Share

BAB 3 Seatap dengan Mertua

Aвтор: Riffi
last update Последнее обновление: 2023-07-03 09:35:00

Prangg!!

Suara benda jatuh terdengar nyaring di telingaku, seketika itu jantungku berdetak kencang tak karuan, pasalnya aku adalah orang yang tak sengaja menyenggol benda itu.

Dari lantai dua, terdengar suara cempreng khas ibu mertua yang berteriak ke arahku, hingga bisa didengar oleh seluruh orang yang ada di rumah ini.

Mbok Yem, dan beberapa pembantu yang sedang masak-masak di dapur sampai lari tergopoh-gopoh menghampiri.

"Ya Tuhan! perempuan pembawa sial!" Ibu mertua berjalan dengan penuh amarah ke arahku.

Tentu aku sangat panik kali ini. Aku menggigit bibirku cemas, dan mundur beberapa langkah ketika sosok wanita paruh baya dengan wajah penuh amarahnya semakin mendekatiku.

Plakk!

Satu tamparan keras melayang tepat di pipi kiriku, hingga tubuhku goyah dan jatuh tersungkur ke lantai.

Semua pembantu yang melihat kejadian itu, menganga dan bergidik ngeri menatapku dengan iba, tapi tentu saja tak ada yang berani untuk membela ataupun menolongku.

"Dasar! wanita tidak tau diri! kamu tau tidak? hah?! harga guci antik yang kamu pecahkan itu harganya sangat mahal! lebih mahal dari harga dirimu!" maki wanita berwajah garang itu.

Hatiku terasa tersayat! harga diriku yang seorang manusia ini, dinilainya lebih rendah dibandingkan sebuah benda.

Aku yang miskin ini memang tak mengerti nilai benda-benda mahal, tapi apakah serendah itu harga diriku di mata ibu mertuaku sendiri?

"Ma-maaf, maaf Buk! Marya ga sengaja," ucapku gemetaran, hingga aku meneteskan air mata, entah karena rasa takut telah menjatuhkan benda mahal itu atau karena sakit hati dengan perkataan ibu mertuaku, Akh ... perasaanku campur aduk sekarang.

"Sudah numpang, malah ngelunjak!" sarkasnya, ia menatap aku yang tengah tersungkur di lantai, aku seperti sedang bersujud di hadapannya. Senyuman terulas di sudut bibir wanita paruh baya itu.

Kejadian ini juga disaksikan oleh kakak ipar pertamaku, Mbak Jeni. Tentu ia terlihat senang bukan main, dan malah ikutan membuat panas ibu mertuaku.

"Haduh! itu kan guci antik kesayangan Ibuk! pasti perempuan ini sengaja! secara dia itu kan ... ndak suka sama Ibuk," hasut wanita berambut pirang itu.

Seketika mataku melebar, apa maksud Mbak Jeni dengan mengatakan hal seperti itu? itu fitnah!

Mendengar perkataan anak pertamanya, ibu mertuaku tanpa memfilter atau mendengarkan penjelasan dariku, ia langsung menjambak rambutku kuat-kuat.

"Akhh .... " teriakku kencang, rambutku seperti akan lepas dari kulitnya, benar-benar sakit!

"Hoo ... berani kamu ya? baru satu hari di rumah ini, kamu berani menentang saya?!" ucap Bu Wasida dengan penuh penekanan padaku.

Aku menggelengkan kepala kuat-kuat, berharap beliau akan mendengarkan penjelasan dariku terlebih dahulu, tapi tidak! ia menjambak rambutku dan menariknya ke atas, membuat aku berdiri dengan paksa.

Rasanya sungguh sakit! meski aku miskin sekalipun, tak pernah aku diperlakukan sampai sekejam ini! bahkan jika itu adalah kakekku sendiri.

Aku terus menangis, dan merengek meminta pengampunan. Wanita dengan wajah judes dan bersanggul itu tak memperdulikan apapun ucapan yang keluar dari mulutku.

Ia menggeret tubuhku dengan cara menjambak rambutku dengan kasar, berjalan menuju ke sebuah kamar mandi, entah apa yang hendak ia lakukan padaku.

Aku bisa melihat raut wajah penuh kemenangan dari Mbak Jeni saat melintas di depannya. Ya Allah, apalagi ini?

Belum puas menampar wajahku, dan menjambak rambutku. Aku dibawa paksa Bu Wasida ke kamar mandi, ia mencelupkan wajahku ke dalam bak mandi. Tak hanya sekali, tapi berkali-kali dan secara brutal tanpa jeda.

Napas ku mulai sesak, hidungku sampai terasa perih karena banyak air yang masuk kedalam hidungku. Sekuat tenaga aku melawan, tapi entah kenapa tenaga wanita tua ini seperti tak ada habisnya.

Sedangkan aku yang memang belum makan apa-apa dari kemarin malam, tentu aku tak bisa menyeimbangi tenaga wanita paruh baya yang bringas ini.

Di saat itu, aku pasrah. Kepalaku pusing, jika aku mati pun rasanya mungkin akan jauh lebih baik daripada merasakan semua hal ini.

"Ini agar kamu berfikir ribuan kali untuk berurusan dengan saya, Marya!" pekik wanita tua itu.

Aku sudah tak peduli ia mengatakan apa, suara makiannya pun sudah terdengar samar-samar di telingaku.

Mataku terasa berat, buram, dan ... gelap.

****

"Mar, bangun! Sebentar lagi magrib," titah seseorang bersuara berat, sepertinya aku mengenali suara itu. Yah ... itu adalah suara Mas Rey.

Pelan-pelan aku membuka mata, ada suamiku yang kini tengah duduk di samping kasur, menemaniku dan mengelus wajahku lembut.

Eh? kupikir aku sudah tiada.

"Adek sakit apa?" tanyanya, membuat aku bingung.

"Maksudnya?" ucapku, dengan wajah bingung. Aku mengubah posisiku yang awalnya tidur menjadi duduk menyandar pada sandaran kasur.

"Kata Ibu sama Mbak Jeni, Adek seharian ini di kamar saja. Mas pikir, Adek sakit," jelasnya.

Sakit? Hah?! aku di aniaya sama Ibu kamu sendiri Mas! aku diperlakukan bak seorang pembantu dengan mengerjakan semua pekerjaan rumah tanpa diberi keringanan sedikit pun!

Setelahnya, aku diperlakukan seperti binatang oleh orang yang kau sebut seorang Ibu itu! ia tanpa ampun membuatku merasa sakit secara fisik maupun mental!

Rasanya, ingin sekali aku mengadu di hadapan Mas Rey, semuanya! semua yang telah ibu dan kakak ipar lakukan terhadap diriku.

Tapi aku sadar, memangnya siapa aku? hanya seorang menantu yang baru sehari di rumah ini, memangnya akan dipercaya oleh lelaki di depanku ini?

Memangnya ia akan membelaku di depan ibu yang telah bersusah payah melahirkan dan membesarkan dia? hak apa yang aku punya? aku bukan siapa-siapa.

Aku jujur tak sepenuhnya mengenal sosok pria di depanku ini, aku hanya tau jika dia adalah pria yang baik, bertanggung jawab, dan menyayangi keluarganya. Tentu aku adalah sebagian dari keluarganya, tapi baru sehari kan?

"I-iya Mas, aku agaknya kurang enak badan," dustaku pada Mas Rey.

"Mau Mas bawa ke dokter?" tawarnya, ia menunjukkan wajah cemasnya padaku.

Aku menggelengkan kepala untuk menolak, "ga perlu Mas, aku ndak papa kok," ucapku.

Pria di depanku ini tampak menghela nafas pelan.

"Ini ... Mas bawakan sepiring nasi. Kata Mbok Yem, Adek belom makan dari pagi." Pria itu mengambil sepiring nasi beserta lauk pauknya yang entah sejak kapan sudah berada di atas nakas samping tempat tidur.

Ia menyuapiku dengan telaten, sesekali menyeka sisa makanan yang menempel di sudut bibirku. Di saat seperti inilah, aku merasa masih kuat untuk mempertahankan pernikahan ini.

Tapi aku tak tahu sampai kapan kewarasan aku ini akan tetap terjaga jika harus terus satu atap dengan ibu mertua dan iparku.

"Kalo masih sakit, Adek di kamar saja nanti saat acara tahlilan, Mas udah bilang ke Ibu," tawarnya dengan penuh perhatian.

Jujur sekujur tubuhku memang terasa sakit, jadi aku mengiyakan tawaran Mas Rey.

"Mas? apa kita ... ndak bisa pindah dari rumah ini?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu yang Tak Diinginkan   BAB 45 Digusur

    "Ke—Kenapa, Mas? Ruko kita kenapa?" Melihat wajah Rey yang tiba-tiba pucat pasi setelah menerima telepon, membuat Marya ikut khawatir."Kita diusir dari ruko, Dek. Kita tidak boleh berjualan di sana lagi," jawab Rey, ia menggenggam erat ponsel di tangannya."Hah?! Bukannya kita sudah bayar sewanya selama beberapa bulan ke depan, Mas?!" tanya Marya yang masih tak mengerti dengan perkataan sang suami.Kenapa tiba-tiba pemilik ruko tidak mengizinkan Marya dan Rey berjualan? Pasangan suami istri itu tidak pernah menunggak pembayaran ataupun sulit ditagih soal membayar uang sewa. Bahkan Rey selalu membayarkan langsung untuk satu atau dua bulan ke depan."Mas juga ga paham, ayo kita kesana dan bicara langsung dengan Pak Jaki." Marya mengangguk setuju dan mereka langsung bergegas menuju lokasi ruko mereka.Alangkah terkejutnya mereka berdua ketika telah sampai di depan ruko, semua barang-barang dagangan mereka sudah dipindahkan ke teras. Seakan mereka diusir secara paksa oleh pemilik ruko."M

  • Menantu yang Tak Diinginkan   BAB 44 Kembali Normal

    "Sepertinya mereka meminta bantuan kepada orang lain yang memang ahli dalam menangkal sihir yang saya tanamkan di sana.""Gak! Ga bisa gitu dong, Mbah! Saya sudah bayar untuk ini, kenapa masih bisa gagal?!" pekik Lia yang masih tak terima."Mau bagaimana lagi? Sepertinya kamu memang tengah berurusan dengan orang yang salah," sahut Mbah Jayeng."Bahkan mereka belum benar-benar bangkrut, Mbah! Masa udah ketahuan?!"Lia begitu frustasi kali ini, rencananya untuk menghancurkan Rey dan Marya selalu berantakan dan gagal. "Saran saya, lebih baik kamu berhenti mengharapkan lelaki itu. Keteguhan iman dan rasa cinta lelaki itu terhadap istrinya yang sekarang, tidak bisa saya tembus dan saya hancurkan."Mendengar kalimat nasehat dari Mbah Jayeng, ternyata tidak dapat membuat keinginan Lia memudar dan menyerah begitu saja. "Cukup, Mbah! Ga usah omong kosong lagi, Mbah saja yang ilmunya tidak mumpuni," sahut Lia dengan emosi.Lia pergi meninggalkan gubuk tua itu dengan perasaan dongkol dan kecewa.

  • Menantu yang Tak Diinginkan   BAB 43 Pembersihan

    "Ini disebut sebagai santet penghilang rezeki, ilmu hitam ini menyasar pada kelancaran rezeki seseorang, pemilik ilmu sihir akan menutup energi positif tempat ini agar penghasilan korbannya bisa turun, bahkan bangkrut," jelas Ustadz Yusuf."Astagfirullah, siapa orang yang tega ngelakuin hal seperti ini?" lirih Marya. Ia tak menyangka jika ada seseorang yang seniat itu untuk membuat usahanya hancur."Lalu, apa yang harus kita lakukan agar sihir hitam ini hilang, Ustadz?" tanya Rey."Kita akan melakukan pembersihan dengan meruqyah tempat ini, sementara Ustadzah Asa dan kalian akan mencari benda sihir yang ditanamkan di tempat ini," jawab Ustadz Yusuf. Semua orang mengangguk setuju.Semuanya berpencar, Ustadzah Asa, Ani, dan Andi mencari di sekitar luar ruko, sementara Marya dan Rey mencari di dalam ruko. Ketika semua orang sibuk mencari, Ustadz Yusuf melantunkan ayat-ayat pembatal sihir dengan memegang sebuah botol air di tangannya."Ini, ini adalah benda yang ditanam oleh seseorang seb

  • Menantu yang Tak Diinginkan   BAB 42 Ilmu Sihir?

    "Tapi kita buka setiap hari loh, Pak! Yah ... meski ga ada satu pun yang beli sih," ucap Rey.Mereka semua terdiam tak bergeming, sampai akhirnya Pak Bakri membuka suara. "Walah, saya ndak tahu kalo itu. Saya tiap hari lewat ruko sampean dari mulai pagi sampe sore, tutup terus kok," ujar Pak Bakri, ia semakin membuat Marya dan yang lainnya bingung."Eh ... ya sudah, saya mau ngarit dulu buat kambing-kambing saya, Assalamualaikum," timpal Pak Bakri lagi."Wa'alaikumussalam." Pak Bakri melangkah pergi meninggalkan Marya dan lainnya. Kini empat orang itu terheran-heran di dalam batinnya dengan ucapan Pak Bakri barusan."Ya sudah, kita pulang dulu. Mau magrib. Andi, anter Ani ke rumahnya, ya?" ucap Rey memecah lamunan Marya, Andi, dan juga Ani."Eh, iya Pak. Saya pamit duluan.""Ndi, bukannya ini masalah serius, ya? Jangan-jangan bener dugaanku, ada pedagang lain yang iri sama usaha Marya dan Rey," ujar Ani menerka-nerka."Kemungkinan besar sih, begitu," sahut Andi."Duh, ada aja cobaan s

  • Menantu yang Tak Diinginkan   BAB 41 Mulai Sepi

    "Semenjak kejadian kemarin, warung kita jadi sepi gini, Mar. Apa orang-orang pada terhasut sama fitnah ibu-ibu itu, ya?" tanya Ani menduga-duga.Marya menghembuskan napasnya dengan kasar. "Mungkin," sahut Marya dengan senyum getirnya.Pasalnya seminggu dari kejadian heboh waktu itu sudah berlalu, namun warung Marya nampak sepi pembeli. Seakan semua orang sudah tidak percaya lagi dengan makanan yang Marya jual.Bahkan hampir semua pesanan ketering dalam jumlah banyak pun dibatalkan secara sepihak oleh langganan Marya."Lebih baik kita tutup saja, An. Ini juga sudah sore dan mendung," celetuk Marya, kini ia berdiri dan mulai membereskan sedikit demi sedikit barang dagangannya."Loh? Gak buka sampe malem lagi, Mar?" Marya menggelengkan kepalanya. "Sepertinya ga perlu.""Masih utuh semua loh dagangan kita, mau dikemanakan?""Kita bungkus saja, kita bagi-bagi ke pondok pesantren yang dekat sini. Pasti semuanya akan

  • Menantu yang Tak Diinginkan   BAB 40 Tidak Perlu Takut

    "Assalamualaikum.""Wa'alaikumussalam," sahut Rey dari dalam rumah, ia membuka pintu depan dengan terburu-buru."Kamu ternyata, Ndi. Sama Ani juga? Ayo masuk," ujar Rey, ia mempersilakan kedua orang itu untuk masuk ke dalam. Marya pun keluar dari kamarnya untuk menyambut Ani dan Andi."Iya, Pak. Ini sebenarnya cuma mau ngasih kunci ruko ke Pak Rey." Andi mengulurkan tangannya dan memberikan sebuah kunci kepada Rey. "Oh, iya. Terima kasih kalian sudah mau menutup rukonya," ucap Rey.Kini Marya datang dengan sebuah nampan yang terdapat dua gelas teh hangat di atasnya. "Minum tehnya dulu, ya.""Iya, makasih Mar. Kamu ndak kenapa-napa toh? Aku takut kamu kepikiran sama kejadian tadi," ucap Ani.Andi pun menyenggol bahu Ani. "Justru karena Mbak ungkit jadi inget, Mbak!" lirih Andi."Oh, iya juga, ya." Ani meringis ketika mendapati teguran dari Andi.Marya tersenyum simpul menanggapi hal itu. "Gapapa, An. Cuma heran aja, kok bisa ada yang fitnah sampai seperti itu," sahut Marya."Ada yang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status