Share

Tabung Gas

“Sejatinya, menikah itu bukan hanya mempersatukan dua insan, tetapi menyatukan dua keluarga. Tak jarang, di zaman sekarang ini memang banyak sekali menantu yang memiliki konflik dengan mertua. Terlebih para wanita.” Pak Ustaz mulai menjawab pertanyaan Bu Esih.

“Menantu yang zalim terhadap mertua, otomatis menjadi golongan manusia yang durhaka. Islam menempatkan orang tua di derajat yang tinggi, terlebih lagi seorang Ibu. Tentu, Allah akan memberikan hukuman bagi anak atau pun menantu jika mereka menyakiti hati orang tuanya,” lanjutnya.

“Jika seorang menantu perempuan memperlakukan mertuanya dengan zalim, itu berarti sama halnya dia durhaka kepada suaminya sendiri.”

Panjang lebar Pak Ustaz menjelaskan, sedangkan Nina wajahnya tampak kemerahan. Entah karena menahan kesal pada Bu Esih atau yang lainnya, aku kurang tahu. 

“Sebenarnya, sering kali konflik menantu dan mertua itu terjadi karena kekurangan komunikasi. Atau mungkin ada menantu yang masih banyak tinggal di rumah mertuanya. Ya, yang namanya manusia sudah menikah pasti lah ingin segera memiliki tempat tinggal sendiri. Tapi jika Allah belum memberi rezeki lebih, otomatis orang tua akan memberi izin anak dan menantu tinggal di tempatnya sebelum nanti memiliki rumah sendiri.”

“Alasan satu atap itu lah terkadang membuat menantu dan mertua memiliki masalah. Namun perlu dicatat, sebaiknya jika tinggal satu rumah seperti itu, kedua belah pihak harus saling berkomunikasi, mencoba hidup berdampingan dan saling mengerti, bukan saling menghakimi atau ingin menang sendiri.”

“Dan yang lebih baik lagi, sebelum menikah seorang lelaki sudah harus mempersiapkan tempat tinggal untuk dihuni calon istri dan anak-anaknya nanti. Agar konflik mertua dan menantu tak terjadi seperti kebanyakan contoh selama ini.”

Panjang sekali Pak Ustaz memberi nasihat di pagi hari ini. Sambil membenarkan Adel yang duduk di pangkuan, sekilas mata ini melirik Nina. Biasanya, dia pasti sibuk menggunjing atau bermain ponsel jika sedang sesi ceramah, tapi sekarang menantuku itu terlihat berbeda. Hanya saja ekspresi wajahnya seperti menahan kesal, bukan menyesal.

Saat acara tolabul ‘ilmi selesai, Nina buru-buru ke luar sampai melupakan Adel yang masih berada di pangkuanku. Rupanya, dia menghampiri Bu Esih yang tengah memakai sandal di depan majelis.

“Ibu nyindir saya, ya?” Ya Allah, Nina …. Jangan sampai dia buat wajahku ini malu lagi.

“Ada apa, Nin? Nyindir apa?” tanya Bu Esih kalem.

“Saya tahu kok Bu Esih nyindir saya dengan pertanyaan tadi.”

“Nin, apa-apaan kamu? Ayo, pulang!” Sambil menggendong Adel aku menarik tangan Nina, sebelum mulutnya berkata terlalu jauh dan mengada-ngada.

“Lepas, Bu!” Nina melepas peganganku dengan kasar. Matanya nampak membulat, baru kali ini aku melihat Nina begitu menyeramkan.

“Saya punya salah apa ya sama Ibu? Kalau dipikir-pikir, Bu Esih sering sekali nyindir saya, enggak di dunia nyata, enggak di dunia maya. Bahkan sekarang, di tempat suci pun begitu. Kenapa, Bu? Apa karena saya sering main sama Indah, jadi Ibu gak suka sama saya?” Aku ingin menangis sejadi-jadinya melihat Nina mencari gara-gara pada Bu Esih. Apa lagi Nina melakukan semua ini di depan anaknya sendiri, Adel.

“Nin … sudah! Ibu bilang sudah-sudah!” ucapku setelah menitipkan Adel pada seorang Mbak Wati agar membawa cucuku itu ke warungnya.

“Nyindir? Nyindir apa, Nin?” tanya Bu Esih masih dengan nada bicara yang begitu tenang.

“Jangan sok nggak merasa, Bu. Saya sendiri tahu Ibu memang nyindir saya, pakai bilang azab apa yang pantas untuk menantu zalim pada mertuanya!” Nina semakin meninggikan intonasi bicaranya.

Jujur, aku sudah sangat malu. Satu-satunya cara untuk menghentikan semua ini adalah dengan memberitahu Wahyu. Tapi, aku takut menambah beban pikirnya lalu dia kembali sakit.

“Saya nggak nyindir loh, Nin. Saya bertanya seperti itu pada Pak Ustaz karena memang zaman sekarang ini banyak model menantu macam itu. Memangnya, kamu termasuk menantu yang saya tanyakan tadi pada Pak Ustaz, ya?” ucap Bu Esih membuat air muka Nina berubah seketika.

“O-oh, jelas bukan! Saya bukan menantu seperti itu. Hanya saja, saya ‘kan masih satu rumah sama Ibunya Mas Wahyu, otomatis saya merasa, Bu. Walau beberapa hari lagi akan pindah ke tempat tinggal baru.”

“Nah … kalau gitu kenapa harus kesindir, Nina cantik? Kamu ‘kan menantu baik, Bu Ami bahkan sering memujimu di hadapan kami. Maaf, ya. Jika pertanyaan saya membuat kamu tersinggung.” Nina tak berujar lagi, dia menatapku walau membuangnya kembali dengan cepat.

“Maafkan Nina, Bu,” kataku tak enak.

“Nggak apa-apa, Bu Ami. Saya yang seharusnya minta maaf karena sudah menjadikan tema menantu sebagai pertanyaan. Pasti banyak menantu tersinggung di sini, hanya saja tak seberani Nina. Saya salut sama menantu Bu Ami. Dia pemberani, seperti apa yang Ibu katakan dulu.” Nina masih terdiam, walau samar kudengar napasnya memburu karena menahan kesal pastinya.

“Sekali lagi maaf ya, Nin. Saya nggak nyindir kamu kok, kalau di media sosial saya memang suka bikin status karena suka kesal menonton sinetron yang menantunya kurang ajar samar mertua.”

Lagi-lagi Nina hanya membisu, entah karena malu atau bagaimana.

“Pamit ya, Ibu-ibu. Oh ya, Nin. Jangan sampai karena kejadian ini kamu jadi nggak pernah main lagi ke rumah. Assalamualaikum.” Semua orang menjawab salam Bu Esih, sebelum mengekori mertuanya pergi, kulihat Indah mengelus bahu menantuku lembut.

“Dasar playing victim!” ucap Nina lalu pergi seraya mengentakkan kakinya. Duh, Gusti … aku hanya bisa menambah stok kesabaran, menimbun ketegaran di depan ibu-ibu yang ikut menonton.

Nina, sekali-kali aku memang harus memberimu pelajaran.

*** 

“Jadi, Ibu sering membicarakanku pada teman-teman Ibu, begitu?” Nina menginterogasiku setelah kami sampai rumah.

“Nggak, Nin. Buat apa Ibu bicarain kamu?” jawabku sambil menyapu lantai, sementara dia sibuk mengunyah sosis yang stoknya masih banyak di dalam stoples. 

“Terus, tadi Bu Esih bilang, katanya aku pemberani seperti yang Ibu katakan. Apa artinya itu kalau Ibu tidak pernah membicarakanku?” tanyanya lagi seraya memberikan sepotong sosis pada Adel yang tengah menonton video dalam ponsel.

“Ibu-ibu sering membicarakan menantunya, lalu mereka sering menanyakan kamu tipekal menantu yang bagaimana. Ya Ibu jawab pemberani saja, karena kenyataannya memang begitu.”

“Pemberani dalam hal apa?”

“Ya contohnya tadi, berani bertanya langsung pada Bu Esih saat hatimu merasa tersinggung.” Nina terdiam, lalu kembali mencomot sosis baru dari dalam stoples. Sepertinya enak sekali melihat dia mengunyah makanan berbahan dasar daging itu.

“Tapi, Nin. Saran Ibu, kamu jangan terlalu berani sama Bu Esih, jangan sampai kamu menggores hatinya karena prasangka buruk. Kamu ‘kan suka main ke rumahnya, nggak enak kalau dia sampai marah gara-gara ucapanmu.”

“Terserah deh, Bu. Ayo, Sayang. Kita makan dulu, Ibu mau masakin ikan sarden dan gorengin nugget buat kamu. Sama telur ceplok juga.” Nina berdiri dan meraih Adel ke pangkuan, tiba-tiba aku teringat sesuatu.

“Nin!” panggilku saat langkahnya sudah hampir masuk ke dalam kamar.

“Kenapa?”

“Maaf, Ibu boleh minta satu butir telur, tidak? Ibu belum beli lauk, besok atau lusa Ibu ganti telurnya.” ucapku jujur, mengingat uangku habis karena digunakan untuk membayar bulanan sekolah Farhan tadi pagi.

“Beli saja ke warung, Bu. Di warung telurnya lebih banyak, kalau dikasih Ibu takut Adel gak kenyang nanti.”

Nyeri ulu hatiku mendengar jawabannya yang tak masuk akal itu. Memangnya Adel akan makan berapa butir telur sih sampai takut tak kenyang? Ya Allah, Gusti.

Hatiku tambah nyeri saat Nina menutup kamarnya begitu saja.

“Wes, ndak apa kalau begitu,” ucapku sambil menahan kesal lalu pergi ke dapur.

Jujur, hatiku saat ini sudah telanjur dongkol. Sampai akhirnya aku melepas regulator tabung gas dengan segera, secara Nina tidak bisa memasang benda tersebut. 

Setelah selesai, aku kembali ke rumah. Kemudian menyalakan televisi. 

Tak lama, Nina keluar kamar lagi sambil membawa ikan kalengan, kemasan nugget dan telur dua butir. Sementara anaknya ditinggal di kamar, membiarkannya menonton video sendirian. Sebenarnya aku kurang setuju melihat cucuku selalu memainkan ponsel, Adelia terlalu dini untuk memegang benda seperti itu.

“Bu! Ibu!” Nah, dia mulai memanggil. Aku pura-pura tuli saja, lah.

“Bu, kok regulatornya lepas?” Nina menampakkan dirinya di pintu penghubung dapur dan ruang tengah.

“Ibu!” panggilnya lagi.

“Ya?”

“Pasangin regulator, Bu. Aku mau masak!”

“Pasangin saja sendiri! Ibu nggak berani, takut mbledug!” ucapku sambil berdiri, lalu tanpa izin masuk ke kamar Nina, memangku Adel dengan segera untuk di bawa ke warung Bu Wati.

Biar lah kali ini kasbon makan dulu, dari pada lihat cucu kelaparan. Nanti juga rezeki pasti datang.

“Ibu! Mau dibawa ke mana Adel? Buuu!” teriak Nina masih dari tempat yang sama, kemudian memekik lagi karena ingin aku memasang regulator tabung gas.

Maaf, Nina. Silakan berjuang sendiri, toh selama ini kamu selalu ingin makan tanpa berbagi.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status