Sejak kematian tunangannya, Donghai, Li Meihui memilih meninggalkan dunia balet yang dulu menjadi hidupnya. Setiap langkah tariannya kini terasa hampa, setiap kenangan hanya menambah luka. Hingga suatu hari, ia bertemu Kim Rain—seorang musisi yang melihat kesedihan dalam tarian yang tak lagi memiliki makna. Rain tidak pernah meminta Meihui untuk melupakan masa lalunya, tapi ia memainkan melodi yang secara perlahan membimbingnya untuk melangkah lagi. Di antara nada-nada yang tercipta, Meihui mulai menemukan dirinya kembali. Dan kali ini, ia menari bukan untuk mengenang seseorang yang telah pergi, tetapi karena ia ingin. Namun, bisakah musik dan tarian menyembuhkan hati yang telah lama terjebak dalam kesedihan? Ataukah Meihui akan menemukan alasan baru untuk terus menari bersama seseorang yang tak pernah ia duga?
Lihat lebih banyakSuara hujan mengetuk lembut kaca jendela, menciptakan pola abstrak yang berubah-ubah seiring butiran air yang jatuh dan mengalir. Malam itu tampak murung, seolah langit ikut larut dalam perasaan yang tak mampu diucapkan. Di dalam mobil, kehangatan samar dari pemanas tak cukup mengusir dingin yang menyusup lewat celah-celah ventilasi. Aroma khas hujan—tanah basah, aspal dingin, dan jejak musim gugur yang tertinggal—membungkus kabin dalam diam.
Li Meihui duduk diam di kursi penumpang, matanya menerawang jauh menembus kabut yang membalut kaca depan. Biasanya, ia adalah sumber kehangatan dalam perjalanan seperti ini—ceria, penuh cerita kecil tentang latihan balet, minuman baru di kafe favoritnya, atau hal-hal remeh yang ia temui di jalanan. Tapi malam ini, suaranya seperti ikut lenyap bersama warna langit. Han Donghai menggenggam setir dengan kedua tangan, matanya fokus ke jalanan yang licin. Tapi dari ekor matanya, ia terus memerhatikan gadis di sampingnya. Keheningan itu terasa salah. Terlalu sunyi untuk seorang Meihui. Akhirnya, ia membuka suara. Pelan, namun jelas. “Meihui, kau kenapa?” Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Ia tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia merapatkan sweater rajut warna krem yang dikenakannya, seolah kehangatan benangnya bisa menyelamatkan dari dingin di dalam hatinya. “Gege… aku tadi bicara dengan Baba,” ujarnya pelan. Suaranya seperti kabut—ringan tapi menyesakkan. Donghai melirik sekilas, alisnya berkerut. “Tentang apa?” “Tentang kita.” Meihui menunduk. Jari-jarinya mulai memainkan ujung lengan sweaternya yang sedikit lembap. Donghai merasakan dadanya mengencang. Ia tahu pembicaraan semacam ini tak pernah ringan, apalagi jika ayah Meihui yang menjadi lawan bicaranya. “Dan?” tanyanya hati-hati, tak ingin mengusik, tapi juga tak tahan menunggu. Meihui akhirnya menoleh, dan ketika matanya bertemu dengan mata Donghai, ia tahu jawabannya akan melukai mereka berdua. “Baba bilang… mungkin lebih baik kita berhenti sampai di sini saja.” Seolah waktu berhenti. Donghai secara refleks menginjak rem dengan keras. Mobil mereka terguncang mendadak, dan tubuh mereka terdorong ke depan, walau sabuk pengaman menahan mereka. Hujan di luar semakin deras, membasahi kaca depan yang terus diusap wiper dalam irama monoton yang makin menusuk. Donghai menoleh cepat. Matanya melebar, wajahnya tegang. “Apa maksudmu?” Meihui menunduk kembali, enggan menatap wajah lelaki yang selama ini ia cintai. Suaranya nyaris tenggelam di antara suara hujan dan denting hatinya yang retak. “Baba bilang, keluargamu dan keluargaku terlalu berbeda. Dia bilang… ini akan menyulitkanku nanti.” Donghai mengepalkan tangan di atas setir. “Maksudnya… karena aku bukan dari keluarga kaya?” Meihui tidak menjawab. Tapi diamnya lebih menyakitkan daripada kata-kata. “Jadi, semua ini tidak cukup? Semua perjuangan kita?” Air mata menggenang di mata Meihui. Ia ingin berkata bahwa semua itu berharga. Bahwa Donghai selalu cukup, selalu lebih dari cukup. Tapi dunia tempat mereka hidup tidak selalu memberi ruang bagi cinta yang sederhana. Ada nama keluarga, reputasi, silsilah, dan gengsi yang dibungkus rapi dalam kata “masa depan”. “Aku bilang padanya bahwa aku mencintaimu, bahwa aku tak butuh semua itu,” katanya pelan. “Tapi dia hanya diam. Lalu berkata... jika aku tetap bersamamu, aku akan kehilangan semuanya.” Donghai mengembuskan napas, panjang dan dalam. Ia menoleh lagi, menatap gadis yang telah menjadi pusat semestanya. “Kalau begitu, kita hadapi bersama. Aku akan buktikan bahwa aku pantas untukmu, Meihui. Aku akan bekerja lebih keras, lebih dari sekarang. Kita bisa… kita bisa melawan semua ini.” Meihui menatapnya. Dalam cahaya lampu jalan yang menembus kabin, wajah Donghai tampak begitu tulus, begitu kuat, namun juga—terluka. Hatinya bergejolak. Ia ingin percaya. Tapi benaknya dibayang-bayangi wajah Baba, dingin dan tegas, saat berkata: Kau hanya akan tahu artinya kehilangan, jika kau tetap bersamanya. Dan saat itulah—lampu merah di persimpangan menyala. Donghai terlambat menyadarinya. Suara klakson panjang mengoyak keheningan. Ban selip di aspal licin. Meihui sempat menoleh, melihat sorot cahaya mendekat—terlalu cepat. BRUKK! Meihui membuka matanya perlahan. Napasnya tersengal, dadanya nyeri. Dunia tampak kabur, bercampur suara hujan dan dentingan logam. Bau bensin dan darah menusuk hidungnya. Ia ingin bangun, tapi tubuhnya terasa berat. Dengan susah payah, ia menoleh ke samping. “Donghai…” bisiknya, hampir tak terdengar. Lelaki itu masih di kursi kemudi. Kepala tertunduk, darah mengalir dari pelipisnya. Tangannya masih menggenggam setir. Meihui mengguncang bahunya dengan gemetar. “Donghai! Gege, bangun!” Sebuah erangan lemah terdengar. Donghai mengangkat kepalanya perlahan. Matanya berkabut. “Kita… kecelakaan?” suaranya serak. Meihui mengangguk cepat. “Kita harus keluar…” Ia mencoba membuka pintu—terkunci, terjepit. Ponselnya—retak dan mati. Panik mulai melingkupi dirinya. Donghai bergerak lebih dulu. Ia membuka pintunya, tubuhnya terguncang. Tapi ia bangkit, lalu menoleh dan meraih sabuk Meihui. “Ayo,” katanya lemah. Ia membantunya keluar, tubuh mereka saling menopang. Hujan menyambut mereka seperti cambukan dingin di kulit. Di kejauhan, suara sirene mulai terdengar—semakin dekat. Ketika paramedis tiba dan bertanya apakah mereka bisa berdiri, Meihui mengangguk, walau lututnya nyaris roboh. Refleks, Donghai menggenggam tangannya—hangat, tapi gemetar. Sebelum masuk ke ambulans, Donghai meremas jemarinya sejenak. Tatapan mereka bertemu. Tak ada kata yang terucap. Namun, dalam genggaman itu… Meihui merasakan sesuatu yang tak ia mengerti—seperti sebuah pamit yang tak sempat diucapkan. Ambulans melaju, membelah hujan yang masih jatuh tanpa ampun. Dan Meihui, untuk pertama kalinya malam itu, mulai berdoa dalam diam. Agar hujan ini tak menjadi saksi bagi perpisahan terakhir.Studio itu tidak besar. Hanya sebuah ruangan persegi dengan cermin besar di sisi kiri, lantai kayu yang sudah mulai tergores di beberapa tempat, dan tirai putih tipis yang menari setiap kali angin sore menyelinap dari jendela terbuka. Tapi di sinilah Meihui merasa hidup kembali.Tangannya terangkat perlahan. Kaki kanannya melayang lembut dari lantai, bergerak mengikuti irama lembut dari lagu piano yang mengalun di latar belakang. Tubuhnya melengkung, ringan seperti kabut pagi, namun kuat seperti harapan yang tak pernah padam. Ia tak menari untuk panggung megah, tidak lagi untuk sorotan lampu atau tepuk tangan yang memekakkan telinga. Kini, ia menari untuk dirinya sendiri.Sudah setahun sejak ia mengubur kenangan terkelam dalam hidupnya, sejak ia mulai menatap hujan bukan sebagai luka, tapi sebagai pertanda bahwa bumi sedang disucikan. Dan sejak saat itu, studio kecil ini menjadi tempatnya menyembuhkan diri.Sebuah ketukan pelan terdengar di pintu. Meihui membuka mata, menghentikan ger
Sejak hari itu, Meihui mulai menari lagi. Tidak setiap hari, tidak selalu dengan langkah yang sempurna, tetapi cukup untuk membuatnya merasa hidup kembali. Setiap kali kakinya menyentuh lantai kayu studio, setiap kali lengannya terangkat mengikuti alunan musik, ia merasa seolah menemukan bagian dari dirinya yang sempat hilang. Rain tidak pernah memaksanya. Ia hanya ada di sana—duduk di depan pianonya, memainkan nada-nada yang menenangkan, memberikan ruang bagi Meihui untuk menemukan ritmenya sendiri. Tidak ada kata-kata penyemangat berlebihan, tidak ada dorongan yang terburu-buru. Hanya musik dan kehadirannya yang selalu ada. Hari ini, hujan turun dengan lembut di luar jendela studio. Langit kelabu, udara terasa lebih dingin, dan suara rintik hujan menggema di dalam ruangan yang sunyi. Lampu-lampu studio yang hangat memantulkan bayangan Meihui di cermin besar, menciptakan ilusi seolah ada dua sosok yang menari—dirinya yang dulu dan dirinya yang sekarang. Meihui berdiri di tengah
Sejak hari itu di studio, Meihui mulai kembali lebih sering. Awalnya, ia hanya datang untuk duduk di sudut ruangan, membiarkan ingatan tentang panggung dan tariannya kembali satu per satu. Lantai kayu yang dingin, cermin besar yang memantulkan bayangannya, dan keheningan yang dulu terasa asing kini menjadi bagian dari rutinitasnya. Namun, setiap kali Rain ada di sana, musiknya selalu memenuhi ruangan. Ia tidak pernah memaksa Meihui untuk menari, tidak pernah memintanya untuk bergerak. Tetapi nada-nada yang ia mainkan bagaikan tangan tak terlihat yang lembut mendorong Meihui untuk bangkit, mengambil satu langkah kecil, lalu langkah berikutnya. Dan perlahan, langkah-langkah itu berubah menjadi tarian. Hari ini, Meihui datang lebih awal dari biasanya. Udara pagi masih dingin, embun masih menggantung di kaca jendela besar yang menghadap ke luar studio. Ia mengenakan sweater tipis berwarna krem di atas pakaian latihannya, mencoba menghangatkan diri sebelum mulai berlatih. Ia ingin
Meihui berdiri di tengah studio, jantungnya berdebar lebih cepat dari yang seharusnya. Jemarinya masih mencengkeram sapu tangan Rain, sementara pikirannya bergolak. Napasnya terasa berat, seolah ruangan ini terlalu besar untuknya, seolah udara di dalamnya penuh dengan bayang-bayang masa lalu yang selama ini ia hindari. Rain tetap duduk di depan piano, jemarinya menyentuh tuts dengan lembut, memainkan melodi yang sama sejak tadi. Nada-nada itu mengalun tenang, mengisi keheningan di antara mereka, membaur dengan suara detak jantung Meihui yang berdebar kencang. Ada sesuatu dalam musik itu yang terasa akrab, seakan memanggilnya, membujuknya untuk mengambil langkah pertama. Meihui menarik napas dalam. Sudah berapa lama sejak terakhir kali ia benar-benar menari? Sejak kapan tubuhnya merasa begitu asing baginya sendiri? Ia menutup matanya, mencoba membiarkan tubuhnya mengingat kembali perasaan itu—perasaan ringan saat ia melayang dalam gerakan, kebebasan yang menyatu dengan setiap ir
Meihui berdiri di depan pintu studio balet yang belum pernah ia datangi sebelumnya. Bangunan ini tidak asing baginya—ia sering datang ke sini untuk urusan bisnis bersama ibunya—tetapi ruangan ini, studio kecil di lantai atas, baru hari ini menarik perhatiannya. Ibunya pernah berkata, “Aku menyewakan studio kecil di sini. Jika suatu hari kau ingin kembali menari… kau bisa menggunakannya.” Meihui hanya tersenyum hambar waktu itu, tak ingin membahasnya lebih lanjut. Ia pikir tidak akan ada hari di mana ia ingin kembali. Namun, entah mengapa, hari ini kakinya membawanya ke sini. Tangannya sedikit ragu saat meraih gagang pintu, tetapi akhirnya ia mendorongnya perlahan. Saat pintu terbuka, aroma kayu bercampur dengan sedikit debu menyambutnya. Cahaya dari jendela besar di sisi ruangan menyinari lantai kayu yang bersih, memantulkan bayangan cermin yang membentang dari ujung ke ujung. Tidak ada palang latihan, tidak ada jejak masa lalu—hanya sebuah ruangan kosong. Meihui melangkah
Sejak pertemuan mereka di acara sosial itu, interaksi antara Rain dan Meihui semakin sering terjadi. Awalnya, hanya percakapan singkat yang formal—sekadar basa-basi di tengah keramaian. Namun, semakin hari, semakin banyak kebetulan yang mempertemukan mereka. Di sebuah kafe setelah rapat bisnis ibunya, Meihui menemukan Rain duduk di sudut ruangan, menulis sesuatu di buku catatannya. Ia ragu untuk mendekat, tapi Rain lebih dulu menyadarinya dan tersenyum tipis. “Kau selalu terlihat tenang saat menulis,” ucap Meihui, akhirnya memberanikan diri untuk duduk di seberangnya. Rain menutup bukunya, mengangkat alis sedikit. “Dan kau selalu terlihat tenggelam dalam pikiranmu.” Meihui terkekeh pelan. “Mungkin itu benar.” Mereka terdiam sejenak, membiarkan suasana kafe yang tenang menjadi latar dari kebersamaan mereka. Ini bukan pertemuan yang disengaja, tetapi juga bukan sesuatu yang terasa asing. Rain menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Jujur, aku tak menyangka bisa bert
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen