Share

BAB 7

"I-iya Nyonya," balas Auztin kaku.

Ibu mertuanya selalu menatapnya dengan tatapan permusuhan, Austin sudah biasa melihat tatapan permusuhan seperti itu dari para keluarganya dulu. Austin meneguk air liurnya saat bentakan demi bentakan terlontar dari bibir Julie.

'Kenapa sikapnya sangat berbeda sekali dengan Nyonya Thomson? Padahal Nyonya Thomson wanita yang sangat lembut,' batinnya.

Melihat Austin terdiam membuat Julie merasa geram. "Kenapa memandangku seperti itu?! Pasti kamu sedang memakiku di dalam hatimu 'kan?!" bentak Jenifer lagi.

Austin terkejut saat wajahnya dituding oleh Ibu mertuanya. Tanpa ia sadari, kakinya mengambil langkah mudur dan tidak sengaja menjatuhkan vas bunga yang ada di belakangnya. Pecahan vas bunga mengalihkan perhatian Julie, matanya membola saat vas bunga kesayangannya dipecahkan oleh menantu yang tak diharapkan.

"Vas kesayanganku! Kamu! Kamu pria pembawa sial! Kamu lihat vas ini, vas ini adalah vas kesayanganku dan kamu tidak akan bisa menggantinya seumur hidupmu!" bentak Julie sambil menunjukkan pecahan vas di hadapan wajah Austin.

Julie memajukan pecahan vas yang ada di tangannya, pecahan itu diarahkannya pada wajah Austin. Kemarahannya memuncak, ia tidak terima Austin memecahkan vas kesayangannya. Austin takut melihat kemarahan Ibu mertuanya, ia mengambil langkah mundur. Langkah itu bersamaan dengan teriakan Kenny yang berjalan ke arah mereka.

"Ada apa sih Mom teriak-teriak seperti itu?" tanya Kenny.

Julie membalikkan tubuh menghadap anaknya, tapi tangannya masih ditudingkan di depan wajah menantunya. Pergerakkannya tidak seimbang sehingga pecahan itu menggores pipi Austin. Austin juga tidak menyadari pergerakan Ibu mertuanya, saat itu ia fokus melihat kedatangan Kenny.

"Sthh...." rintih Austin memegangi pipinya yang tergores pecahan vas.

"Mom! Apa yang Mommy lakukan? Lihat perbuatan Mommy padanya," ucap Kenny pada ibunya.

"Apa?" tanya Julie, ia masih belum menyadari perbuatannya.

Kenny memutar tubuh ibunya menghadap Austin, bukannya merasa kasihan, Julie justru menyunggingkan senyuman sinisnya. Kenny tidak habis pikir dengan perbuatan ibunya. Meskipun Kenny tidak menyetujui pernikahan ini, tapi ia tidak ada niat untuk melukai Austin seperti yang dilakukan ibunya.

"Hanya luka kecil saja, tidak usah manja," balas Julie acuh lalu pergi meninggalkan Austin dan Kenny.

Kenny menggelengkan kepala melihat sikap ibunya, ia langsung mencari kotak obat yang ada di kamarnya. Tindakan Kenny tidak luput dari pengamatan Austin. Bibirnya tersenyum saat melihat sang istri membelanya. 'Aku harap kamu wanita yang baik seperti Nyonya Thomson,' batin Austin berharap.

Austin mengikuti langkah istrinya sampai ke dalam kamar, ia berdiri tepat di belakang tubuh Kenny. Saat Kenny hendak membalikkan tubuhnya, ia terkejut dengan kehadiran Austin. Sontak Kenny memberikan kotak obat itu dengan kasar pada suaminya, lalu ia merebahkan tubuhnya di kasur.

Austin memperhatikan pergerakan istrinya. Ia memandang kotak obat di tangannya. lalu beralih menatap lagi tubuh Kenny yang sudah tertutup selimut. Austin tersenyum melihat itu semua, lalu duduk di sofa. Ia pikir Kenny mau membantunya mengobati luka di pipi, tapi sayang, Kenny hanya memberikan kotak obat saja padanya.

Luka di pipi hanya sebatas goresan kecil, ia tidak menderita karena goresan itu. Diambilnya kapas dan obat cair lalu menyapunya pada luka. 'Baru sehari menjadi menantu di rumah ini, tapi aku sudah mendapatkan luka. Apakah dulu Mommy mendapatkan luka seperti ini dari para saudaranya?' batin Austin.

Austin membuang kapas yang ada di tangannya dengan kasar. Ia merasa kesal karena mengingat hinaan yang ibunya terima. Austin mengepalkan tangannya hingga urat ketara sekali dalam pandangan. Austin berusaha menenangkan amarahnya, ia memejamkan mata berusa mengenyahkan kekesalan itu.

Hatinya kembali terasa sesak saat mengingat teriakan orangtuanya pada malam naas itu. Bulir keringat sudah membasahi wajahnya, urat di leher manandakan kemarahan yang tak bisa mereda dalam sekejap waktu.

Austin bangkit dari duduknya dan mengambil lagkah lebar menuju balkon kamar. Kepalan kedua tangannya masih belum terlepas. Ia terus menggelengkan kepalanya, terus berusaha mengenyahkan kenangan mengerikan itu.

"Apa yang terjadi? Sinar apa tadi?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status