengan sebutan tuan.

***

Setibanya di lab yang berada di ruang bawah tanah kediaman Delvino, Marcel segera mengacak-acak lemari kaca yang berisi berkas-berkas tak terurus semenjak kepergian orang tuanya.

Menurut cerita, di lab itulah ayah dan ibu Marcel sering melakukan penelitian terhadap formula yang digadang-gadang bisa memperpanjang umur manusia. Namun, karena percobaan mereka tidak kunjung ada yang berhasil, maka keluarga Delvino menarik kembali uang mereka dan menuntut ganti rugi atas sebagian dana yang telanjur digunakan untuk percobaan itu.

“Ayah dan ibumu meninggalkan banyak berkas di sana,” kata Herman suatu kali. “kamu bisa memeriksanya kapan saja kamu mau.”

Dan di sinilah Marcel berada sekarang, di tengah tumpukan berkas-berkas yang menggunung dan penuh dengan coretan tangan kedua orang tuanya.

Selama beberapa saat, Marcel fokus membaca secara acak jurnal penelitian yang pernah mereka lakukan di lab. Selain itu, dia juga menemukan surat wasiat yang menyatakan bahwa Marcel berhak atas lab tersebut.

“Bukannya mereka belum meninggal?” gumam Marcel sambil geleng-geleng kepala. “Warisan macam apa ini?”

Tentu saja Marcel tak habis pikir kenapa kedua orang tuanya mewariskan sebuah lab kotor beserta tabung-tabung yang berisi cairan kimia sedangkan dia sendiri tidak mengerti untuk apa semua itu.

Namun, tunggu! Kedua mata Marcel mendadak melihat kalimat lain yang ditulis dengan jelas oleh ayahnya. Dia mulai membaca ulang kalimat demi kalimat yang tertera di dalam surat wasiat itu.

Ternyata mereka tidak hanya mewariskan sebuah lab bekas kepada Marcel, tapi juga lengkap dengan seorang ilmuwan yang bernama Meru dan putrinya, Venya.

“Apa? Melanjutkan kembali penelitian orang tua kamu?” Herman mengernyit ketika Marcel menghadap kepadanya di ruang kerja. “Untuk apa?”

Marcel berpikir sebentar, dia sendiri tidak tahu alasan pasti kenapa dirinya tertarik untuk melanjutkan penelitian kedua orangtuanya.

“Aku pikir tidak ada salahnya, Yah.” Marcel menjawab. “Karena ternyata orang tuaku juga meninggalkan seorang ilmuwan dan putrinya untuk ....”

Marcel menghentikan ucapannya ketika Herman tersenyum seolah meremehkan rencananya.

“Apakah ilmuwan yang kamu maksud adalah Pak Meru?” tebak Herman.

Marcel mengangguk dan berkata, “Betul, pak Meru dan juga putrinya yang bernama Venya.”

Herman kini tak tanggung-tanggung lagi melepaskan tawanya.

“Yang harus kamu tahu tentang Pak Meru adalah bahwa dia menjadi gila sejak orang tua kamu meninggalkan lab,” ujar Herman lambat-lambat. “Terus apa yang kamu harapkan dari seorang ilmuwan yang gila?”

Marcel terdiam cukup lama mendengar penjelasan mertuanya.

“Mungkin aku bisa minta tolong putrinya,” sahut Marcel kemudian. “Aku akan tetap mencobanya, Yah. Siapa tahu ada satu-dua penemuan orang tua aku yang berhasil, setidaknya itu bisa mengembalikan sebagian kerugian yang mereka timbulkan.”

Herman menarik napas panjang.

“Terserah kamu saja,” katanya tidak berminat. “Tapi saya pastikan kalau saya tidak akan mengundurkan sepeser pun dana lagi untuk membiayai penelitian kamu, sebaliknya kerugian akan bertambah besar seandainya penelitian yang kamu lakukan itu menimbulkan dampak yang tidak bagus di lingkungan rumah ini.”

Marcel tertegun, dia yang merupakan lulusan bisnis mana paham formula racikan kimiawi.

“Kalau kamu tidak berani ya tidak usah,” tegas Herman. “Risikonya tinggi, seluruh hidup kamu belum tentu cukup untuk melunasi semua utang mereka.”

Marcel menarik napas, kemudian pamit pergi dari hadapan Herman. Jujur nalurinya terusik setelah dia membaca apa saja warisan yang ditinggalkan ayah ibunya.

Bersambung—

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    116 Tetap Ingin Bercerai

    Untuk meluapkan kemarahannya yang tertahan, Shirley memilih untuk mendatangi ruang kerja Herman detik itu juga.Sebenarnya Shirley tergoda sekali ingin menghakimi Marcel sendiri untuk pertama kali, tetapi dia mengurungkannya karena masih memikirkan nama baik sang ayah.Setibanya di ruang kerja, Shirley segera memberi tahu kedatangan Marcel.“Ayah dan Ibu sebaiknya cepat turun, Marcel menunggu.” “Ada Marcel? Ini benar-benar kejutan.” Herman segera berdiri dari duduknya.“Ayo kita semua turun, kita harus berbaik-baik kepada Marcel kalau tidak ingin tambang emas kita hilang untuk kesekian kalinya ....""Aku akan siapkan jamuan untuk Marcel," sahut Reina tidak sabar, dan wanita itupun segera berlalu pergi untuk memerintahkan pelayan menyiapkan teh.Selama menunggu, Marcel sibuk memainkan gawainya. Dia sempat berpikir untuk membahas perceraian dengan Shirley setelah menyelesaikan urusan orang tuanya. Setelah beberapa saat menunggu, Herman dan istrinya muncul bersama Shirley di hadapan Ma

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    115 Lino yang Sebenarnya

    Shirley bertopang dagu sambil memandang ke arah sahabatnya.“Aku malah mikirnya begini, bagaimana kalau ternyata Lino itu adalah Marcel yang menyamar?” ujar Shirley lambat-lambat. “Siapa yang tahu, kan? Dia sengaja pura-pura jadi orang lain karena mau balas dendam sama aku, dengan cara menggulingkan perusahaan ayah.”Elen terbengong-bengong saat mendengar ucapan Shirley yang mulai ke mana-mana.“Kamu ini Bu, kebanyakan nonton drama!” seloroh Elen sambil geleng-geleng kepala. “Saya jadi penasaran seperti apa wajah si Lino itu.”“Percaya deh sama aku, dia itu sebelas dua belas sama Marcel!” Shirley terus-menerus berusaha meyakinkan Elen.“Maaf ya Bu, tapi saya tidak percaya kalau belum bertemu sama orang yang kamu maksud itu.” Elen menghela napas. “Sudahlah, mungkin kamu terlalu sibuk kerja. Stres kan jadinya lama-lama.”“Enak aja, aku tidak stres!” sergah Shirley tidak terima. “Aku hanya gila kalau aku tidak segera tahu siapa Linocemar yang sebenarnya.”Elen melambaikan tangan kepada s

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    114 Mirip dengan Seseorang

    “Kamu tidak perlu bersandiwara di depanku, Cel. Jadi kamu sengaja bersembunyi?” kata Shirley tanpa mempersilakan pria itu duduk. “Terus tiba-tiba kamu datang lagi buat menghancurkan hidup aku?”“Kamu ini bicara apa, sih? Aku Lino, perwakilan dari Aldians untuk menemui Bu Shirley.” Pria itu menegaskan. “Baik, kalau memang tidak ada pembahasan yang penting, aku akan menghubungi sekretarisnya lain waktu.”Pria itu berbalik dan Shirley segera berdiri untuk mencegahnya pergi.“Tunggu dulu!” seru Shirley tertahan hingga pria itu menghentikan langkahnya dan berbalik.“Ada apa lagi?”“Maaf ... sepertinya aku ... kita lanjut,” kata Shirley terbata-bata. “Jadi kamu ini adalah ... Pak Lino yang rencananya bertemu sama aku?”Pria itu menatap Shirley lurus-lurus.“Ya,” sahutnya pendek.Shirley menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.“Silakan duduk Pak,” pinta Shirley sopan meskipun dia masih setengah shock. “Saya Shirley, CEO dari Delvinos yang mengundang kamu.”Pria bernama Lino itu menatap S

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    113 Tinggal Selangkah Lagi

    Semakin tinggi pohon, semakin kencang pula anginnya. Begitu juga dengan perusahaan Herman yang selama beberapa waktu ini dinobatkan sebagai perusahaan raksasa yang berkibar. "Bu Shirley, Pak Erlan membatalkan kerja sama kita dan memilih kontrak kerja dengan perusahaan lain." Fira melaporkan hasil pembicaraannya kepada Shirley menjelang waktu makan siang. "Apa? Batal?" Shirley mendongak dari pekerjaannya. "Kamu tahu siapa perusahaan yang menyaingi kita?"Fira menganggukkan kepalanya. "Perusahaan milik seorang pengusaha single dan pintar .... ""Fira, saya tanya nama perusahaan yang menyaingi kita. Bukan status pemilik perusahaannya," tukas Shirley yang telinganya paling sensitif jika mendengar kata single. "Maaf Bu, tapi saya sering mendengar orang-orang membahasnya," sahut Fira salah tingkah. "Membahas soal status pemiliknya?" tanya Shirley lagi. "Bukan Bu, mereka hanya sering menyebutnya bos single kaya." Fira menjelaskan. "Dia memimpin dua perusahaan besar dan salah satunya be

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    112 Mengembangkan Sesuatu

    “Jangan memandang ibu saya seperti itu,” kata Elen, kali ini dengan nada yang begitu dingin sementara tatapan matanya tajam memperingatkan Shirley agar lebih menjaga sikap.“Hai, Bu ...?” sapa Shirley dengan mimik terpaksa. “Apa ... Ibu tinggal di sini?”Elen hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sudah tahu kalau ini adalah kediaman orang tuanya ... masih juga dia bertanya.“Iya, sejak Elen masih bayi merah.” Ibu Elen menyahut sambil tersenyum. “Masuk dulu, Bu?”Shirley sebenarnya ingin menolak, tapi Elen mengingatkannya soal Pak Herman dari sudut bibirnya nyaris tanpa suara.“Di sini saja, Bu.” Shirley terpaksa menganggukkan kepala sambil berjalan mendekati bangku kayu panjang yang ada di depan warung lalu meniup-niup bangku kayu sebelum dia duduki, seakan ada debu setebal satu senti di atasnya.“Bisa tidak sih kamu tidak perlu seperti itu?” tanya Elen tersinggung. “Keluarga saya memang sangat sederhana, tapi kami selalu jaga kebersihan soal rumah.”Shirley tidak menanggapi dan senga

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    111 Kena Pelet Apa Kalian

    Kali ini, Jena tidak tertawa seperti biasanya jika mendengar Shirley menghujat orang.“Shierly, dia kan relasi bisnis kamu.” Jena mengingatkan. “Paling tidak, hormatilah dia sedikit.”Shirley mengangkat sebelah alisnya ke arah pantulan Jena di cermin besar yang ada di depannya.“Kamu belain Elen?” tanyanya sambil menyipit curiga.“Bukannya belain, tapi memang dia itu relasi bisnis kamu kan?” tanya Jena balik. “Ya aku kasihan saja sih lihat dia, aku lihat dia baik dan tidak aneh-aneh ....”“Terus?” pancing Shirley sinis.“Kasihan saja sih, lihat kamu galak sama dia terus.” Jena mengangkat bahu. “Tidak ada maksud apa-apa.”Shirley mengembuskan napas keras dan tidak berkata apa-apa.Beberapa saat kemudian ....Saat rambut Shirley selesai dibilas dan sedang dalam proses pengeringan, Elen muncul dengan rambut yang sudah tidak selepek sebelumnya. “Hei, ngapain kamu masuk-masuk tanpa izin?” hardik Shirley, mengagetkan beberapa pengunjung salon yang sedang menikmati layanan para kapster.Leb

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    110 Shirley Adalah Putri Bos

    “Karena saya cuma pegawai,” jawab Elen. “Tapi Shirley bukanlah atasan kamu,” kata Marcel menegaskan. “Di perusahaan itu kalian berdua sama-sama CEO, kamu sama Shirley sederajat di mata Pak Herman.”Elen tidak segera menjawab.“Tapi ... tetap saja bagi Bu Shirley, saya hanyalah pegawai kelas rendah dan akan selamanya seperti itu.” Dia memandang Marcel. “Seandainya Bu Shirley bukan putri bos, mungkin saya akan melawannya.”Marcel tersenyum singkat mendengar pengakuan Elen.“Jadi sebenarnya kamu punya kemampuan untuk melawan Shirley,” komentar Marcel lugas. “Tapi kamu sendiri yang menolak menggunakan kesempatan itu, padahal kamu bisa.”“Tapi ...” Elen tidak menemukan kata-kata yang pas untuk menanggapi.“Dengarkan saya, Elen. Kamu dan Shirley sudah dikasih kesempatan untuk kerja sama, jadi saya minta tolong.” Marcel menyela sambil menatap Elen dengan serius. “Tolong bantu saya untuk mencari tahu keseluruhan bisnis yang dikembangkan keluarga istri saya.”“Apa, Pak?” Elen membelalakkan ma

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    109 Saya Mundur Saja

    “Wah, wah, senang sekali melihat kalian berdua akrab seperti ini.” Tanpa diduga, Herman muncul saat ceramah Shirley masih berlangsung.“Pak?” Elen cepat-cepat berdiri untuk menyambutnya. “Yah, lihat deh. Elen mau beli mobil,” tunjuk Shirley sambil memandang ayahnya. “Calon sekretaris pilihan ayah sudah mulai naik kelas rupanya ....”“Shirley, biasakan menyebut nama orang dengan baik.” Herman menegur putrinya. “Soal mobil, tidak ada yang salah dengan hal itu kan?”Shirley mengangkat bahunya dan berpikir bahwa ayahnya sama sekali tidak sependapat dengannya.“Kenapa kamu tidak pergi ke ruangan kamu sendiri?” tanya Herman sambil memandang putrinya. “Atau kamu memang berniat mendekatkan diri sama sekretaris kamu? Ayah akan izinkan kalau itu tujuan kamu.”“Tidak deh, Yah.” Shirley menggelengkan kepalanya sambil berdiri dari kursinya. “Mungkin Ayah yang sebenarnya mau mengenal si kampung lebih dekat ....”“Shirley, berapa kali papa harus tegur kamu supaya menyebut nama orang dengan benar?”

  • Menantu Hina Itu Ternyata Ahli Obat    108 Memutuskan Ikatan Kerja Sama

    Sekeras apa pun usaha Shirley untuk menolak rencana itu, tetap saja ayahnya tidak akan membatalkan rencana yang sudah dia susun sejak lama.“Apa sih Ayah lihat dari Elen?” tanya Shirley tidak habis pikir. “Kalau Ayah memang mau aku berkarir, biar aku yang cari sekretaris sendiri.”“Memangnya kamu bisa menjamin kalau sekretaris yang kamu pilih itu adalah orang baik-baik?” tanya Herman sambil memandang putrinya lekat-lekat. “Paling juga dia hanya mau sama kekayaan Ayah saja ....”“Apa Ayah pikir Elen juga tidak begitu?” sahut Shirley dengan napas memburu. “Dia kan dari keluarga pas-pasan, jelas saja dia tidak menolak jabatan ini.”“Elen menolak kok,” kata Herman tenang. “Apa?” Shirley terpaku. “Dia menolak ...? Sombong amat, tapi baguslah. Itu berarti Ayah tidak perlu lagi memaksakan kerja sama ini.”Herman menarik napas.“Justru karena Elen menolak, makanya ayah akan tetap meneruskan rencana kerja sama kalian.” Dia menyahut. “Justru ini yang ayah harapkan, kamu mendapatkan sekretaris

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status