Mas Ridho kesal padaku, hari ini kepergianku ke Jogja sukses membuatnya tak bicara padaku saat aku berpamitan. Bebrepa kali dia meminta aku meminjamkan mobilku padanya, namun aku terus beralasan banyak dan sekarang mobil ini aku bawa pergi ke Jogja, tentu saja itu membuat wajahnya masam seperti limau.Aku menitipkan anak-anak pada seorang wanita yang mbak Dewi cari untuk merawat Alina dan Alika selama aku pergi, jika pekerjaan ya baik dan bagus, mungkin aku akan memperkerjakan dia untuk terus membantuku merawat mereka.Perjalananku ke Jogja tak memakan banyak waktu, aku tiba di hotel tempat kami menginap sebelum siang. Sampai di sana beberapa orang sudah mengurus segala keperluanku. Hari ini acara syukuran syuting pertama, tentu saja kami semua sudah sangat siap menjalankan semua jadwal yang sudah di tentukan."Bu Mega mau makan dulu atau ke kamar?""Ke kamar saja, saya belum solat duhur, nanti saya menyusul ke ruang makan ya." Ucapku pada gadis manis bernama Kori, dia bertugas memban
POV RidhoAkhirnya sepulang kerja aku bersama Nadila menemui Niko, anak lelakiku sedang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit saat aku datang. Pembantu Nadila yang menjaga nya selama Nadila kerja, anak itu begitu bahagia melihatku datang."Papa!" Ucapnya dengan senyum tanpa cahaya, wajahnya terlihat pucat."Hay ganteng, kenapa kok sakit."Niko diam, dia melirik ke arah Nadila dengan wajah ragu."Bicara saja, momi tidak akan marah." Ucap Nadila seolah memberikan izin pada anaknya.Niko melihat ke arahku dan memelukku erat, kini aku merasakan tubuhnya berguncang, dia menangis dalam dekapanku."Hey jagoan, kenapa menangis?""Papa nggak mau nikah sama mama ya?"Kalimat tanya itu langsung membuat lidahku kelu, dari mana dia dapatkan kata itu, apakah Nadila menceritakan semua masalah kami kepada Niko juga?Aku menatap manik mata anak lelakiku itu, ada luka dan kecewa di sana, sorot yang justeru menggoyahkan keputusanku dan membuatku berpikir ulang untuk mempertimbangkan juga hati Niko
"Jangan gemuk-gemuk Mega, lihat itu perut Mak Alika, baru juga melahirkan dua anak, perut sudah lebar seperti hamil lima bulan saja!"Bu Siti menunjuk perut Mega menantunya, wanita yang sudah memberinya dua cucu perempuan nan cantik itu tertunduk, kembali melanjutkan tugasnya memarut kelapa."nggak besar itu bulek, namanya juga sudah melahirkan, nanti juga kecil sendiri."Dewi keponakan Siti berusaha mencairkan suasana, sudah tabiat Siti memang, tak bisa mengukur lidah sendiri dan pandai sekali menaruh luka baru di hati menantunya."Kecil apa, anak ke dua saja sudah mau dua tahun, masak iya masih sebesar sak beras begitu!"Mega tersenyum, meski saudara Siti yang lain melihatnya kasihan. "Ini mungkin masih ada calon bayinya Mak, mungkin bayi kembar lelaki."Mega berucap mencoba menghibur diri nya sendiri, di tepuk-tepuk nya perut sendiri sambil mengurai senyum, menutupi rasa tersinggung nya atas ucapan ibu mertua."Heh, kayak mampu aja ngurus anak lagi! Suamimu itu cuma kuli bangunan,
Siti terpaku melihat Ridho berdiri di ambang pintu ruang tengah, ia melihat Alika di sisi anaknya dan Alina ada dalam gendongan, dua cucunya itu menatapnya dalam keluguan."Eh cucu nenek di sini, ayo nenek suapi dulu. Kita makan soto dari tempat Nek Halimah." Siti menarik tubuh Alina dari gendongan dan mendudukannya di atas tikar. Sesekali Siti masih melihat Ridho, ia jadi salah tingkah mendapati anak lelakinya masih menatap lekat."Sini Alika, maem sama adek juga." Siti menarik tubuh kecil Alika."Duduk dho!" Harun mempersilahkan anak lelakinya duduk, ia juga merasa tak enak hati atas ucapan istrinya.Ridho duduk dan kembali melihat ke arah ibunya, ada rasa kecewa pada wanita yang melahirkannya itu sekarang. Mengapa Emak yang begitu ia hormati tega berucap bagai belati tepat menghulus di hatinya."Mak, apa yang Emak katakan pada Mega di tempat bude Imah?""Apa memang, Emak nggak bilang apa-apa. Ngadu apa istrimu itu?" Siti melirik tajam, Ridho tau betul watak Ibunya, wanita itu aka
Setelah hari itu Mega lebih banyak diam, dia bahkan tak ikut berkumpul saat saudara yang lain saling mengobrol di gubuk kecil belakang rumah mereka. Bukan tak mau, ia lebih memilih di rumah menulis apa yang menjadi hobinya.Namun hari ini ia di minta mbak Dewi ikut keluar rumah, "Emakku potong tiga ekor ayam kampung ga, kita buat rica ayam yang pedas sama-sama. Kamu yang bumbuin!" Begitu kalimat yang Dewi katakan, meski Mega sudah memberi alasan untuk menolak, tapi Dewi lebih pandai memaksa."Aku nggak minta tolong ya, aku maksa kamu dateng, kalau kamu nggak keluar, aku paksa!"Kalimat itu sukses membuat Mega kini duduk mengulek bumbu di cobek batu miliknya. Alika dan Alina duduk di atas tikar anyam milik Halimah, mereka sibuk memakan kerupuk dari dalam toples di hadapannya."nggak pernah kelihatan ga, sibuk apa di rumah?"Santi adik Harun bertanya, ia memang terbilang paling ingin tau di antara yang lain."Di rumah saja bulek, sibuk momong anak." Mega menjawab santai, ia masih mengu
Mega masuk ke dalam rumah, hatinya masih bergemuruh dengan apa yang baru saja terjadi. Ia terduduk di tepian ranjang, menatap nanar rumahnya yang masih begitu sederhana, menatap tembok yang masih terlihat batu bata, hingga lantai tempatnya berpijak yang masih berupa semen kasar yang sebagian di tutup karpet plastik. Memang benar mereka bilang, keluarga kecilnya masihlah jauh dari kata mewah dan berlimpah."Salahkah jadi orang tak punya?" Mega bertanya dalam hati, begitu banyak kepahitan ia dapat hanya karena cap miskin yang mungkin bagi mereka tertulis jelas di depan jidatnya kini.Ia tidak berasal dari keluarga kaya, bahkan lima tahun menikah Mega harus kehilangan kedua orang tunya karena sakit. Ibunya berpulang lebih dulu dan berselang satu tahun, Bapaknya juga ikut menyusul. Sejak saat itulah perangai ibu mertuanya berubah, merasa tak ada lagi yang harus di sungkani dari Mega, toh dia tak lagi memiliki orang tua.Air mata membasahi pipinya, entah mengapa orang menilainya salah, p
Ridho datang ke rumah ibunya, di sana Alika kembali melihat Ponsel Siska. Ridho memperhatikan lagi, Alika nampak larut dalam dunianya sendiri. Gadis itu bahkan tak perduli saat Ayahnya mengucap salam."Alika, ayo kita pulang!" Ridho mengusap lembut punggung kecil putri sulungnya."Nanti Ayah, nonton HP dulu." Jawaban Alika membuat Ridho terpaku, anak gadis nya tak pernah menolak setiap kali di minta, tapi sekarang dia sudah bisa memberi alasan."Sekarang yuk, ibuk sudah nunggu di rumah."Alika melirik nya tajam, seolah tak suka bila kesenangannya di ganggu."Sudah pulang dho?" Siska keluar kamar bersama Alina, ia lalu duduk di kursi makan dan membuka tudung saji di meja."Sudah, mbak bisa tolong ambil ponselmu?" Ridho meminta. Mungkin jika Siska sendiri yang mengambil, Alika tak akan terlalu marah."Buat apa? Istrimu melarang anaknya nonton HP?" Siska menebak, selama ini memang hanya Mega yang melarangnya memberikan ponsel pada Alika dan Alina"Halah, semua aturan dia buat sendiri, s
Mega membawa dagangannya ke mesjid besar, tiga puluh buah sosis sayur dan tiga puluh buah martabak tertata rapi dalam kotak plastik transparan. Sejak semalam ia tak berhenti membuat, hingga sebelum subuh tadi jajanan itu sudah selesai ia goreng."Mbak Dewi, nitip ini ya." Mega berdiri di depan meja tempat Dewi menjajakan dagangannya."Iya, taruh saja di situ." Dewi masih sibuk menata dagangannya yang lain.Mega duduk di kursi terdekat, memperhatikan masjid yang masih belum terlalu ramai di suasana gelap setelah subuh. Langit yang telihat sedikit mendung membuat ia cemas, jika hujan turun di hari ini, mungkinkah dagangannya bisa laku banyak." Mbak, kalau hujan biasanya jualannya ramai nggak?""Lumayan sih, tapi nggak seramai kalau cuacanya cerah. Kenapa?Mega tersenyum." Nggak apa mbak, ini kayaknya kaya mau hujan ya?""Oh, iya nih, tumben. Nggak apa-apa tapi Ga, kan kita ada di bawah tenda, jadi bisa sekalian berteduh."Mega kembali tersenyum, tapi bukan itu keresahannya, ia lebih kh