Aku kembali masuk ke kamar untuk melihat apa isi surat yang ditujukan kepadaku. Perlahan kubuka Kop Surat yang menyertai nama instansi perusahaan beserta logonya. Kemudian kubuka lipatan kertas yang isi tulisannya membuatku menjadi semakin penasaran. Disana tertera nama penaku A. Zahra bahwasanya saya diundang untuk menghadiri acara pembukaan di releasenya film terbaru yang tak lain penulis naskahnya adalah diriku sendiri. Kebetulan acaranya masih satu minggu lagi jadi aku bisa mempersiapkannya lebih awal. Tiada hentinya aku bersyukur karena skenario Allah lebih indah dari yang ku kira. Tidak pernah terbesit sekalipun kalau coretan cerita-cerita yang kubuat salah satunya menarik perhatian seorang produser untuk memfilmkannya. Dengan begini impianku untuk membangun Madrasah di kampung akan segera terwujud, selebihnya uang itu akan kugunakan untuk membungkam mulut mereka yang menghinaku. Kulipat kembali kertas undangan itu. Kemudian memasukkannya kedalam amplop. Lalu kubuka laci nakas
Bab 14"Indra. Mamah minta uang saku dong buat pergi ke puncak besok!" pinta Mamah."Sizi juga dong Bang!" Sizi pun tak mau kalah.Sarapan pagi yang sedang hikmat seketika dirusaknya, gara-gara mereka membuka suara."Siapa memangnya yang mau ke puncak Mah?" tanya Mas Indra."Sherly mengajak kami liburan di Villa. Dia mengajak Mamah, Sizi, Rara dan Kiki," jawab Mamah."Aisyah diajak gak Mah?""Iya Mamah ajak. Kan dia yang jago masak. Biar nanti di sana dia yang masakin," ungkap Mamah dengan santainya. Sambil mulutnya masih mengunyah roti tawar isi selai coklat."Oh. Untuk disuruh masak saja di sana? kalau begitu kenapa tidak ajak Bi Ratih saja Mah?"Pertanyaan Mas Indra sontak membuat Mamah yang sedang makan tiba-tiba tersedak. Matanya berair karena batuk - batuk akibat makanan yang menyangkut di tenggorokannya. Ingin rasanya aku tertawa tapi takut dosa."Minum dulu Mah!" aku menyodorkan segelas minuman air putih kepadanya.Mamah melirik gelas yang aku berikan, seakan takut aku racuni.
Bab 15 "Zi. Kamu cari di g****e maps Rumah Sakit terdekat di daerah sini!" perintahku. Karena aku hanya fokus menyetir jadi tidak sempat untuk membuka Handphone ku. Sizi segera melaksanakan perintahku. Kulihat Mamah dari kaca spion. Ia terus memegang kening kepalanya yang pusing. Bibirnya tak berhenti meringis menahan rasa sakit. Melihatnya tak berdaya seperti ini jiwa rasa belas kasihanku tersentuh. Sejahat apapun beliau dia tetap Ibu Mertuaku. Akhirnya dengan bantuan G****e Maps aku menemukan Rumah Sakit yang dituju. Kuantar Mamah ke ruang Instalasi Gawat Darurat agar segera ditangani. Sementara Dokter Muda yang menangani Mamah menyuruh kami agar menunggu diluar ruangan. "Zi. Kamu telepon Mba Kiki atau Mba Rara! kasih tau mereka kalau Mamah sedang di Rumah Sakit," "Iya Mba," Baru kali ini aku melihat Sizi bisa diajak kompromi. Biasanya diajak bicara saja susah, sekalipun menjawab dia selalu menjawab dengan ketus. "Mba Rara. Mamah masuk Rumah Sakit. Jatuh dari tangga," un
Bab 16"Mah. Mamah makan dulu! setelah itu baru minum obatnya. Aku bantu suapin ya Mah," bujukku. Seraya membawa semangkok bubur untuk Mamah. Disaat seperti ini aku abaikan bagaimana bencinya Mamah terhadapku, karena aku bukanlah orang yang pendendam. "Bi Ratih. Suapin aku!" perintah Mamah yang memalingkan wajahnya dari hadapanku. "Iya Bu," jawab Bi Ratih yang mengambil alih mangkoknya dari tanganku. Mamah menolak untuk disuapi olehku. Padahal aku sudah berusaha menurunkan egoku dan ingin berdamai dengannya. Tapi tidak dengan Mamah, dia masih saja angkuh didepanku. Sejak tadi hanya kami bertiga yang ada diruang rawat inap Mamah. Apapun kebutuhan Mamah aku dan Bi Ratih yang berusaha memenuhinya. Mamah terus menghubungi Sizi dan kedua menantunya tetapi tidak ada satupun dari mereka yang mengangkat telepon dari Mamah. "Sial. Mau liburan malah masuk Rumah Sakit. Mereka kemana sih? ditelepon satupun gak ada yang angkat," gerutu Mamah yang terus memperhatikan layar ponsel ditangannya.
Bab 17Akhirnya tanpa diketahui mereka aku sampai juga di taman dekat villa yang jaraknya cukup dekat. Hanya berjarak kurang lebih 500 meter dari Villa tempat kami berlibur. Bagiku ini bukan liburan yang sesungguhnya, karena disini aku harus tetap bekerja mengisi materi di live zoom meeting. Belum lagi intimidasi dari Ipar-iparku dan Mamah Mertuaku. Andai saja Mas Indra yang mengajak aku liburan kesini untuk bulan madu. Pasti aku sudah bahagia sekali. Ahh, tapi sepertinya itu semua hanya mimpi. Suamiku ini tipe orang yang pekerja keras demi menafkahi keluarganya, hingga dia lupa dengan kebahagiaan diri sendiri. Cahaya lampu yang berpendar tidak begitu terang membuat suasana di taman menjadi terasa nyaman tidak terelakkan. Ada pula sepasang muda-mudi yang duduk di bangku bersenda gurau, orang tua yang bermain dengan anaknya. Membuat aku iri melihatnya. Hembusan angin yang menyambar lapisan kulitku. Membuat aku menyudahi lamunan ini. Demi impian-impianku yang belum terealisasikan, seg
Bab 18Semenjak semalam Mas Indra terakhir meneleponku. Hingga saat ini dia belum juga menghubungiku kembali. Bolak balik kulirik layar handphone yang masih tergeletak di atas nakas sedari malam karena tidak berpindah tempat. Ingin rasanya aku menyudahi permainan ini dan pulang ke kampung halamanku. Tapi aku bingung apa yang harus aku katakan kepada Orang tuaku jika aku kembali? satu-satunya lelaki yang bergelar suami sekaligus menjadi pelindungku disini, justru malah sekarang berpihak kepada Ibunya. Hanya karena cerita yang ia dengar sepihak, seharian ini Mas Indra tidak memberi kabar kepadaku. Biasanya dia yang setiap pagi paling rajin meneleponku memberi semangat disaat kita sedang berjauhan. Lelah rasanya menjadi menantu yang tak dianggap dikeluarga ini. Tapi aku tidak boleh menyerah begitu saja! kalaupun pada akhirnya aku harus keluar dari keluarga ini, setidaknya mereka telah menyesali perbuatannya. ****"Mba Aisyah. Suram banget mukanya?" ledek Sizi. Saat aku baru keluar dari
Bab 19Kututup pintu kamar lalu kukunci dari dalam. Berharap setelah ini tidak ada yang menggangguku lagi. Kuhempaskan tubuh ini diatas ranjang dengan posisi tengkurap bertumpuan bantal sebagai penyangga kepala. Tak terasa air mata ini luruh jika mengingat apa yang barusan Mamah katakan. Aku merasa telah direndahkan sebagai menantunya. Setegar apapun diriku didepan mereka, tetap saja hati ini rapuh. Tapi aku tidak boleh terlihat lemah dihadapan Mamah. Karena semakin aku mengalah semakin mereka menindasku. ***"Bi. Bawa semua barangku, jangan sampai ada yang ketinggalan!" perintah Mamah kepada Bi Ratih. "Iya Bu," Bi Ratih segera membawa koper dan barang oleh-oleh yang Mamah beli untuk dimasukkan kedalam bagasi Mobil. Semua orang sibuk packing membereskan barang yang akan mereka bawa pulang. Hanya aku yang santai membawa satu tas berisikan pakaian. Sore ini kami akan melakukan perjalanan pulang ke rumah. "Aisyah. Bukannya kamu bisa nyetir mobilku ya?" tanya Mba Rara yang tiba-tiba m
Bab 20"Assalamuallaikum Mah," sapa Rara yang baru datang bersama Joe."Wallaikumsalam. Kebetulan kalian datang. Sini sekalian makan malam bareng," ajak Bu Sukma kepada menantu kesayangannya."Kebetulan sekali Mah. Aku belum makan, kelihatannya enak nih. Pasti Aisyah yang masak yah?" celetuk Joe seraya matanya mencuri pandang ke arah Aisyah.Rara yang mendengarnya merasa risih suaminya memuji Adik Iparnya sendiri. Sementara Aisyah tertunduk mengalihkan pandangan Joe."Iya Bang. Mumpung aku dirumah. Kapan lagi bisa dimasakin sama istri tercinta," tutur Indra."Beruntung kamu Ndra punya istri jago masak," ungkap Joe yang lagi-lagi memuji Aisyah didepan Rara."Terus kamu pikir, kamu gak beruntung punya istri kaya aku Mas yang pinter cari uang? terus saja banding-bandingkan aku dengan dia! Tetap masih hebatan aku lah sudah cantik sukses pula punya usaha sendiri. Dari pada Aisyah apa coba hebatnya?kalau cuma masak Bi Ratih juga bisa," serang Rara."Tapi kamu selalu sibuk sendiri dengan bis