Menari Bersama Hujan

Menari Bersama Hujan

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-07-29
Oleh:  WahyuniBaru saja diperbarui
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel4goodnovel
Belum ada penilaian
17Bab
117Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Sejak kematian tunangannya, Donghai, Li Meihui memilih meninggalkan dunia balet yang dulu menjadi hidupnya. Setiap langkah tariannya kini terasa hampa, setiap kenangan hanya menambah luka. Hingga suatu hari, ia bertemu Kim Rain—seorang musisi yang melihat kesedihan dalam tarian yang tak lagi memiliki makna. Rain tidak pernah meminta Meihui untuk melupakan masa lalunya, tapi ia memainkan melodi yang secara perlahan membimbingnya untuk melangkah lagi. Di antara nada-nada yang tercipta, Meihui mulai menemukan dirinya kembali. Dan kali ini, ia menari bukan untuk mengenang seseorang yang telah pergi, tetapi karena ia ingin. Namun, bisakah musik dan tarian menyembuhkan hati yang telah lama terjebak dalam kesedihan? Ataukah Meihui akan menemukan alasan baru untuk terus menari bersama seseorang yang tak pernah ia duga?

Lihat lebih banyak

Bab 1

Hujan di Jalan Kenangan

Suara hujan mengetuk lembut kaca jendela, menciptakan pola abstrak yang berubah-ubah seiring butiran air yang jatuh dan mengalir. Malam itu tampak murung, seolah langit ikut larut dalam perasaan yang tak mampu diucapkan. Di dalam mobil, kehangatan samar dari pemanas tak cukup mengusir dingin yang menyusup lewat celah-celah ventilasi. Aroma khas hujan—tanah basah, aspal dingin, dan jejak musim gugur yang tertinggal—membungkus kabin dalam diam.

Li Meihui duduk diam di kursi penumpang, matanya menerawang jauh menembus kabut yang membalut kaca depan. Biasanya, ia adalah sumber kehangatan dalam perjalanan seperti ini—ceria, penuh cerita kecil tentang latihan balet, minuman baru di kafe favoritnya, atau hal-hal remeh yang ia temui di jalanan. Tapi malam ini, suaranya seperti ikut lenyap bersama warna langit.

Han Donghai menggenggam setir dengan kedua tangan, matanya fokus ke jalanan yang licin. Tapi dari ekor matanya, ia terus memerhatikan gadis di sampingnya. Keheningan itu terasa salah. Terlalu sunyi untuk seorang Meihui.

Akhirnya, ia membuka suara. Pelan, namun jelas.

“Meihui, kau kenapa?”

Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Ia tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia merapatkan sweater rajut warna krem yang dikenakannya, seolah kehangatan benangnya bisa menyelamatkan dari dingin di dalam hatinya.

“Gege… aku tadi bicara dengan Baba,” ujarnya pelan. Suaranya seperti kabut—ringan tapi menyesakkan.

Donghai melirik sekilas, alisnya berkerut. “Tentang apa?”

“Tentang kita.” Meihui menunduk. Jari-jarinya mulai memainkan ujung lengan sweaternya yang sedikit lembap.

Donghai merasakan dadanya mengencang. Ia tahu pembicaraan semacam ini tak pernah ringan, apalagi jika ayah Meihui yang menjadi lawan bicaranya.

“Dan?” tanyanya hati-hati, tak ingin mengusik, tapi juga tak tahan menunggu.

Meihui akhirnya menoleh, dan ketika matanya bertemu dengan mata Donghai, ia tahu jawabannya akan melukai mereka berdua.

“Baba bilang… mungkin lebih baik kita berhenti sampai di sini saja.”

Seolah waktu berhenti. Donghai secara refleks menginjak rem dengan keras. Mobil mereka terguncang mendadak, dan tubuh mereka terdorong ke depan, walau sabuk pengaman menahan mereka. Hujan di luar semakin deras, membasahi kaca depan yang terus diusap wiper dalam irama monoton yang makin menusuk.

Donghai menoleh cepat. Matanya melebar, wajahnya tegang. “Apa maksudmu?”

Meihui menunduk kembali, enggan menatap wajah lelaki yang selama ini ia cintai. Suaranya nyaris tenggelam di antara suara hujan dan denting hatinya yang retak.

“Baba bilang, keluargamu dan keluargaku terlalu berbeda. Dia bilang… ini akan menyulitkanku nanti.”

Donghai mengepalkan tangan di atas setir. “Maksudnya… karena aku bukan dari keluarga kaya?”

Meihui tidak menjawab. Tapi diamnya lebih menyakitkan daripada kata-kata.

“Jadi, semua ini tidak cukup? Semua perjuangan kita?”

Air mata menggenang di mata Meihui. Ia ingin berkata bahwa semua itu berharga. Bahwa Donghai selalu cukup, selalu lebih dari cukup. Tapi dunia tempat mereka hidup tidak selalu memberi ruang bagi cinta yang sederhana. Ada nama keluarga, reputasi, silsilah, dan gengsi yang dibungkus rapi dalam kata “masa depan”.

“Aku bilang padanya bahwa aku mencintaimu, bahwa aku tak butuh semua itu,” katanya pelan. “Tapi dia hanya diam. Lalu berkata... jika aku tetap bersamamu, aku akan kehilangan semuanya.”

Donghai mengembuskan napas, panjang dan dalam. Ia menoleh lagi, menatap gadis yang telah menjadi pusat semestanya. “Kalau begitu, kita hadapi bersama. Aku akan buktikan bahwa aku pantas untukmu, Meihui. Aku akan bekerja lebih keras, lebih dari sekarang. Kita bisa… kita bisa melawan semua ini.”

Meihui menatapnya. Dalam cahaya lampu jalan yang menembus kabin, wajah Donghai tampak begitu tulus, begitu kuat, namun juga—terluka.

Hatinya bergejolak. Ia ingin percaya. Tapi benaknya dibayang-bayangi wajah Baba, dingin dan tegas, saat berkata:

Kau hanya akan tahu artinya kehilangan, jika kau tetap bersamanya.

Dan saat itulah—lampu merah di persimpangan menyala. Donghai terlambat menyadarinya.

Suara klakson panjang mengoyak keheningan.

Ban selip di aspal licin.

Meihui sempat menoleh, melihat sorot cahaya mendekat—terlalu cepat.

BRUKK!

Meihui membuka matanya perlahan. Napasnya tersengal, dadanya nyeri. Dunia tampak kabur, bercampur suara hujan dan dentingan logam. Bau bensin dan darah menusuk hidungnya.

Ia ingin bangun, tapi tubuhnya terasa berat. Dengan susah payah, ia menoleh ke samping.

“Donghai…” bisiknya, hampir tak terdengar.

Lelaki itu masih di kursi kemudi. Kepala tertunduk, darah mengalir dari pelipisnya. Tangannya masih menggenggam setir.

Meihui mengguncang bahunya dengan gemetar. “Donghai! Gege, bangun!”

Sebuah erangan lemah terdengar. Donghai mengangkat kepalanya perlahan. Matanya berkabut.

“Kita… kecelakaan?” suaranya serak.

Meihui mengangguk cepat. “Kita harus keluar…”

Ia mencoba membuka pintu—terkunci, terjepit. Ponselnya—retak dan mati. Panik mulai melingkupi dirinya.

Donghai bergerak lebih dulu. Ia membuka pintunya, tubuhnya terguncang. Tapi ia bangkit, lalu menoleh dan meraih sabuk Meihui.

“Ayo,” katanya lemah.

Ia membantunya keluar, tubuh mereka saling menopang. Hujan menyambut mereka seperti cambukan dingin di kulit. Di kejauhan, suara sirene mulai terdengar—semakin dekat.

Ketika paramedis tiba dan bertanya apakah mereka bisa berdiri, Meihui mengangguk, walau lututnya nyaris roboh. Refleks, Donghai menggenggam tangannya—hangat, tapi gemetar.

Sebelum masuk ke ambulans, Donghai meremas jemarinya sejenak. Tatapan mereka bertemu. Tak ada kata yang terucap.

Namun, dalam genggaman itu… Meihui merasakan sesuatu yang tak ia mengerti—seperti sebuah pamit yang tak sempat diucapkan.

Ambulans melaju, membelah hujan yang masih jatuh tanpa ampun.

Dan Meihui, untuk pertama kalinya malam itu, mulai berdoa dalam diam.

Agar hujan ini tak menjadi saksi bagi perpisahan terakhir.

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
17 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status