Share

Uang Seratus Ribu

“Pokoknya aku mau baju seperti itu, Mas ….” Terdengar suara rengekkan Nina pagi ini, pintu kamarnya sedikit terbuka.

“Itu terlalu mahal, Nin.” Suara Wahyu dari seberang telepon juga terdengar jelas. Aku bisa melihat ponsel Nina tergeletak di atas ranjang, sementara pemiliknya duduk di atas lantai seraya menyuapi Adel dengan bubur.

“Mahal? Masa Indah bisa beli kamu enggak, Mas?”

“Ya Indah ‘kan kerja, Nin. Setidaknya dia bisa beli sesuatu tanpa terlalu mengandalkan suaminya.”

“Oh, jadi maksudmu aku terlalu bergantung padamu, begitu? Ingat ya, Mas. Siang malam aku selalu doain kamu, rezeki kamu itu berasal dari rintihan istri yang meminta pada Tuhan.” Siang malam katanya? Siang malam nonton televisi, itu baru benar.

“Bukan begitu, Nin. Tapi ‘kan baju kamu banyak, masih pada baru. Pakai saja yang ada.”

“Masa syukuran rumah pakai baju lama sih, Mas? Rumahnya baru tapi bajunya enggak. Kan aneh.” Sekalian saja padahal Wahyu ganti istri baru, dasar wanita aneh!

“Nin, Nin … syukuran kok kayak mau lebaran saja. Maaf, ya. Gajiku kemarin kena potongan karena sering nggak masuk, jadi nanti Mas hanya akan kirim uang untuk bahan-bahan masakan saja.” Tut! Terdengar suara sambungan telepon yang terputus.

“Mas! Halo, Mas! Dasar laki nggak pengertian!” makinya seraya mengetuk-ngetuk layar ponsel, melihatnya seperti itu aku hanya menggidikkan bahu sambil melanjutkan nyapu.

*** 

“Ini uangnya, Bu. Pokoknya masakin makanan yang enak-enak.” Aku terdiam melihat uang serratus ribu pemberian Nina.

“Memangnya, mau masak makanan apa, Nin?”

“Lho, kayak acara syukuran biasa, lah, Bu. Masak nasi kuning sama daging, terus bikin kue-kue kayak arem-arem, klepon, gethuk sama kue mendut. Eh, tambahin jenang juga, kesukaanku ya, Bu.” Ya Allah, apa menantuku sudah benar-benar hilang akal? Dengan uang selembar ini, dia menyuruhku untuk membuat macam-macam makanan. Mana cukup ….

“Kalau Farhan sudah pulang, suruh dia beli air mineral lima dus ya, Bu.” Ini lagi, minta dijadikan getuk apa dia.

“Nggak cukup lah, Nin,” kataku jujur.

“Nggak cukup apanya, Bu? Uangnya?”

“Ya iya, Nduk. Uang segini hanya cukup beli satu ekor ayam.”

“Lah, dicukup-cukupin saja, Bu.”

“Haha, kalau begitu masak sendiri, yo.” Kuletakkan uang kembali ke atas meja dapur, terserah jika dia mau mengambilnya atau tidak.

“Kok gitu sih, Bu? Ibu gak perhatian banget anak mau pindah rumah.”

“Ya gimana gak perhatian, uang segitu mana cukup.”

“Pakai uang Ibu saja dulu, nanti setelah Mas Wahyu pulang aku ganti.” 

Ingin tertawa sekencang-kencangnya aku mendengar perkataan Nina, aku tahu Wahyu sudah mengirim uang bahkan nominalnya lebih dari itu.

“Ya sudah,” jawabku, lalu kembali mengambil uang di atas meja. Nina pun berlalu tanpa mengucap terima kasih atau kata-kata lain.

Selepas kepergiannya, aku hanya bisa menghela napas. Berpikir dari mana anakku mendapatkan istri macam dia? Apa yang dimilikinya sampai-sampai bisa membuat Wahyu begitu mencintainya. Entahlah.

***  

Bukannya ingin mempermalukan anak dan menantu di acara syukuran rumahnya. Namun bagaimana lagi? Nina sendiri yang tak mau keluar uang lebih banyak. 

“Apa-apaan ini?”

“Apanya yang apa-apaan?” tanyaku balik. Nina tampak kaget melihat makanan yang sudah selesai kumasak di atas meja dapur.

“Cuma segini kuenya, Bu?” Dia melirikku sekarang, aku mengangguk membenarkan.

“Tapi lengkap ‘kan, Nin? Ada klepon, kue mendut, arem-arem sama gethuk, kesukaanmu juga ada, kue jenang.”

“Ya tapi bukannya satu biji begini, Bu ….” Nina mengangkat kue jenang lalu menjatuhkannya kembali ke atas piring.

“Yang penting lengkap, Nin. Ibu juga sudah masak nasi kuning sama daging.”

“Mana?” tanyanya cepat, aku menunjuk bakul nasi. Dia langsung menuju ke sana.

“Ya ampun, ini hanya cukup untuk di makan orang satu rumah. Ini juga, daging ikan? Mana daging ayamnya?”

“Loh, kamu gak bilang mau pakai daging ayam, Nin.”

Nina mulai kesal sepertinya, wajahnya memerah dan sekarang kedua tangannya disimpan di samping pinggang.

“Jangan bercanda ya, Bu! Waktu tinggal nunggu sore, masa iya tamu mau disuguhin makanan begini?”

“Yang bercanda siapa, Nin? Ibu hanya menyesuaikan masakan dengan uang yang kamu kasih.”

“Kan aku bilang pinjam dulu uang Ibu, nanti setelah Mas Wahyu kirim aku ganti!”

“Aku ‘kan sudah kirim uang, Nin!” Suara seorang lelaki dari arah pintu membuat kami menoleh bersamaan. Ya ampun, betapa senangnya aku melihat penampakkan Wahyu saat keadaan seperti ini.

“M-Mas Wahyu?”

“Maksud kamu tadi apa, ya? Aku ‘kan sudah kirim uang,” ucap Wahyu sambil melepaskan ransel dan menyimpannya asal ke atas meja dapur.

“I-itu, Mas ….”

“Bagaimana kabarnya, Bu?” Wahyu langsung menghampiriku dan mencium tangan ini penuh hormat. Di sampingku, dia bertanya lagi pada Nina tentang kejelasan uang yang sudah dikirim satu minggu lalu katanya.

“Em, uangnya ada, Mas. Tapi setengahnya kepakai buat beli baju baru.”

“Ya ampun … jadi sekarang belum masak buat acara syukurannya, begitu?” Wahyu tampak kecewa.

“Sudah, Mas. Aku sudah suruh Ibu, tapi ya Ibu malah bercanda. Lihat! Itu katanya yang akan disuguhkan pada para tamu.” Wahyu menoleh ke meja.

“Memangnya kamu kasih uang sama Ibu berapa?” tanya Wahyu lagi. Nina terdiam agak lama.

“Berapa?” ulang Wahyu.

“Seratus ribu, Mas.”

“Ya Allah … yang betul saja, Nin? Aku kirim empat juta kamu cuma kasih Ibu seratus ribu? Cukup apa? Bersyukur Ibu masih mau membuat masakan, ada apa sih sama kamu, Nin? Sudah nyuruh, nggak bantuin, ngasih uang cuma-cuma. Kecewa aku!”

“Mas nyalahin aku?” Nina menatap anakku dalam.

“Ya nggak nyalahin gimana, uang satu bulan gaji kamu habisin hanya untuk pakaian. Itu keterlaluan!”

“Siapa suruh kamu nggak mau nurutin kemauanku, Mas? Dari jauh hari aku sudah meminta baju model tersebut, ‘kan? Tapi kamu malah kirim uang hanya untuk bahan masakan. Nggak pengertian!”

“Lagi pula untuk apa pakaian berjuta-juta itu, Nin? Kita bukan orang berada seperti keluarga Indah! Aku bukan seorang pegawai negeri seperti suaminya Indah! Gajiku pas-pasan, beruntung ada pekerjaan. Harusnya kamu bersyukur. Kerjaan di zaman sekarang susah! Tapi kamu malah mengeluarkannya dengan cuma-cuma!” Baru kali ini aku mendengar Wahyu marah. Bahkan sampai berani meninggikan suara pada istrinya itu.

“Mas jahat!”

“Terserah! Aku capek dengan sikap borosmu itu, Nin!”

“Oke, kalau begitu nggak usah ngadain syukuran!” ucap Nina sambil menyeka air mata lalu pergi dari hadapan kami.

Wahyu tak memanggilnya untuk kembali, dia malah duduk di kursi tunggal dekat meja. Menghela napasnya dalam sambil menunduk.

“Sabar ya, Le. Maafin Ibu, gara-gara Ibu kalian jadi bertengkar.”

Wahyu menggeleng. “Enggak, Bu. Seharusnya kami yang meminta maaf. Semoga, setelah pindah rumah nanti, Nina bisa bersikap lebih dewasa,” ucapnya. Aku hanya mengaminkan dalam doa.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status