Sejak kematian tunangannya, Donghai, Li Meihui memilih meninggalkan dunia balet yang dulu menjadi hidupnya. Setiap langkah tariannya kini terasa hampa, setiap kenangan hanya menambah luka. Hingga suatu hari, ia bertemu Kim Rain—seorang musisi yang melihat kesedihan dalam tarian yang tak lagi memiliki makna. Rain tidak pernah meminta Meihui untuk melupakan masa lalunya, tapi ia memainkan melodi yang secara perlahan membimbingnya untuk melangkah lagi. Di antara nada-nada yang tercipta, Meihui mulai menemukan dirinya kembali. Dan kali ini, ia menari bukan untuk mengenang seseorang yang telah pergi, tetapi karena ia ingin. Namun, bisakah musik dan tarian menyembuhkan hati yang telah lama terjebak dalam kesedihan? Ataukah Meihui akan menemukan alasan baru untuk terus menari bersama seseorang yang tak pernah ia duga?
Lihat lebih banyakSuara hujan mengetuk lembut kaca jendela, menciptakan pola abstrak yang terus berubah seiring butiran air turun dan mengalir. Udara di dalam mobil terasa dingin, bercampur dengan aroma lembap hujan yang menyusup dari celah ventilasi. Li Meihui duduk diam, menatap ke luar dengan mata yang sayu, tapi pikirannya tak sepenuhnya berada di sana.
Di sampingnya, Han Donghai mengemudi dengan fokus, sesekali melirik gadis di sebelahnya dengan ekor mata. Biasanya, Meihui adalah sosok yang cerewet, selalu punya sesuatu untuk diceritakan—entah itu tentang pertunjukan balet, jenis teh baru yang ia coba, atau sekadar kejadian kecil yang menarik perhatiannya. Tapi hari ini, ia hanya diam. Keheningan yang menggantung di antara mereka mulai terasa berat. Donghai akhirnya membuka suara, suaranya lembut namun penuh perhatian. “Kau kenapa?” Meihui menundukkan kepala, mengeratkan genggaman pada ujung sweaternya yang sedikit lembap. Suara hujan menjadi satu-satunya yang menemani mereka. Beberapa detik berlalu sebelum ia menghela napas panjang. “Gege… aku tadi bicara dengan Baba tentang kita.” Donghai mengerutkan kening. “Tentang kita?” Meihui mengangguk pelan. Ia menggigit bibirnya sejenak, seperti ragu untuk melanjutkan. “Tentang pertunangan kita…” Suara itu begitu pelan hingga hampir tenggelam dalam derasnya hujan. Donghai menunggu, tapi Meihui masih terdiam. “Dan?”****” desaknya dengan nada sedikit cemas. Akhirnya, Meihui menoleh dan menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Cahaya lampu jalan yang menerobos masuk ke dalam mobil memantulkan kesedihan di sorot matanya. “Baba bilang… mungkin lebih baik kita berhenti sampai di sini saja.” Mobil mendadak berhenti. Donghai menginjak rem secara spontan, menyebabkan tubuh mereka sedikit terdorong ke depan. Di luar, hujan mengguyur lebih deras, membasahi jalanan yang sudah licin. Donghai menoleh cepat ke arah Meihui, matanya menyipit seolah memastikan ia tidak salah dengar. “Apa?” Meihui menunduk, enggan melihat reaksinya. Tangan mungilnya menggenggam sweater semakin erat, menyalurkan kegelisahan yang menggumpal di dadanya. “Baba bilang… keluargamu dan keluargaku berbeda. Mereka ingin aku menikah dengan seseorang yang lebih…” ia terhenti, jemarinya saling meremas di pangkuannya. “Kaya?” potong Donghai dengan suara pahit. Meihui tidak menjawab, tapi keheningan yang diciptakannya sudah cukup menjadi jawaban. Suasana di dalam mobil semakin menyesakkan. Di luar, wiper terus bekerja, menciptakan ritme monoton yang terasa semakin menyayat. Donghai mengembuskan napas panjang, menenangkan diri sebelum akhirnya berbicara. “Kalau begitu, mari kita bicara dengan mereka. Aku bisa membuktikan kalau aku pantas untukmu, Meihui.” Gadis itu menatapnya, ingin sekali percaya. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu—ini bukan hanya soal pantas atau tidak. Ini tentang tradisi, tentang gengsi, tentang dunia yang terlalu kejam bagi kisah cinta mereka. Dan tepat saat itu—lampu lalu lintas di persimpangan berubah merah. Donghai terlambat menyadarinya. Suara klakson panjang menusuk udara. Ban selip di aspal basah. Lalu— BRUKK! Kilatan Cahaya, Suara Hantaman, dan Gelap Meihui terbangun dengan napas tersengal. Pandangannya kabur, kelopak matanya terasa berat, dan dadanya nyeri luar biasa. Udara di dalam mobil terasa pengap, bercampur dengan bau logam dan bensin. Hujan masih mengguyur deras di luar, menciptakan suara gemuruh yang samar di telinganya. Saat ia mencoba bergerak, rasa sakit menjalar dari lengan hingga bahunya. “Donghai…” suaranya lirih, hampir tak terdengar. Dengan susah payah, ia menoleh ke samping. Sosok Donghai masih terduduk di kursi kemudi, kepala tertunduk dengan darah mengalir di pelipisnya. Tangan kanannya masih menggenggam setir erat, tubuhnya nyaris tak bergerak. Dada Meihui mencelos. “Donghai! Gege, bangun!” Ia mengguncang lengan pria itu dengan sisa tenaganya. Sebuah batuk pelan terdengar, diikuti suara erangan lemah. Meihui menghela napas lega ketika Donghai perlahan mengangkat kepalanya. Mata gelapnya berkabut, seperti sedang berusaha memahami apa yang terjadi. “Kita… kecelakaan?” suaranya serak. Meihui mengangguk cepat, air mata menggenang di pelupuk matanya. “Gege, kita harus keluar dari sini.” Donghai mencoba bergerak, tapi begitu ia melepas sabuk pengamannya, rasa sakit menjalar dari dadanya. Ia meringis. “Kau terluka?” Meihui bertanya cemas. Donghai menoleh dan mencoba tersenyum. “Tidak parah…” Meihui tahu ia berbohong. Napasnya terdengar berat, wajahnya semakin pucat. Di luar, hujan terus mengguyur. Kabut mulai menyelimuti jalanan. Mobil mereka terdorong ke pinggir, menabrak pagar besi. Meihui meraba ponselnya di saku jaket, tangan gemetar saat mencoba menyalakannya. Namun, layar retak dan tak merespons. “Aku akan keluar mencari bantuan.” Ia berusaha membuka pintu, tapi tak bisa—terjepit akibat benturan. Donghai lebih dulu bergerak, membuka pintunya sendiri dengan susah payah. Udara dingin langsung menyelinap masuk. Dengan sisa tenaga, ia beringsut keluar, lalu berbalik untuk membantu Meihui. Tangannya yang gemetar meraih sabuk pengaman gadis itu dan melepasnya perlahan. “Ayo.” Meihui menggenggam tangannya erat. Bersama, mereka keluar dari mobil yang kini ringsek. Dan tepat saat itu, suara sirene menggema di tengah hujan. Sebuah Genggaman yang Terasa Seperti Perpisahan. Ambulans berhenti, dan para petugas medis bergegas mendekati mereka. “Bisa berdiri?” tanya salah satu paramedis pada Meihui. Ia mengangguk, tapi tubuhnya limbung. Refleks, Donghai meraih tangannya. “Kami harus membawa kalian ke rumah sakit,” ujar seorang petugas. Saat Donghai melewati Meihui untuk masuk ke ambulans, tangannya meremas jemarinya sebentar—hangat, tapi ada sesuatu dalam genggaman itu yang terasa seperti… perpisahan. Hati Meihui mencelos. Jangan… Namun, hujan terus turun deras, menyamarkan segala kekhawatirannya. Ambulans melaju, membawa mereka pergi dari jalanan yang menyimpan terlalu banyak kenangan. Kenangan yang, Meihui sadari, mungkin tidak akan pernah sama lagi.Sejak hari itu, Meihui mulai menari lagi. Tidak setiap hari, tidak selalu dengan langkah yang sempurna, tetapi cukup untuk membuatnya merasa hidup kembali. Setiap kali kakinya menyentuh lantai kayu studio, setiap kali lengannya terangkat mengikuti alunan musik, ia merasa seolah menemukan bagian dari dirinya yang sempat hilang. Rain tidak pernah memaksanya. Ia hanya ada di sana—duduk di depan pianonya, memainkan nada-nada yang menenangkan, memberikan ruang bagi Meihui untuk menemukan ritmenya sendiri. Tidak ada kata-kata penyemangat berlebihan, tidak ada dorongan yang terburu-buru. Hanya musik dan kehadirannya yang selalu ada. Hari ini, hujan turun dengan lembut di luar jendela studio. Langit kelabu, udara terasa lebih dingin, dan suara rintik hujan menggema di dalam ruangan yang sunyi. Lampu-lampu studio yang hangat memantulkan bayangan Meihui di cermin besar, menciptakan ilusi seolah ada dua sosok yang menari—dirinya yang dulu dan dirinya yang sekarang. Meihui berdiri di tengah
Sejak hari itu di studio, Meihui mulai kembali lebih sering. Awalnya, ia hanya datang untuk duduk di sudut ruangan, membiarkan ingatan tentang panggung dan tariannya kembali satu per satu. Lantai kayu yang dingin, cermin besar yang memantulkan bayangannya, dan keheningan yang dulu terasa asing kini menjadi bagian dari rutinitasnya. Namun, setiap kali Rain ada di sana, musiknya selalu memenuhi ruangan. Ia tidak pernah memaksa Meihui untuk menari, tidak pernah memintanya untuk bergerak. Tetapi nada-nada yang ia mainkan bagaikan tangan tak terlihat yang lembut mendorong Meihui untuk bangkit, mengambil satu langkah kecil, lalu langkah berikutnya. Dan perlahan, langkah-langkah itu berubah menjadi tarian. Hari ini, Meihui datang lebih awal dari biasanya. Udara pagi masih dingin, embun masih menggantung di kaca jendela besar yang menghadap ke luar studio. Ia mengenakan sweater tipis berwarna krem di atas pakaian latihannya, mencoba menghangatkan diri sebelum mulai berlatih. Ia ingin
Meihui berdiri di tengah studio, jantungnya berdebar lebih cepat dari yang seharusnya. Jemarinya masih mencengkeram sapu tangan Rain, sementara pikirannya bergolak. Napasnya terasa berat, seolah ruangan ini terlalu besar untuknya, seolah udara di dalamnya penuh dengan bayang-bayang masa lalu yang selama ini ia hindari. Rain tetap duduk di depan piano, jemarinya menyentuh tuts dengan lembut, memainkan melodi yang sama sejak tadi. Nada-nada itu mengalun tenang, mengisi keheningan di antara mereka, membaur dengan suara detak jantung Meihui yang berdebar kencang. Ada sesuatu dalam musik itu yang terasa akrab, seakan memanggilnya, membujuknya untuk mengambil langkah pertama. Meihui menarik napas dalam. Sudah berapa lama sejak terakhir kali ia benar-benar menari? Sejak kapan tubuhnya merasa begitu asing baginya sendiri? Ia menutup matanya, mencoba membiarkan tubuhnya mengingat kembali perasaan itu—perasaan ringan saat ia melayang dalam gerakan, kebebasan yang menyatu dengan setiap ir
Meihui berdiri di depan pintu studio balet yang belum pernah ia datangi sebelumnya. Bangunan ini tidak asing baginya—ia sering datang ke sini untuk urusan bisnis bersama ibunya—tetapi ruangan ini, studio kecil di lantai atas, baru hari ini menarik perhatiannya. Ibunya pernah berkata, “Aku menyewakan studio kecil di sini. Jika suatu hari kau ingin kembali menari… kau bisa menggunakannya.” Meihui hanya tersenyum hambar waktu itu, tak ingin membahasnya lebih lanjut. Ia pikir tidak akan ada hari di mana ia ingin kembali. Namun, entah mengapa, hari ini kakinya membawanya ke sini. Tangannya sedikit ragu saat meraih gagang pintu, tetapi akhirnya ia mendorongnya perlahan. Saat pintu terbuka, aroma kayu bercampur dengan sedikit debu menyambutnya. Cahaya dari jendela besar di sisi ruangan menyinari lantai kayu yang bersih, memantulkan bayangan cermin yang membentang dari ujung ke ujung. Tidak ada palang latihan, tidak ada jejak masa lalu—hanya sebuah ruangan kosong. Meihui melangkah
Sejak pertemuan mereka di acara sosial itu, interaksi antara Rain dan Meihui semakin sering terjadi. Awalnya, hanya percakapan singkat yang formal—sekadar basa-basi di tengah keramaian. Namun, semakin hari, semakin banyak kebetulan yang mempertemukan mereka. Di sebuah kafe setelah rapat bisnis ibunya, Meihui menemukan Rain duduk di sudut ruangan, menulis sesuatu di buku catatannya. Ia ragu untuk mendekat, tapi Rain lebih dulu menyadarinya dan tersenyum tipis. “Kau selalu terlihat tenang saat menulis,” ucap Meihui, akhirnya memberanikan diri untuk duduk di seberangnya. Rain menutup bukunya, mengangkat alis sedikit. “Dan kau selalu terlihat tenggelam dalam pikiranmu.” Meihui terkekeh pelan. “Mungkin itu benar.” Mereka terdiam sejenak, membiarkan suasana kafe yang tenang menjadi latar dari kebersamaan mereka. Ini bukan pertemuan yang disengaja, tetapi juga bukan sesuatu yang terasa asing. Rain menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Jujur, aku tak menyangka bisa bert
Meihui menatap ke luar jendela mobil dengan tatapan kosong. Lampu-lampu kota Seoul berpendar di kejauhan, menciptakan bayangan cahaya yang menari di permukaan jalan basah setelah hujan. Ia sudah beberapa minggu tinggal di kota ini, menjalani rutinitas yang terasa asing—menghadiri rapat, mendampingi ibunya dalam berbagai pertemuan bisnis, dan berusaha menyesuaikan diri dengan dunia yang seharusnya menjadi miliknya. Namun, Seoul terasa begitu berbeda dari Beijing. Bukan hanya suasananya, tetapi juga ritme kehidupannya. Di Beijing, ia bisa berjalan di taman tempat ia dan Donghai sering menghabiskan waktu, mengunjungi studio balet tempatnya berlatih, atau sekadar duduk di kafe favoritnya, membiarkan kenangan menghampirinya seperti gelombang yang pasang surut. Di sini, semuanya terasa asing. Di sini, ia harus berperan sebagai putri seorang pengusaha sukses—seseorang yang kuat, elegan, dan selalu tahu apa yang harus dilakukan. Tidak ada tempat untuk keraguan atau kesedihan. Setidaknya,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen