Home / Romansa / Menari Bersama Hujan / Pertemuan di Kafe yang Tenang

Share

Pertemuan di Kafe yang Tenang

Author: Wahyuni
last update Last Updated: 2025-03-16 21:32:34

Musim gugur di Beijing menyambut Kim Rain dengan udara sejuk dan langit mendung. Angin berembus pelan, membawa serta aroma tanah basah dan dedaunan kering yang berguguran di sepanjang trotoar.

Langkahnya terdengar ringan di atas bebatuan, seiring dengan pikirannya yang mengembara tanpa tujuan pasti.

Perjalanan ke kota ini sebenarnya tanpa rencana. Rain hanya ingin rehat sejenak dari rutinitas padat—jadwal latihan, rekaman, dan sorotan kamera yang seolah tak pernah memberinya ruang untuk bernapas. Popularitasnya sebagai penyanyi solo terus meningkat, tetapi di balik semua itu, ia merasa kosong.

Ada sesuatu yang hilang—sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.

Saat pikirannya dipenuhi kebingungan, langkahnya terhenti di depan sebuah kafe kecil di sudut jalan. Tempat itu tampak tenang, nyaris tersembunyi di antara hiruk-pikuk kota yang tak pernah benar-benar tidur. Jendela kaca besar memperlihatkan suasana hangat di dalamnya—beberapa pelanggan duduk sendiri, sibuk dengan laptop atau buku mereka.

Rain membuka pintu, lonceng kecil di atasnya berdenting pelan. Aroma kopi yang pekat bercampur dengan wangi kayu manis langsung menyambutnya.

Tanpa berpikir lama, ia memesan secangkir Americano, lalu memilih tempat duduk di dekat jendela.

Dari tempatnya, ia bisa melihat lalu lintas yang terus bergerak, kendaraan yang melaju cepat, dan orang-orang yang berjalan tergesa. Namun, sesuatu yang lain menarik perhatiannya.

Di sudut ruangan, seorang gadis duduk sendiri.

Cahaya matahari sore menyorot lembut ke wajahnya, menampilkan sorot mata yang kosong—seperti menatap sesuatu yang tak terlihat oleh orang lain.

Di mejanya, ada secangkir teh melati yang tampaknya sudah mulai dingin, tetapi gadis itu sama sekali tidak menyentuhnya.

Rain tidak mengerti mengapa pandangannya terus tertuju padanya. Mungkin karena caranya duduk dalam diam, seolah dunia di sekitarnya tidak lagi penting. Atau mungkin karena kesedihan yang begitu kentara, meski terselubung dalam ketenangan.

Hanya beberapa detik, tetapi perasaan aneh itu mulai menyelinap di hatinya.

Ia mengeluarkan buku catatan kecil dari sakunya—buku yang selalu ia bawa ke mana pun, tempatnya menulis lirik atau melodi yang tiba-tiba muncul di kepalanya. Dan entah mengapa, kali ini jemarinya bergerak sendiri, menulis beberapa bait tanpa sadar.

Ada seseorang di ujung ruangan ini,

Terlihat tenang tapi matanya berbicara,

Mungkin tentang seseorang yang tak bisa ia lupakan…

Rain menggigit ujung pensilnya, matanya kembali melirik gadis itu.

Ada sesuatu dalam cara gadis itu menatap jendela—tatapan yang tidak hanya melihat ke luar, tetapi juga ke masa lalu.

Namun, di sisi lain, Li Meihui sama sekali tidak menyadari bahwa seseorang memperhatikannya.

———•

Meihui datang ke kafe ini bukan untuk menarik perhatian siapa pun. Ini adalah salah satu tempat yang bisa memberinya ketenangan, setidaknya untuk sesaat. Tempat di mana ia bisa bersembunyi dari dunia yang terus berjalan maju tanpa peduli bahwa dirinya masih terjebak di masa lalu.

Di balik jendela, gerimis mulai turun perlahan. Suara rintiknya menyatu dengan alunan musik jazz yang mengalun lembut di dalam kafe. Namun, bagi Meihui, suara-suara itu hanya menjadi latar belakang samar yang nyaris tak ia sadari.

Yang ada dalam pikirannya hanyalah Han Donghai.

Tawa pria itu.

Suara lembutnya saat memanggil namanya.

Sentuhan hangat yang kini tak bisa lagi ia rasakan.

Janji-janji yang mereka buat bersama, yang akhirnya lenyap bersama kepergiannya.

Meihui menarik napas dalam, berusaha mengusir kesedihan yang mendadak menyelimuti. Ia menutup matanya sesaat, mencoba menenangkan diri.

“Aku harus berhenti seperti ini. Aku harus bisa melanjutkan hidup.”

Dengan pelan, ia meraih cangkir tehnya dan menyeruput sedikit isinya. Hawa hangat dari minuman itu mengalir ke tenggorokannya, sedikit mengusir dingin yang menggigil di hatinya.

Namun, di saat yang sama, seseorang di sudut ruangan masih memperhatikannya.

Rain melihat bagaimana gadis itu berusaha menenangkan dirinya sendiri. Sekilas, ia menangkap bagaimana bahunya naik-turun, seperti menahan sesuatu yang berat di dadanya.

Ada sesuatu dalam kesendiriannya yang terasa begitu familiar—seperti sesuatu yang pernah Rain rasakan sebelumnya.

Mungkin, gadis itu sedang mencoba melupakan seseorang.

Atau mungkin…

Ia masih mencintai seseorang yang telah pergi.

Rain menunduk, menutup buku catatannya. Ia tidak ingin terlihat seperti seseorang yang sengaja memperhatikan. Lagipula, mereka adalah dua orang asing yang hanya kebetulan ada di tempat yang sama.

Namun, untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu terakhir, Rain merasa penasaran pada seseorang.

Dan tanpa ia sadari, pertemuan kecil ini akan menjadi awal dari sesuatu yang tak pernah ia duga sebelumnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menari Bersama Hujan   End - Menari Bersama Hujan

    Sejak hari itu, Meihui mulai menari lagi. Tidak setiap hari, tidak selalu dengan langkah yang sempurna, tetapi cukup untuk membuatnya merasa hidup kembali. Setiap kali kakinya menyentuh lantai kayu studio, setiap kali lengannya terangkat mengikuti alunan musik, ia merasa seolah menemukan bagian dari dirinya yang sempat hilang. Rain tidak pernah memaksanya. Ia hanya ada di sana—duduk di depan pianonya, memainkan nada-nada yang menenangkan, memberikan ruang bagi Meihui untuk menemukan ritmenya sendiri. Tidak ada kata-kata penyemangat berlebihan, tidak ada dorongan yang terburu-buru. Hanya musik dan kehadirannya yang selalu ada. Hari ini, hujan turun dengan lembut di luar jendela studio. Langit kelabu, udara terasa lebih dingin, dan suara rintik hujan menggema di dalam ruangan yang sunyi. Lampu-lampu studio yang hangat memantulkan bayangan Meihui di cermin besar, menciptakan ilusi seolah ada dua sosok yang menari—dirinya yang dulu dan dirinya yang sekarang. Meihui berdiri di tengah

  • Menari Bersama Hujan   Langkah Kecil yang Berubah Menjadi Tarian

    Sejak hari itu di studio, Meihui mulai kembali lebih sering. Awalnya, ia hanya datang untuk duduk di sudut ruangan, membiarkan ingatan tentang panggung dan tariannya kembali satu per satu. Lantai kayu yang dingin, cermin besar yang memantulkan bayangannya, dan keheningan yang dulu terasa asing kini menjadi bagian dari rutinitasnya. Namun, setiap kali Rain ada di sana, musiknya selalu memenuhi ruangan. Ia tidak pernah memaksa Meihui untuk menari, tidak pernah memintanya untuk bergerak. Tetapi nada-nada yang ia mainkan bagaikan tangan tak terlihat yang lembut mendorong Meihui untuk bangkit, mengambil satu langkah kecil, lalu langkah berikutnya. Dan perlahan, langkah-langkah itu berubah menjadi tarian. Hari ini, Meihui datang lebih awal dari biasanya. Udara pagi masih dingin, embun masih menggantung di kaca jendela besar yang menghadap ke luar studio. Ia mengenakan sweater tipis berwarna krem di atas pakaian latihannya, mencoba menghangatkan diri sebelum mulai berlatih. Ia ingin

  • Menari Bersama Hujan   Melodi yang Menghidupkan Kembali

    Meihui berdiri di tengah studio, jantungnya berdebar lebih cepat dari yang seharusnya. Jemarinya masih mencengkeram sapu tangan Rain, sementara pikirannya bergolak. Napasnya terasa berat, seolah ruangan ini terlalu besar untuknya, seolah udara di dalamnya penuh dengan bayang-bayang masa lalu yang selama ini ia hindari. Rain tetap duduk di depan piano, jemarinya menyentuh tuts dengan lembut, memainkan melodi yang sama sejak tadi. Nada-nada itu mengalun tenang, mengisi keheningan di antara mereka, membaur dengan suara detak jantung Meihui yang berdebar kencang. Ada sesuatu dalam musik itu yang terasa akrab, seakan memanggilnya, membujuknya untuk mengambil langkah pertama. Meihui menarik napas dalam. Sudah berapa lama sejak terakhir kali ia benar-benar menari? Sejak kapan tubuhnya merasa begitu asing baginya sendiri? Ia menutup matanya, mencoba membiarkan tubuhnya mengingat kembali perasaan itu—perasaan ringan saat ia melayang dalam gerakan, kebebasan yang menyatu dengan setiap ir

  • Menari Bersama Hujan   Langkah - Langkah yang Mendekat (Sambungan)

    Meihui berdiri di depan pintu studio balet yang belum pernah ia datangi sebelumnya. Bangunan ini tidak asing baginya—ia sering datang ke sini untuk urusan bisnis bersama ibunya—tetapi ruangan ini, studio kecil di lantai atas, baru hari ini menarik perhatiannya. Ibunya pernah berkata, “Aku menyewakan studio kecil di sini. Jika suatu hari kau ingin kembali menari… kau bisa menggunakannya.” Meihui hanya tersenyum hambar waktu itu, tak ingin membahasnya lebih lanjut. Ia pikir tidak akan ada hari di mana ia ingin kembali. Namun, entah mengapa, hari ini kakinya membawanya ke sini. Tangannya sedikit ragu saat meraih gagang pintu, tetapi akhirnya ia mendorongnya perlahan. Saat pintu terbuka, aroma kayu bercampur dengan sedikit debu menyambutnya. Cahaya dari jendela besar di sisi ruangan menyinari lantai kayu yang bersih, memantulkan bayangan cermin yang membentang dari ujung ke ujung. Tidak ada palang latihan, tidak ada jejak masa lalu—hanya sebuah ruangan kosong. Meihui melangkah

  • Menari Bersama Hujan   Langkah -Langkah yang Mendekat

    Sejak pertemuan mereka di acara sosial itu, interaksi antara Rain dan Meihui semakin sering terjadi. Awalnya, hanya percakapan singkat yang formal—sekadar basa-basi di tengah keramaian. Namun, semakin hari, semakin banyak kebetulan yang mempertemukan mereka. Di sebuah kafe setelah rapat bisnis ibunya, Meihui menemukan Rain duduk di sudut ruangan, menulis sesuatu di buku catatannya. Ia ragu untuk mendekat, tapi Rain lebih dulu menyadarinya dan tersenyum tipis. “Kau selalu terlihat tenang saat menulis,” ucap Meihui, akhirnya memberanikan diri untuk duduk di seberangnya. Rain menutup bukunya, mengangkat alis sedikit. “Dan kau selalu terlihat tenggelam dalam pikiranmu.” Meihui terkekeh pelan. “Mungkin itu benar.” Mereka terdiam sejenak, membiarkan suasana kafe yang tenang menjadi latar dari kebersamaan mereka. Ini bukan pertemuan yang disengaja, tetapi juga bukan sesuatu yang terasa asing. Rain menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Jujur, aku tak menyangka bisa bert

  • Menari Bersama Hujan   Nada yang Menuntun

    Meihui menatap ke luar jendela mobil dengan tatapan kosong. Lampu-lampu kota Seoul berpendar di kejauhan, menciptakan bayangan cahaya yang menari di permukaan jalan basah setelah hujan. Ia sudah beberapa minggu tinggal di kota ini, menjalani rutinitas yang terasa asing—menghadiri rapat, mendampingi ibunya dalam berbagai pertemuan bisnis, dan berusaha menyesuaikan diri dengan dunia yang seharusnya menjadi miliknya. Namun, Seoul terasa begitu berbeda dari Beijing. Bukan hanya suasananya, tetapi juga ritme kehidupannya. Di Beijing, ia bisa berjalan di taman tempat ia dan Donghai sering menghabiskan waktu, mengunjungi studio balet tempatnya berlatih, atau sekadar duduk di kafe favoritnya, membiarkan kenangan menghampirinya seperti gelombang yang pasang surut. Di sini, semuanya terasa asing. Di sini, ia harus berperan sebagai putri seorang pengusaha sukses—seseorang yang kuat, elegan, dan selalu tahu apa yang harus dilakukan. Tidak ada tempat untuk keraguan atau kesedihan. Setidaknya,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status