Share

4. Aib

Menantu TEGAS, ipar PANAS, mertua LEMAS

4. Aib

"Ajari istrimu itu sopan santun, Galuh!" Ibu menatapku dengan sinis. "Suka sekali memfitnah suami! Ibu tidak suka, anak Ibu diperlakukan seperti ini," ketusnya lagi.

"Loh, kok fitnah?" Aku bertanya heran, mengabaikan sinar-sinar laser dari mata mereka.

"Anakku itu bekerja tidak tahu siang tidak tahu malam, kok, ya kamu bilang dia tidak menafkahi. Itu fitnah namanya, Ellen. Lebih kejam daripada pembunuhan!" ucap Ibu sok bijak, demi membela anak lanangnya.

"Bu, kalau hanya lima puluh ribu dalam satu minggu, itu bukan nafkah namanya!" ucapku tak mau kalah. "Bahkan untuk membeli rokoknya saja, harus dari uang hasil aku menjahit!" tegasku lagi.

"Lah, ya harus itu. Namanya juga suami istri, uang istri uang suami. Lah, uang anakku saja diberikan untukmu. Aku ibunya saja, tidak pernah meminta walau satu sen pun. Padahal aku yang melahirkan dan membesarkan suamimu sampai segini besarnya!" sungut Ibu makin ngaco.

"Ya Allah, Bu. Aku ini istrinya Bang Galuh, tentu saja sudah kewajibannya untuk menafkahi ku." Dengan raut tak percaya aku berucap mengingatkan, mana tau Ibu hilang ingatan.

"Dek, sudah!" Bang Galuh mencoba melerai adu argumen antara aku dan ibunya.

"Kalau kami berlebih, aku pasti juga memberi Ibu uang. Tidak perlu Ibu ingatkan, Bu. Tapi nyatanya anak lanang Ibu ini, tidak mampu Tidak mampu!” kataku berapi-api. “Ingat, Bu! Haram seorang suami memakan uang istrinya!" ucapku tajam.

"Pinter ngomong kamu sekarang ya, Ellen. Jangan ajari aku kalau masalah agama, duluan aku makan asam garam dari pada kamu di dunia ini." Ibu berucap tak terima, wajahnya terlihat memerah menahan amarah yang siap meledak.

"Loh, kan memang begitu kodratnya. Kita bisa tanya sama Bang Abdul yang paham ilmu agama, bagaimana pendapat Abang?" kataku melemparkan pertanyaan pada suami Kak Dewi.

Sengaja aku bertanya pada Bang Abdul, karena selain dia anak seorang ustadz, Bang Abdul juga mondok dulu. Jelas dia lebih paham ilmu agama daripada orang lain yang ada di sini. 

Selain itu, mungkin saja jika Bang Abdul yang menjelaskan, Ibu akan mengerti.

"Begini, Bu. Setelah menikah, istri adalah sepenuhnya tanggung jawab suami. Mulai dari sandang, pangan, dan papan, suami wajib menyediakannya. Menafkahi istri hukumnya wajib, tidak bisa diganggu-gugat!" tegas Bang Abdul. 

"Sedangkan kalau masalah uang istri itu uang suami, itu tidak benar! Uang istri sepenuhnya milik istri, baik itu dari dia bekerja, ataupun dari sebuah warisan. Suami tidak boleh memakan uang istri, kecuali dengan kerelaan sang istri." lanjutnya lagi, dia menjelaskan secara detail dan juga lugas sehingga mudah untuk dipahami.

Bang Abdul berucap tegas namun lembut, sehingga tidak ada aura menggurui di sana. Matanya memindai wajah kami secara bergantian., mencoba menyampaikan arti dari kata-kata yang dia ucapkan dan berharap mereka-mereka ini mengerti.

Ibu dan yang lainnya terdiam, bagus jika mereka bisa merenungkan kata-kata Bang Abdul tadi. Masak mau berdebat tapi tidak tahu ilmunya.

"Jadi kamu tidak rela, kalau selama ini uang hasil mu menjahit digunakan untuk membantu kebutuhan rumah tangga kita, Dek?" Bang Galuh bertanya padaku dengan lirih, matanya menunjukkan bahwa ia kecewa.

"Rela, aku ikhlas, Bang! Bukannya suami istri adalah satu? Kita senang bersama, susah pun aku akan mendampingimu. Tapi, tidak lagi!" ucapku dengan tajam.

Membuat mata-mata yang tadi mulai redup, kembali menghidupkan sinar laser ya. Tapi, aku tidak gentar, aku menatap wajah Bang Galuh yang nampak tidak percaya mendengar ucapanku.

"Apa maksudmu, Ellen? Bukannya tadi kamu bilang ikhlas?" Ibu bertanya heran.

"Iya, DULU aku ikhlas!" Kutekankan kata-kataku. "Tapi tidak sekarang, karena setelah usaha menjahit ku semakin ramai dan dikenal orang, Bang Galuh semakin sering menganggur. Bahkan kemarin dia menolak pekerjaan yang diberikan Bang Usman," jelasku lagi.

"Ta-tapi, Dek …."

Belum sempat Bang Galuh menyelesaikan ucapannya, aku mengangkat tangan menyuruhnya berhenti. Kali ini, aku akan berbicara agar keluarga Bang Galuh mengerti. Jangan mereka pikir aku hanya bisa menghabiskan uang Bang Galuh saja, sehingga tidak punya sedikitpun simpanan.

Biar mereka tahu, bagaimana sifat Bang Galuh selama ini. Kebutuhan sehari-hari saja masih dibantu olehku, bagaimana bisa memiliki simpanan?

"Cukup, Bang. Aku sudah mulai lelah, sedangkan kamu semakin malas. Bagaimana Allah mau menitipkan seorang anak pada keluarga kecil kita? Sedangkan Abang saja, yang berstatus kepala rumah tangga tidak bisa amanah dalam menjaga dan menafkahi ku sebagai seorang istri," lirihku.

"Heh, sudah cukup ya, Ellen! Enak saja kamu menjelek-jelekkan adikku!" Kak Ambar menatapku nyalang, dia menunjuk wajahku sambil berdiri. "Jika kalian belum punya anak, bukan karena adikku yang malas. Tapi karena kamu yang mandul!" katanya ketus.

Nyesss!

Hatiku sakit mendengarnya, air mataku hampir menetes dibuatnya. Kenapa selalu aku yang salah di sini? Dari mulai ikut bicara, nafkah, hingga seorang anak. Kenapa harus aku yang disebut mandul? Kenapa bukan adiknya?

"Apa maksudmu, Kak?" Tersendat aku menjawab.

"Jangan pura-pura tidak tahu apa maksudku. Selama tiga tahun kalian menikah, kenapa kamu belum juga hamil? Itu karena kamu mandul! Itu jawabannya!" Dengan berapi-api dia menjelaskan.

Kupegang dadaku dengan kuat, meremas jilbab instan yang ku kenakan. Aku tidak terima, enak saja dia mengataiku membabi-buta. Padahal yang diucapkannya belum tentu benar, tidak ada bukti konkrit yang bisa membenarkan semua tuduhannya.

"Loh, kok aku yang mandul? Kami ini suami istri, Kak! Mana bisa menuduh secara sepihak, kalau aku ini mandul. Bisa saja Adik Kakak itu yang mandul!" Seringai mengejek kutunjukkan, dan benar saja Ibu juga ikut berdiri dan menudingku.

"Heh, mantu kurang ajar! Tarik kata-katamu! Anakku tidak mandul, kamu yang mandul. Anakku itu ganteng, gagah, tidak mungkin mandul!" pekiknya dengan kuat.

"Ya Allah, Bu! Mana ada hubungannya antara ganteng dan juga mandul. Aku juga cantik, bunga desa di kampung ini sebelum dinikahi oleh anak Lanang Ibu. Karena aku cantik, berarti aku juga tidak mandul, dong?" tanyaku sok polos.

Biar saja Ibu semakin marah, syukur kalau darah tingginya kumat. Enak saja, anak salah kok dibela. Mengataiku mandul tanpa alasan pula, aku tidak terima lah.

"Dasar, edan!" Ibu terduduk mendengar ucapanku, dia memijit pelipisnya.

"Sudah lah, Bu, Kak, Dek!" Bang Galuh memohon, matanya melihat Ibu, Kak Ambar, lalu padaku. 

Tapi aku melengos dengan cuek, ini gara-gara uang lima puluh juta! 

"Makanya ajari istrimu itu sopan santun, kalau perlu tampar mulutnya itu." Kak Ambar berucap enteng.

"Eh … eh … enak saja main tampar-tampar, sekali saja ada kekerasan di dalam rumah tangga kita. Aku masukkan kamu ke dalam penjara, silahkan dicoba!" Aku menantang sambil menyodorkan pipiku.

"Ambar, jaga mulutmu!" Kak Dewi memekik. "Tidak ada sejarahnya di keluarga kita main tangan, kalau ada yang berani, hadapi aku!" Kak Dewi terlihat emosi.

Semua diam. Keluarga ini memang takut pada Ibu, tetapi patuh pada Kak Dewi. Tidak salah memang apa yang dibilang orang-orang, 'manusia terkuat setelah ayah, adalah anak perempuan pertama'. 

Kak Dewi benar-benar contoh wanita yang hampir sempurna, dia cantik, baik, mempunyai suami dan anak yang menyayanginya. Entah karma apa sampai Kak Dewi punya keluarga seperti ini, keluarga gila. Aku kasihan padanya.

"Baik itu Galuh, Gery, ataupun suamiku sendiri. Tidak akan aku ampuni siapapun yang main tangan pada istrinya, kalian dengar?" lanjutnya lagi, gurat emosi masih terlihat jelas di wajahnya yang putih.

Jelas dia emosi, adik lanangnya sedang salah, malah diajari yang lebih salah dari adik perempuannya. Mau jadi apa Bang Galuh jika di tangan Kak Ambar?

"Jangan dorong adik kita ke jalan yang salah, Mbar. Sebagai kakak sudah kewajiban kita membimbing seorang adik ke jalan yang benar." Kak Dewi berucap pelan.

"Dan kamu, Gery! Selama ini Kakak diam, tetapi sepertinya kamu keenakan. Cari pekerjaan mulai besok, jangan merepotkan Ibu lagi. Jangan jadi benalu, di keluarga ini!" Kak Dewi kali ini melihat Bang Gery dengan pandangan marah.

“Sudah sepatutnya seorang laki-laki memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang suami, berani menikahi, harus berani menafkahi. Jangan lepas tanggung jawab karena istri kalian mampu bekerja, atau karena mertua kalian yang kaya!” kata Kak Dewi lagi.

Wah … alamat seru ini, aku terkekeh dalam hati.

~Aksara Ocean~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status