LOGINKabar tentang keluarga Dominic mulai beredar di antara orang-orang yang pernah mengenal Nico. Hans, yang kembali ke klub untuk mencari petunjuk, hanya disambut tawa sinis.Salah satu teman Nico mendengus. “Kami tahu keluarga Dominic sedang di ambang kehancuran.”Hans menatap mereka datar. “Jangan menelan gosip sebelum terbukti. Semua baik-baik saja.”Namun semakin ia menegaskan, semakin besar penolakan di wajah mereka. Nama Nico, utangnya, dan kepergiannya menjadi alasan kuat untuk tak mempercayai apa pun dari mulut Hans.“Benarkah?” tantang seorang pria berjaket kulit. “Kau pikir kami bodoh?”Hans mendekat perlahan, berdiri di hadapan mereka. “Aku tak punya waktu untuk berbohong. Percayalah atau tidak, urusan kalian.”Ia berbalik, siap pergi. “Nikmati malam kalian. Dunia kalian kecil, jangan tersesat di dalam gosip.”Nada suaranya tajam tapi tenang, meninggalkan kesan tak terbantahkan. Setelah itu, ia melangkah pergi tanpa menoleh.Begitu Hans menghilang, meja itu pecah dalam tawa.“
Dukungan Martin bukan sekadar angka; itu tanda bahwa garis kekuasaan mulai berpindah, dan orang-orang yang dulu setia pada Sectio perlahan berkumpul di bawah panji barunya. Di mata Bastian, itu bukan kemenangan sia-sia, itu amanah yang harus dijaga.“Ayo, makan lagi,” ajaknya ringan. Suasana yang tegang disuburkan dengan tawa kecil dan piring yang bergeser. Brigit menghidangkan kue, dan Bastian mencicipinya sejenak, menikmati rasa manis itu seperti memetik sejenak ketenangan di tengah badai yang menjelang.“Kau sangat mirip Sectio,” ujar Martin akhirnya, suaranya dipenuhi kekaguman jujur. Ia melihat bayangan pemimpin lama pada sosok muda di hadapannya, sifat yang tak mudah dipalsukan.“Karena aku anaknya,” Bastian menjawab santai, tetapi matanya menyimpan tekad baja. Puji itu membuatnya tenang; pengakuan itu seperti meneguhkan jalannya.Percakapan bergeser pelan ke topik berat. Charlie masih menyisakan kerut di dahinya, suara sinisnya kadang menusuk. “Sudah banyak yang melindungiku,”
Suasana malam di markas Bastian dipenuhi ketegangan. Hujan baru saja berhenti, meninggalkan aroma tanah basah yang menusuk hidung. Dari kejauhan, konvoi kendaraan berhenti di depan gerbang utama. Martin turun lebih dulu, ditemani sepuluh anak buah yang mengawalnya dengan sikap siaga.‘Jadi ini markas Bastian selama ini,’ batin Martin. Bangunannya megah, berdiri dengan struktur yang menunjukkan kekuasaan dan kehati-hatian. Ia mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan singkat.Aku sudah di depan. Cepatlah ke sini.Tak lama kemudian, Brigit muncul dari balik pintu gerbang. Ia berlari kecil mendekati ayahnya. “Kenapa Papa membawa pasukan sebanyak ini? Ini bukan medan perang.”Martin menatap ke arah pengawal yang berjajar di belakangnya. “Hanya berjaga-jaga. Aku tidak tahu seperti apa sambutan di sini.”Brigit menghela napas. “Baik. Tapi jangan sampai salah paham. Kalau Papa datang ke sini atas perintah Bernard, Bastian tidak akan segan membunuhmu.”Martin menggeleng cepat. “Aku tidak lagi di
Alexa menunggu Ethan pulang ke villa dengan dada bergemuruh. Amarahnya sudah mencapai puncak begitu mendengar Ethan membuat keributan di perusahaan Arya. Terlebih, tanpa sepengetahuannya. Ia merasa dikhianati, dikontrol, dan dipermalukan di hadapan dunia luar.Begitu mobil Ethan berhenti di garasi, Alexa langsung menghampirinya. Dua pengawal yang ditugaskan menjaga pintu kamarnya tak berani menahan ketika ia mengancam akan melapor pada Bastian agar mereka dipecat."Ethan, apa yang kau pikirkan, hah?" bentak Alexa, menarik kerah kemeja Ethan hingga tubuhnya menegang. Tatapannya tajam, bergetar oleh emosi.Ethan terpaku sejenak melihat Alexa bisa sampai ke garasi. “Kamu harusnya di kamar. Di luar tidak aman,” ucapnya dingin, menahan diri agar tak terpancing.“Aku tak peduli! Jelaskan dulu, kenapa kau datang ke kantor Arya dan membuat keributan? Aku bukan tahananmu, Ethan. Aku hanya berteman dengan Arya!” seru Alexa. Wajahnya memerah, napasnya memburu.Ethan memicingkan mata. “Dari mana
“Kenapa aku tidak diberi tahu?!” bentak Arya. Suaranya menggema di ruangan, membuat resepsionis yang berdiri di depan meja menunduk ketakutan.“Maaf, Pak Arya. Bapak sendiri bilang tidak ingin diganggu. Saya hanya menjalankan perintah,” jawab resepsionis itu gugup.Arya memijat pelipisnya keras-keras. Sial. Saat bagus untuk berbicara langsung dengan Ethan malah hilang gara-gara salah paham sepele. Ia tahu Ethan datang bukan tanpa alasan.“Kenapa kamu usir dia?!” Arya menekan suaranya agar tetap tenang, tapi nada tajamnya tetap menusuk.Resepsionis menjelaskan dengan suara bergetar, tentang Ethan yang datang tiba-tiba, menolak diatur, memaksa masuk, hingga empat satpam harus turun tangan untuk menenangkannya. Arya mendengarkan tanpa menyela, hanya sesekali mengangguk kecil.Begitu telepon ditutup, suasana ruangan menjadi hening. Langkah lembut terdengar dari belakang. Anya, sekretaris pribadinya, mendekat dengan senyum manis yang menutupi rasa ingin tahunya.“Pak Arya kenapa? Wajahnya
Ethan Winata ditinggalkan dalam frustrasi yang mendidih. Alexa memasuki kamar, mengabaikan Ethan, dan segera merangkai suara manisnya di telepon, terhubung dengan Arya. Perintah keras Ethan agar ia menjauhi pria mana pun telah menjadi debu yang tertiup angin baginya.“Bagaimana kondisimu? Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Arya dengan nada khawatir yang lembut, namun terasa memiliki daya tarik yang kuat. Mendengar pertanyaan itu saja, senyum tipis terukir di bibir Alexa. Perhatian semacam ini sudah lama hilang dari hidupnya. Meskipun hanya sebuah pertanyaan, kebahagiaan itu memabukkan.Alexa tak tahu mengapa Arya selalu berhasil memicu gejolak aneh di jiwanya. Pria itu seolah memahami dirinya lebih dari siapa pun—romantis, penuh perhatian, dan memiliki daya tarik yang membuatnya betah menghabiskan waktu berjam-jam.“Aku baik-baik saja. Memangnya ada apa?” Alexa balik bertanya.“Tadi aku mengirim seratus mawar merah ke kantormu, tapi resepsionis bilang kamu tidak masuk. Aku khawatir. K







