Share

3. Menantu Penebus Utang

Marcel mendengar cerita lengkapnya dari Eli. Ternyata pagi itu Marcel ditemukan dalam keadaan pingsan oleh penjaga rumah, dan langsung dibawa ke rumah sakit karena tidak ditemukan tanda-tanda kehidupan dalam nadinya.

“Semua orang sudah berpikir yang tidak-tidak,” ucap Eli dengan wajah tegang, seakan kejadian itu baru saja terjadi kemarin hari. “Pak Marcel sama sekali tidak bergerak, pucat, dengan mata terpejam rapat ....”

Marcel bergidik, kenapa ceritanya terlihat lebih mengerikan dari kacamata orang lain?

“Tapi syukurlah Pak Marcel bisa sembuh dengan sangat cepat,” sambung Eli dengan wajah luar biasa lega. “Bahkan bisa beraktivitas seperti biasanya.”

Marcel yang baru saja membantu tukang kebun membabat alang-alang, mengangguk samar sambil beristirahat sejenak. Eli menuang dua cangkir teh hangat untuknya dan tukang kebun yang masih bekerja.

“Pak Marcel masih kuat?” tanya Mail, tukang kebun yang bekerja sedari pagi dengan Marcel.

“Masih, Pak!” angguk Marcel sambil tersenyum.

“Jangan dipaksakan, Bapak kan habis sakit.” Mail mengingatkan. “Sisanya biar saya yang selesaikan.”

“Terima kasih, Pak!” ucap Marcel, dia menghabiskan tehnya kemudian berdiri.

Setibanya di dalam rumah, dia disambut Ciko. Kakak kedua Shirley ini merupakan orang yang paling sering mengusiknya.

“Percobaan bunuh diri yang gagal ya?” Cemooh Ciko. “Kasihan, itu karena nyawa kamu masih terikat kontrak sama keluarga kami! Kecuali kamu lunasi utang-utang ayah ibu kamu, setelah itu kamu bisa bebas melenyapkan nyawamu!”

Marcel tidak menanggapi kalimat jahat yang dilontarkan Ciko kepadanya. Siapapun tahu, bahwa dia memang menjadi alat penebus utang atas kerugian yang ditimbulkan kedua orang tuanya terhadap keluarga Delvino.

“Cel, ke sini cepat!” teriak Shirley dari arah lantai dua kamar mereka.

Marcel segera berlari melompati anak tangga sekaligus dua sehingga cepat sampai di depan kamar Shirley.

“Ada apa teriak-teriak?” tanya Marcel kepada istrinya, dia selalu kagum dengan suara keras Shirley yang menjangkau bagian ruangan manapun di dalam rumah ini.

“Cepat kamu bawa baju-baju kotor aku ke belakang, kamu yang cuci ya?” perintah Shirley sambil menyodorkan sekeranjang pakaian kotor ke arah Marcel. “Ini ada gaun yang gampang rusak kalau pakai mesin cuci, jadi kamu harus kucek pakaian aku menggunakan tangan kamu. Ingat ya?”

Marcel tidak memiliki jawaban lain kecuali iya.

Setelah itu pekerjaan rumah tiada henti ditimpakan ke puncak Marcel oleh kakak-kakak iparnya, meskipun di rumah itu ada banyak pelayan yang bisa mereka suruh dengan leluasa.

Namun, mereka sengaja memerintah Marcel yang tinggal di sana sebagai penebus utang orang tuanya. Sehingga mulai dari pekerjaan berat sampai pekerjaan yang remeh temeh pun akan mereka bebankan kepada Marcel dan dianggap sebagai cicilan utang yang sah.

Ya, Marcel yang tidak punya warisan uang sepeser pun terpaksa menebus utang ayah ibunya menggunakan waktu dan tenaga yang dia miliki.

“Aku sudah selesai mengerjakan tugas-tugas rumah, jadi aku mau ke lab sebentar.” Marcel memberi tahu Eli. “Tolong sampaikan ke Bi Nana kalau dia atau yang lain tanya aku ke mana.”

“Baik, Pak!” angguk Eli. Dahulu dia dan pelayan lain sempat memanggil Marcel dengan sebutan tuan, tapi Ronnie melarang mereka.

“Dia memang menantu di rumah ini, tapi menantu yang jadi penebus utang.” Ronnie menjelaskan kepada para pelayannya ketika itu. “Jadi jangan ada yang memanggilnya tuan, ingat itu!”

Secara pribadi Marcel tidak mempermasalahkannya, dia justru muak jika ada yang memanggilnya dengan sebutan tuan.

***

Setibanya di lab yang berada di ruang bawah tanah kediaman Delvino, Marcel segera mengacak-acak lemari kaca yang berisi berkas-berkas tak terurus semenjak kepergian orang tuanya.

Menurut cerita, di lab itulah ayah dan ibu Marcel sering melakukan penelitian terhadap formula yang digadang-gadang bisa memperpanjang umur manusia. Namun, karena percobaan mereka tidak kunjung ada yang berhasil, maka keluarga Delvino menarik kembali uang mereka dan menuntut ganti rugi atas sebagian dana yang telanjur digunakan untuk percobaan itu.

“Ayah dan ibumu meninggalkan banyak berkas di sana,” kata Herman suatu kali. “kamu bisa memeriksanya kapan saja kamu mau.”

Dan di sinilah Marcel berada sekarang, di tengah tumpukan berkas-berkas yang menggunung dan penuh dengan coretan tangan kedua orang tuanya.

Selama beberapa saat, Marcel fokus membaca secara acak jurnal penelitian yang pernah mereka lakukan di lab. Selain itu, dia juga menemukan surat wasiat yang menyatakan bahwa Marcel berhak atas lab tersebut.

“Bukannya mereka belum meninggal?” gumam Marcel sambil geleng-geleng kepala. “Warisan macam apa ini?”

Tentu saja Marcel tak habis pikir kenapa kedua orang tuanya mewariskan sebuah lab kotor beserta tabung-tabung yang berisi cairan kimia sedangkan dia sendiri tidak mengerti untuk apa semua itu.

Namun, tunggu! Kedua mata Marcel mendadak melihat kalimat lain yang ditulis dengan jelas oleh ayahnya. Dia mulai membaca ulang kalimat demi kalimat yang tertera di dalam surat wasiat itu.

Ternyata mereka tidak hanya mewariskan sebuah lab bekas kepada Marcel, tapi juga lengkap dengan seorang ilmuwan yang bernama Meru dan putrinya, Venya.

“Apa? Melanjutkan kembali penelitian orang tua kamu?” Herman mengernyit ketika Marcel menghadap kepadanya di ruang kerja. “Untuk apa?”

Marcel berpikir sebentar, dia sendiri tidak tahu alasan pasti kenapa dirinya tertarik untuk melanjutkan penelitian kedua orangtuanya.

“Aku pikir tidak ada salahnya, Yah.” Marcel menjawab. “Karena ternyata orang tuaku juga meninggalkan seorang ilmuwan dan putrinya untuk ....”

Marcel menghentikan ucapannya ketika Herman tersenyum seolah meremehkan rencananya.

“Apakah ilmuwan yang kamu maksud adalah Pak Meru?” tebak Herman.

Marcel mengangguk dan berkata, “Betul, pak Meru dan juga putrinya yang bernama Venya.”

Herman kini tak tanggung-tanggung lagi melepaskan tawanya.

“Yang harus kamu tahu tentang Pak Meru adalah bahwa dia menjadi gila sejak orang tua kamu meninggalkan lab,” ujar Herman lambat-lambat. “Terus apa yang kamu harapkan dari seorang ilmuwan yang gila?”

Marcel terdiam cukup lama mendengar penjelasan mertuanya.

“Mungkin aku bisa minta tolong putrinya,” sahut Marcel kemudian. “Aku akan tetap mencobanya, Yah. Siapa tahu ada satu-dua penemuan orang tua aku yang berhasil, setidaknya itu bisa mengembalikan sebagian kerugian yang mereka timbulkan.”

Herman menarik napas panjang.

“Terserah kamu saja,” katanya tidak berminat. “Tapi saya pastikan kalau saya tidak akan mengundurkan sepeser pun dana lagi untuk membiayai penelitian kamu, sebaliknya kerugian akan bertambah besar seandainya penelitian yang kamu lakukan itu menimbulkan dampak yang tidak bagus di lingkungan rumah ini.”

Marcel tertegun, dia yang merupakan lulusan bisnis mana paham formula racikan kimiawi.

“Kalau kamu tidak berani ya tidak usah,” tegas Herman. “Risikonya tinggi, seluruh hidup kamu belum tentu cukup untuk melunasi semua utang mereka.”

Marcel menarik napas, kemudian pamit pergi dari hadapan Herman. Jujur nalurinya terusik setelah dia membaca apa saja warisan yang ditinggalkan ayah ibunya.

Bersambung—

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status