Share

PENGAJIAN

"Bu, memangnya si Indah itu hebat, ya?" Tiba-tina Nina ikut duduk di sampingku. Sambil meletakkan piring di atas lantai dia bertanya.

Seperti itulah dia, otaknya kadang korslet kadang normal. Kalau sedang normal, ya dia bakalan memulai bicara padaku.

"Hebat." Aku menyahut dengan jujur. Biar lah kalau dia mau marah, toh sudah biasa aku dimanyunin Nina.

"Hebat dari segi apanya, sih? Karena dia bisa bikin buku? Kalau gitu mah aku juga bisa, tinggal nulis doang apa susahnya?" tukasnya lalu mencomot kornet yang membuatku berhasil menelan ludah.

"Nulis orang biasa sama nulisnya Penulis itu beda," terangku.

"Hahaha, sama saja."

"Beda, beda sekali! Non Indah itu punya otak, dan otaknya digunakan dengan baik!" 

"Jadi, maksud Ibu aku nggak gunain otak dengan benar, begitu?" Walah, dia kesindir juga rupanya. Hampir saja aku tersedak makanan sendiri mendengar pertanyaan Nina.

Aku diam saja, dari pada menjawab pertanyaannya, mendingan kuhabiskan nasi yang tinggal sedikit ini.

"Makannya sudah, Bu? Gorengannya buatku saja." Tangan Nina menjulur ke piringku, namun dengan cepat aku menghindar.

Serakah sekali dia, sudah makan dengan kornet bahkan masakan yang lain tapi masih mau meminta gorengan dariku. Padahal aku hanya makan dengan bakwan buatan sendiri karena keuangan sudah mulai menipis.

"Ya ampun, pelit banget sih, Bu?" ketusnya saat aku berdiri.

"Buat Farhan. Dia belum makan. Takutnya kamu keracunan kalau makan ini, soalnya tadi Ibu goreng pakai minyak tanah," ucapku sekenanya. Sengaja, biar saja dia mikir sendiri. Secara minyak goreng kemasan yang dibawa Wahyu kemarin dia simpan di kamarnya saat aku lengah.

Nina hanya mendesis, sementara aku mencoba tak peduli dan berlalu begitu saja dari hadapannya.

***

"Bagaimana kabarnya, Dho? Ini nomor siapa? Kenapa gak pakai nomor Kakakmu?" tanyaku bertubi-tubi.

"Ini nomor Ridho, Bu. Alhamdulillah Ridho sudah kebeli hp, jadi bisa hubungin Ibu pakai hp sendiri." Aku mengucap syukur tiada tara mendengarnya. Memiliki ponsel termasuk keinginan besar anak keduaku itu, selama di rumah dia tak pernah memegang benda canggih tersebut.

Karena di rumah hanya ada ponsel jadul pemberian Wahyu saat pertama kali dia bekerja di sana. Benda tersebut kami gunakan untuk bertiga, terkadang Ridho menggunakannya untuk bermain ular atau bola orange yang memantul.

Pernah Ridho meminta ponsel pada Wahyu, namun saat pemberiannya itu mendarat ke rumah, Nina lah yang menerimanya. Alhasil ponsel tersebut dikuasainya, dengan dalih akan mengganti di lain waktu karena miliknya sudah rusak dan akan diberikan kepada Adel agar anaknya main dengan anteng.

"Maaf ya, Bu. Ridho belum bisa kirim uang karena Ridho gunakan buat beli hp. Nanti gajian kedua Ridho janji bakal kirim uang, kalau cukup mau beliin Ibu hp juga. Biar kita bisa video call."

 "Nggak apa-apa, Le ... dengar kamu sudah kebeli hp saja Ibu sudah senang bukan main. Kamu sehat, 'kan? Sudah makan?"

"Sehat, Bu. Sehat. Kalau makan jangan khawatir, di sini makan nggak perlu beli. Banyak sekali makanan, Bu. Ridho jadi suka keinget Ibu sama Farhan."

"Nggak usah diinget-inget, Le. Ibu sama Farhan senang kok di sini."

"Ridho suka khawatir, Bu. Takut Mbak Nina makin menjadi-jadi sikapnya." Mendadak mataku basah, campuraduk perasaanku sekarang ini.

"Pokoknya kamu fokus kerja saja ya, Le. Kamu lagi di tempat orang, beda sama Ibu dan Farhan yang tinggal di tempat sendiri."

"Iya, Bu. Iya...." Suara Ridho terdengar berbeda, aku tahu dia menangis, aku pun jadi ikut meneteskan air mata.

"Kakakmu apa kabar, Dho?" tanyaku mencairkan suasana.

"Masih kurang sehat sebenarnya, Bu. Itu saja sudah tidur, sekarang Mas Wahyu masuk bagian siang karena gak kuat nahan angin malam."

"Ya Allah...." Ngelus dada aku mendengarnya.

"Suruh pulang saja dulu kakakmu, Dho. Ibu khawatir."

"Nggak bisa, Bu. Katanya takut nanti diberhentiin kalau cuti terlalu lama." Semakin deras air mataku berjatuhan.

"Sudah, Bu. Jangan jadi pikiran, Ridho akan selalu jaga Mas Wahyu. Doakan kami saja, Bu."

"Tentu, Nak. Tentu. Tanpa diminta pun Ibu akan selalu mendoakan kalian...." ucapku sembari menyeka air mata, tak lama percakapan kami harus berakhir. Entah karena signal atau pulsa Ridho yang habis.

Ya Allah, kutitipkan mereka padaMu, karena hanya Engkaulah sebaik-baik Penjaga.

***

Wangi bunga melati memenuhi ruangan saat Nina ke luar dari kamar sambil menggendong Adel. Dia memang suka memakai parfum aroma seperti itu.

"Ini, bawain jajanan Adel, Bu." Nina menyodorkan kantung kresek berisi makanan dan minuman ringan. 

"Jangan keseringan dikasih jajanan begini, Nin. Seringin dikasih buah anakmu. Biar sehat, biar badannya berkembang pesat."

"Buah mahal." Aku hanya mengembuskan napas lalu terpaksa menerima kantung keresek tersebut, kemudian mengekori Nina yang sudah rapi dengan gamis dan kerudung hitamnya.

Setiap Jumat pagi aku memang selalu menghadiri pengajian di Madrasah, Nina juga sering ikut kajian tersebut kecuali jika sedang ada halangan. 

Tapi aku suka heran, apa dia nggak pernah dengar Ustaz saat memberi nasihat? Ilmu-ilmu agama yang dia timba di pengajian sepertinya tak masuk ke dalam kepalanya itu.

Saat sudah sampai di Madrasah, aku bisa lihat kalau Nina sedang mengamati gamis yang dikenakan Indah. Kebetulan kami memang bertemu saat hendak masuk.

Pasti lah dia menginginkan model gamis seperti itu, dan nantinya akan merengek pada Wahyu untuk dibelikan. Padahal, baju-baju Non Indah bermerek semua, untuk orang seperti kami rasanya terlalu berlebihan jika menggunakan uang banyak hanya untuk sehelai pakaian.

"Adel... lucu banget, imut. Nggak gede-gede, ya?" komentar salah satu ibu yang hendak masuk ke dalam majelis juga, tangannya mencubit pipi cucuku.

"Nggak apa-apa nggak gede juga, yang penting gak nyusahin orang!" sahut Nina dengan ketus lalu segera masuk ke dalam.

Aku hanya bisa menarik napas melihat kelakuan Nina yang selalu judes hampir pada semua orang.

"Maafin mantu saya ya, Bu."

"Eh, ndak apa Bu Ami. Mungkin perkataan saya menyinggung hati Nina. Maafin saya juga." Aku hanya tersenyum, pantas saja orang bilang Adel gak gede-gede, lihat saja apa yang sering cucuku itu makan.

Bukan sesuatu yang sehat seperti serat dan buah, melainkan jajanan warung, sebenarnya kurang baik anak seusia Adel melahap makanan seperti itu.

Setelah masuk ke majelis, aku duduk di dekat Nina, selalu seperti itu karena Adel ingin berada di pangkuanku.

Setelah selesai membaca salawat dan tahlil, sekarang giliran ibu-ibu membaca Al-Qur'an. Saat bagian Indah melantunkan ayat suci, adem rasanya hatiku ini. Menantu Bu Esih itu memang pandai. Padahal dia tak mengaku lulusan pesantren.

Lalu kini giliran Nina, dia juga bisa membaca Al-Qur'an walau tak sepandai Indah. Sering sekali Ibu Ustazah menegur bacaannya, padahal saat pertama kenal dulu, Nina bilang dia lulusan pesantren dan sudah mondok lebih dari delapan tahun.

Awalnya aku percaya, walau sekarang jadi ragu.

Setelah pembacaan Al-Qur'an, para ibu melaksanakan salat duha, dan setelah itu baru datang penceramah ke dalam majelis.

Saat kajian berlangsung, Nina malah sibuk main ponsel, terkadang ngerumpi dengan wanita-wanita di sampingnya. Pantas saja ilmu yang disampaikan Pak Ustaz seperti tak pernah masuk ke dalam kepala menantuku itu.

"Silakan Ibu-ibu, ada yang mau bertanya?" ucap Pak Ustaz, Bu Esih tampak menarik mikrofon dari depan Bu Ustazah.

"Assalamu'alaikum, Pak Ustaz. Saya izin bertanya." Bu Esih memulai percakapan.

Pak Ustaz tampak mengangguk di hadapan.

"Bagaimana hukumnya jika seorang menantu selalu bersikap semena-mena pada mertuanya? Dan apa azab yang akan diterima si menantu jika selalu menzalimi si mertua? Mohon jawabannya. Terima kasih," ucap Bu Esih dengan suara yang begitu nyaring, sampai-sampai Nina ikut menatap. Padahal barusan dia tengah sibuk bersama ghibahannya.

Sepertinya susana akan memanas kembali, Ya Allah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status