Home / Urban / Menantu Kuli / XI. Zalia yang galak

Share

XI. Zalia yang galak

Author: Leva Lorich
last update Last Updated: 2025-01-05 09:57:07

Hari ketiga Willy di rumah keluarga Haldi dimulai lebih berat dari dua hari sebelumnya. Kekecewaan atas perlakuan Mira dan Haldi masih menyisakan luka di hatinya, tetapi ia mencoba mengalihkan pikiran dengan tugas-tugas yang harus ia kerjakan. Namun, pagi itu, sebelum matahari sepenuhnya naik, pintu kamarnya digedor keras.

“Hey! Bangun kamu!” suara perempuan lantang terdengar dari balik pintu.

Willy terbangun dengan tergesa, mengenakan kausnya sebelum membuka pintu. Di hadapannya berdiri seorang wanita cantik dengan raut wajah penuh amarah. Ia mengenakan gaun santai berwarna krem, rambutnya digerai sempurna, dan ekspresinya menunjukkan jelas bahwa ia tidak sedang dalam suasana hati yang baik.

“Heh, kamu kuli baru di sini kan? Siapa namamu?” tanyanya dengan nada tinggi.

Willy, meskipun masih setengah mengantuk, menjawab sopan. “Nama saya Willy, Nona.”

Wanita itu mendengus. “Zalia. Aku anak sulung di rumah ini. Dan aku tidak punya waktu untuk basa-basi.”

Zalia menunjuk ke arah kamarnya dengan jari telunjuk yang gemetar karena emosi. “Kamarku kotor! Dindingnya mengelupas, catnya rontok, dan lantainya penuh serpihan. Kenapa kamu tidak cek itu kemarin-kemarin? Apa kerjaanmu di sini cuma tidur dan makan gratis?”

Willy menghela napas, mencoba menjelaskan. “Maaf, Nona Zalia. Saya baru bekerja di sini dua hari. Saya belum sempat mengecek seluruh ruangan.”

Namun, Zalia tidak mau mendengarkan. “Alasan saja! Dasar orang miskin dan pemalas. Orang sepertimu memang tidak akan pernah paham tanggung jawab!”

Kata-katanya terasa seperti cambukan bagi Willy, tetapi ia memilih untuk tetap diam, meskipun hatinya terasa sakit.

Suara gaduh itu memancing seorang pria keluar dari kamar. Dengan tubuh tegap dan pakaian santai yang terlihat mahal, Ricky, suami Zalia, muncul dengan ekspresi bosan.

“Ada apa ini?” tanyanya, matanya melirik tajam ke arah Willy.

“Orang ini, pekerja baru di rumah ini, tidak becus! Kamar kita kotor, dan dia bilang dia tidak tahu apa-apa,” jawab Zalia, menyulut amarahnya.

Ricky melangkah mendekat, dan tanpa peringatan, ia menekan kepala Willy dengan telunjuknya. “Hei, kamu dengar? Orang sepertimu harus tahu tempat! Kamu itu cuma pekerja rendahan, tahu? Jangan cari alasan untuk menghindari kerjaanmu!”

Willy hanya bisa menunduk, menahan emosi yang membuncah. Ia tahu bahwa jika ia membalas, posisinya di rumah ini akan semakin sulit.

“Dasar tolol! Otakmu itu pasti cuma sebesar kacang!” Ricky terus menghina sambil mendorong kepala Willy beberapa kali dengan jari telunjuknya.

Zalia tertawa kecil di belakangnya. “Dia memang begitu, Ricky. Pantas saja dia tidak bisa di andalkan. Miskin dan tolol itu paket komplit bagi pecundang semacam dia.”

Willy tetap berdiri di depan pintu kamar Zalia, menunduk dengan luka yang menggores hatinya. Namun, sebelum Zalia atau Ricky bisa melanjutkan hinaan mereka, suara langkah cepat terdengar. Bu Din, kepala asisten rumah tangga, datang dengan wajah khawatir.

“Non Zalia, Tuan Ricky, ada apa ini?” tanya Bu Din, mencoba meredakan situasi.

Zalia mengibaskan tangan. “Bukan urusanmu, Bu Din. Ini antara kami dengan pekerja baru ini.”

Namun, Bu Din tidak menyerah. Ia mendekati Willy dan menepuk bahunya dengan lembut. “Kamu tidak apa-apa, Willy?” bisiknya.

Willy mengangguk kecil, meskipun matanya masih terlihat suram. “Saya baik-baik saja, Bu.”

Bu Din menatap Zalia dan Ricky dengan sorot mata yang penuh keberanian, meskipun ia tahu posisinya. “Mungkin lebih baik kita semua tenang dulu. Willy hanya melakukan tugasnya sesuai yang diarahkan. Kalau ada masalah di kamar, pasti bisa diperbaiki.”

Zalia mendengus, tetapi tidak mengatakan apa-apa lagi.

Setelah situasi mereda sedikit, Willy kembali ke ruang peralatan untuk mengambil semen, kuas, sendok semen dan bahan lain yang diperlukan untuk memperbaiki dinding di kamar Zalia. Ia datang ke kamar tersebut dengan langkah berat, tetapi tetap berusaha menampilkan wajah tenang.

Zalia berdiri di pintu dengan tangan bersilang di dada, memandang Willy seperti seorang pengawas yang mencari alasan untuk memarahi.

“Kamu tahu apa yang harus dilakukan, kan?” tanyanya dengan nada meremehkan.

Willy mengangguk. “Saya akan memperbaiki dindingnya, Nona. Tapi saya sarankan Anda dan Tuan Ricky pindah ke kamar tamu sementara perbaikan dilakukan. Proses ini mungkin akan sedikit mengganggu.”

Namun, bukannya menerima saran itu, Zalia justru tersenyum sinis. “Tidak perlu. Kamu bisa memperbaikinya nanti, setelah aku pergi. Aku tidak mau menghirup debu dari pekerjaanmu.”

Willy terdiam, menahan diri agar tidak mengatakan sesuatu yang bisa memperburuk situasi. Ia hanya mengangguk patuh dan berkata, “Baik, Nona.”

Zalia memutar matanya dengan sikap malas. “Pastikan semuanya beres sebelum aku pulang lain hari.”

Ricky, yang duduk di kursi dekat jendela, menambahkan dengan nada mengejek, “Dan jangan sampai ada noda di lantai. Kalau ada, aku akan pastikan kamu yang membersihkannya dengan lidahmu.”

Willy hanya menjawab dengan sopan, “Saya mengerti, Tuan.”

Namun, dalam hatinya, ia merasa luka yang ia alami semakin dalam. Hinaan demi hinaan dari Zalia dan Ricky mengingatkannya akan posisi rendahnya di rumah ini, meskipun ia tahu bahwa ia bekerja keras untuk memberikan yang terbaik.

Ketika Zalia dan Ricky akhirnya meninggalkan kamar, Willy berdiri sendirian di sana, menatap dinding yang mengelupas dengan perasaan campur aduk. Bukan pekerjaan memperbaiki dinding yang membuatnya berat, tetapi kenyataan bahwa ia diperlakukan begitu rendah oleh orang-orang yang bahkan tidak tahu apa-apa tentang dirinya.

---

Hari semakin siang, jarum jam menunjuk pukul 9.30. Di rumah besar keluarga Haldi, suasana terasa lengang. Haldi sudah berangkat bekerja sejak jam 7 pagi, meninggalkan rumah dengan aura serius seperti biasa. Mira, sang nyonya rumah, menghilang bersama teman-teman sosialitanya, sibuk menghadiri acara atau sekedar menikmati kehidupan kelas atas. Willy, seperti yang diperintahkan pagi tadi, sibuk dengan tugas memperbaiki dinding kamar Zalia.

Dengan peralatan seadanya, ia menambal dinding yang kulitnya mengelupas, mencoba memastikan setiap sudut terlihat rapi. Meski hatinya masih terasa berat akibat hinaan dan perlakuan buruk dari Zalia dan Ricky, Willy tetap menjalankan pekerjaannya dengan penuh tanggung jawab. Setiap sapuan kuas di dinding terasa seperti cara untuk mengalihkan pikirannya dari semua rasa sakit yang ia rasakan.

Tiba-tiba, suara langkah ringan terdengar dari luar kamar. Willy menoleh, namun tak melihat siapa pun. Ia melanjutkan pekerjaannya, berpikir mungkin itu hanya perasaan. Tapi, tak lama kemudian, sebuah suara lembut memecah kesunyian.

“Minum dulu, Willy.”

Willy menoleh dan terkejut melihat Delia berdiri di ambang pintu. Di tangannya, ia membawa segelas es jeruk segar, yang terlihat begitu menggoda di bawah cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela kamar.

Delia tersenyum, senyum yang terasa hangat dan berbeda dari anggota keluarga Haldi lainnya. Ia melangkah masuk dan menyerahkan gelas itu kepada Willy. “Aku tahu mereka pasti menyusahkanmu. Orang-orang di rumah ini memang sudah biasa arogan,” katanya dengan nada penuh pengertian.

Willy, yang semula ragu, menerima gelas itu dengan tangan gemetar. Ia merasa aneh mendapat perhatian seperti ini, terutama setelah dua hari yang terasa begitu melelahkan. “Terima kasih, Nona Delia,” ujarnya pelan.

Delia tertawa kecil. “Sudah kubilang, panggil aku Delia saja. Tidak perlu formal begitu.”

Willy mengangguk sambil menyesap es jeruk itu. Rasanya begitu menyegarkan, seolah mampu menghapus sebagian beban yang menghimpit hatinya sejak pagi.

Melihat Willy menikmati minuman itu, Delia duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap Willy dengan mata penuh rasa ingin tahu. “Kamu sudah sarapan, Willy?” tanyanya tiba-tiba.

Willy terdiam sejenak sebelum menggeleng. “Belum, Nona... eh, Delia. Saya kehilangan nafsu makan,” jawabnya jujur.

“Kenapa?” Delia menatapnya dengan ekspresi prihatin. “Apa karena tadi pagi?”

Willy hanya mengangguk tanpa mengatakan apa-apa lagi. Ia tidak ingin terlihat lemah atau mengeluh di depan Delia, meskipun kenyataannya ia masih merasa tertekan oleh kejadian pagi itu.

Delia berdiri dari kursinya. “Tunggu sebentar, aku akan kembali,” katanya sebelum melangkah keluar dari kamar.

Willy hanya bisa menatap kepergiannya dengan bingung. Ia tidak tahu apa yang Delia rencanakan, tetapi hatinya merasa sedikit lebih ringan hanya karena kehadiran gadis itu. Ada sesuatu dalam sikap Delia yang terasa tulus, jauh berbeda dari anggota keluarga Haldi lainnya.

Beberapa menit kemudian, Delia kembali dengan membawa sesuatu yang membuat Willy benar-benar terkejut. Ia memegang sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk yang terlihat begitu menggugah selera. Bau harum makanan itu langsung memenuhi kamar, membuat perut Willy yang kosong sejak pagi terasa lapar.

“Ini untukmu,” kata Delia sambil meletakkan piring itu di atas meja kecil dekat tempat Willy bekerja. “Makanlah dulu sebelum melanjutkan pekerjaanmu.”

Willy memandang Delia dengan mata lebar. Ia tidak tahu harus berkata apa. Dalam dua hari terakhir, ia hampir tidak pernah diperlakukan seperti ini oleh siapa pun di rumah ini.

“Delia... ini terlalu berlebihan,” ujarnya pelan. “Saya tidak bisa menerima ini.”

Namun, Delia hanya tersenyum. “Anggap saja ini ucapan terima kasihku karena kamu sudah membantuku kemarin. Jangan terlalu banyak berpikir, Willy. Makanlah dulu, biar kamu punya tenaga.”

Willy masih terdiam, tidak tahu bagaimana harus merespon. Hatinya dipenuhi berbagai perasaan, syukur, terharu, dan mungkin sedikit bingung. Tetapi pada akhirnya, ia hanya bisa menatap Delia dengan penuh rasa hormat.

Willy bergumam dalam hati, "Ini terasa aneh dan penuh tanda tanya. Apa sebenarnya niat Delia dibalik semua ini? Perasaanku mengatakan bakal terjadi hal tak terduga setelah ini."

###

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu Kuli   XLV. Harta Karun

    Bab XLV: Harta KarunWilly menaiki ojek motor dengan cepat, menuju rumah warga tempat mobilnya dititipkan. Sambil menikmati hembusan angin sore yang menyapu wajahnya, ia merasa puas dengan kejadian sore tadi. Willy tak sabar ingin segera menceritakan perkelahiannya dengan anak buah Tomey kepada Delia. Ia ingin istrinya tahu bahwa pria yang selama ini mendekatinya, ternyata tak lebih dari sekedar pengecut yang hanya berani bertindak ketika memiliki banyak anak buah di sisinya.Setelah mengambil mobilnya, Willy meluncur di tengah kemacetan kota Arsaka. Langit sudah mulai gelap dan jalanan padat dengan kendaraan yang berdesakan. Ia menyalakan lampu hazard saat laju kendaraan benar-benar melambat. Tak seberapa lama waktu berjalan, ponselnya bergetar di dashboard, itu adalah panggilan masuk dari Ben Dino."Halo, Ayah?" Willy menjawab panggilan sambil tetap fokus pada lalu lintas."Nak, kamu ada di mana? Malam ini Ayah ingin mengajakmu menjenguk seorang teman lama yang sedang sakit. Ayah s

  • Menantu Kuli   XLIV. Sia-sia yang beruntung

    Bab XLIV : Sia-sia yang BeruntungWilly berdiri tepat di depan gerbang kampus Delia, memandang arlojinya dengan perasaan bangga. Jarum panjang tepat berada di angka dua belas, sementara jarum pendek menunjukkan angka lima. Ia berhasil! Dengan napas yang masih sedikit tersengal setelah perjalanan yang cukup menegangkan, ia dalam hati bersorak kegirangan.Namun, ekspresinya berubah seketika saat ia menyadari sesuatu. Delia tidak ada di sana. Matanya menyapu sekitar, mencari sosok istrinya, tetapi yang ia temukan hanya mahasiswa yang sibuk dengan urusan masing-masing. Dengan cepat, Willy mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Delia."Halo, Sayang. Aku sudah di kampus. Kamu di mana?"Jawaban di seberang sana membuat Willy terdiam. Delia memberitahukan bahwa ia sudah berada di rumah sejak satu jam yang lalu. Ia mengira Willy sibuk dengan urusan kafe, jadi ia memutuskan untuk pulang sendiri menggunakan taksi."Tapi Delia, bukannya kita janjian jam lima sore?" tanya Willy, mencoba memahami s

  • Menantu Kuli   XLIII. Raysa oh Raysa

    Bab XLIII: Raysa Oh RaysaDi kamar yang nyaman di rumah Ben Dino, Willy sedang duduk bersandar di tempat tidur dengan mata terpejam. Hari itu terasa melelahkan baginya. Ia menghabiskan waktu untuk berlatih mengendalikan energinya dan berpikir tentang bagaimana ia bisa membuktikan diri di hadapan keluarga Haldi. Sejenak ia beristirahat untuk mengendurkan saraf-saraf yang kaku. Namun, ketenangan yang baru saja ia rasakan mendadak terganggu oleh suara yang tiba-tiba muncul di dalam pikirannya."Willy..."Suara itu lembut dan halus, seperti suara seorang wanita yang berbicara penuh kasih sayang. Willy langsung membuka matanya lebar-lebar, jantungnya berdegup kencang. Ia melihat sekeliling kamar, memastikan bahwa ia masih sendirian."Siapa itu?!" teriaknya spontan, merasa panik dan ketakutan.“Ini aku,” ujar suara itu penuh misteri. Pikiran diri segera berkecamuk tak menentu dan mulai berpikir yang tidak-tidak."Aku adalah Raysa, asisten sistem cahaya yang bertugas mendampingimu dalam per

  • Menantu Kuli   XLII. Berpikir keras

    Bab XLII : Berpikir KerasDi kafe miliknya, Willy duduk termenung di salah satu sudut ruangan yang tenang. Aroma kopi memenuhi udara, tetapi secangkir kopi yang ada di hadapannya sudah lama menjadi dingin, tak tersentuh. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai skenario dan perhitungan. Jika ia tidak segera mengambil langkah yang tepat, hinaan dan cemoohan dari keluarga istrinya serta orang-orang yang meremehkannya akan terus membayangi hidupnya. Ia tahu dirinya harus segera bertindak.Willy bergumam pada dirinya sendiri, “Aku tidak boleh berhenti untuk berpikir dan mencari ide brilian. Hidup dan masa depanku tergantung pada bagaimana aku memikirkannya sekarang.“Di seberangnya, Wastin menatap Willy dengan penuh perhatian. Paman dari istrinya itu adalah satu-satunya orang dari keluarga Haldi yang tidak membencinya. Dengan suara tenang, ia berkata, "Kakakku, Haldi, sebenarnya memiliki hati yang baik. Hanya saja, ia terus-menerus dipengaruhi oleh Mira. Jika kau bisa membuktikan bahwa kau mampu

  • Menantu Kuli   XLI. Perubahan rencana

    [Bab XLI : Perubahan Rencana]Malam hari, di rumah Ben Dino, suasana terasa hangat meskipun topik pembicaraan cukup serius. Willy duduk berhadapan dengan Ben dan Sano, sementara Delia berada di sampingnya. Mereka membahas rencana bisnis yang selama ini telah Willy pikirkan dengan matang."Aku senang kau memiliki ambisi besar, Willy," kata Ben dengan nada bijak. "Namun, aku pikir ada baiknya kita menunda rencana perusahaan bisnis yang besar. Sebagai pemula, akan lebih baik jika kau memulai dari usaha yang lebih kecil, yang minim risiko."Sano mengangguk setuju. "Ayah benar. Aku siap mendampingimu dalam perjalanan ini, Willy. Tapi kita harus memastikan langkah yang kita ambil benar-benar matang. Jika terlalu terburu-buru, risiko kerugian akan semakin besar."Willy merenungkan kata-kata mereka. Ia sadar bahwa dirinya memang masih hijau dalam dunia bisnis. Meski memiliki dana yang cukup besar, ia tetap perlu berhati-hati agar tidak mengalami kegagalan yang bisa merugikan segalanya."Jadi

  • Menantu Kuli   XL. Mereka juga kaget

    Willy turun dari Lamborghini Centenario dengan langkah tenang, tatapan matanya lurus ke arah Delia. Pria-pria yang mengelilingi istrinya seolah tidak dihiraukannya. Ia tetap berjalan dengan penuh percaya diri hingga sampai di hadapan Delia. “Delia,” panggilnya lembut sambil meraih tangan istrinya. “Sudah selesai kuliah? Ayo kita pulang.” Delia terlihat lega melihat kehadiran Willy. Ia mengangguk dan mendekat ke arahnya, tanpa memperhatikan ekspresi Tomey yang berubah drastis. Tomey, yang tampak terkejut melihat keakraban Willy dan Delia, segera menyadari apa yang terjadi. “Hei, tunggu dulu. Kau siapa berani-beraninya mencampuri urusanku dengan Delia? Bukankah kau hanya kuli di rumah Delia?” tanya Tomey dengan nada penuh rasa tidak suka. Willy menatap Tomey dengan santun tetapi tegas. “Saya suaminya. Jadi, tolong jangan ganggu Delia lagi.” Pernyataan itu membuat Tomey terdiam sejenak. Wajahnya berubah masam, lalu dengan nada penuh ejekan ia tertawa kecil. “Suaminya? Jangan be

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status