Share

3. Menyumbang

Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas

3. Menyumbang

"I–-Ibu, bercanda, kan?" tanya Bang Galuh tergagap, keringat dingin menetes di keningnya.

Oh, yah. Aku tahu apa yang dipikirkan oleh suamiku itu saat ini, lima puluh juta? Dari mana dia bisa mendapatkan uang segitu banyaknya coba?

"Apa Ibu kelihatan lagi bercanda?" tanya Ibu balik.

"Bukan begitu, Bu. Tapi dari mana aku bisa dapat uang sebanyak itu? Lima puluh juta itu, tidak sedikit, Bu?" lirih Bang Galuh di akhir kalimat.

Sedangkan aku, aku hanya diam dan mengamati situasi. Masih agak bingung dengan situasi yang terjadi di sini. Apa Ibu kira uang lima puluh juta itu sedikit? Lagipula, kenapa suamiku yang lebih banyak menyumbang?

"Ya mana Ibu tau, Luh. Itukan urusan kalian, yang penting minggu depan uang itu sudah ada. Karena Ibu sudah bilang pada Pak Mukidi, kalau keluarga kita yang akan membayari sawahnya." Ibu mengangkat bahu tak peduli.

"Bu, apa tak sebaiknya Ibu batalkan saja?" Kak Dewi berucap pelan dan hati-hati, berusaha tidak menyinggung perasaan Ibu.

"Apa maksudmu, Dewi?" ketus Ibu terdengar tidak suka.

"Uang seratus juta lebih itu, bukanlah sedikit, Bu! Apalagi kami juga mempunyai kebutuhan masing-masing, kami juga baru saja membeli sebuah rumah. Uang tabungan kami terkuras habis," jelas Kak Dewi lagi.

"Ibu tahu, makanya kalian punya bagian masing-masing untuk menyediakan uangnya. Toh, Ibu tidak minta pada kalian masing-masing seratus juta, kan?" Ibu terkekeh kecil berusaha mencairkan suasana.

"Jangan macam orang susah, lah, Kak." Kak Ambar ikut bersuara. "Toh, kita semua tahu. Uang dua puluh juta, pasti hanya recehan bagi Bang Abdul." tukasnya lagi.

Aku menganga kecil, Kak Ambar dan Ibu memang sangat mirip. Jiwa sosialita dan juga sifat sombongnya memang sudah mendarah daging, dan lama-lama aku juga bisa melihat kalau sifat Bang Galuh juga mulai mengikuti sifat buruk Ibu.

"Ambar, jangan bicara seperti itu!" sunguk Kak Dewi tidak suka. 

"Loh, itu semua kan memang betul, Kak. Bang Abdul memang sudah pasti mempunyai uang dua puluh juta itu, jadi istriku tidak salah, dong!” kata Bang Gery, suami Kak Ambar ikut bersuara.

Jika banyak orang yang mengatakan bahwa jodoh adalah cerminan diri, maka aku akan langsung menyetujui kalimat itu setelah melihat sifat Kak Ambar dan Bang Gery, yang memang sangat klop. Sombong, kasar, dan juga tukang ikut campur urusan orang. Perpaduan yang sangat sempurna.

Bang Abdul dan Kak Dewi menggeleng kecil, mungkin merasa sangat heran dengan sifat mereka yang makin menjadi-jadi. Tentu saja makin menjadi, karena Ibu sangat memanjakan anak tengahnya itu. Motor baru yang dibeli Ibu secara kontan itu, sudah menjadi rahasia umum kalau itu adalah milik Bang Gery.

Ibu seolah menutup mata pada keadaan susah anak lanangnya sendiri, dan memanjakan menantunya yang jelas-jelas pengangguran itu. Tapi, jelas Bang Gery tenang-tenang saja. Toh, semua biaya hidup dia, istri, dan anaknya, semua ditanggung oleh Ibu dengan dalih kalau mereka tinggal serumah.

"Benar apa yang dikatakan Gery dan Ambar, Wi! Jangan seperti orang susah!" ucap Ibu pedas.

"Tapi, Bu …." Kak Dewi yang hendak membantah, terdiam saat Bang Abdul menyela.

"Sudah-sudah, Dek. Baiklah, Bu. Kami bersedia menyumbang," ucapnya dengan lembut. "Tapi bagaimana dengan Galuh dan juga Ellen? Mereka masih muda, rumah tangga mereka masih seumur jagung. Mohon maaf sebelumnya, tapi mereka belum tentu punya uang sebanyak itu," lanjutnya lagi.

Aku mengangguk cepat, merasa senang luar biasa dengan adanya Bang Abdul di sini. Dia jelas sangat bijaksana, dengan melihat dari sudut pandang kami juga. Tidak memberat kan kami yang memang tidak punya ini.

"Lah, ya memang begitu seharusnya," sela Kak Ambar seolah tak terima. "Galuh itu, kan, anak lanang Ibu satu-satunya, sudah sewajarnya dia menyumbang yang paling banyak!" tukasnya lagi.

"Mbar, yang di bilang Bang Abdul itu benar." Kak Dewi berkata tak habis pikir. "Uang dari mana mereka kalau sebanyak itu? Maaf buat Galuh dan Ellen, Kakak tidak bermaksud merendahkan kalian. Tapi memang ini seharusnya segera diluruskan. Silahkan kalian juga mengemukakan pendapat." Kak Dewi berkata bijak.

"Tidak apa-apa, Kak. Memang benar kami tidak punya uang sebanyak itu," lirihku memberanikan diri berbicara.

Sedangkan Bang Galuh nampak melotot melihatku, seakan memberi kode agar aku menutup mulut saja. Tapi aku hanya melengos kecil, enak saja disuruh diam. Aku harus bicara, toh jangankan lima puluh juta, sekarang ini uangku tidak lebih dan tidak kurang hanya ada tujuh puluh lima ribu.

"Ellen, kamu itu hanya menantu. Jangan terlalu ikut campur dalam urusan keluarga kami!" ujar Ibu 

Deg …

Ucapan Ibu yang terdengar tajam kembali membuat luka di hatiku, apa salahku bila aku menjawab bila kami tak punya uang? Apa salahku bila aku ikut berbicara? Aku memang hanya menantu, tapi bukankah statusku sama dengan Bang Abdul dan juga Bang Gery? Tapi kenapa, hanya aku yang tidak boleh mengeluarkan pendapat?

Aku menghela nafas panjang, terasa sesak luar biasa di dalam sini. Apalagi saat suamiku hanya melirik, tanpa bisa membelaku sedikitpun. Padahal jelas-jelas ibunya sedang merendahkan ku, istrinya sendiri.

"Maaf, Bu! Aku memang hanya menantu, tapi aku ikut bicara karena Kak Dewi yang menyarankannya. Dan yang aku bilang juga yang sebenarnya, kami memang tidak punya uang sebanyak itu!" Pelan namun tajam, aku berucap sambil melihat langsung mata ibu yang terlihat jelas bahwa dia tidak menyukai jawabanku.

"Ellen, diam!" Bentakan kecil dilontarkan Bang Galuh padaku, dia terlihat geram karena aku berani membalas perkataan ibunya.

"Bang, aku kan bicara yang sebenarnya. Apa yang salah?" tanyaku heran.

Sedangkan Bang Galuh malah melebarkan matanya seolah ingin menerkamku, tapi aku tak gentar. Ini perkara uang sebesar lima puluh juta, bukan lima puluh perak. Enak saja aku lagi-lagi disuruh diam, nanti yang pusing siapa?

Pak Lurah? Pak Camat? Pak Bupati? Tidak lah! Yang ikut pusing ya aku, jadi lebih baik aku mencegah dari sekarang.

"Galuh, ajari istrimu ini sopan santun." Kak Ambar mendecih sinis.

Tapi aku tak peduli, aku menatap mereka tanpa rasa takut sedikitpun. Biar saja mereka mau bilang apa, sampai bulan yang bulat itu berubah jadi kotak pun Bang Galuh tidak akan punya uang sebanyak itu. 

Kerja saja serabutan, untuk makan saja susah bila tidak dibantu oleh usaha jahitku. Lah, kok malah mau memberikan Ibunya uang lima puluh juta? Kalau mampu sih, tidak masalah. 

Aku akan dengan senang hati membantu suamiku untuk berbakti pada Ibunya. Tapi, masalahnya kami sekarang memang dalam keadaan tidak mampu. Apa yang mau diberikan?

"Maaf, Kak, Bu!" Bang Galuh berucap lirih, namun matanya menatap nyalang diriku. "Aku akan carikan uang itu!" ucapnya tegas.

Sedangkan aku? Saat mendengar ucapannya, aku sukses membatu. Dari mana dia bisa mendapatkan uang lima puluh juta? Apa dia berniat jual ginjal demi memenuhi permintaan Ibunya?

"Bang!" pekikku tak terima. "Lima puluh juta bukan lah jumlah yang sedikit, darimana Abang mendapatkannya? Sedangkan kita tidak punya tabungan bahkan satu sen pun!?" lanjutku dengan suara yang meninggi.

"Ini urusanku," sombongnya.

Ya Allah, salahkah hamba bila membantah suami sepertinya? Salahkah hamba bila membeberkan aibnya yang selama ini aku tutupi? Salahkah hamba yang mulai merasakan lelah akan hubungan suci ini?

Air mataku hampir keluar, tapi sebisa mungkin aku tahan. Tidak, tidak! Aku tidak boleh lemah, keluarga ini benar-benar harus diberi pelajaran. Dan jika aku menangis, maka aku akan kalah.

"Bang, Bang! Jangan terlalu sombong, mau mencarikan Ibu uang lima puluh juta. Bahkan nafkahku yang hanya lima puluh ribu pun, kamu tidak sanggup memberikannya!" tukasku sambil menyunggingkan senyum mengejek padanya.

Ayo bertaruh, Ellena! Kau yang akan menang, atau ego suamimu yang menang?

Dan Boom!

Mata-mata milik Ibu, Bang Galuh dan juga Kak Ambar, langsung melotot. Menyorot marah padaku, seperti laser yang siap mencabik-cabik setiap inci kulitku. 

Tapi maaf saja, aku tidak akan diam lagi. Aku tidak bisa lagi mengorbankan jiwa dan ragaku, bisa-bisa lama-lama aku sakit mental jika terus-terusan mengalah dan diam seperti ini.

"ELLEN!" teriakan amarah Bang Galuh terdengar sangat merdu di telingaku.

~Aksara Ocean~

\

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status