Pagi hari ini cerah, usai aku menyiapkan pakaian kerja untuk suami, dan memasak untuk sarapan dan juga bekal, kami menyempatkan untuk berbincang-bincang di kamar sebelum suamiku pergi bekerja.
Ia meminta maaf padaku karena belum bisa mengajak berlibur bulan madu usai pernikahan, di samping masih masa berduka, ada perusahaan yang masih dalam keadaan sulit untuk ditinggal oleh suamiku.Aku memaklumi hal itu, menjadi pemimpin perusahaan besar tidaklah mudah, aku juga tidak menuntut Mas Rey untuk hal-hal seperti itu.Cukup ia percaya dan menyayangi diriku saja sudah sangat berarti untukku, aku harap bisa memiliki rumah kecil sederhana bersama Mas Rey, dan hanya ada kami berdua bersama calon buah hati kecil kami nantinya.Sungguh luar biasa nikmatnya jika hal ini terwujud, tapi aku juga tau jika ini adalah hal yang tidaklah mudah, terlebih lagi jika meminta izin dari Ibu Wasida, mertuaku.Tak ingin aku dicap sebagai menantu kurang ajar yang mencoba memisahkan anak dari ibunya. Tidak ada niatku untuk menghalangi bakti seorang anak dengan ibunya, tapi aku juga butuh tempat tinggal yang dapat membuatku bernapas dengan lega.Kini aku sedang berkutat di tempat cucian, tempatnya cukup luas, membuatku leluasa untuk mencuci banyak pakaian.Di depanku terdapat beberapa bak besar berisi baju-baju ibu mertua, dan kakak iparku. Hari ini entah perasaanku saja atau benar, tapi baju-baju yang harus aku cuci hari ini jumlahnya terasa lebih banyak dari kemarin.Keringat membasahi sekujur dahi dan leherku yang mengecap jelas pada jilbab yang kupakai, sejujurnya meski aku adalah orang yang berasal dari kalangan menengah kebawah, mendiang kakek dan nenekku sangat menyayangi diriku, tak pernah sekalipun diriku ini dibentak oleh mereka, atau bahkan melakukan pekerjaan seberat ini sendirian.Sepeninggal mendiang kakek dan nenek, aku hidup sebatang kara di rumah tua peninggalan kakek dan nenek, sesekali bibiku yang merupakan kakak kandung dari mendiang ibu datang menjenguk, tapi tak terlalu sering karena jarak tempat tinggal kami cukup jauh.Nenek bilang, ayahku masih hidup, belum meninggal seperti yang mendiang ibu katakan padaku. Belum pernah sekalipun aku melihat ayah kandungku, bahkan sekedar foto saja tak pernah kulihat.Saat masih kecil, aku kenyang dengan sebutan 'Anak Haram' dari para tetangga, bahkan teman sebayaku.Tapi masa kelam itu telah berlalu, tak ingin aku mengingatnya lagi, tak peduli juga dengan ayah kandungku, sudah jelas jika ia meninggalkan ibu dan aku sendirian. Sudah aku anggap diriku ini yatim piatu sedari dulu.Usai setengah baju-baju ini aku cuci dan bersihkan, datang suara langkah kaki menuju ke tempat aku mencuci pakaian. Langkahnya menggebu, perasaanku jadi tak enak. Jangan-jangan ibu mertua akan berulah lagi memberiku hukuman.Tapi ... ternyata aku salah, Mbak Jeni yang datang menghampiri diriku, ia berdiri di ambang pintu dengan wajah marahnya, atensiku tertuju pada beberapa pakaian di genggaman tangannya."Marya! apa-apaan ini? kamu apakan baju-baju mahal saya?!" bentak wanita berambut pirang itu, ia melemparkan beberapa potong pakaian yang ada di genggamannya tepat berada di wajahku."Semua baju-baju itu luntur! kamu bisa nyuci ga sih?! harga baju-baju itu mahal tau gak! kamu ga akan mampu beli itu semua!" maki Mbak Jeni, semua kata yang ia ucapkan padaku tak lepas dengan makian dan merendahkan diriku."Maaf Mbak! aku ga tau kalo ada baju yang luntur kemarin," jawabku, jujur itulah yang sebenarnya, tak mungkin aku sengaja melakukan hal yang jelas-jelas aku tau akibatnya akan seperti ini."Halah, alesan kamu! bilang aja kamu benci sama saya, iyakan?" tuduh Mbak Jeni dengan lantang, aku harus jelaskan bagaimana lagi? sejujur-jujurnya pernyataan dari mulutku, pastilah kakak iparku ini hanya akan mendengar kejelekan dari diriku seorang."Astagfirullah Mbak! ga ada di pikiranku sedikitpun untuk membenci Mbak Jeni, sumpah Mbak, demi Allah!" ucapku bersumpah."Hey ... berani ya kamu bersumpah palsu kayak gitu? dasar munafik kamu Marya!" Wanita berambut pirang itu mencekik leherku, tentu aku memberontak dan memberikan perlawanan semampuku.Aku memegang tangan Mbak Jeni yang mencekik erat leherku, sekuat tenaga aku mencoba melepaskannya."Mbak! istighfar Mbak!" ucapku, dengan terus berusaha melepaskan genggaman Mbak Jeni, di saat itu lantai tempat cuci memang licin, banyak air sabun berserakan kemana-mana."Sok ngajarin saya istighfar kamu Mar! kamu itu wanita munafik yang gak tau diri! gausah sok ngajarin saya!" maki wanita berambut pirang dihadapan diriku.Tak akan sanggup jika seumur hidup aku harus tinggal dalam cacian dan makian seperti ini, inilah yang membuat tekadku bulat untuk bisa keluar dari rumah ini.Semakin kuat cengkraman tangan milik Kakak Ipar di leherku, aku juga tak bisa hanya mengalah dan pasrah, aku coba melawan.Kini kami saling berteriak membuat kegaduhan dan tak mau mengalah satu sama lain, tentu aku tak bisa mengalah! karena jika aku mengalah aku bisa mati konyol di rumah ini. Atensi penghuni rumah sampai tertuju kemari.Suara langkah kaki yang setengah berlari terdengar tergesa-gesa menuju ke tempat ini. Aku berharap ada yang dapat melerai kami berdua, aku takut nantinya ada yang terluka di antara kami karena mengingat lantai yang basah dan licin karena air sabun.Brughh!!"Arrghhh ... sakit," teriak histeris Mbak Jeni, aku juga kaget. Ia terjatuh, apa dia keseleo karena memakai heels? aku sama sekali tak mendorong tubuhnya, hanya berusaha melepaskan cengkraman Mbak Jeni yang ada di leherku.tepat saat itu, ibu mertuaku sampai di ambang pintu beserta para pembantu yang turut ikut serta melihat kejadian ini, tidak! bukan keseluruhan kejadian, tapi akhir kejadiannya!Bu Wasida berlari ke arah putri sulung tercintanya, tampak khawatir dan cemas akan kondisi putrinya, "kamu kenapa? kok bisa sampe jatoh gini, kaki kamu sampe lecet gitu loh!"Dengan memasang wajah ketakutan ia menatap ke arahku, tangannya gemetaran, sama sekali bukan Mbak Jeni yang beberapa menit lalu memaki dan menghinaku, apa maksudnya semua ini?Tangannya yang bergetar menunjuk kearah ku."Dia ... mencekik leherku Bu! setelahnya aku didorong sampai jatuh sama wanita itu!" ucapnya, membuatku ternganga mendengarkan segala kemunafikan yang keluar dari mulut kakak iparku yang satu ini, tak kalah kagetnya dengan para pembantu, mereka tampak tak percaya dengan apa yang mereka dengar.Bu Wasida dengan wajah judesnya yang khas, melotot kearah ku menandakan kemurkaannya, aku meneguk saliva dan menggelengkan kepala kuat-kuat untuk membela diriku."Ndak Bu! bohong! yang Mbak Jeni katakan itu kebalikannya!" ucapku mencoba membela diri.Meski aku tau hal semacam ini adalah hal yang tidak berguna di mata wanita paruh baya di depanku ini, aku saja tak dianggap menantu olehnya."Maksud kamu, putri sulung saya ini pembohong?""Ke—Kenapa, Mas? Ruko kita kenapa?" Melihat wajah Rey yang tiba-tiba pucat pasi setelah menerima telepon, membuat Marya ikut khawatir."Kita diusir dari ruko, Dek. Kita tidak boleh berjualan di sana lagi," jawab Rey, ia menggenggam erat ponsel di tangannya."Hah?! Bukannya kita sudah bayar sewanya selama beberapa bulan ke depan, Mas?!" tanya Marya yang masih tak mengerti dengan perkataan sang suami.Kenapa tiba-tiba pemilik ruko tidak mengizinkan Marya dan Rey berjualan? Pasangan suami istri itu tidak pernah menunggak pembayaran ataupun sulit ditagih soal membayar uang sewa. Bahkan Rey selalu membayarkan langsung untuk satu atau dua bulan ke depan."Mas juga ga paham, ayo kita kesana dan bicara langsung dengan Pak Jaki." Marya mengangguk setuju dan mereka langsung bergegas menuju lokasi ruko mereka.Alangkah terkejutnya mereka berdua ketika telah sampai di depan ruko, semua barang-barang dagangan mereka sudah dipindahkan ke teras. Seakan mereka diusir secara paksa oleh pemilik ruko."M
"Sepertinya mereka meminta bantuan kepada orang lain yang memang ahli dalam menangkal sihir yang saya tanamkan di sana.""Gak! Ga bisa gitu dong, Mbah! Saya sudah bayar untuk ini, kenapa masih bisa gagal?!" pekik Lia yang masih tak terima."Mau bagaimana lagi? Sepertinya kamu memang tengah berurusan dengan orang yang salah," sahut Mbah Jayeng."Bahkan mereka belum benar-benar bangkrut, Mbah! Masa udah ketahuan?!"Lia begitu frustasi kali ini, rencananya untuk menghancurkan Rey dan Marya selalu berantakan dan gagal. "Saran saya, lebih baik kamu berhenti mengharapkan lelaki itu. Keteguhan iman dan rasa cinta lelaki itu terhadap istrinya yang sekarang, tidak bisa saya tembus dan saya hancurkan."Mendengar kalimat nasehat dari Mbah Jayeng, ternyata tidak dapat membuat keinginan Lia memudar dan menyerah begitu saja. "Cukup, Mbah! Ga usah omong kosong lagi, Mbah saja yang ilmunya tidak mumpuni," sahut Lia dengan emosi.Lia pergi meninggalkan gubuk tua itu dengan perasaan dongkol dan kecewa.
"Ini disebut sebagai santet penghilang rezeki, ilmu hitam ini menyasar pada kelancaran rezeki seseorang, pemilik ilmu sihir akan menutup energi positif tempat ini agar penghasilan korbannya bisa turun, bahkan bangkrut," jelas Ustadz Yusuf."Astagfirullah, siapa orang yang tega ngelakuin hal seperti ini?" lirih Marya. Ia tak menyangka jika ada seseorang yang seniat itu untuk membuat usahanya hancur."Lalu, apa yang harus kita lakukan agar sihir hitam ini hilang, Ustadz?" tanya Rey."Kita akan melakukan pembersihan dengan meruqyah tempat ini, sementara Ustadzah Asa dan kalian akan mencari benda sihir yang ditanamkan di tempat ini," jawab Ustadz Yusuf. Semua orang mengangguk setuju.Semuanya berpencar, Ustadzah Asa, Ani, dan Andi mencari di sekitar luar ruko, sementara Marya dan Rey mencari di dalam ruko. Ketika semua orang sibuk mencari, Ustadz Yusuf melantunkan ayat-ayat pembatal sihir dengan memegang sebuah botol air di tangannya."Ini, ini adalah benda yang ditanam oleh seseorang seb
"Tapi kita buka setiap hari loh, Pak! Yah ... meski ga ada satu pun yang beli sih," ucap Rey.Mereka semua terdiam tak bergeming, sampai akhirnya Pak Bakri membuka suara. "Walah, saya ndak tahu kalo itu. Saya tiap hari lewat ruko sampean dari mulai pagi sampe sore, tutup terus kok," ujar Pak Bakri, ia semakin membuat Marya dan yang lainnya bingung."Eh ... ya sudah, saya mau ngarit dulu buat kambing-kambing saya, Assalamualaikum," timpal Pak Bakri lagi."Wa'alaikumussalam." Pak Bakri melangkah pergi meninggalkan Marya dan lainnya. Kini empat orang itu terheran-heran di dalam batinnya dengan ucapan Pak Bakri barusan."Ya sudah, kita pulang dulu. Mau magrib. Andi, anter Ani ke rumahnya, ya?" ucap Rey memecah lamunan Marya, Andi, dan juga Ani."Eh, iya Pak. Saya pamit duluan.""Ndi, bukannya ini masalah serius, ya? Jangan-jangan bener dugaanku, ada pedagang lain yang iri sama usaha Marya dan Rey," ujar Ani menerka-nerka."Kemungkinan besar sih, begitu," sahut Andi."Duh, ada aja cobaan s
"Semenjak kejadian kemarin, warung kita jadi sepi gini, Mar. Apa orang-orang pada terhasut sama fitnah ibu-ibu itu, ya?" tanya Ani menduga-duga.Marya menghembuskan napasnya dengan kasar. "Mungkin," sahut Marya dengan senyum getirnya.Pasalnya seminggu dari kejadian heboh waktu itu sudah berlalu, namun warung Marya nampak sepi pembeli. Seakan semua orang sudah tidak percaya lagi dengan makanan yang Marya jual.Bahkan hampir semua pesanan ketering dalam jumlah banyak pun dibatalkan secara sepihak oleh langganan Marya."Lebih baik kita tutup saja, An. Ini juga sudah sore dan mendung," celetuk Marya, kini ia berdiri dan mulai membereskan sedikit demi sedikit barang dagangannya."Loh? Gak buka sampe malem lagi, Mar?" Marya menggelengkan kepalanya. "Sepertinya ga perlu.""Masih utuh semua loh dagangan kita, mau dikemanakan?""Kita bungkus saja, kita bagi-bagi ke pondok pesantren yang dekat sini. Pasti semuanya akan
"Assalamualaikum.""Wa'alaikumussalam," sahut Rey dari dalam rumah, ia membuka pintu depan dengan terburu-buru."Kamu ternyata, Ndi. Sama Ani juga? Ayo masuk," ujar Rey, ia mempersilakan kedua orang itu untuk masuk ke dalam. Marya pun keluar dari kamarnya untuk menyambut Ani dan Andi."Iya, Pak. Ini sebenarnya cuma mau ngasih kunci ruko ke Pak Rey." Andi mengulurkan tangannya dan memberikan sebuah kunci kepada Rey. "Oh, iya. Terima kasih kalian sudah mau menutup rukonya," ucap Rey.Kini Marya datang dengan sebuah nampan yang terdapat dua gelas teh hangat di atasnya. "Minum tehnya dulu, ya.""Iya, makasih Mar. Kamu ndak kenapa-napa toh? Aku takut kamu kepikiran sama kejadian tadi," ucap Ani.Andi pun menyenggol bahu Ani. "Justru karena Mbak ungkit jadi inget, Mbak!" lirih Andi."Oh, iya juga, ya." Ani meringis ketika mendapati teguran dari Andi.Marya tersenyum simpul menanggapi hal itu. "Gapapa, An. Cuma heran aja, kok bisa ada yang fitnah sampai seperti itu," sahut Marya."Ada yang
"Ada apa ini ribut-ribut?!" tanya Rey dengan panik, pasalnya ia baru datang dari rumahnya bersama Andi untuk mengambil persediaan bahan-bahan. Tapi betapa terkejutnya mereka berdua ketika melihat ruko milik mereka telah dikerumuni oleh banyak massa."Marya! Ada apa?!" Rey lebih panik lagi ketika mendapati istrinya yang sudah menangis pilu di antara kerumunan itu."Ini loh, Mas. Ibu-ibu itu tiba-tiba datang, trus nuduh kalo gara-gara gorengan dan nasi uduk buatan kita itu mengandung racun atau apalah itu," jelas Ani."Racun? Racun apa?" tanya Rey dengan heran, ia sudah berjualan selama beberapa bulan, dan tidak pernah mendapati protes seperti itu dari para konsumennya."Halah, kalian semua itu jago sekali aktingnya. Liat nih, gara-gara makanan yang kalian jual itu, anak saya sampai masuk rumah sakit!""Bentar-bentar! Ibu-ibu ini memangnya punya bukti kalau semua itu karena makan makanan yang kami jual? Kalau tidak, kalian bisa saya tuntut atas hal pencemaran nama baik!" ucap Rey dengan
"Kita harus buat Rey kembali lagi ke rumah ini, Ibu butuh dia untuk menjalankan perusahaan keluarga," ucap Wasida."Iya, tapi bagaimana caranya? Dia saja kudengar cukup sukses dengan usahanya bersama si wanita sialan itu, mana mau dia pulang ke rumah ini?" "Kita buat saja usahanya hancur, Mbak, Buk. Dengan begitu, Rey pasti akan menyerah dan datang kepada kalian," usul Lia memberikan sebuah ide."Hancur? Bagaimana caranya, Li? Apa kamu tahu?" Wasida masih bingung dengan usulan yang diberikan oleh Lia, bagaimana caranya membuat usaha Rey hancur? Sementara ia sendiri tidak bisa lagi membuat Rey percaya dengannya."Buat bisnis mereka bangkrut, apa pun caranya. Misalnya suruh orang fitnah usaha mereka, dan buat nama bisnis mereka jelek. Dengan begitu, semua orang pasti tidak mau lagi belanja di sana," jelas Lia."Nah! Itu sepertinya cara yang paling mudah, kita bisa bayar orang untuk melakukan hal itu," sahut Jeni, ia sangat setuju dengan us
"Pak! Buk! Sini-sini, nasi uduk sama gorengan ini enak loh rasanya." Pak Akmal melambaikan tangannya, sontak saja orang-orang yang berada di sekitar tempat jualan Rey dan Marya langsung berdatangan karena penasaran."Kebetulan saya juga belum sarapan, nasi uduknya satu, ya." "Siap, Buk. Tunggu sebentar, ya."Hari pertama Marya berjualan benar-benar di luar ekspektasi, Marya pikir tidak akan seramai ini. Ternyata tempat ia berjualan memang begitu strategis, ditambah rasa makanan yang ia buat juga mendukung."Mas, tolong jualin gorengannya, ya." "I—iya, ini 5 ribu dapet berapa, Dek?" "Dapet 8 Mas." Marya dengan cekatan membuat pesanan demi pesanan, dari mulai nasi uduk dan lontong sayur. Sedangkan Rey yang bertugas untuk mengurusi pesanan gorengan tengah keteteran."Mas, jangan tahu semua dong isinya, dicampur," protes seorang ibu-ibu yang melihat Rey sedang memasukan gorengan ke dalam plastik, tapi yang Rey ambil sedari tadi hanya satu macam saja."Eh? maaf-maaf Mbak." Rey kembali me