Share

BAB 4 Tidak Bermaksud Begitu

Aku tak tau keberanian ini datang dari mana, terlintas begitu saja di pikiranku dan terucap begitu saja di bibirku.

"Mas? apa kita, ndak bisa pindah dari rumah ini?"

Raut wajah Mas Rey tampak berubah, yang awalnya tersenyum manis menjadi dingin, entah apa yang ada di benaknya saat ini. Apa aku mengatakan hal yang salah?

"Untuk?" jawabnya singkat, entah kenapa suaranya menjadi dingin, tak sehangat seperti sebelumnya.

Aku menelan saliva, rasa takut jika pria di depanku ini mengamuk padaku, tak bisa aku bayangkan bagaimana cara Mas Rey marah.

Jujur aku belum pernah sekalipun melihat sisi amarah lelaki ini selama aku mengenalnya bertahun-tahun, mungkin hanya sosok tegasnya saja.

"A-aku merasa, kita harus bisa mandiri dalam menjalani pernikahan ini Mas, seatap dengan ibu dan kakak ipar membuat kita akan selalu bergantung pada mereka, dan malah akan merepotkan mereka. Mas? boleh ya?" tuturku,

Dengan semaksimal mungkin aku membuat ekspresi penuh harap di hadapan pria ini.

Ia menatapku dengan lekat, diam beberapa saat, sempat aku pupus harapan untuk disetujui olehnya. "Iya," ucapnya singkat.

Mataku terbuka lebar dan berbinar. "Iya?" Aku mengulangi lagi perkataannya, untuk memastikan.

"Iya, kita akan bicarakan hal ini lagi kapan-kapan Dek, makam mendiang ayah Mas masih basah. Harusnya kamu tak membicarakan hal ini dulu," tuturnya, lalu lelaki itu berdiri dan melenggang pergi masuk ke kamar mandi.

Ah iya! bagaimana aku bisa lupa? malam ini adalah malam pertama acara tahlilan mendiang ayah suamiku, bisa-bisanya aku membicarakan hal semacam ini tanpa tau situasi dan kondisi!

Sumpah demi apapun aku tak bermaksud untuk melukai perasaan Mas Rey! jujur, aku benar-benar lupa, yang ada dipikiran ku saat ini hanya bagaimana caranya agar aku tidak seatap dengan mertua dan iparku lagi.

Tapi aku malah melakukan hal itu tanpa memikirkan perasaan suamiku sendiri. Saat Mas Rey keluar dari kamar mandi, aku berbicara padanya lagi untuk meminta maaf.

"Maaf Mas, aku ndak bermaksud sengaja meminta hal itu disaat Mas sedang berduka," ucapku penuh penyesalan.

Lelaki itu mengelus pucuk kepala milikku, tatapannya menjadi hangat kembali, membuat perasaanku lega.

Aku memang harus hati-hati membicarakan hal ini, karena berpisah atap dari orang tua yang telah membesarkan dan merawat dengan susah payah adalah hal yang tidak mudah, aku tau itu.

Terlebih lagi, Mas Rey adalah anak terakhir dan juga seorang pengurus penting perusahaan keluarganya.

Acara tahlilan malam ini, aku hanya berada di kamar, sesuai dengan penawaran suamiku untuk tetap beristirahat. Meski begitu, aku tetap melantunkan doa untuk mendiang ayah Mas Rey di kamar.

Tentu, hal itu akan menjadi kesempatan ibu mertua untuk mencibir diriku di hadapan teman-temannya, ahh ... sudahlah, aku tak peduli, tubuhku remuk karena dirinya.

Hidungku bahkan masih terasa sakit karena ia mencelupkan kepalaku secara brutal di bak kamar mandi, sungguh sadis!

Malam ini berlalu, esoknya aku membantu Mbok Yem dan para pembantu lainnya untuk menyiapkan acara tahlilan nanti malam, di tempat kami sudah menjadi tradisi untuk mengadakan acara tahlilan itu satu minggu penuh jika ada yang meninggal.

Tapi jika tidak mampu juga tak apa, karena keluarga Prawijaya adalah salah satu keluarga kaya dan terpandang di tempat ini, maka acaranya akan diadakan selama seminggu penuh dan dengan sajian yang bisa aku bilang, ini sangat mewah.

"Non, maaf ya, Mbok ga bisa bantu kamu waktu itu," ucap Mbok Yem tiba-tiba, aku yang tengah khusyuk mengiris sayuran merubah atensiku padanya.

"Ndak papa Mbok, malahan aku gak mau kalo Mbok sampe ikut campur dan malah kena omel sama IMG" ucapku, membuat Mbok Yem menautkan alisnya bingung.

"IMG apa Non?," ucap Mbok Yem penasaran.

aku mendekatkan diri ke telinga Mbok Yem, "Ibu Mertua Galak!" ucapku, sambil tertawa jail, diikuti oleh Mbok Yem yang juga ikut tertawa.

"Non Marya bisa saja." Mbok Yem menepuk pundakku pelan sambil tertawa geli.

Aku bersyukur sekali, masih ada orang di rumah ini yang mau berbicara denganku dan dekat denganku, walau bukan anggota keluarga dari Mas Rey.

Tapi justru malah orang lain yang tidak ada hubungannya di keluarga ini yang mau menerimaku dengan baik, sedangkan aku di perlakukan tidak adil oleh keluarga suami sendiri.

Setelah membantu seperlunya di dapur dan suamiku pergi bekerja, aku kembali mencuci pakaian seperti kemarin. Seluruh pakaian kotor anggota keluarga sepertinya sudah diserahkan kepadaku.

Dan tentu saja aku mencuci semuanya dengan cara manual, padahal di tempat cuci ini terdapat dua mesin cuci dengan merek yang mahal berjejer di sudut ruangan. Dan aku yakin betul, jika mesin cuci itu masih berfungsi dengan sangat baik.

Entah sehari pakai baju ganti berapa kali orang-orang dirumah ini, bahkan sepertinya lebih banyak dari kemarin jumlahnya.

Di rumah besar dan mewah ini, ditempati oleh Ibu Mertuaku, Kakak Ipar pertama yakni Mbak Jeni dengan suaminya bernama Mas Surya yang sudah menikah dua tahun.

sedangkan Kakak Ipar kedua yaitu Mas Zain dengan istrinya yang bernama Mbak Nara, mereka sudah menikah sekitar satu tahun ini seingat ku.

Jujur aku belum pernah bertemu dengan suami Mbak Jeni karena aku dengar suaminya bekerja di luar kota.

Sedangkan istri Mas Zain, aku hanya bertemu saat bapak mertua meninggal di hari pertama itu, selebihnya aku tak pernah melihat lagi.

Kata Mas Rey, mbak iparnya itu adalah seorang pramugari yang cukup sibuk, maka dari itu memang jarang memiliki waktu.

Meski demikian, kedua menantu yang hampir tidak pernah meluangkan waktunya itu, selalu disayang dan dibangga-banggakan oleh Bu Wasida.

Sedangkan aku yang mencuci bajunya, membersihkan rumahnya setiap hari ini malah seenaknya di anggap seperti pembantu.

Aku bukannya iri dengan Mas Surya ataupun Mbak Nara, aku hanya ingin setidaknya meski hanya sedikit, anggaplah aku sebagai menantu di keluarga ini.

Aku hanya takut, jika sewaktu-waktu aku memiliki anak dari Mas Rey, dan anakku merasakan dihina oleh keluarga ayahnya sendiri, aku ga mau sampai seperti itu!

Ayo Marya! aku kuat, aku sabar, dan aku pasti bisa melewati cobaan ini! hanya perlu keluar dari rumah keluarga Prawijaya, maka penderitaan akan usai.

Tak apa jika tidak lagi tinggal di rumah megah nan mewah ini lagi, dibandingkan harus menderita batin terus-menerus.

"Marya! apa-apaan ini? kamu apakan baju-baju mahal saya?!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status