Marcel mendengar cerita lengkapnya dari Eli. Ternyata pagi itu Marcel ditemukan dalam keadaan pingsan oleh penjaga rumah, dan langsung dibawa ke rumah sakit karena tidak ditemukan tanda-tanda kehidupan dalam nadinya.
“Semua orang sudah berpikir yang tidak-tidak,” ucap Eli dengan wajah tegang, seakan kejadian itu baru saja terjadi kemarin hari. “Pak Marcel sama sekali tidak bergerak, pucat, dengan mata terpejam rapat ....”Marcel bergidik, kenapa ceritanya terlihat lebih mengerikan dari kacamata orang lain?“Tapi syukurlah Pak Marcel bisa sembuh dengan sangat cepat,” sambung Eli dengan wajah luar biasa lega. “Bahkan bisa beraktivitas seperti biasanya.”Marcel yang baru saja membantu tukang kebun membabat alang-alang, mengangguk samar sambil beristirahat sejenak. Eli menuang dua cangkir teh hangat untuknya dan tukang kebun yang masih bekerja.“Pak Marcel masih kuat?” tanya Mail, tukang kebun yang bekerja sedari pagi dengan Marcel.“Masih, Pak!” angguk Marcel sambil tersenyum.“Jangan dipaksakan, Bapak kan habis sakit.” Mail mengingatkan. “Sisanya biar saya yang selesaikan.”“Terima kasih, Pak!” ucap Marcel, dia menghabiskan tehnya kemudian berdiri.Setibanya di dalam rumah, dia disambut Ciko. Kakak kedua Shirley ini merupakan orang yang paling sering mengusiknya.“Percobaan bunuh diri yang gagal ya?” Cemooh Ciko. “Kasihan, itu karena nyawa kamu masih terikat kontrak sama keluarga kami! Kecuali kamu lunasi utang-utang ayah ibu kamu, setelah itu kamu bisa bebas melenyapkan nyawamu!”Marcel tidak menanggapi kalimat jahat yang dilontarkan Ciko kepadanya. Siapapun tahu, bahwa dia memang menjadi alat penebus utang atas kerugian yang ditimbulkan kedua orang tuanya terhadap keluarga Delvino.“Cel, ke sini cepat!” teriak Shirley dari arah lantai dua kamar mereka.Marcel segera berlari melompati anak tangga sekaligus dua sehingga cepat sampai di depan kamar Shirley.“Ada apa teriak-teriak?” tanya Marcel kepada istrinya, dia selalu kagum dengan suara keras Shirley yang menjangkau bagian ruangan manapun di dalam rumah ini.“Cepat kamu bawa baju-baju kotor aku ke belakang, kamu yang cuci ya?” perintah Shirley sambil menyodorkan sekeranjang pakaian kotor ke arah Marcel. “Ini ada gaun yang gampang rusak kalau pakai mesin cuci, jadi kamu harus kucek pakaian aku menggunakan tangan kamu. Ingat ya?”Marcel tidak memiliki jawaban lain kecuali iya.Setelah itu pekerjaan rumah tiada henti ditimpakan ke puncak Marcel oleh kakak-kakak iparnya, meskipun di rumah itu ada banyak pelayan yang bisa mereka suruh dengan leluasa.Namun, mereka sengaja memerintah Marcel yang tinggal di sana sebagai penebus utang orang tuanya. Sehingga mulai dari pekerjaan berat sampai pekerjaan yang remeh temeh pun akan mereka bebankan kepada Marcel dan dianggap sebagai cicilan utang yang sah.Ya, Marcel yang tidak punya warisan uang sepeser pun terpaksa menebus utang ayah ibunya menggunakan waktu dan tenaga yang dia miliki.“Aku sudah selesai mengerjakan tugas-tugas rumah, jadi aku mau ke lab sebentar.” Marcel memberi tahu Eli. “Tolong sampaikan ke Bi Nana kalau dia atau yang lain tanya aku ke mana.”“Baik, Pak!” angguk Eli. Dahulu dia dan pelayan lain sempat memanggil Marcel dengan sebutan tuan, tapi Ronnie melarang mereka.“Dia memang menantu di rumah ini, tapi menantu yang jadi penebus utang.” Ronnie menjelaskan kepada para pelayannya ketika itu. “Jadi jangan ada yang memanggilnya tuan, ingat itu!”Secara pribadi Marcel tidak mempermasalahkannya, dia justru muak jika ada yang memanggilnya dengan sebutan tuan.***Setibanya di lab yang berada di ruang bawah tanah kediaman Delvino, Marcel segera mengacak-acak lemari kaca yang berisi berkas-berkas tak terurus semenjak kepergian orang tuanya.Menurut cerita, di lab itulah ayah dan ibu Marcel sering melakukan penelitian terhadap formula yang digadang-gadang bisa memperpanjang umur manusia. Namun, karena percobaan mereka tidak kunjung ada yang berhasil, maka keluarga Delvino menarik kembali uang mereka dan menuntut ganti rugi atas sebagian dana yang telanjur digunakan untuk percobaan itu.“Ayah dan ibumu meninggalkan banyak berkas di sana,” kata Herman suatu kali. “kamu bisa memeriksanya kapan saja kamu mau.”Dan di sinilah Marcel berada sekarang, di tengah tumpukan berkas-berkas yang menggunung dan penuh dengan coretan tangan kedua orang tuanya.Selama beberapa saat, Marcel fokus membaca secara acak jurnal penelitian yang pernah mereka lakukan di lab. Selain itu, dia juga menemukan surat wasiat yang menyatakan bahwa Marcel berhak atas lab tersebut.“Bukannya mereka belum meninggal?” gumam Marcel sambil geleng-geleng kepala. “Warisan macam apa ini?”Tentu saja Marcel tak habis pikir kenapa kedua orang tuanya mewariskan sebuah lab kotor beserta tabung-tabung yang berisi cairan kimia sedangkan dia sendiri tidak mengerti untuk apa semua itu.Namun, tunggu! Kedua mata Marcel mendadak melihat kalimat lain yang ditulis dengan jelas oleh ayahnya. Dia mulai membaca ulang kalimat demi kalimat yang tertera di dalam surat wasiat itu.Ternyata mereka tidak hanya mewariskan sebuah lab bekas kepada Marcel, tapi juga lengkap dengan seorang ilmuwan yang bernama Meru dan putrinya, Venya.“Apa? Melanjutkan kembali penelitian orang tua kamu?” Herman mengernyit ketika Marcel menghadap kepadanya di ruang kerja. “Untuk apa?”Marcel berpikir sebentar, dia sendiri tidak tahu alasan pasti kenapa dirinya tertarik untuk melanjutkan penelitian kedua orangtuanya.“Aku pikir tidak ada salahnya, Yah.” Marcel menjawab. “Karena ternyata orang tuaku juga meninggalkan seorang ilmuwan dan putrinya untuk ....”Marcel menghentikan ucapannya ketika Herman tersenyum seolah meremehkan rencananya.“Apakah ilmuwan yang kamu maksud adalah Pak Meru?” tebak Herman.Marcel mengangguk dan berkata, “Betul, pak Meru dan juga putrinya yang bernama Venya.”Herman kini tak tanggung-tanggung lagi melepaskan tawanya.“Yang harus kamu tahu tentang Pak Meru adalah bahwa dia menjadi gila sejak orang tua kamu meninggalkan lab,” ujar Herman lambat-lambat. “Terus apa yang kamu harapkan dari seorang ilmuwan yang gila?”Marcel terdiam cukup lama mendengar penjelasan mertuanya.“Mungkin aku bisa minta tolong putrinya,” sahut Marcel kemudian. “Aku akan tetap mencobanya, Yah. Siapa tahu ada satu-dua penemuan orang tua aku yang berhasil, setidaknya itu bisa mengembalikan sebagian kerugian yang mereka timbulkan.”Herman menarik napas panjang.“Terserah kamu saja,” katanya tidak berminat. “Tapi saya pastikan kalau saya tidak akan mengundurkan sepeser pun dana lagi untuk membiayai penelitian kamu, sebaliknya kerugian akan bertambah besar seandainya penelitian yang kamu lakukan itu menimbulkan dampak yang tidak bagus di lingkungan rumah ini.”Marcel tertegun, dia yang merupakan lulusan bisnis mana paham formula racikan kimiawi.“Kalau kamu tidak berani ya tidak usah,” tegas Herman. “Risikonya tinggi, seluruh hidup kamu belum tentu cukup untuk melunasi semua utang mereka.”Marcel menarik napas, kemudian pamit pergi dari hadapan Herman. Jujur nalurinya terusik setelah dia membaca apa saja warisan yang ditinggalkan ayah ibunya.Bersambung—Marcel menyusuri halaman rumah di tengah dinginnya udara malam. Dia membuka pintu gudang dan menuruni tangga untuk masuk ke dalam lab.Lampu remang-remang menyala ketika Marcel masuk, udara pengap menusuk hidung dan membuatnya menahan perasaan bersin.Marcel tidak heran udara di dalam lab tidak begitu bagus karena memang tidak ada seorangpun yang membersihkannya sejak ditinggalkan cukup lama.Yang pertama kali Marcel lakukan adalah membereskan lab, karena banyak sekali meja dan peralatan yang terbengkalai, bahkan sebagian tabung-tabung dari berbagai ukuran ada yang rusak karena lama tidak dipergunakan kembali.“Aku tidak yakin apa aku bisa,” dengus Marcel sambil menghela napas berat, dia mengedarkan pandangannya dan mentalnya semakin jatuh saat mendapati kebuntuan yang menyerangnya di segala penjuru.Dengan siapa dia akan membangun kembali lab ini? Sedangkan dirinya adalah lulusan bisnis yang tidak ada hubungannya dengan sains.Marcel termenung cukup lama setelah membuang tabung
Marcel mengerutkan keningnya ketika melihat Venya membimbing Meru ke arah lemari kaca yang berisi tabung-tabung kecil. “Apa yang pernah ayah lakukan di sini?” tanya Venya dengan nada lembut sambil memandang Meru. “Ayah tahu tabung-tabung itu buat apa saja?” Marcel terdiam sambil ikut mengamati gerak-gerik Meru yang mendadak diam dan tidak seaktif tadi. “Aku ... putriku dulu menemaniku!” cetus Meru sambil mengangguk-angguk. “Ini aku putri Ayah,” ujar Venya sabar dan penuh belas kasih. “Dulu kita bersama-sama melakukan penelitian di sini, ada Pak Fabi juga ....” “Tidak! Putriku masih kecil, dia belum mengerti apa-apa!” bantah Meru. Marcel terus mengamati interaksi yang terjalin antara Venya dan Meru, biar bagaimanapun mereka berdua adalah harapan satu-satunya untuk melepaskan diri dari situasi yang membelitnya saat ini. “Ayahku jadi seperti ini sejak Pak Fabi dan Bu Lana pergi,” tutur Venya lambat-lambat. “Mungkin dengan kita melanjutkan kembali penelitian ini, siapa tahu Ayah aku
Pagi itu Marcel ikut membantu Nana menyiapkan sarapan pagi untuk seluruh anggota keluarga Delvino. Peluh membanjir di kening dan tengkuknya sementara Shirley dan yang lain asyik bercengkerama sembari menyantap hidangan yang tersaji.“Pak Marcel, makan dulu di kamar kami.” Nana berbisik ketika melihat Marcel terduduk menyedihkan di dekat mesin cuci yang sedang beroperasi.“Nanti saja, Bi.” Marcel menyahut dengan suara pelan, dia melirik Shirley yang sedang asyik menyantap paha ayam crispy yang terhidang. Belum lagi suara rakus Ciko yang sedang sibuk menggiling daging sapi lada hitam hingga membuat Herman menegurnya supaya lebih santun saat di meja makan.Marcel memegangi perutnya yang perih melilit karena sedari tadi belum terisi apa pun, tapi sudah dipaksa untuk bekerja keras membantu pekerjaan rumah tangga.“Aku kenyang sekali!” seru Ciko sambil meraih selembar tisu untuk mengelap bibirnya. “Makanlah dengan lebih santun lagi lain kali,” kata Herman datar. “Setelah ini ayah dan
Setelah Ciko puas mempermalukannya di depan Nana, Marcel pergi ke lab dengan perut kosong karena dia tidak ingin menyantap apa pun yang diberikan keluarga Delvino lagi. Venya baru saja selesai membersihkan tubuh Meru ketika Marcel muncul. “Kamu dan ayahmu makannya bagaimana?” tanya Marcel ingin tahu. “Kamu betah-betah saja tinggal di sini? Apa perlu tempatnya dibersihkan dulu ....?” “Tidak usah, justru lebih baik seperti ini biar anggota keluarga Delvino tidak ada yang berminat masuk ke lab ini.” Venya menggeleng tidak setuju. “Yang penting ada tempat untuk aku dan ayahku tidur ....” Marcel mengangkat bahu dan tidak memaksa. “Ngomong-ngomong soal makan tadi bagaimana?” ulang Marcel ingin tahu. “Tenang saja, kami ada formula yang kalau diminum bisa menimbulkan sensasi kenyang selama dua-tiga hari ke depan.” Venya menjelaskan. “Kamu serius?” Marcel terbelalak. “Bagaimana bisa seperti itu?” Venya menarik napas dan menyahut, “Mau bagaimana lagi ... kami harus hidup serba hemat sete
Marcel memandang datar ke arah kakak-kakak iparnya.“Aku rasa ini bukan saat yang tepat untuk menyiksa adik ipar kita,” komentar Ronnie. “Ayah dan ibu bilang kalau memang Marcel tidak mau makan, kita tidak boleh memaksanya.”Ciko mendengus.“Astaga, itu sih dari dulu ibu bilang begitu sama kita.” Dia berkomentar. “Kita tidak perlu bilang ibu ....”“Huft, membosankan!” celetuk Alvon, dia adalah kakak ipar Marcel yang bersikap netral—tidak pernah membela Marcel, tapi juga tidak pernah berusaha mencegah penganiayaan itu terjadi di depan matanya.“Kak, hari ini biar aku saja yang suruh Marcel membereskan semua sisa makanan.” Shirley menengahi. “Jangan ada keributan lagi, ingat! Kemarin dia hampir saja bunuh diri gara-gara kalian.”Marcel heran kenapa kali ini Shirley mau membelanya, meskipun tentu saja hal itu justru memantik suara tawa dari mulut Ronnie dan juga Ciko.“Itu sih karena suami kamu saja yang mentalnya lemah!” cemooh Ciko. “Laki-laki sejati tidak akan selemah dia!”Ma
Alvon melirik salah satu kakaknya itu.“Aku tidak tertarik, kecuali penelitian mereka tentang astronomi.” Dia menegaskan.“Siapa yang ajak kamu?” tukas Ciko sambil meraih sehelai tisu untuk membersihkan bibir. “Bagaimana, Kak?”Dia menoleh ke Ronnie yang masih menikmati secangkir susu hangat miliknya.“Malam-malam begini?” tanggap Ronnie sambil menimbang-nimbang.“Ini belum malam, lagipula Marcel hanya punya waktu luang ya sekarang ini.” Ciko menjelaskan. “Kalau siang kan dia harus jadi pembantu.”Ronnie terkekeh, sementara Shirley diam saja. Dia masih dendam karena Marcel pernah memintanya untuk menyantap makanan sisa dari saudara-saudaranya.Di dalam lab, Marcel memperhatikan bagaimana Venya bekerja. “Kita harus bersih-bersih dulu,” kata Venya sambil memeriksa persediaan tabung-tabung yang ada di lemari. “Ini harus kita pilah mana yang masih bisa dipakai.”Marcel mengangguk dan menyahut, “Aku harus bersih-bersih bagian mana? Masih ada tabung-tabung yang berisi cairan kimia
“Ini untuk mulut lancangmu itu!” seru Ronnie sambil menghantam rahang Marcel dengan kepalan tangannya. “Argh, bangsat!”Dia mengumpat ketika tangannya memukul sesuatu yang keras.“Ada apa, Kak?”“Kenapa sih?”Coki dan Alvon mengalihkan perhatian mereka ke arah Ronnie yang menggosok-gosok buku jarinya.Marcel sendiri kebingungan saat tiba-tiba kakak iparnya berteriak sedangkan dia tidak memberikan perlawanan apa-apa.“Kamu diapakan sama Marcel?” tanya Coki dengan nada menyelidik. “Kok kesakitan begitu?”Ronnie tidak segera menjawab, apalagi dia masih belum tahu pasti apa yang menyebabkan tangannya seperti menghantam sebongkah besi.Padahal Ronnie yakin betul kalau dia telah memukul rahang Marcel, tapi kenapa adik iparnya itu hanya berdiri bergeming saja?“Jawab, Kak! Kamu diapakan sama Marcel?” tanya Ciko mendesak.“Sudahlah, tidak usah dibahas!” jawab Ronnie tegas. “Kita tinggalkan saja tempat ini, biarkan mereka melanjutkan penelitian gagal itu ... dan kita harus mempersiap
“Apa kamu tidak bisa menceritakan kepadaku seperti apa ciri-ciri dari cairan yang kamu minum?” tanya Venya sambil mencari di antara lemari kaca. “Aku tidak ingat,” jawab Marcel segera. “Namanya juga pikiranku saat itu sedang kalut, jadi aku asal ambil cairan kimia yang ada dan menenggaknya.” Venya kemudian menghadap Marcel dan menatapnya dengan serius. “Apa kamu masih ingat tabung mana yang kamu ambil?” Dia bertanya lagi. “Tidak, aku kan sudah bilang kalau aku hanya asal ambil.” Marcel menjelaskan. “Memangnya penting bagi kita untuk mengetahui cairan apa yang aku minum? Kan yang penting aku baik-baik saja pada akhirnya.” Venya menghela napas. “Tentu saja itu penting, karena sepengetahuan aku stok formula di sini tidak ada yang aman untuk dikonsumsi.” Dia menjelaskan. “Tapi ya sudahlah ... kita akan susah mencari jejaknya karena tidak ada sisa-sisa dari cairan yang kamu minum itu.” Marcel mengangguk, dia memang tidak ingat sama sekali tentang apa yang terjadi setelah dia minum ca