“Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge
Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat
Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng
Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia
“Menikahlah dengannya Nadina, bapak dan ibu sudah mengetahui bagaimana pemuda itu juga dengan keluarganya. Ia pemuda yang baik yang bisa menuntunmu menjadi lebih baik lagi,” tutur pria berusia 60 tahunan yang telah tampak lemah di atas brankar rumah sakit.“Nadina tidak mau menikahinya! Nadina tidak mengenal siapa pemuda itu! Bahkan lingkungannya sangat monoton! Nadina pasti akan menjadi seorang wanita dapur di sana! Selalu mengenakan hijab seharian! Nadina tidak akan menyetujui pernikahan ini!” tolak seorang gadis berusia 23 tahun yang tak lama ini menyandang gelar sarjana bahasa asing—Nadina Hafisa Rahmi.Seorang wanita tua yang tak jauh berbeda usianya dengan si bapak tampak merangkul Nadina sambil lirih mengucapkan istigfar.“Hijab itu kewajiban, Nadina! Kamu tidak boleh menolak seperti ini. Lagi pula kamu sudah belajar mengenakan hijab selama kuliah satu tahun terakhir ini bukan? Kamu sudah mulai terbiasa. Nadhif juga pemuda yang baik. Ibu dan bapak yakin dia bisa membimbingmu, N
Dokter keluar dari ruang rawat inap Harun bersama seorang suster dan langsung disambut oleh kedua belah keluarga.“Bagaimana keadaan suami saya, Dok?” tanya Khoiri sambil mencuri pandang ke ruangan dalam tempat sang suami berada.“Keadaan Pak Harun kini semakin melemah. Beliau kembali tak sadarkan diri. Kita doakan saja yang terbaik untuk beliau,” papar sang dokter kembali membuat Khoiri menjatuhkan air matanya.Ibu Nadhif segera merangkul Khoiri dan menenangkannya. Sementara Nadina yang mendengar berita buruk itu sontak langsung kembali ke tempat duduk di depan ruang inap sang ayah. Gadis itu membungkukkan tubuhnya dan menutup muka dengan kedua tangannya.“Temui istrimu, tenangkan dirinya. Ini tugasmu sekarang, Le!” pekik Ali sambil sedikit mengarahkan Nadhif agar mendekati Nadina.Nadhif dengan sedikit canggung berjalan ke dekat wanita yang beberapa menit lalu baru ia sebut namanya dalam akad. Perasaannya sedikit campur aduk takut jika mendapatkan penolakan seperti sebelumnya.“Ehm!
Keesokan paginya, Nadina terbangun dari tidurnya dengan menyingkap selimut yang menutup tubuhnya itu.“Semalam aku tidur di sebelah bapak, kenapa sekarang aku bangun di sofa?” gumam Nadina lalu mengubah pandangannya ke arah depan.Tampak Nadhif duduk di sebelah sang ayah sambil melipat tangan di depan dada dengan kepala yang tertunduk karena kantuk.“Kamu sudah bangun, Nadina? Sebentar lagi subuh, segera ambil air wudu, kamu mesti berjamaah dengan suamimu bukan?” tutur Khoiri yang tiba-tiba muncul di sana sambil menyodorkan tas mukena pada Nadina.“Semalam Nadina tidur di posisi Nadhif, kenapa sekarang Nadina terbangun di sofa?” sergah Nadina tampak sedikit kesal.“Itu artinya ada yang peduli dan menyayangimu. Dia tak ingin kamu sakit punggung setelah tertidur dengan posisi yang tidak nyaman. Sudahlah, segera bersih diri!” Khoiri segera menarik Nadina agar putrinya itu segera bersiap untuk menunaikan salah satu kewajibannya sebagai umat muslim.Sambil masih sedikit kebingungan, Nadina
Seluruh warga pondok Darussalam—pondok milik keluarga Nadhif, telah menyambut kedatangan Nadina dengan cukup meriah. Para santri dan santriwati bahkan putra-putri mereka menyambut kedatangan mobil Nadhif di pelataran pondok yang luas itu.“Istrinya Ustadz Nadhif datang!!” teriak salah satu bocah lelaki yang langsung masuk ke bangunan tengah yang tampak lebih besar dan kokoh—dalem.“Apa ini? Kau memberi tahukan kedatanganku pada seluruh antekmu?” sergah Nadina menatap Nadhif ketus.Nadhif tampak mematikan mesin mobilnya, lalu melepas sabuk pengaman yang menahan tubuhnya saat berkendara tadi. Pemuda itu masih belum juga menyahut pertanyaan Nadina sementara sang penanya terus menatapnya penasaran.“Nadhif! Aku bicara padamu!” sergah Nadina lagi.“Mulai sekarang saya tidak akan menyahut jika kamu hanya memanggil saya dengan nama atau malah tanpa nama. Saya suamimu, Nadina. Saya tahu pernikahan ini sedikit karena paksaan. Tapi saya harap kamu bisa menghargai posisi saya sebagai suamimu. Ma