"Em, mas Ridho pamit keluar mbak." Jawabku canggung.Selama ini dia tak pernah pergi tanpa memberi tahuku, namun kali ini kenapa aku jadi merasa tak lagi penting dalam hidupnya."Keluar kemana?" Mbak Dewi masih sibuk melihat ponselnya, sementara aku juga sibuk mencari jawaban."Kenapa sih mbak, kok jadi kayak wawancara kerja." Kualihkan pembicaraan kami.Dia kini menatapku. "Bukan begitu, mbak penasaran saja, ini Ridho bukan sih?"Mbak Dewi memperlihatkan layar ponselnya padaku, sebuah foto wanita yang tak aku kenal berpose dengan minuman di tangannya, tapi bukan itu yang jadi pertanyaan mbak Dewi, melainkan lelaki yang tanpa sengaja terfoto dalam meja di belakang wanita itu."Mbak dari tadi lihat foto itu ga, kayak Ridho tapi sejak kapan Ridho nongkrong di cafe begitu."Aku masih diam, kuperbesar foto di layar ponsel mbak Dewi, dan benar ku yakini itu memang mas Ridho. Baju yang dia pakai aku kenal dan wajahnya yang memang sedikit kabur di gambar yang tertangkap dari sebelah depan,
Kami makan di sebuah restoran, sebenarnya aku ingin pulang namun melihat anak-anak yang begitu suka di ajak keluar, aku tak tega membuat senyum mereka pudar. Tak ada kata terlontar dari bibirku semenjak kami duduk memesan makanan, aku merasa segalanya tak lagi sama sekarang, entah apa yang membuat mas Ridho berubah, diriku yang tak bisa menjadi istrinya ataukah dia yang terlalu lupa bagaimana mengucap syukur."Ga, ada apa, kamu sakit?" Mbak Dewi kembali bertanya, aku tak menjawab, hanua senyum tipis menghias bibirku yang serasa kering."Apa kita pulang saja ga, kamu pucat sekali lho."Aku menggeleng cepat. "Jangan mbak, aku baik-baik saja mbak.""Yakin?"Aku kembali menganggukkan kepala. Kuusap rambut Alina yang duduk di dekatku, sementara Alika sudah duduk sendiri dan terlihat begitu bersemangat."Kami kelihatan pucat ga, sini mbak dandani." Mbak Dewi menarikku mendekatinya, ia mengeluarkam lipstik dari tas kecilnya dan memoles tipis pasa wajahku yang datar."Kamu jangan lupa dandan
"Lho, memangnya nggak bakal makan?" Tanyanya dingin"Enggak! Aku dan anak-anak sudah makan."Aku tersenyum lagi. "Bukanya mas habis makan di luar ya? Jalan-jalan juga di taman."Dia terdiam, menelan salivanya dan menatapku pias."Kenapa diam, jelaskan sesuatu!""Jelaskan apa?" Jawabnya mengelak lagi."Jelaskan apa katamu! Jelaskan bagaimana kamu makan dengan nyaman di tempat mewah, jalan dengan wanita yang kamu bilang teman lamamu itu, dan tawamu yang lebar saat mengobrol juga di taman kota."Aki mengambil ponselku dan menunjukkan gambar yang ku miliki pada maa Ridho. Dia menatap terkejut, ya terkejutlah, ini juga yang ingin aku lihat."Apa perlu aku jelaskan juga makanan apa yang kami pesan di cafe mewah itu?"Dia membuang wajah, mengusap kasar rambutnya yang baru saja berubah model lalu kembali menatapku sayu."Jangan gunakan cara itu lagi mas, aku bosan!" Ku alihkan pandanganku ke arah lain lalu mengumpulkan tenaga untuk kembali bertanya banyak hal."Sekarang coba jelaskan padaku ma
"Mulai sekarang aku akan sering pergi mas, jadi siapkan dirimu mengurus anak-anak" Ucapnya lagi membuat aku begitu kesal."Pergi kemana Mega? Kamu jangan macam-macam ya, jangan buat aku marah!" Suaranya diseberang terdengar bergetar Mas Ridho mengertakku rupanya. Biasanya aku akan langsung meminta maaf atau mencari tau apa alasanny mas Ridho berbuat begitu, tapi kali ini tidak!"Marah saja jika mau marah, aku tak perduli. Bukanya kamu yang mengajarkan aku untuk tak perduli juga dengan keluarga kita? Dengar baik-baik mas Ridho, setiap kesabaran itu ada batasnya dan mungkin inilah batas kesabaranku!""Ada apa denganmu Mega, kenapa kamu...."Kumatikan panggilan yang belum usai, buat apa juga bicara tak penting, sudah banyak hal kulakukan namun justeru membuatnya jadi besar kepala."Kenapa? Suamimu marah?"Liana sahabat kecilku bertanya, aku sengaja mengajaknya bertemu untuk membantuku hari ini. Liana seorang yang suka berdandan, dia punya selera yang bagus dan sesuai untukku yang tak la
Pov Ridho"ibuk... Ibuk..." Alina menangis, tangis yang membuatku semakin marah. Bagaimana Mega bisa meninggalak anak- anak bersamaku begini.Sedang sibuknya aku membuat Alina berhenti menangis, Alika terbangun duduk mengusap matanya."Adek nangis?" Tanyanya dengan mata setengah terbuka, rambutnya yang tergerai berantakan."Iya, adek cari ibu."Gadis itu turun dari atas ranjang, mendekatiku dan menarik baju bawahku. "Ibum pelgi?" Dia terdiam menatapku."Iya, tau itu ibumu, sudah tau anakya tak bisa jauh malah pergi tanpa pamit, nggak juga pulang!" Aku bicara saja tanpa rem, kesal aku di buatnya.Wajah Alika kini memerah, matanya berkaca dan dia berjalan ke pintu depan. "Ibuk... Ibuk..."Ah, bagaimana ini, kenapa dia malah menangis juga!Kepalaku semakin berdenyut, mendengar Alika menangis, Alina yang mulai diam ikut menangis lagi."Jangan nangis lagi Alina, ayah binggung ini!" Aku berjalan menyusul Alika ke depan, gadia itu duduk di teras, menatap nanar jalan yang kosong."Ayo cali
Aku hampir gila mengurus Alika, dia tak mau berhenti menangis, ada apa dengannya! Bahkan Mega masih tak bisa aku hubungi, bisa-bisanya dia memperlakuan aku begini. Kepalaku berdenyut hebat dan tiba-tina ponsel yang ku letakkan di meja ruang tengah berdering."Mungkin itu Mega!" Berlari aku mengambil benda pipih itu, ingin segera mececar wanita itu dengan banyak pertanyaan. Tapi tunggu, ini bukan Mega, ini dari Nadila.Aku menggulum senyum mendapati nany ada di layar, yang kami lalui tadi pagi sungguh membekas indah. Apakah dia merindukanku lagi?"Halo." Ucapku berusaha tenang, aku bahkan menjauh dari Alika yang masih tergugu di lantai rumah."Mas Ridho, aku minta kamu ajari istrimu itu tatakrama!" Ucapnya bahkan tanpa berkata manis."Istriku?" Kuulang kalimatnya, aku terkejut dan jadi tak bisa berpikir dengan baik."Iya, istrimu! Beraninya dia mempermalukan aku!" Ucapnya dingin, membuat aku semakin bertanya sendiri."Apa yang sudah di lakukan Mega?""Kamu mau tau apa yang dia lakukan
Pov Mega"Dan memaki Nadila di depan umum juga keputusanmu sendiri Mega?"Aku menatap wajah mas Ridho dengan tajam, lelaki yang ku anggap suami danasih begitu ku hormati itu bahkan menyebut nama wanita lain sekarang, ck... berani sekali dia." Ya itu keputusanku! Apa wanita murahan itu menggadu padamu mas?" Mas Ridho membetulkan letak duduknya. "Bukab begitu, dia hanya bilang kamu memakinya di depan umum.""Lalu kenapa jika aku memakinya?"Mas Ridho membuang wajah, seolah memgumpulkan kekuatan untuk menjawab kalimatku."Jangan menyulitkan aku Mega, Nadila adalah orang yang membantuku memperoleh pekerjaan, kenapa kamu memperlakukannya begitu?"Mataku melebar, masih bisa dia bersembunyi di balik kata pekerjaan dan hutang budi." Harusnya aku bagaimana? Berterimakasih padanya begitu?""Ya bersikaplah baik Mega, toh dia tak merugikanmu juga!"Senyumku mengembang." Bersikap manis? Katakan mas, sikap bagaimana yang harusnya aku tunjukkan?"Mas Ridho diam, aku bia melihat ia sendang berpiki
Pov Mega."Ada apa denganmu Mega?" Tanya mbak Dewi heran.Malam ini aku ada di rumah bude Halimah, ku bawa anak-anak juga ke sini untuk bermain dengan bude Halimah dan Ratih, adik mbak Dewi yang baru pulang KKN dari luar kota.Mbak Dewi membawaku duduk di teras rumah, rumah bude yang menghadap ke arah gunung membuatku bisa melihat kilau lampu di punggung gunung."Ini bukanlah dirimu Mega, kami beribah dalam waktu sebentar, ada apa denganmu?" Mbak Dewi mengulang kalimatnya lagi.Aku tersenyum menatapnya, hanya dia yang bisa melihat dalam hatiku dengan baik. "Aku hanya lelah mbak." Ucapku kembali tertunduk, kuseka air mata yang keluar diujung.Tanpa berkata mbak Dewi memelukku erat, ia tak mncecarku dengan banyak pertanyaan seperti lainnya, ia membuat aku merasa nyaman membuka diri."Mbak tau kamu kuat Mega, mbak tau itu!" Ucapnya sembari mengusap lembut punggungku."Bila aku berpisah dengan mas Ridho, apa mbak Dewi masih akan memperlakukan aku begini?"Kalimatku membuat tangannya berhe