Dua pemuda itu menyerang Willy secara bersamaan, masing-masing dengan tinju yang meluncur dari arah berlawanan. Dalam hitungan detik, mereka sudah berada dalam jarak serang.
Willy tidak sempat berpikir. Sekali lagi, tubuhnya bergerak sendiri, seolah naluri pertahanannya mengambil alih. Ia melangkah ke samping dengan gesit, menghindari pukulan pertama, sementara tangan kirinya terangkat untuk menangkis tinju yang datang dari arah lain. Gerakannya cepat, hampir tidak terlihat, tetapi sangat akurat. Sebelum salah satu dari mereka sempat melancarkan serangan lagi, Willy melancarkan sebuah tendangan rendah yang menyapu kaki salah satu pemuda, membuatnya jatuh tersungkur ke tanah. Pemuda itu mencoba bangkit, tetapi sebelum ia berhasil berdiri, Willy sudah bergerak ke arah yang lain. Pemuda kedua mencoba menyerang dengan sebuah tendangan lurus, tetapi Willy memutar tubuhnya dengan lincah, menghindari serangan itu. Dengan sebuah pukulan cepat ke perut, pemuda itu kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk, meringis kesakitan. Delia menutup mulutnya dengan tangan, terkejut dengan apa yang baru saja ia saksikan. Ia tahu Willy terlihat cukup tangguh, tetapi ia tidak pernah menyangka bahwa Willy mampu melumpuhkan dua orang dengan begitu mudah. Di sisi lain, Tomey yang menyaksikan semuanya berdiri terpaku, tidak percaya dengan apa yang terjadi. Ia tidak pernah melihat kedua temannya, yang biasanya cukup percaya diri dalam berkelahi, dikalahkan dengan begitu cepat. "Apa-apaan ini?" Tomey bergumam, wajahnya memerah karena marah dan malu. Namun, amarahnya mengalahkan rasa takut. "Kalian benar-benar tidak berguna!" bentaknya pada kedua temannya yang masih berusaha bangkit dari tanah. Kini hanya tersisa Tomey sendiri, tetapi ia masih memiliki keberanian untuk maju. Dengan tinju yang sudah terangkat, ia berjalan mendekati Willy. "Jangan pikir kau bisa lolos dengan mudah!" katanya dengan nada penuh keyakinan. Willy tetap diam, matanya menatap Tomey dengan tenang. Delia mencoba menghentikan Tomey. "Sudah cukup, Tomey! Kau hanya mempermalukan dirimu sendiri!" Namun, Tomey tidak mendengarkan. Dengan teriakan penuh emosi, ia melancarkan sebuah pukulan lurus ke arah wajah Willy. Sekali lagi, tubuh Willy bergerak seperti rumput yang tertiup angin, lincah dan fleksibel. Ia menghindar ke samping, membuat pukulan Tomey meleset. Sebelum Tomey sempat menarik kembali tangannya, Willy memutar tubuhnya dengan sebuah gerakan melingkar dan menggunakan bahunya untuk mendorong tubuh Tomey. Tomey kehilangan keseimbangan dan jatuh terjengkang ke tanah. Ia mencoba bangkit, tetapi sebelum ia sempat berdiri, Willy sudah berada di depannya. Dengan gerakan tenang, Willy menempatkan kakinya di tanah, menghalangi Tomey untuk menyerang lagi. "Sudah cukup," kata Willy dengan suara yang rendah tapi penuh otoritas. Tomey terdiam, terengah-engah, dan wajahnya yang memerah berubah menjadi pucat. Ia menyadari bahwa ia tidak memiliki kesempatan untuk menang melawan Willy. Di sekitar mereka, beberapa mahasiswa yang masih berada di gerbang kampus mulai berkumpul, menyaksikan kejadian itu dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Beberapa bahkan mulai merekam dengan ponsel mereka. Situasi ini semakin mempermalukan Tomey, yang selama ini dikenal sebagai orang yang berkuasa di kampus. Dengan susah payah, Tomey akhirnya berdiri, dibantu oleh kedua temannya. Ia menatap Willy dengan penuh kebencian, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. "Aku tidak akan melupakan ini," kata Tomey dengan suara dingin, sambil menunjuk ke arah Willy. "Kau akan menyesal karena telah mempermalukanku." Delia maju selangkah, matanya tajam menatap Tomey. "Kau yang mempermalukan dirimu sendiri, Tomey. Jangan salahkan orang lain." Tomey tidak menjawab. Ia hanya menggeram pelan sebelum berbalik dan pergi bersama kedua temannya, langkah mereka terlihat tertatih-tatih. --- Saat suasana mulai mereda, Willy menghela napas panjang, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ia tidak tahu bagaimana ia bisa melakukan semua gerakan itu. Ia merasa tubuhnya bergerak sendiri, tanpa kontrol penuh dari pikirannya. Delia menyentuh lengan Willy dengan lembut. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya, nada suaranya penuh kekhawatiran. Willy mengangguk pelan. "Saya baik-baik saja, Delia. Apakah kamu terluka?" Delia menggeleng. "Aku baik-baik saja. Tapi kau... aku tidak tahu kau bisa bertarung seperti itu. Kau seperti profesional." Willy hanya tersenyum kecil, tidak tahu harus menjawab apa. Ia juga merasa bingung dengan kemampuan yang tiba-tiba muncul dalam dirinya. "Sudah, ayo kita pergi dari sini," kata Delia akhirnya. "Aku tidak ingin berada di sini lebih lama." Willy mengangguk, dan mereka berdua kembali ke mobil. --- Perjalanan pulang dari Universitas Arsaka terasa cukup hening. Willy fokus mengemudikan Mini Cooper biru milik Delia, sementara Delia duduk di kursi penumpang dengan tatapan kosong ke luar jendela. Namun, setelah beberapa menit berlalu, Delia memecah keheningan. “Terima kasih, Willy,” katanya pelan. Willy menoleh sejenak sebelum kembali memusatkan perhatian pada jalan. “Untuk apa, Delia?” tanyanya sopan. Delia menghela napas. “Untuk tadi. Kau melindungiku dari Tomey. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau kau tidak ada.” Willy hanya tersenyum kecil. “Sudah tugas saya melindungimu, Delia.” Namun, Delia menggeleng perlahan. “Bukan hanya itu. Entah kenapa... meskipun kita baru bertemu hari ini, aku merasa kau adalah orang yang bisa diandalkan. Mungkin aku terlalu cepat menilai, tapi... aku merasa ada sesuatu yang berbeda tentangmu.” Willy tidak menjawab. Kata-kata Delia membuatnya sedikit gugup, tetapi ia tetap berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap netral. Sesampainya di rumah keluarga Haldi, lampu-lampu di ruang tamu menyala terang. Dari balik jendela besar, Willy bisa melihat Mira dan Haldi duduk di sofa, menunggu dengan ekspresi serius. Hatinya mulai terasa tidak nyaman. “Kita sudah ditunggu,” kata Delia dengan nada cemas, memperhatikan hal yang sama. Willy hanya mengangguk, lalu memarkir mobil dengan hati-hati di garasi sebelum keluar dan membukakan pintu untuk Delia. Keduanya berjalan masuk ke rumah, dan suasana tegang segera menyambut mereka. “Duduk di sini,” kata Mira dengan nada dingin begitu Delia dan Willy masuk. Tangannya menunjuk ke kursi kosong di seberang mereka. Willy dan Delia menurut, meskipun Willy sudah bisa menebak apa yang akan terjadi. “Jadi, kau pikir kau bisa melakukan apa saja hanya karena kami mempekerjakanmu?” kata Mira, langsung menyerang Willy dengan kata-kata tajam. Willy tetap diam, mencoba membaca situasi sebelum memberikan tanggapan. “Orang tua Tomey baru saja meneleponku!” Mira melanjutkan, suaranya meninggi. “Mereka bilang sopir kami, yang tidak tahu diri, berani-beraninya menganiaya anak mereka di depan umum! Apa kau tahu betapa memalukan dan berbahayanya ini untuk reputasi keluarga kami?” Delia mencoba berbicara. “Bu, itu bukan salah Willy. Tomey yang...” “Diam, Delia!” potong Mira tajam. “Kau tidak perlu membela dia.” Delia terdiam, meskipun wajahnya menunjukkan ketidaksetujuan. Haldi yang duduk di samping Mira menatap Willy dengan ekspresi kecewa. “Kami mempekerjakanmu untuk melayani keluarga ini, Willy, bukan untuk membuat masalah.” Willy merasa panas di dadanya, tetapi ia berusaha menahan diri. Dengan suara yang tenang, ia berkata, “Saya hanya melindungi Nona Delia, Pak. Tomey memaksa beliau untuk pergi bersamanya meskipun sudah menolak. Ketika saya mencoba membawa Nona Delia pergi, dia menyerang saya terlebih dahulu.” Mira mendengus sinis. “Itu bukan urusanmu! Kau tidak punya hak untuk ikut campur dengan siapa Delia pergi atau tidak pergi!” “Bu, itu tidak adil!” Delia kembali mencoba membela Willy. “Kalau bukan karena dia, aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Tomey itu kasar dan memaksa!” Namun, Mira tidak peduli. “Delia, aku sudah bilang diam!” Haldi menghela napas panjang. “Intinya, Willy, tindakanmu tidak bisa diterima. Sebagai karyawan, kau seharusnya tahu batasan. Kami tidak ingin kejadian seperti ini terulang lagi. Mengerti?” Willy menundukkan kepala. “Saya mengerti, Pak,” jawabnya pelan, meskipun hatinya terasa seperti dihimpit batu besar. --- Setelah pertemuan itu selesai, Willy berjalan kembali ke ruang belakang dengan langkah berat. Ia merasa dihantam oleh rasa kecewa yang mendalam. Mira terlalu keras dan tidak masuk akal, sementara Haldi hanya mengikuti keputusannya tanpa mempertimbangkan sisi lain. Di dapur, Bu Din yang sedang membereskan piring makan malam menatap Willy dengan prihatin. “Kamu tidak apa-apa, Wil?” tanyanya lembut. Willy hanya tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, Bu. Terima kasih.” Namun, saat ia tiba di kamar kecilnya, ia tidak bisa menahan diri lagi. Duduk di tepi ranjang, ia menundukkan kepala, memegang rambutnya dengan kedua tangan. Ingin rasanya menjambak rambutnya sendiri. “Kenapa semuanya jadi seperti ini?” gumam Willy pelan. Hari kedua di rumah keluarga Haldi ternyata jauh lebih berat dari yang ia bayangkan. Willy mulai merasa bahwa mungkin ia tidak akan bertahan lama di tempat ini. Willy menatap nanar daun pintu kamarnya, "Sebaiknya aku pergi saja dari rumah ini sekarang juga. Keluarga tidak logis!" ###Bab XLV: Harta KarunWilly menaiki ojek motor dengan cepat, menuju rumah warga tempat mobilnya dititipkan. Sambil menikmati hembusan angin sore yang menyapu wajahnya, ia merasa puas dengan kejadian sore tadi. Willy tak sabar ingin segera menceritakan perkelahiannya dengan anak buah Tomey kepada Delia. Ia ingin istrinya tahu bahwa pria yang selama ini mendekatinya, ternyata tak lebih dari sekedar pengecut yang hanya berani bertindak ketika memiliki banyak anak buah di sisinya.Setelah mengambil mobilnya, Willy meluncur di tengah kemacetan kota Arsaka. Langit sudah mulai gelap dan jalanan padat dengan kendaraan yang berdesakan. Ia menyalakan lampu hazard saat laju kendaraan benar-benar melambat. Tak seberapa lama waktu berjalan, ponselnya bergetar di dashboard, itu adalah panggilan masuk dari Ben Dino."Halo, Ayah?" Willy menjawab panggilan sambil tetap fokus pada lalu lintas."Nak, kamu ada di mana? Malam ini Ayah ingin mengajakmu menjenguk seorang teman lama yang sedang sakit. Ayah s
Bab XLIV : Sia-sia yang BeruntungWilly berdiri tepat di depan gerbang kampus Delia, memandang arlojinya dengan perasaan bangga. Jarum panjang tepat berada di angka dua belas, sementara jarum pendek menunjukkan angka lima. Ia berhasil! Dengan napas yang masih sedikit tersengal setelah perjalanan yang cukup menegangkan, ia dalam hati bersorak kegirangan.Namun, ekspresinya berubah seketika saat ia menyadari sesuatu. Delia tidak ada di sana. Matanya menyapu sekitar, mencari sosok istrinya, tetapi yang ia temukan hanya mahasiswa yang sibuk dengan urusan masing-masing. Dengan cepat, Willy mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Delia."Halo, Sayang. Aku sudah di kampus. Kamu di mana?"Jawaban di seberang sana membuat Willy terdiam. Delia memberitahukan bahwa ia sudah berada di rumah sejak satu jam yang lalu. Ia mengira Willy sibuk dengan urusan kafe, jadi ia memutuskan untuk pulang sendiri menggunakan taksi."Tapi Delia, bukannya kita janjian jam lima sore?" tanya Willy, mencoba memahami s
Bab XLIII: Raysa Oh RaysaDi kamar yang nyaman di rumah Ben Dino, Willy sedang duduk bersandar di tempat tidur dengan mata terpejam. Hari itu terasa melelahkan baginya. Ia menghabiskan waktu untuk berlatih mengendalikan energinya dan berpikir tentang bagaimana ia bisa membuktikan diri di hadapan keluarga Haldi. Sejenak ia beristirahat untuk mengendurkan saraf-saraf yang kaku. Namun, ketenangan yang baru saja ia rasakan mendadak terganggu oleh suara yang tiba-tiba muncul di dalam pikirannya."Willy..."Suara itu lembut dan halus, seperti suara seorang wanita yang berbicara penuh kasih sayang. Willy langsung membuka matanya lebar-lebar, jantungnya berdegup kencang. Ia melihat sekeliling kamar, memastikan bahwa ia masih sendirian."Siapa itu?!" teriaknya spontan, merasa panik dan ketakutan.“Ini aku,” ujar suara itu penuh misteri. Pikiran diri segera berkecamuk tak menentu dan mulai berpikir yang tidak-tidak."Aku adalah Raysa, asisten sistem cahaya yang bertugas mendampingimu dalam per
Bab XLII : Berpikir KerasDi kafe miliknya, Willy duduk termenung di salah satu sudut ruangan yang tenang. Aroma kopi memenuhi udara, tetapi secangkir kopi yang ada di hadapannya sudah lama menjadi dingin, tak tersentuh. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai skenario dan perhitungan. Jika ia tidak segera mengambil langkah yang tepat, hinaan dan cemoohan dari keluarga istrinya serta orang-orang yang meremehkannya akan terus membayangi hidupnya. Ia tahu dirinya harus segera bertindak.Willy bergumam pada dirinya sendiri, “Aku tidak boleh berhenti untuk berpikir dan mencari ide brilian. Hidup dan masa depanku tergantung pada bagaimana aku memikirkannya sekarang.“Di seberangnya, Wastin menatap Willy dengan penuh perhatian. Paman dari istrinya itu adalah satu-satunya orang dari keluarga Haldi yang tidak membencinya. Dengan suara tenang, ia berkata, "Kakakku, Haldi, sebenarnya memiliki hati yang baik. Hanya saja, ia terus-menerus dipengaruhi oleh Mira. Jika kau bisa membuktikan bahwa kau mampu
[Bab XLI : Perubahan Rencana]Malam hari, di rumah Ben Dino, suasana terasa hangat meskipun topik pembicaraan cukup serius. Willy duduk berhadapan dengan Ben dan Sano, sementara Delia berada di sampingnya. Mereka membahas rencana bisnis yang selama ini telah Willy pikirkan dengan matang."Aku senang kau memiliki ambisi besar, Willy," kata Ben dengan nada bijak. "Namun, aku pikir ada baiknya kita menunda rencana perusahaan bisnis yang besar. Sebagai pemula, akan lebih baik jika kau memulai dari usaha yang lebih kecil, yang minim risiko."Sano mengangguk setuju. "Ayah benar. Aku siap mendampingimu dalam perjalanan ini, Willy. Tapi kita harus memastikan langkah yang kita ambil benar-benar matang. Jika terlalu terburu-buru, risiko kerugian akan semakin besar."Willy merenungkan kata-kata mereka. Ia sadar bahwa dirinya memang masih hijau dalam dunia bisnis. Meski memiliki dana yang cukup besar, ia tetap perlu berhati-hati agar tidak mengalami kegagalan yang bisa merugikan segalanya."Jadi
Willy turun dari Lamborghini Centenario dengan langkah tenang, tatapan matanya lurus ke arah Delia. Pria-pria yang mengelilingi istrinya seolah tidak dihiraukannya. Ia tetap berjalan dengan penuh percaya diri hingga sampai di hadapan Delia. “Delia,” panggilnya lembut sambil meraih tangan istrinya. “Sudah selesai kuliah? Ayo kita pulang.” Delia terlihat lega melihat kehadiran Willy. Ia mengangguk dan mendekat ke arahnya, tanpa memperhatikan ekspresi Tomey yang berubah drastis. Tomey, yang tampak terkejut melihat keakraban Willy dan Delia, segera menyadari apa yang terjadi. “Hei, tunggu dulu. Kau siapa berani-beraninya mencampuri urusanku dengan Delia? Bukankah kau hanya kuli di rumah Delia?” tanya Tomey dengan nada penuh rasa tidak suka. Willy menatap Tomey dengan santun tetapi tegas. “Saya suaminya. Jadi, tolong jangan ganggu Delia lagi.” Pernyataan itu membuat Tomey terdiam sejenak. Wajahnya berubah masam, lalu dengan nada penuh ejekan ia tertawa kecil. “Suaminya? Jangan be