Share

Dibuang Mertua

Nina PoV

“Apa? Setengah gaji?” tanyaku tak percaya mendengar Mas Wahyu hanya akan memberikan setengah gajinya padaku.

“Biar kamu nggak boros, Nin.” Alasan yang tidak masuk akal.

“Mas mau tanya, selama ini Mas selalu kirim satu bulan gaji padamu. Apa kamu tidak pernah membaginya pada Ibu dan adik-adik?”

“Oh, Ibu ngadu, Mas?” tanyaku mulai kesal.

“Berarti benar, ‘kan?”

“Ya mau dibagi bagaimana, Mas? Kebutuhanku dan Adel bahkan lebih dari gajimu itu! Harusnya kamu bersyukur aku masih bisa menghemat!” 

Mas Wahyu menggeleng-geleng. Tangannya memijit pelipis sambil menunduk.

“Pokoknya aku nggak mau dikasih uang setengah gaji, Mas!” ucapku kukuh. Mas Wahyu malah berdiri dan berjalan menuju pintu.

“Mau ke mana, Mas?”

Dia menoleh. “Ke luar, beli makanan. Benar apa kata orang, selama ini Ibuku sering kelaparan,” ucapnya dalam dengan tatapan tajam. Kemudian menekan knop pintu dan berlalu dari hadapanku.

***

Muhammad Wahyu.

Beberapa tahun lalu aku bertemu dia di tempat temanku. Saat itu, Mas Wahyu menginap di rumah temanku, kakaknya satu pekerjaan dengan lelaki yang kini menjadi suamiku.

Katanya, Mas Wahyu ingin tahu tempat tinggal teman kerjanya itu sambil menikmati pemandangan kampung. Ya, aku memang hidup di sebuah desa yang masih asri, berbeda dengan tempat tinggal Mas Wahyu yang sudah termasuk kota.

Tempat tinggalku masih dikelilingi sawah dan perkebunan. Betapa senangnya saat pertama kali bertemu dengan Mas Wahyu, jujur aku langsung terpesona. Wajahnya tampan, kulitnya putih tanpa cela, tubuhnya tinggi dan gagah, matanya sipit menggemaskan. Pokoknya, Mas Wahyu itu tipe idealku.

Karena terbayang-bayang selalu, akhirnya aku memberanikan diri berbicara pada Wina agar memintakan nomor ponsel Mas Wahyu pada kakaknya. Dan … berhasil!

Lagi, deg-degan bukan main saat menghubungi pria sipit itu pertama kali. Apa lagi responsnya yang sangat cuek. Mas Wahyu memang orangnya kalem dan pendiam.

Tapi aku tak menyerah sampai situ saja, siang malam aku selalu mengirimi Mas Wahyu pesan. Tak patah arang walau kadang dia tak membalas. Sampai akhirnya, satu waktu Mas Wahyu mengajakku bertemu. Tentu dengan sikapnya yang kalem dia meminta.

Mas Wahyu kembali datang ke kampung halaman bersama kakaknya Wina.

“Oh, ini toh. Yang kemarin main sama adiknya Dwi, ya?” kata Mas Wahyu saat pertama kali kami saling bertatap muka.

“Kan aku sudah bilang.”

“Ya Mas ndak ingat, tapi kalau lihat langsung jadi ingat,” katanya saat itu, membuat hatiku berbunga-bunga.

Setelah pertemua itu terjadi, komunikasi kami semakin intens, Mas Wahyu yang awalnya cuek mendadak jadi hangat. Dia sering bilang aku wanita yang manis dan lucu, sampai di mana dia benar-benar datang melamarku bersama keluarganya.

Sungguh seperti mimpi … tapi semua itu kenyataan yang membuat hatiku senang kepalang.

Setelah menikah dengannya, tiga hari kemudian aku langsung diboyong ke kota. Jarak kampungku dengan tempat tinggal Mas Wahyu kurang lebih lima puluh kilometer.

Mas Wahyu membawaku ke rumahnya, tinggal bersama orang tua dan kedua adik lelakinya. Mereka memperlakukanku dengan sangat baik, apa lagi Ibu. Beliau bilang sangat sayang padaku karena selama ini tidak memiliki anak perempuan.

Setelah satu minggu berada di rumah Mas Wahyu, suamiku harus kembali berangkat ke Ibu Kota untuk bekerja. Mau tidak mau aku hanya bisa menurut.

Enam bulan pernikahan kami berjalan, bapak mertuaku meninggal. Otomatis Mas Wahyu menjadi lelaki tertua di rumah, semua anggota keluarga menjadi tanggung jawab suamiku. Apa lagi Ridho dan Farhan masih sekolah saat itu. Walau kini yang mengenyam Pendidikan hanya tinggal adik ipar bungsu.

Setiap pulang, Mas Wahyu selalu membawa makanan enak. Dari mulai buah-buahan sampai sayuran, bahkan bahan masakan. Mas Wahyu begitu royal pada keluarganya.

Namun, ada sesuatu yang membuatku merasa kesal. Mas Wahyu terlalu dekat dengan Ibunya, kalau menghubungiku pun dia selalu menanyakan Ibu dan Ibu. Aku cemburu jika Mas Wahyu sering bercerita tentang pekerjaannya pada wanita paruh baya itu.

Aku hanya ingin Mas Wahyu tertawa dan bercerita denganku. Itu saja.

Mas Wahyu juga sering membelikan Ibu baju dan makanan enak, walau aku tak pernah dibeda-bedakan, namun entah mengapa hatiku tak senang melihat suamiku begitu melekat dengan Ibunya.

Sampai suatu hari aku memiliki ide. Aku tak ingin Mas Wahyu terlalu royal walau terhadap keluarga. Setiap suamiku mengirim uang gajinya, sengaja aku memotong nominal rupiah untuk Ibu dan adik iparku. Biar lah mereka terbiasa hidup hemat, agar tak selalu bergantung pada Mas Wahyu.

Aku juga selalu menyembunyikan makanan di kamar, tepatnya di kolong ranjang agar tak ditemukan Ibu dan adik-adik. Biar lah mereka berusaha sendiri jika ingin makan, dan sadar kalau Wahyu sudah memiliki tanggung jawab lain selain mereka. Apa lagi setelah kehadiran Adel, uang satu bulan gaji mana cukup untuk biaya hidup, terlebih anakku minumnya sufor karena aku malas memberi ASI. Ribet!

Akhirnya, aku pun terbiasa hidup seperti itu. Aku yang awalnya merasa senang memiliki Ibu mertua seperti Ibu Ami mendadak jadi kesal karena kedekatannya dengan Mas Wahyu.

Pasti lah semua istri akan bersikap sepertiku jika suaminya terlalu dekat dengan wanita lain walau hanya dengan ibu sendiri, apa lagi ibunya selalu diberi dan diberi.

Awalnya semua berjalan dengan lancar, tapi setelah kejadian waktu hendak syukuran, Mas Wahyu jadi bersikap tak seperti biasanya padaku. Bahkan, sekarang dia terang-terangan memberikan uang pada Ibu tanpa melaluiku.

Semakin meradang ini hati, Mas Wahyu seperti tak menghargaiku lagi.

“Kapan mau pindahan, Nin?” tanya Ibu. Bawel sekali memang dia.

“Ya nanti juga pindah, Bu!” ucapku ketus, lalu memindahkan channel televisi dengan cepat.

“Kapan, Nin? Syukurannya ‘kan sudah, lebih cepat lebih baik.” Seperti biasa, sambil nyapu nenek cerewet itu berbicara.

Aku hanya terdiam, sebenarnya malas pindah rumah. Repot! Kalau tinggal di rumah sendiri, otomatis aku harus masak sendiri, bersih-bersih sendiri, segalanya sendiri. Berbeda jika masih diam di sini, setidaknya aku merasa memiliki pembantu.

“Nanti, lah! Kalau punya mesin cuci, baru pindah.”

“Beli saja, Nin. Gaji Wahyu pasti cukup buat beli mesin cuci.”

“Bu … Bu. Segala-gala beli, hemat sedikit, lah! Kalau Ibu memang mau aku cepat pindah, terpaksa saja nanti aku bawa mesin cuci dari rumah ini. Aku ‘kan repot kalau harus nyuci pakai tangan.”

“Yo wes, terserah kamu saja.” Dih! Menyebalkan sekali dia, sudah pelit, suruh pindah pula. Kalau memang dia nggak medit, pasti sudah bermurah hati akan memberikan mesin cuci di rumah ini padaku.

Biar, lah. Yang penting aku masih bisa tinggal di sini dan berleha-leha.

“Ma … mau jajanan.” Adel meminta. Aku mengangguk dan segera pergi ke kamar, lalu membungkukkan tubuh di depan ranjang.

Betapa terkejutnya aku saat melihat semua makanan di kolong raib. Aku mengucek mata dengan segera, tapi pemandangan itu masih sama.

Dengan gemetaran aku memanggil Ibu. Tak lama wanita paruh baya itu sampai di kamarku.

“Kenapa, Nin? Ada apa?”

“I-Ibu tadi bersihin kamarku, ‘kan?”

“Iya, Nin. ‘Kan kamu yang suruh.”

“Ini, barang-barang di sini ke mana?” tanyaku sambil menunjuk kolong ranjang.

“Barang-barang? Maksudmu, kardus-kardus, Nin?”

“Iya, itu! Ibu pindahin ke mana?”

“Lha, Ibu buang, Nin. Kirain sampah, habisnya banyak dan berserakan banget. Bawah ranjangmu kotor, takutnya banyak tikus lagi kayak kemarin. Makanya Ibu bersihin.”

“D-dibuang? Aku ‘kan nggak nyuruh Ibu membuangnya! Aduh!” Aku menepuk jidat. Teringat makanan di dalam kardus-kardus itu, bahkan ada segepok uang dan beberapa emas di satu kardus kecil.

“Ke mana? Ke mana Ibu membuangnya?” tanyaku cepat.

“Em … ke tempat pembuangan sampah lah, Nin. Memangnya dalamnya ada apa, sih?” Aku terkesiap mendengar pertanyaannya, masa iya aku harus bilang itu makanan. Bisa-bisa Ibu mengadu ke Mas Wahyu nanti.

“Mau ke mana, Nin?” panggil Ibu saat aku melangkah tanpa menjawab pertanyaannya tadi.

“Kalau sampahnya nggak ada, berarti udah di bawa petugas kebersihan, Nin!” Aku berhenti mengayunkan kaki. Apa? Petugas kebersihan? Tidak … tidak mungkin! Hartaku ada di sana.

“Jangannnn!” ucapku sambil berlari, mencoba peruntungan semoga saja kardus-kardus itu belum dibawa pergi.

Bersambung.

Maaf kalau kependekan yaa.... Lagi-lagi debay saya keburu bangun. InsyaAllah bab 9 bakal lebih panjang.

Makasih udah yang mau baca cerita ini. Sehat selalu buat kalian. ☘

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status