Bab 42"Iya, Marni, ada apa lagi kamu menelponku? Bukannya sudah jelas ya, kalau kita itu sudah tidak sepaham!" Mas Romli berkata dengan nada tinggi.Rupanya yang meneleponnya barusan adalah istrinya, yang kemarin melabrak keluargaku untuk meminta apa yang sudah diberikan Mas Romli untuk Roni dan Reno. Aku dan kedua anakku yang sedang sarapan sampai berhenti, kami bertiga malah fokus mendengarkan Mas Romli, yang sedang berbicara dengan istrinya.Kami bertiga fokus melihat gerak-gerik Mas Romli, yang bicaranya dengan begitu emosi. Aku yang tadinya tidak tahu permasalahannya kini menjadi tahu. Ternyata Mas Romli saat ini sedang ada permasalahan dengan istrinya. Pantes aja pagi-pagi ia sudah ada di rumahku, padahal seharusnya saat ini ia sedang sarapan bersama keluarganya. "Pokoknya aku tidak mau, Marni! Karena apa yang telah aku berikan itu adalah hak kedua anakku. Mereka itu sudah sepantasnya mendapatkan semua itu, apalgi aku telah menelantarkan mereka demi kamj. Jadi sudah sepantasny
Season 2"Mas, alhamdulillah ya, acara pernikahan kita berjalan dengan lancar. Semoga saja pernikahan kita ini langgeng dan bisa menjadi keluarga yang SAMAWA ya, Mas!" Risma berkata, saat aku baru saja duduk di atas kasur dan berada di sampingnya. "Iya, Sayang, semoga ya," ucapku, sambil mengusap pucuk kepala wanita, yang baru tadi siang aku jadikan dia istri. Ia membuka percakapan, setelah aku selesai bersih-bersih dan berganti pakaian dan bersiap untuk tidur. Ini adalah kali pertama aku bisa tidur bersamanya, setelah hampir satu tahun lamanya kami menjalin kasih.Walaupun aku sudah pernah menjalani pernikahan, dengan istri pertamaku yang bernama Wati. Tapi tetap saja dadaku berdegup kencang, saat akan menjalani ritual malam pertama seperti sekarang ini. Risma pun aku lihat sudah siap, bahkan ia bepenampilan seksi seakan sengaja menggodaku. Ia bahkan begitu manja padaku, membuat napasku bertambah sesak dibuatnya."Mas, apa kamu sakit? Kok kamu keluar keringat dingin begitu, bahk
"Nggak kok, Mbak. Aku nggak kedinginan, sebab aku berdua ma suami. Mungkin Mbak kedinginan karena Mbaknya sendirian," sahut Risma, sambil tangannya menggandeng erat tanganku."Hee ... He, iya kali ya, Mbak" ujar perempuan tersebut, sambil terkekeh dan kembali mengerlingkan matanya padaku.Karena aku takut khilaf, lalu aku pun menjauh dari wanita tersebut. Kini Risma lah, yang berada di samping wanita genit itu. Karena aku tidak mau istriku salah paham nantinya, sebab wanita ini sudah berani menggodaku, padahal kami baru saja bertemu.Aku tidak mau karena wanita yang tidak jelas ini, keharmonisan rumah tanggaku yang baru saja aku bangun akan menguap begitu saja. Sementara sangat susah mencari wanita seperti Risma ini. Mungkin hanya ada beberapa saja, wanita yang nyaris sempurna seperti Risma. Risma istriku bukan hanya cantik rupa, serta postur tubuhnya yang menggoda, tetapi ia juga memiliki hati yang baik. Dan yang paling utama, ia sangat menyayangi Bapak ibuku, yang merupakan me
"Wa ... Wati ...," lirihku."Iya, Mas, itu benar Mbak Wati. Tapi kok ia mau ngapain datang ke sini, bahkan datang sepagi ini di sini? Apa kamu memintanya supaya datang ke sini ya, Mas?" tanya Risma dengan raut wajah yang nampak curiga terhadapku."Sayang, kamu itu ngomong apaan sih? Mana mungkin, Mas meminta Wati datang ke sini! Lagian untuk apa coba, Mas menyuruhnya datang? Kamu mah ada-ada saja, Yang," sahutku berusaha memberi penjelasan kepada Risma, kalau aku tidak tahu-menahu tentang kedatangan Wati ke hotel tempat menginap kami."Lalu untuk apa dia datang ke sini dan dari mana dia tahu kalau kita ada di sini?" tanya Risma lagi, seakan tidak percaya dengan apa yang aku katakan barusan."Ya mana Mas tahu, Sayang. Mungkin dia sengaja datang ke hotel ini karena ada urusan sendiri, bukan mau menemui Mas," pungkirku lagi.Karena memang kenyataannya aku tidak ada urusan dengan Wati, apalagi sampai menyuruhnya untuk datang ke hotel tempat bulan madu aku dan Risma. Aku juga sebenarnya
"Roni, kok Ibu perhatikan semenjak kalian menikah dan tinggal di sini, istrimu selalu saja diam di dalam kamar. Apa dia tidak suntuk seharian diam di kamar, keluar kalau hanya untuk ke kamar mandi dan juga makan. Piring kotor dan pakaian kotor bekas pakenya pun tidak pernah mau mencucinya. Ibu juga tidak pernah melihat dia mencuci pakaian kamu, apalagi berinisiatif membantu Ibu membereskan rumah dan juga memasak. Memangnya kenapa sih si Wati itu? Apa dia tidak suka dengan Ibu," tanyaku kepada anak pertamaku, yang sudah satu bulan ini menjadi kepala keluarga dan tinggal di rumahku."Ibu jangan berpikir yang tidak-tidak tentang istriku, ia hanya belum terbiasa dengan keadaan rumah tangga ini. Asal Ibu tau, kalau Wati ini dimanja orang tuanya, makanya ia tidak terbiasa dengan pekerjaan seperti itu. Selama bersama orang tuanya, Wati itu tidak pernah mencuci, apalagi mengejakan pekerjaan rumah. Makanya kerjakan saja semuanya sama Ibu, nanti juga kalau sudah terbiasa pasti Wati mau bantu-ba
Wajah Wati terlihat memerah, sepertinya ia marah dan tidak suka dengan apa yang diucapkan oleh Reno adik iparnya tersebut. "Maaf ya, Mbak Wati, aku menyarankan kalian pindah dari rumah Ibu ini, bukan karena aku ingin menguasai rumah ini seorang diri. Tapi karena aku merasa kasihan kepada Ibuku, yang selalu diperlakukan seperti babu oleh Mbak dan juga Mas Roni. Aku tidak terima, jika Ibuku yang sudah tua ini selalu kecapean karena harus mencuci dan memasak untuk kalian. Sedangkan Mbak yang menjadi menatu di rumah ini malah enak-enakan, serta selalu berdiam diri di kamar. Mbak tidak pernah mau membantu pekerjaan Ibu, taunya hanya makan dan menyimpan cucian kotor. Rasanya sudah cukup ya, Mbak, Ibuku melayani kalian. Jika memang Mbak tidak mau berubah, maka lebih baik tinggalkan rumah ini. Apalagi sekarang kalian sudah berumah tangga, sudah seharusnya kalian berdua belajar mandiri. Aku saja yang belum punya istri mau meladeni keperluanku sendiri, aku tidak pernah ya, membiarkan pakaian a
"Kalau Ibu mau menerima saran dariku, lebih baik Ibu jangan pernah lagi memasak dan mencucikan pakaian atau perabotan kotor bekas makan dan minum mereka. Biar mereka berpikir sendiri, bagaimana seharusnya orang yang sudah berkeluarga. Biar mereka tau, kalau Ibu bukanlah pembantu gratisan di rumah ini," ungkap Reno memberi saran.Ia berkata dengan setengah berbisik, seolah takut didengar oleh Wati dan juga Roni."Reno, apa Ibu memang harus mekakukan ini? Nanti Kakakmu malah akan bertambah marah sama Ibu, jika Ibu seperti itu," ujarku merasa ragu."Bu, memangnya Ibu mau sampai kapan diperlakukan seperti pemantu oleh mereka? Ingat ya, Bu, Mas Roni dan Mbak Wati tidak akan pernah mikir, kalau Ibu tidak bersikap tegas terhadap mereka. Anggap saja ini sebagai dasar untuk belajar mandiri, sebab yang namanya sudah berumah tangga harus siap dengan segala sesuatunya. Kalau mereka dibantu terus, bagaimana mereka bisa bertanggung jawab dengan kehidupan mereka kedepannya, belum lagi jika nanti mer
"Wati, kok kamu ngomongnya begitu sih? Memangnya kapan kamu memberikan uang belanja untuk Ibu? Kamu jangan suka berbohong, ya Wati. Kalau memang kamu mau mendapat pembelaan dari Roni boleh saja, tapi jangan sepert ini caranya. Kamu jangan pernah membuat Roni menjadi anak durhaka, yang selalu melawan terhadap Ibunya." Aku tidak terima saat Wati mengatakan, kalau aku selalu diberi uang belanja olehnya. Padahal kapan ia memberikan uang belanja padaku? Perkataanya ini seakan mau mengadukan aku dengan anakku sendiri. "Bu, Ibu ini sebenarnya maunya apa sih? Ibu kok sepertinya mau membuat hubungan aku dan juga Wati hancur ya? Ibu kayaknya tidak suka banget, kalau melihat aku dan Wati bahagia. Bahkan sekarang menuduh istriku tidak pernah memberikan uang belanja untuk Ibu. Maksudnya apa, Bu," tanya Roni dengan menatap nyalang kepadaku, tatapannya seperti Elang yang akan memangsa targetnya. "Bukan begitu, Roni, hanya saja Ibu memang tidak pernah menerima sepeserpun uang dari kamu maupun Wati