Share

6. Sarapan dengan beling

“Pelan-pelan, Na. Gue gak bakal lepas tangan lo.”

Luna memegang tangan Allard yang sedang menuntunnya untuk berjalan, langkah demi langkah menjadi saksi bertapa bahagianya gadis itu. Akhirnya ia memiliki waktu berdua dengan Allard, tanpa gangguan gadis lain, dan Nora tentu saja.

Allard tersenyum hangat pada Luna, karena pacarnya itu terus menatapnya dengan tatapan berbunga-bunga.

“Kenapa senyum terus?”

 “Gak pa pa.” Luna menggelengkan kepalanya dengan senyum yang masih bertahan.

“Lo jatuh cinta, ya, sama gue?” tuduh Allard.

Senyum salting Luna menjadi-jadi, ia masih mengikuti Allard yang terus menuntunnya.

“Kan udah jadi pacar, masa gak boleh jatuh cinta?” Luna menampilkan wajah yang sangat ingin Allard gigit pipinya saking gemasnya.

“Masa udah jadi pacar? Kapan?”

“Ih, kamu mah.” Luna memukul tangan Allard dengan kekuatan penuh dan membuat pria itu meringis sakit.

“Kok KDRT? Gue laporin ke pihak berwenang, ya, lo!”

“Laporin aja, gak takut!” Luna berhenti melangkah karena ia sudah merasakan pegal, “kamu udah sarapan, belum?”

Allard menggelengkan kepalanya lalu menuntun Luna menuju teras rumah gadis itu.

“Mau sarapan bareng, gak?” tawar Luna.

“Boleh.”

Dengan antusias Luna meraih tongkatnya yang berada di sampingnya lalu berjalan dengan bersemangat memasuki rumahnya, ia akan memasukkan masakan spesial yang sehat untuk ia makan dengan Allard pagi ini.

“Semangat banget, Neng.” Allard menggelengkan kepalanya melihat tingkah sang pacar.

Allard mengikuti langkah sang pacar yang terlihat begitu bersemangat, senyum Luna sangat menjadi candu untuknya. Kekasihnya itu terlihat seribu kali lipat lebih cantik saat tersenyum, membuatnya sangat tidak rela jika saja ada pria lain yang membuat gadis itu tersenyum.

“Hati-hati, Na. Kaki lo belum sembuh, jangan lari-lari!” kata Allard mengingatkan.

“Iyaa!” sahut gadis itu, tapi langkahnya tidak menggambarkan ucapannya. Luna masih melangkah cepat hingga akhirnya sampai di dapur.

Luna berkutat dengan bahan bahan-bahan yang akan ia jadikan capcay, ia memotong-motong wortel dan brokoli dengan sangat bersemangat. Gadis cantik itu sangat senang bisa memasakkan sesuatu untuk sarapan Allard pagi ini.

“Allard, aku masakin capcay mau, kan?” tanya Luna sambil merebus wortelnya.

“Iya. Lo masakin racun juga gue makan, Na,” jawab Allard yang tengah menonton TV.

“Bisa dicoba, tuh.”

“Mati dong gue kalo lo beneran kasih racun.” Allard melirik sang kekasih dengan senyum teduh miliknya yang mampu membuat Luna bertahan sampai sekarang.

“Kan makannya berdua, jadi matinya ya berdua nanti.”

“Jangan dulu, gue belum nikahin lo. Nanti kalo udah nikah baru, deh, mati berdua.” Perkataan Allard sukses membuat pipi Luna bersemu.

“Merah dah, tuh, pipi.” Allard bergumam dan menggelengkan kepala melihat Luna yang tidak berhenti tersenyum.

Tadi pagi sekali Luna menelepon Allard untuk membantunya berlatih berjalan, sedikit ragu sebenarnya karena takut Allard masih tidur. Tapi ternyata tidak, Allard sudah bangun dan mau melatihnya. Itu sedikit sebab Luna sangat baik suasana hatinya sekarang.

“Na, jangan pedes-pedes, ya!” sahut Allard mengingatkan, padahal Luna sudah tahu jika dia tidak suka pedas.

“Iya!”

Sekitar lima belas menit Luna memasak, capcay yang ia buat akhirnya jadi. Dengan perasaan berbunga-bunga dia membawa semangkuk besar capcay itu ke meja makan, menyiapkan peralatan makan dan juga ayam yang sudah ia goreng sebelum Allard datang tadi.

Ponsel Allard berdering, pria itu lantas mengangkat teleponnya. Sedang Luna menuangkan air putih di gelas yang akan Allard pakai.

“Sini!” Luna melambaikan tangan memanggil Allard untuk sarapan.

Allard mendekat dengan wajah yang tidak secerah tadi. “Na, gue gak bisa sarapan di sini, gue harus pergi.”

“Mau ke mana?” Luna terlihat kebingungan.

“Nora minta gue nganter dia beli sarapan, di rumahnya gak ada siapa-siapa.” Allard menjauh mengambil kunci motornya di dekat TV, “kasian, dia belum sarapan.”

“Ya kalo gitu kamu sarapan dulu bentar, udah aku siapin buat kamu.” Suara Luna terdengar bergetar di akhir, senyumnya pun sudah hilang.

“Lo makan aja, gue gampang. Nanti makan sama Nora.”

“Tapi, Lard. Aku udah masakin capcay buat kamu, gak pedes sama sekali.”

Allard mendekati Luna dan mengecup pelipis kekasihnya itu. “Maaf, gue pergi.”

“Lo jangan lupa sarapan, gue sayang lo.” Setelah mengacak-acak rambut Luna, pria itu meninggalkan Luna yang berantakan malah hatinya.

Luna mengusap setetes air mata yang jatuh dari pipinya saat pria itu berlalu, sekali lagi ia menjadi yang terabaikan. Baru sebentar ia bersama Allard, berharap waktunya akan terasa panjang untuk dihabiskan dengan pria itu. Tapi Nora lagi-lagi merusak semuanya.

Dengan hati yang kembali tertampar, Luna menyantap sarapannya dengan berdarah-darah. Tidak bisa Luna jabarkan apa yang tengah ia rasakan saat ini, bagaimana perasaan saat pasangan lebih memilih dengan perempuan lain bahkan setelah kita sudah berusaha menahannya?

Tidak. Luna tidak sekuat itu jika sama sekali tak merasakan sakit. Dan ia harus menelan makanan yang tenggorokannya menolak keras akan kehadiran makanan itu. Allard seperti beling yang harus ia telan mentah-mentah setiap harinya.

“Kita itu sebenarnya apa Allard ...?”

***

“Lo di rumah?”

Luna menganggukkan kepalanya, dua jam setelah kepergian Allard, Arshaka tumbenan meneleponnya.

“Iya, aku di rumah.”

“Nanti malam mau ke pameran, gak? Ada waktu?”

Luna berpikir sejenak lalu memutuskan untuk menerima ajakan Arshaka. “Gak ada, sih, Ka. Tumben banget kamu ngajakin aku, ada maunya kah?” curiga Luna tak serius.

“Suudzon mulu lo mah sama gue, padahal, kan, niat gue baik.”

Gadis itu terkekeh mendengar jawaban Arshaka yang terdengar tidak terima, Luna kemudian bangkit dari baringnya menyandar di sisi kasurnya.

“Aku harus dandan yang cantik gak, nih?”

“Lo walaupun dandan tetep jelek, sih.”

Mata Luna membola mendengar penuturan Arshaka yang tidak bisa diterima akal dan pikirannya, pasti pria di seberang sana katarak matanya jika bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Luna pernah menjadi incaran para pria sebelum berpacaran dengan Allard, wajah Luna bisa dikatakan sebagai visual yang bisa bersaing dengan jajaran anak hits-nya Mediterania.

“Kamu beli kacamata, deh, sana. Aku curiga selama ini kamu gak bisa liat aku dengan jelas. Muka aku cantiknya udah level paripurna, ya.”

Arshaka terkekeh mendengar perkataan Luna, di seberang sana pria itu geli sendiri dengan kepercayaan diri Luna yang sedikit narsis.

“Ya udah nanti lo dandan, deh, gue mau lihat kecantikan lo yang katanya paripurna itu.”

“Okeh, bye Shaka.”

“Bye, calon.”

“Calon apa, nih?”

“Calon pembantu gue.”

Luna memutuskan teleponnya dengan kesal mendengar Arshaka yang tertawa sangat keras mengejeknya, namun dibanding dengan perasaan kesal, Luna lebih merasa agak baikan setelah ditelepon Arshaka. Ia sedikit terhibur hatinya mendengar lelucon pria itu.

Ia melirik jam dinding, masih jam sebelas. Waktunya masih sangat banyak, Luna kemudian memilih membaringkan lagi tubuhnya yang entah kenapa sangat lelah, padahal ia tidak habis bekerja kuli. Gadis itu memutuskan untuk tidur agar lebih fresh nantinya, berharap mimpi indah akan menemani tidurnya siang ini.

Luna, gadis itu sudah sangat lelah meniti hatinya di atas bandar. Tapi tidak urung berhenti, karena ia juga tengah membawa segunung cinta di pundaknya yang menjadi alasan Luna untuk tetap bertahan di sisi Allard.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status