Share

5. Kebenaran

Menantu TEGAS, ipar PANAS, mertua LEMAS

5. Kebenaran 

"Kenapa suamiku ikutan kena, Kak?" Kak Ambar protes.

"Ambar, sadar kamu! Bukannya sudah dikatakan oleh Bang Abdul tadi? Kodrat suami, adalah menafkahi istrinya. Bukan meminta nafkah pada mertuanya!" tegas Kak Dewi lagi. "Kamu dengar, Gery?" tanya Kak Dewi pada Bang Gery yang menunduk segan.

"Iya, Kak," lirihnya hampir tak terdengar.

" Dan untuk kamu, Galuh!" Sekarang giliran Bang Galuh yang dipanggil, oleh Kak Dewi.

"I-iya, Kak," jawabnya pelan.

"Kerja! Jangan hanya bergantung pada uang istrimu!" tegas Kak Dewi. "Laki-laki kok, mengharap uang istri, tidak malu kamu dengan mertuamu? Janjimu dulu waktu menikahi Ellen adalah untuk membahagiakannya, kok, ya, sekarang anak orang kamu peras keringatnya. Malu, Galuh, Malu!" Kak Dewi menggeleng lemah.

"Tapi, Kak …." Bang Galuh seolah ragu melanjutkan ucapannya.

"Apa? Bicara saja," jawab Kak Dewi.

"Bukannya aku tidak mau bekerja, tetapi memang tidak ada pekerjaan, Kak! Kakak, kan, tahu sendiri kalau di desa ini sudah banyak tukang reparasi televisi," ucap suamiku dengan lesu, bahunya merosot lemas. 

Sebenarnya aku kasihan melihatnya, Bang Galuh memang mau bekerja, tapi yang jadi masalah adalah dia yang seolah pasrah menerima nasib dan tidak mau merubah nasibnya dengan keluar dari zona nyamannya.

Seharusnya kalau ada pekerjaan, dia bisa bekerja. Tapi, kalau memang dia menganggur lama kan, lebih bagus kalau dia mulai menggarap tanah kami.

"Kerjakan apa yang ada, bukannya Usman memberikan kamu pekerjaan tadi? Kenapa kamu tidak mau? Apa dia tidak menggajimu?" tanya Kak Dewi.

"Tentu digaji, bahkan selalu berlebih, Kak," jelas Bang Galuh dengan mantap. "Tapi aku malu, Kak! Masak kerja sama Abang ipar, apa nanti kata orang?" lanjutnya dengan lesu.

"Ya Allah, Bang! Kamu lebih mendengarkan perkataan orang, daripada mengisi perut istrimu?" Aku memekik tak percaya.

"Ellen, wajar anakku malu. Toh, karena mengerjai kebun sawit abangmu, seharusnya abangmu juga punya otaklah. Adiknya susah, ya, mbok dibantu. Ini malah disuruh kerja berat, memang kurang ajar abangmu itu!" Ibu tiba-tiba menyela dengan kasar, dengan memaki Bang Usman.

Dadaku naik turun menahan emosi, abangku yang selalu membantuku, yang selalu mengayomiku, dan yang selalu memberiku uang secara diam-diam, dihina oleh Ibu mertuaku sendiri. Padahal Bang Usman sudah cukup sabar selama ini, beberapa kali dia selalu dibohongi oleh suamiku, janji bekerja untuk memanen sawit, tetapi nyatanya suamiku tidak datang.

Tapi besoknya Bang Usman tetap menyuruh Bang Galuh untuk kembali bekerja, berharap suamiku itu sudah berubah dan sadar. Sehingga mau bekerja dan bukannya menikmati jerih payah adik perempuannya.

"Bu! Sudah!" Bang Galuh menenangkan ibunya, dia mengusap bahu ibunya naik turun dengan pelan dan juga lembut.

Siapa yang kau tenang kan, Bang? Bukankah seharusnya aku, istrimu? Yang abangnya baru saja dihina oleh ibumu, batinku berteriak pilu .

"Bu! Ibu sudah sangat keterlaluan!" Aku menatap Ibu dengan nyalang.

"Apa? Memang benar, kan? Kalau abangmu itu waras, dia pasti akan memberikan modal untuk adik iparnya membuka usaha sendiri. Jadi anakku tidak perlu berkeliling mencari pekerjaan, dasar keluarga pelit," ucapnya sok bijak.

Ya Allah, ampuni hamba kali ini. Batinku bergolak marah. Ku remas gamis biru dongker yang aku pakai, untuk mencari kekuatan lebih agar mampu mengucapkan kata-kata ini.

"Ibu, bila anak lanang kesayanganmu ini malu bekerja di kebun sawit abangku, dia juga bisa punya sendiri. Sejak pertama menikah, orang tuaku telah memberi kami bekal, tanah kosong sebanyak satu hektar. Tapi dia selalu menolak! Bagaimana mau punya, kalau anak lanang Ibu itu saja malas Nauzubillah? Kebun sawit itu tidak akan tumbuh sendiri, Bu!" kataku berusaha untuk tetap tenang.

Kata-kataku sukses membuat mereka terdiam, bahkan Ibu dan Kak Ambar nampak menganga. Selama ini mereka tidak pernah tahu kalau aku punya tanah yang luas, karena untuk apa juga cerita? Toh, Bang Galuh tidak mau menggarapnya. Masak membanggakan tanah kosong? Untuk apa juga.

"Untuk rumah, orang tuaku juga menyediakan rumah besar itu untuk kami, Bu. Agar kami nyaman, tidak memikirkan tempat tinggal, dan bisa menabung untuk masa depan. Tapi boro-boro menabung, untuk makan saja susah. Orang tuaku bahkan tidak tahu kalau menantunya ini sangat zalim pada anak perempuan mereka satu-satunya." Kulirik Bang Galuh yang nampak tidak nyaman.

"Dan untuk modal usaha, emas-emasku habis untuk membeli alat-alat kerja Bang Galuh waktu itu, Bu! Emasku, sewaktu aku gadis. Yang dibelikan oleh orang tuaku dan juga abangku, Bang Usman!" jelasku lagi.

Karena memang, emas-emasku habis sewaktu pertama Bang Galuh hendak memulai usaha. Dia kursus reparasi televisi, parabola, dan laptop, yang cukup mahal. Dia juga membeli laptop yang lumayan canggih untuk bekerja, dan juga alat-alat pendukung lainnya.

"Sedangkan Ibu jelas-jelas lebih tahu, bukankah tiga minggu yang lalu, anak Lanang Ibu ini meminjam uang ke sini? Untuk modal usaha, Bu. Untuk mendirikan bengkel reparasi sendiri, agar dia tidak capek berkeliling seperti yang Ibu ucapkan." Aku mengungkit kejadian tiga minggu yang lalu.

Aku menyeringai mengejek, melihat tatapan yang berbeda di sini. Bang Galuh yang memohon agar aku berhenti, Ibu yang nampak marah, Kak Ambar terlihat tidak nyaman, dan Kak Dewi yang terlihat tidak percaya.

"Tapi, coba ingat-ingat lagi. Apa yang Ibu katakan pada suamiku? IBU … TIDAK … PUNYA … UANG!" Sengaja aku mengeja kata-kataku di akhir kalimat. "Padahal setelahnya Ibu membelikan Bang Gery sebuah motor, secara 

 Cash, loh, Bu. Waw …." ujarku dengan santai.

Aku bertepuk tangan tiga kali, biar saja mereka marah. Aku tidak peduli. Selain aku membela Bang Usman, aku juga kasihan pada suamiku. Dia benar-benar terpukul saat mengetahui kalau Bang Gery dibelikan motor baru oleh ibunya.

Sedangkan saat dia meminjam modal usaha saja, Ibu tidak mau meminjamkannya. Entah siapa yang anak, entah siapa yang menantu, tapi perlakuan Ibu pada Bang Geruy dan juga pada Bang Galuh memang berbeda.

"Sekarang, bisa kalian katakan padaku, siapa yang pelit? Keluargaku, atau Ibu?" Aku berucap santai.

Lega rasanya saat mengucapkan itu semua, bahkan selama ini kata-kata yang hanya bisa terpendam di hati saat ini bisa dikeluarkan. Sudah sejak lama aku ingin membicarakan masalah ketidakadilan yang diterima suamiku dari Ibu. Tapi Bang Galuh selalu melarang, tidak enak hitung-hitungan dengan orang tua sendiri katanya.

"Benar begitu, Bu?" Kak Dewi berbicara, setelah sembuh dari keterkejutannya. Dia memang bisa dibilang lebih lama di luar kota, daripada di desa ini. Wajar kalau dia tidak tahu keadaan keluarganya di sini.

"Ya Allah, Bu! Dewi tidak menyangka, kalau Ibu seperti itu," lirihnya hampir menangis saat tida mendapatkan jawaban dari Ibu, bahunya diusap Bang Abdul dengan lembut.

"Jangan dengarkan dia, Kak!" Tiba-tiba Bang Gery berbicara sambil menatapku sinis. "Itu motor Ibu, tapi aku yang memakainya," seringai pongah dia sunggingkan kepadaku, mungkin niatnya ingin memanasi aku.

"Ha ha ha, aduh, Bang. Sakit perutku Abang buat, loh." Aku tertawa terbahak-bahak. "Ya, itu namanya motor Abang, lah! Kan, Abang yang pakai. Satu desa juga tahu kali, wong Ibu saja tidak bisa bawa motor!" Seringai balasan aku perlihatkan.

"Ya, wajarlah dipakai suamiku. Diakan menantu Ibu," ucap Kak Ambar membela suaminya.

"Yang lebih wajar itu, ya suamiku yang memakainya, Kak. Bang Galuh, kan, anak Lanang Ibu, satu-satunya, loh!" Aku membalas tanpa rasa takut.

"Dek, sudah, Dek!" Bang Galuh beranjak, demi mengelus bahuku. 

Terlambat, Bang, terlambat! Batinku berteriak gemas.

"Jadi, apa maumu, Ellen?!" Pekik Ibu dengan nada marah.

Yeah, ini yang sedari tadi kutunggu, Ibu yang kehilangan kesabaran dan langsung menanyakan apa keinginanku. 

~Aksara Ocean~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status