Share

Motor Siapa?

Sial, sial, siaaal! 

Bagaimana bisa aku mengalami hal seperti ini? Nenek menyebalkan itu benar-benar membuat tensiku naik. Di tempat pembuangan sampah aku hampir terjatuh karena menahan pusing yang amat.

Setelah kucari-cari kardus berisi makanan, uang juga emas itu ternyata memang sudah lenyap dari tempat ini. Aku menahan bibir untuk tak meraung walau air mata terus luruh membanjiri pipi. Dadaku kian sesak melihat sisa sobekan kardus yang kukenal, pasti si petugas kebersihan sudah membawa hartaku yang berharga itu.

Argh! Semua itu gara-gara ibu Mas Wahyu! Andai saja dia bertanya lebih dulu sebelum membersihkan kolong ranjang. Benar-benar keterlaluan.

Aku ingin memarahi dan memakinya, tapi jika kulakukan, tentu Ibu akan curiga dan menanyakan isi kardus tersebut, lalu nanti kalau dia tahu pasti akan mengadu ke Mas Wahyu jika selama ini aku telah menimbun makanan dan harta di kamar itu. Ya ampun … apa yang harus aku lakukan? Semuanya jadi serba salah.

“Lagi apa, Mbak?” Suara seseorang membuat tangan ini refleks mengusap air mata.

“E-enggak cari apa-apa,” sahutku tanpa menatap si penanya.

“Eh, Mbak Nina, ya?” Aku langsung menoleh, siapa kah gerangan yang mengenaliku ini?

“I-iya. Mas siapa, ya?”

“Mosok sama tetangga sendiri nggak kenal, Mbak.” Lelaki berkulit sawo matang itu tersenyum, tubuhnya tampak dibalut seragam khas petugas kebersihan.

Aku menggeleng, benar-benar asing orang ini.

“Saya Joko, Mbak. Petugas kebersihan sini, yang rumahnya dekat Bu Esih.”

“Oalah … Mas Joko, toh? Baru ingat saya. Maaf-maaf, Mas.” Aku berkata dengan sopan. Tapi jujur tadi memang tak ingat dengan orang ini, secara dia jarang berada di kampung karena katanya dulu kerja di luar kota.

“Bukannya kerja di Jakarta, Mas?” tanyaku.

“Sudah resign, Mbak.”

“Resign? Apa itu?” tanyaku tak mengerti.

“Hehe, berhenti maksudnya, Mbak. Kemarin kena pengurangan karyawan. Alhasil jadi pulang. Tapi, alhamdulillah dapat pekerjaan juga di kampung sendiri, walau hanya jadi petugas kebersihan.” Aku mengangguk-angguk. Sopan dan lembut sekali orang ini.

“Maaf, Mbak tadi lagi nangis ya? Kenapa?” Waduh, ternyata dia sadar juga. Tapi sepertinya ini kesempatan yang baik untuk menanyakan kardus-kardus milikku yang dibuang Ibu.

“Emh, begini. Tadi saya buang sampah, kardus-kardus yang menumpuk itu loh, Mas. Saya lupa di sana ada uang sama emas, soalnya sengaja ditaruh di kardus, kalau di lemari takut kemalingan. Eh, bukannya kemalingan malah gak sengaja kebuang. Mas lihat, nggak? Mas yang buang sampahnya ‘kan hari ini?” Mas Joko tak langsung menjawab, dia seperti berpikir sesuatu, membuatku harap-harap cemas.

“Enggak, Mbak.” Mas Joko menggeleng, aku langsung lesu.

“Sebelum buang sampah ‘kan itu kardusnya disobek-sobekin dulu, saya dan teman yang tugas nggak nemuin uang atau emas. Kami cuma nemuin biskuit kalengan, masih bagus, makanya teman saya bawa pulang.” Ah, iya … aku jadi ingat. Masih banyak makanan yang belum sempat kumakan karena saking banyaknya. Dongkol hatiku, benar-benar nyesek.

“Jadi, itu punya Mbak Nina?” tanyanya, aku hanya mengangguk lemah.

“Kok bisa Mbak salah buang begitu. Tapi, jangan khawatir, nanti saya hubungi teman saya biar ngecek lagi walau mungkin agak susah.” 

“Benar kah bisa dicek lagi, Mas?”

“Insyaallah bisa.”

“Kalau begitu, hubungi saya kalau udah ketemu ya, Mas?” ucapku sambil menyodorkan ponsel, menyuruhnya untuk mencatat nomorku.

“Terima kasih, Mas Joko. Mohon kerja samanya.”

“Nggeh, Mbakyu,” ucapnya mengakhiri percakapan di antara kami.

*** 

Aku masih curiga pada Ibu, masa iya dia tidak membuka kardus sama sekali, atau penasaran isinya itu apa. Aku yakin kalau dia mengambil makanan, uang juga emas sebelum membuangnya. 

“Dari mana sih, Nin? Kamu kenapa kayak orang nggak sadar gitu?” tanya Ibu saat langkah ini sudah sampai rumah.

“Tadi ngecek kardus yang Ibu buang, soalnya ada kaus kaki Adel di sana. Makanya lain kali kalau mau buang sampah tanya dulu,” ucapku gemas, ingin berkata lebih dari ini sebenarnya, sudah gatal aku dengan kelakuan wanita ini. Menyebalkan.

“Lho, salah sendiri naruh barang-barang di tempat begitu. Apa lagi sampai numpuk di kolong ranjang, mirip sarang tikus saja. Pantas saja banyak hewan-hewan masuk, wong kolongnya kotor banget!” Aku membulatkan mata karena tak percaya, bisa-bisanya Ibu berkata demikian, kapan dia berani ketus seperti itu padaku.

“Terserah, lah! Lain kali tak usah bersihan kamar Nina.” Aku menyahut lalu mengeluarkan uang dari saku.

“Ajak dulu Adel ke warung, kasihan dia belum jajan. Aku capek nganternya.” Ibu tampak diam sambil menatapku, walau akhirnya dia menurut lalu membawa anakku ke luar rumah. Adel memang menjadi kelemahan seorang Bu Ami, kalau sudah menyangkut cucunya, dia pasti melakukan apa saja untuk membahagiakan makhluk mungil itu.

Setelah memastikan mereka pergi, dengan cepat aku masuk ke dalam kamar Ibu. Aku menghela napas, memikir harus mulai dari mana.

Akhirnya aku memutuskan untuk memeriksa lemari terlebih dulu, setelah membuka kuncinya kuteliti satu persatu tingkatan demi tingkatan benda tersebut. Kurogoh samping dan belakan pakaian Ibu yang menumpuk, walau ujungnya tak menemukan apa-apa.

Setelah itu aku berpindah ke laci dua pintu, tak ada barang berharga di sana. Hanya ada beberapa kertas seperti kartu keluarga dan surat-surat lain.

“Pasti di sini!” ucapku yakin sambil mengangkat bantal di ranjang, walau lagi-lagi tak terdapat apa pun di sana.

Setelah tak menemukan sesuatu yang kucari, satu-satunya tempat yang belum kucek adalah kolong ranjang. Dengan ragu aku membungkukkan tubuh, mengintip keadaan bawah tempat tidur Ibu, apa kah keadaannya sama dengan milikku?

“Nina? Lagi ngapain?” Beruntung aku tak kena serangan jantung, walau kepalaku harus kena korban, karena terkejut otomatis aku langsung bangkit dan sialnya terbentur kayu ranjang milik ibu mertua.

“T-tadi ada tikus masuk kamar Ibu,” ucapku sambil menahan sakit.

“Tikus?” Adel malah menyahut. Aku hanya bisa menghela napas, kenapa harus kepergok sih? Dan lagi, di mana dia menyimpan semua harta benda milikku kalau bukan di kamar ini? Apa Ibu benar-benar tak mengambil isi kardus-kardus itu?

“Jangan masuk kamar orang sembarangan, Nin! Mau ada tikus bahkan ular sekali pun. Kalau ada yang hilang, kamu mau tanggung jawab?” Kesurupan apa Ibu mertuaku ini, sampai berani berkata dengan nada tinggi pada menantu satu-satunya.

“Ibu kenapa sih akhir-akhir ini? Hobinya marah terus? Ibu sendiri ngapain buang kardus-kardus itu tanpa izin?”

“Loh, kamu ‘kan suruh Ibu bersihin kamar, ya otomatis Ibu bersihin yang kelihatan kotor. Memangnya di dalam kardus itu ada apa, sih? Sampai-sampai kamu seperti orang tak waras, kelimpungan lari demi sebuah sampah?” Sampah dia bilang? Duh, gemes aku. Kalau bukan mertua, mungkin sudah kuajak adu tenaga wanita ini.

“Isinya? Ibu mau tahu isinya apa?”

“Apa?” tanyanya seperti menantang.

Aku tak menjawab. Bingung. Walau demikian aku hanya bisa membalas tatapannya dalam, lalu merebut Adel dari pangkuannya.

*** 

[Maaf, Mbak Nina. Saya dan teman-teman tidak menemukan barang yang Mbak cari] Lama aku berpikir melihat pesan yang masuk ke ponsel. 

[Ini siapa?] balasku.

[Lupa lagi?] tanyanya membuatku semakin bingung. Akhirnya kuklik foto profilnya, dan itu malah membuatku semakin penasaran karena dia tak memasang foto sendiri.

[Joko, Mbak]

[Oalah … Mas Joko, toh? Habis pakai foto kartun] Aku tepuk jidat sendiri.

[Hehe, bukan kartun, Mbak. Ini anime, namanya Sasuke Uchiha. Saya suka klan Uchiha, makanya teman-teman suka panggi saya Joko Uchiha] Ini orang kenapa, sih? Nggak ditanya malah nyerocos ngomongin yang nggak kumengerti. Masa bodoh mau kartun, anime, atau apa itu. Yang jelas aku mau uang dan emasku kembali.

Akhirnya mau tidak mau kami kembali berbalas pesan, sambil mengusir jenuh aku curhat pada si Joko ini kalau Ibu mertuakulah yang membuang kardus-kardus itu. 

“Eh?” ucapku kaget. Kukira yang menelepon si Joko, rupanya Mas Wahyu.

“Kenapa, Mas? Tumben telepon pagi-pagi begini?” tanyaku setelah menjawab teleponnya.

“Ada yang mau aku bicarain, Nin.” Duh? Kok aku jadi deg-degan, apa jangan-jangan Ibu ngadu soal kardus dan isinya itu. Aku memang sudah yakin kalau dia tahu segalanya.

“Bicarain apa sih, Mas? Kamu ndak kerja?” Kudengar helaan napas Mas Wahyu melalui telepon. Membuatku semakin penasaran saja.

“Mas mau berheti kerja, Nin ….”

“Hah?” ucapku langsung duduk di pembaringan, bahkan Adel yang masih terlelap sempat ikut terkejut walau tak terbangun.

“B-berhenti kerja? Kenapa?” tanyaku memelankan suara, biar Adel terlelap tidurnya.

“Mas mau pulang dulu, akhir-akhir ini kurang sehat. Pengen berobat jalan di sana saja, Nin. Sekalian ‘kan bisa kumpul bareng kamu, Adel juga Ibu.”

“Aduh, Mas! Jangan alasan! Kalau kamu gak kerja, aku sama Adel mau makan apa? Mau pakai baju apa? Rumah saja belum ada isinya. Kamu udah sok-sokan mau berhenti kerja!” ucapku tak tahan.

“Kan Mas masih punya tabungan, Nin. Paling Mas berhentinya satu sampai dua bulan. Hitung-hitung liburan bareng keluarga.”

“Aku bilang enggak ya enggak!” pekikku lalu mematikan telepon dengan segera.

Ya ampun … akhir-akhir ini kepalaku selalu dibuat pusing oleh keluarga Mas Wahyu. Bukannya memberi kebahagiaan, semakin hari mereka malah membuatku merasa tertekan.

“Assalamu’alaikum!” Aku menoleh ke jendela, berulang-ulang orang asing berseragam itu mengucap salam. Ada apa lagi ini?

Ibu mertuaku tampak menjawab salam dan membukakan pintu, aku yang tak ingin ketinggalan langsung keluar kamar dan berdiri di belakang Ibu.

“Benar ini rumah Bu Ami?” tanya lelaki bertopi merah putih yang seragam dengan bajunya itu.

“B-benar. Ada apa, ya?” Ibu mertuaku tampak gugup sampai-sampai lupa melepas sapu. Kampungan memang, padahal dia sudah lama hidup di kota, tapi udiknya melebihi aku yang asli orang desa.’

“Ini, kami dari dealer ingin mengantar satu unit motor untuk Ibu.” Motor? Aku jadi teringat sesuatu. Besok ‘kan ulang tahunku, pastinya Mas Wahyu yang memberi kejutan ini.

“Nama pengirimnya Mas Wahyu, Mas?” tanyaku dengan percaya diri. Lalu si petugas itu membaca sebuah kertas dan menggeleng.

“Dari Pak Ridho, Bu.”

“Haaaah?” Aku membuka mulut saking tak percaya. Tiba-tiba terdengar nada dering telepon Ibu mertua berbunyi.

“Halo, Le?”

“Bu, sudah sampai belum motornya?” Terdengar jelas pertanyaan Ridho dari seberang sana karena Ibu meloudspeakerkan suaranya, kalau tak begitu gak akan kedengaran karena ponsel si nenek lampir sudah rusak.

“I-ini beneran dari kamu, Le? Tapi buat apa? Uang dari mana?” cerocosnya.

“Buat Ibu sama Farhan. Nanti ‘kan Ibu bisa antar Farhan ke sekolah sambil belanja pakai motor itu. Soal uang jangan dipikirin ya, Bu.”

“Ya Allah, Le ….”

“Sudah dulu ya, Bu. Ridho mau kerja dulu, nanti Ridho telepon lagi.” Ibu mertuaku mengangguk-angguk sambil bercucuran air mata. Lalu setelah pembicaraan mereka usai, Ibu menerima kunci motor tersebut dari tukang dealer.

Meradang lah hatiku. Di saat aku mendengar kabar Mas Wahyu akan berhenti kerja, malah datang sesuatu yang membuat otakku terasa panas dan mendidih!

Pokoknya, aku harus melarang Mas Wahyu berhenti mencari nafkah sebelum kebeli mobil. Masa kalah sama adik sendiri? Memalukan!

Bersambung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Anitha Yunitha
ada ya menantu kaya gitu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status