Dua Tahun Kemudian
Beijing masih sama. Kota yang selalu sibuk, hiruk-pikuk manusia yang bergegas ke berbagai tujuan, kendaraan yang berlalu-lalang di jalanan, dan lampu-lampu yang mulai menyala saat senja tiba. Namun, bagi Li Meihui, semuanya terasa berbeda. Sejak kepergian Han Donghai, waktu seakan berjalan lebih lambat. Tidak ada lagi pagi yang menyenangkan dengan pesan singkat, “Selamat pagi, Meihui. Jangan lupa sarapan.” Tak ada lagi suara pria itu yang mengingatkannya untuk beristirahat, atau tawa kecil yang selalu menghangatkan harinya. Kesepian telah menjadi temannya selama dua tahun terakhir. Di dalam apartemen kecilnya, Meihui duduk di dekat jendela besar, menatap hujan yang turun perlahan. Bulir-bulir air membentuk pola abstrak di kaca, seolah mengikuti kesedihan yang tak pernah benar-benar hilang dari hatinya. Di sudut ruangan, piano putih miliknya berdiri diam, tidak tersentuh selama hampir dua tahun. Nada-nada yang dulu mengisi ruangan ini telah menghilang bersama kepergian Donghai. Begitu pula dengan sepatu balet yang tersusun rapi di rak. Setiap kali ia melihatnya, hatinya terasa nyeri. Ia belum bisa berdiri di atas panggung tanpa membayangkan pria yang selalu mendukungnya dari barisan penonton. Hari-harinya kini terasa monoton. Bangun pagi, membuat sarapan seadanya, membaca buku, berjalan-jalan tanpa tujuan, lalu kembali ke apartemen sebelum matahari terbenam. Ia menghindari tempat-tempat yang menyimpan terlalu banyak kenangan. Restoran tempat mereka biasa makan malam, toko buku favorit mereka, jembatan di mana mereka pernah duduk bersama menikmati senja—semuanya kini hanya menjadi bagian dari masa lalu. Namun, sekeras apa pun ia mencoba melupakan, bayangan Donghai tidak pernah benar-benar pergi. Kadang-kadang, saat malam terlalu sunyi, Meihui membuka ponselnya dan membaca ulang pesan-pesan lama. Jari-jarinya berhenti di memo suara yang masih tersimpan di dalam galeri. Dengan ragu, ia menekan tombol play. “Meihui, kau tahu? Aku selalu suka melihatmu menari. Kau terlihat seperti angin yang bebas…” Tawa lembut Donghai terdengar di penghujung rekaman, suara yang dulu begitu akrab, kini terasa seperti luka yang tak kunjung sembuh. Meihui menutup matanya, menggigit bibir untuk menahan isakannya. Kenapa rasanya masih sesakit ini? ———• Sebuah Kafe di Sudut Jalan Hujan masih turun saat Meihui melangkah di trotoar, tanpa tujuan yang jelas. Udara dingin menyelimuti tubuhnya, tetapi ia tidak peduli. Ia tidak ingin pulang ke apartemen yang terlalu sunyi. Ia juga tidak ingin berjalan tanpa arah di jalanan kota yang ramai. Di saat itulah, matanya menangkap sebuah kafe kecil di sudut jalan. Tidak terlalu besar, tetapi suasananya terlihat hangat. Cahaya lampu temaram menerangi bagian dalamnya, dan alunan musik jazz mengalun pelan dari speaker di sudut ruangan. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah masuk. Aroma kopi dan teh melati menyambutnya begitu pintu terbuka. Meihui memilih duduk di dekat jendela, membiarkan dirinya larut dalam suara hujan di luar. Pelayan datang menghampiri, dan tanpa sadar, bibirnya mengucapkan pesanan yang sudah lama tidak ia pesan— “Satu teh melati.” Seketika, hatinya mencelos. Itu adalah minuman yang dulu sering Donghai buatkan untuknya. Bahkan setelah dua tahun, kebiasaannya masih belum berubah. Saat teh tiba, ia memandangi cangkir di depannya dengan tatapan kosong, membiarkan aroma melati yang samar memenuhi pikirannya. Sesekali, uap hangat dari cangkir naik, membentuk siluet yang mengingatkannya pada kenangan yang perlahan memudar. Namun, ia tidak menyadari bahwa seseorang sedang memperhatikannya. Di sudut ruangan, seorang pria duduk dengan secangkir kopi hitam di depannya. Matanya menatap Meihui dalam diam, seolah mencoba menafsirkan cerita yang tersembunyi di balik wajahnya yang muram. Kim Rain. Ia tidak tahu siapa gadis itu. Tetapi ada sesuatu tentangnya—kesedihan yang begitu nyata, cara tatapannya kosong namun penuh luka, dan bagaimana ia tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri. Rain tidak pernah tertarik memperhatikan orang lain. Tetapi malam itu, ia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari gadis di dekat jendela. Dan tanpa mereka sadari, pertemuan ini akan mengubah takdir mereka berdua. ———• Halo!! Yang udah baca chapter 1 & 2, terimakasih ya.. aku berharap banget cerita ku bisa menghibur kalian. Oh iya ini novel pertama yang ku tulis dan ini revisiannya. Novel orisinalnya dlu judulnya Sorry, I Love You Mr. Rain aku tulis di tahun 2018 ingat banget waktu itu aku baru belajar menulis heheSejak hari itu, Meihui mulai menari lagi. Tidak setiap hari, tidak selalu dengan langkah yang sempurna, tetapi cukup untuk membuatnya merasa hidup kembali. Setiap kali kakinya menyentuh lantai kayu studio, setiap kali lengannya terangkat mengikuti alunan musik, ia merasa seolah menemukan bagian dari dirinya yang sempat hilang. Rain tidak pernah memaksanya. Ia hanya ada di sana—duduk di depan pianonya, memainkan nada-nada yang menenangkan, memberikan ruang bagi Meihui untuk menemukan ritmenya sendiri. Tidak ada kata-kata penyemangat berlebihan, tidak ada dorongan yang terburu-buru. Hanya musik dan kehadirannya yang selalu ada. Hari ini, hujan turun dengan lembut di luar jendela studio. Langit kelabu, udara terasa lebih dingin, dan suara rintik hujan menggema di dalam ruangan yang sunyi. Lampu-lampu studio yang hangat memantulkan bayangan Meihui di cermin besar, menciptakan ilusi seolah ada dua sosok yang menari—dirinya yang dulu dan dirinya yang sekarang. Meihui berdiri di tengah
Sejak hari itu di studio, Meihui mulai kembali lebih sering. Awalnya, ia hanya datang untuk duduk di sudut ruangan, membiarkan ingatan tentang panggung dan tariannya kembali satu per satu. Lantai kayu yang dingin, cermin besar yang memantulkan bayangannya, dan keheningan yang dulu terasa asing kini menjadi bagian dari rutinitasnya. Namun, setiap kali Rain ada di sana, musiknya selalu memenuhi ruangan. Ia tidak pernah memaksa Meihui untuk menari, tidak pernah memintanya untuk bergerak. Tetapi nada-nada yang ia mainkan bagaikan tangan tak terlihat yang lembut mendorong Meihui untuk bangkit, mengambil satu langkah kecil, lalu langkah berikutnya. Dan perlahan, langkah-langkah itu berubah menjadi tarian. Hari ini, Meihui datang lebih awal dari biasanya. Udara pagi masih dingin, embun masih menggantung di kaca jendela besar yang menghadap ke luar studio. Ia mengenakan sweater tipis berwarna krem di atas pakaian latihannya, mencoba menghangatkan diri sebelum mulai berlatih. Ia ingin
Meihui berdiri di tengah studio, jantungnya berdebar lebih cepat dari yang seharusnya. Jemarinya masih mencengkeram sapu tangan Rain, sementara pikirannya bergolak. Napasnya terasa berat, seolah ruangan ini terlalu besar untuknya, seolah udara di dalamnya penuh dengan bayang-bayang masa lalu yang selama ini ia hindari. Rain tetap duduk di depan piano, jemarinya menyentuh tuts dengan lembut, memainkan melodi yang sama sejak tadi. Nada-nada itu mengalun tenang, mengisi keheningan di antara mereka, membaur dengan suara detak jantung Meihui yang berdebar kencang. Ada sesuatu dalam musik itu yang terasa akrab, seakan memanggilnya, membujuknya untuk mengambil langkah pertama. Meihui menarik napas dalam. Sudah berapa lama sejak terakhir kali ia benar-benar menari? Sejak kapan tubuhnya merasa begitu asing baginya sendiri? Ia menutup matanya, mencoba membiarkan tubuhnya mengingat kembali perasaan itu—perasaan ringan saat ia melayang dalam gerakan, kebebasan yang menyatu dengan setiap ir
Meihui berdiri di depan pintu studio balet yang belum pernah ia datangi sebelumnya. Bangunan ini tidak asing baginya—ia sering datang ke sini untuk urusan bisnis bersama ibunya—tetapi ruangan ini, studio kecil di lantai atas, baru hari ini menarik perhatiannya. Ibunya pernah berkata, “Aku menyewakan studio kecil di sini. Jika suatu hari kau ingin kembali menari… kau bisa menggunakannya.” Meihui hanya tersenyum hambar waktu itu, tak ingin membahasnya lebih lanjut. Ia pikir tidak akan ada hari di mana ia ingin kembali. Namun, entah mengapa, hari ini kakinya membawanya ke sini. Tangannya sedikit ragu saat meraih gagang pintu, tetapi akhirnya ia mendorongnya perlahan. Saat pintu terbuka, aroma kayu bercampur dengan sedikit debu menyambutnya. Cahaya dari jendela besar di sisi ruangan menyinari lantai kayu yang bersih, memantulkan bayangan cermin yang membentang dari ujung ke ujung. Tidak ada palang latihan, tidak ada jejak masa lalu—hanya sebuah ruangan kosong. Meihui melangkah
Sejak pertemuan mereka di acara sosial itu, interaksi antara Rain dan Meihui semakin sering terjadi. Awalnya, hanya percakapan singkat yang formal—sekadar basa-basi di tengah keramaian. Namun, semakin hari, semakin banyak kebetulan yang mempertemukan mereka. Di sebuah kafe setelah rapat bisnis ibunya, Meihui menemukan Rain duduk di sudut ruangan, menulis sesuatu di buku catatannya. Ia ragu untuk mendekat, tapi Rain lebih dulu menyadarinya dan tersenyum tipis. “Kau selalu terlihat tenang saat menulis,” ucap Meihui, akhirnya memberanikan diri untuk duduk di seberangnya. Rain menutup bukunya, mengangkat alis sedikit. “Dan kau selalu terlihat tenggelam dalam pikiranmu.” Meihui terkekeh pelan. “Mungkin itu benar.” Mereka terdiam sejenak, membiarkan suasana kafe yang tenang menjadi latar dari kebersamaan mereka. Ini bukan pertemuan yang disengaja, tetapi juga bukan sesuatu yang terasa asing. Rain menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Jujur, aku tak menyangka bisa bert
Meihui menatap ke luar jendela mobil dengan tatapan kosong. Lampu-lampu kota Seoul berpendar di kejauhan, menciptakan bayangan cahaya yang menari di permukaan jalan basah setelah hujan. Ia sudah beberapa minggu tinggal di kota ini, menjalani rutinitas yang terasa asing—menghadiri rapat, mendampingi ibunya dalam berbagai pertemuan bisnis, dan berusaha menyesuaikan diri dengan dunia yang seharusnya menjadi miliknya. Namun, Seoul terasa begitu berbeda dari Beijing. Bukan hanya suasananya, tetapi juga ritme kehidupannya. Di Beijing, ia bisa berjalan di taman tempat ia dan Donghai sering menghabiskan waktu, mengunjungi studio balet tempatnya berlatih, atau sekadar duduk di kafe favoritnya, membiarkan kenangan menghampirinya seperti gelombang yang pasang surut. Di sini, semuanya terasa asing. Di sini, ia harus berperan sebagai putri seorang pengusaha sukses—seseorang yang kuat, elegan, dan selalu tahu apa yang harus dilakukan. Tidak ada tempat untuk keraguan atau kesedihan. Setidaknya,