Siang ini. Amira pergi ke rumah sakit. Tempat dimana Farel bekerja. Wanita itu menemui kakak iparnya lebih dulu. Menuju ke ruangannya.
Tok tok tok "Masuk!" Ucap Farel dari dalam ruangannya. "Kak Farel tadi yang minta aku datang ke sini?" Tanya Amira sambil masuk ke ruangan itu. "Iya. Silahkan duduk!" Titah Farel. Amira pun duduk di depan meja kerja Farel. Mereka berdua duduk saling berhadapan. Sambil menunggu kedatangan teman kerjanya. "Ada pekerjaan apa buatku kak?" Tanya Amira. "Kamu penginya kerja apa?" Farel balik bertanya. "Apa saja. Yang penting bisa kerja. Biar ada kegiatan dan punya penghasilan." Jawab Amira. Tak berapa lama. Orang yang di maksud oleh Farel pun datang. Dia masuk ruangan itu lalu duduk di bangku sebelah Amira. "Ini temanku yang sedang membutuhkan seorang asisten. Dia adalah Dokter Nikil Saputra." Farel memperkenalkan temannya pada Amira. "Kamu Dokter yang tadi kan?" Tanya Amira. "Ibu Amira kan?" Nikil balik bertanya. "Iya. Saya Amira. Tapi jangan panggil ibu. Aku belum terlalu tua." Jawab Amira. "Tapi sebentar lagi akan jadi seorang ibu." Ucap Nikil. Farel melihat sahabat dan adik iparnya. Mereka mengobrol seperti sudah akrab. Pria itu mengira kalau keduanya sudah saling kenal. "Kalian sudah saling mengenal?" Tanya Farel. "Tidak. Tapi tadi pagi Ibu Amira butuh pertolonganku." Jawab Nikil lagi. "Pertolongan?" Tanya Farel ingin tahu. "Alisa memintaku untuk memeriksa keadaan Bu Amira tadi pagi." Jelas Nikil "Kamu sakit Mira?" Tanya Farel. "Tidak." Jawab Amira lirih. "Ibu Amira tidak sakit. Tapi dia sedang hamil. Apa kamu sudah periksakan ke Dokter kandungan?" Tanya Nikil pada Amira. "Aku sudah bilang. Jangan panggil aku Ibu." Ucap Amira. "Panggil saja aku Mira!" Pintanya. "Iya. Rasanya kalau kamu panggil dia ibu. Aku jadi merasa di bedakan. Aku dan Alisa yang lebih tua. Malah kamu panggil dengan nama saja." Protes Farel. "Oh. Jadi kamu juga mau di panggil Pak Farel dan Ibu Lisa?" Ucap Nikil bercanda. Farel memukul sahabatnya itu dengan tas milik Amira yang berbeda di atas meja. Hingga tak sengaja menjatuhkan ponsel di dalamnya. Dan pria itu langsung memungut benda yang jatuh itu. Begitu juga dengan Nikil. Melihat ada benda jatuh dari dalam tas. Dia juga langsung mengambilnya. Dan Nikil lah yang lebih dulu mendapatkan ponsel itu. "Kamu gimana sih. Pecah kan jadinya ini ponsel." Ucap Nikil sambil menunjukkan ponsel milik Amira yang layarnya sudah pecah. Amira diam mematung. Wanita itu menatap ponselnya yang berada di tangan Dokter Nikil. Dia tidak berani marah. Tapi dia bersedih karena ponsel itu hadiah dari suaminya saat dia ulang tahun beberapa bulan lalu. "Mira. Aku minta maaf. Aku tidak sengaja. Aku cuma bercanda tadi sama Nikil!" Ucap Farel. "Biar aku yang ganti. Nanti pulang dari sini aku akan ke konter untuk ganti layar yang pecah ini." Ucap Nikil menengahi. Amira masih diam saja. wanita itu masih juga tidak mengatakan apapun. Dia juga tidak menjawab ucapan dari Dokter Nikil tadi. Karena Amira hanya diam saja. Nikil langsung mengantongi ponsel milik Amira. Kemudian pria itu pamit keluar dari ruangan itu. Sedangkan Farel merasa bersalah karena sudah menjatuhkan ponsel milik adik iparnya. Pria itu menelfon istrinya. memintanya untuk menjemput Amira di rumah sakit. Dan menyuruhnya untuk menemaninya di rumah. "Selamat sore suamiku. Dan juga adikku tersayang." Ucap Alisa sambil masuk ke ruang kerja Farel. "Cepat sekali kamu datangnya? Perasaan baru lima menit aku menelfon deh." Tanya Farel. "Iyalah. Tadi pas kamu telfon. Aku sedang berada di tempat parkiran." Jawab Alisa. Alisa mengajak Amira pulang ke rumah. Wanita itu masih tetap diam. hanya menurut saja saat kakaknya menarik tangannya. Membawanya keluar. Sampai di rumah. Amira langsung masuk ke kamarnya. Alias mengikuti adiknya itu hingga ke kamar. Dia bertanya apa yang terjadi di rumah sakit tadi. "Ada apa Mir? Apa yang sudah terjadi di sana? Sampai Kamu jadi pendiam begini." Tanya Alisa. "Ponselku rusak kak." Jawab Amira. "Ya ampun. Hanya ponsel rusak saja kamu jadi seperti ini?" Tanya Alisa lagi. "Tapi itu hadiah dari Mas Amar kak." Jelas Amira. Wanita itu tidak mau kalau di katakan hanya ponsel saja. Baginya benda itu sangat berharga. Lebih dari apapun. Karena itu pemberian dari suaminya. "Kamu jangan terlalu memikirkan itu. Kalau kamu seperti itu. Bagaimana kamu bisa bekerja nanti." Nasehat Alisa. "Iya kak. itu benar. Bahkan sekarang aku belum tahu. Apa aku bisa mendapatkan pekerjaan itu atau tidak." Ucap Amira. "Jadi Mas Farel belum memberi pekerjaan untukmu?" Tanya Alisa lagi. Amira menggeleng. Bukanya Farel yang akan memberikan pekerjaan. Tapi temannya. Dan orang itu adalah Dokter yang sudah memeriksanya tadi pagi. Alias ikut geleng-geleng. Wanita itu justru heran dengan kedua pria itu. Bukannya memberi pekerjaan malah membuat masalah. "Ya sudah. Kamu tenangin pikiran kamu dulu. Jangan berfikir yang berat. Ingat. Kamu butuh pekerjaan. Jadi harus bisa konsentrasi. Bayi dalam kandunganmu juga butuh nutrisi. Jangan lupa makan." Omel Alisa. Setelah memastikan keadaan Amira sudah lebih baik. Alisa pamit pulang. Dia tidak bisa menemani adiknya malam ini. Karena ada urusan pekerjaan yang harus di selesaikan di rumah. Amira mengantarkan Alisa hingga ke depan pintu. Dia berterimakasih pada kakaknya yang selalu ada saat dirinya sedang terpuruk. "Terimakasih ya kak. Kak Lisa memang yang terbaik untukku." Ucap Amira. "Iya. Nanti kalau ada apa-apa. Kamu segera telefon aku ya!" Ucap Alisa. Kemudian wanita itu pergi dengan mengendarai mobilnya. Amira memikirkan apa yang di katakan oleh Alisa. Benar. apa yang di katakan kakaknya tadi. Dirinya harus bisa konsentrasi. Jangan terlalu larut dalam kesedihan. Wanita itu mengistirahatkan dirinya. Dia tidur di ranjang kamarnya. Tempat biasanya memadu kasih dengan Amar. Suaminya. "Mas. Datanglah dalam mimpiku! Aku menunggumu mas." Amira berbicara sendiri sambil mengelus bantal tidurnya. Tak berapa lama. Amira langsung terlelap dalam tidur. Wanita itu seperti sudah kelelahan. Hingga saat bangun hari sudah mulai siang. "Ya Allah. Aku kesiangan." Ucap Amira saat melihat jam di dinding menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Wanita itu bergegas ke kamar mandi. Dan setelah selesai mandi. Dia keluar mencari makanan. Dia ingat pesan kakaknya kemarin. Bayi dalam kandungannya butuh nutrisi. Amira pergi ke minimarket. Untuk membeli kebutuhan dapurnya. Dan tanpa sengaja. Dia menabrak seorang pria di depannya. "Maaf. Saya tidak sengaja." Ucap Amira. "Bu Mira kan?" Ucap pria itu " Dokter Nikil?" Ucap Amira juga. "Kamu sedang belanja?" Tanya Nikil. "Iya. Untuk kebutuhan rumah." Jawab Amira. "Kamu sama siapa?" Tanya Nikil lagi. "Aku sendiri saja." Jawab Amira. "Oh. Ya sudah. Aku duluan ya!" Pamit Nikil. Kemudian pria itu pergi keluar dari minimarket itu.Ting tong. Bel pintu rumah berbunyi. Narendra dan Nikil sedang duduk di ruang tengah. Sedangkan Savitri dan Amira membantu Art nya memasak di dapur. "Bi. Tolong bukain pintu! Kayaknya ada tamu." Teriak Narendra sambil asik nonton TV. Begitupun juga Nikil. Dia tidak mau bangkit untuk membuka pintu. Karena tidak mau meninggalkan siaran berita tentang politik. Savitri yang mendengar teriakkan suaminya. Wanita itu melarang Mbok Asih. Art nya yang hendak keluar untuk membukakan pintu. Tapi dia malah menyuruh Amira. "Gak usah mbok! Lanjutin saja masaknya. Biar Amira saja yang membukakan pintu." Ucap Savitri pada Mbok Asih. "Iya nyonya." Jawab Mbok Asih. "Mira. Tolong kamu yang bukain pintu! Sekalian. Setelah itu kamu mandi ya! Biar ini semua mama sama Mbok Asih yang kelarin." Titah Savitri pada Amira. "Iya ma." Jawab Amira. Kemudian wanita itu keluar dari dapur dan menuju ke pintu depan. Saat pintu di buka. Seorang pria dan wanita berpenampilan mewah. Mereka berdua membawa
Narendra melihat Amira berada di belakang Nikil. Wanita itu terlihat lebih cantik dari saat pertama kali bertemu waktu itu. Saat sedang hamil dulu. "Kamu?" Tanya Narendra pada Amira. Pria itu lupa dengan nama wanita itu. "Dia Humaira." Jawab Nikil. "Humaira? Bukankah dia asistenmu? Namanya A, Siapa sih aku lupa." Ucap Savitri. "Dia Amira Humaira. Mahasiswi tercantik di kampus tempat Nikil belajar." Ucap Nikil sambil melirik Amira. Amira bingung dengan apa yang di maksud oleh Nikil. Wanita itu tidak merasa dirinya masih sebagai mahasiswi. Dia sudah bekerja dan sudah menikah. Menjadi seorang ibu rumah tangga. "Oh. Jadi ini orangnya. Yang sudah membuat anakku pindah haluan." Ucap Savitri. Membuat Amira makin bingung dengan yang keluarga ini bicarakan. "Maksud tante apa ya?" Amira bertanya. Wanita itu penasaran dengan apa yang di ucapkan oleh Savitri. "Sudahlah ma! Biarkan Amira istirahat dulu. Ayok Mir! Silakan duduk!" Nikil mempersilakan pada Amira untuk duduk. Tapi wani
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?" Tanya Nikil. Amira tersadar dari lamunannya. Wanita itu juga baru sadar kalau dirinya sudah menatap wajah pria di hadapannya tanpa berkedip. "Terimakasih. Kamu sudah peduli denganku." Jawab Amira. "Aku akan selalu peduli padamu. Karena aku mencintaimu." Ucap Nikil membuat Amira tersenyum. Wanita itu yakin bahwa Nikil serius mencintai dirinya. "Jangan berbuat seperti tadi lagi! Aku takut. Takut kehilanganmu untuk kedua kalinya." Bisik Nikil di telinga Amira. Kemudian pria itu mencium leher jenjang wanita itu. Membuatnya merasa geli dan terpancing hasrat. "Jangan menciumiku di situ!" Amira menyuruh Nikil untuk menghentikan ciumannya. Dia takut kalau sampai dirinya terbawa hasrat kemudian melakukan hal yang belum seharusnya. "Kenapa? Kamu tidak suka?" Tanya Nikil. Amira menggeleng bukan karena tidak suka. Justru karena dia sangat menikmatinya dan merasakan ciuman yang selama ini dia rindukan. "Kenapa?" Tanya Nikil lagi. "Aku takut ki
Sudah lebih dari sebulan. Nikil tidak pernah lagi pergi ke rumah sakit untuk bekerja. Pria itu tidak lagi bertugas sebagai Dokter di sana. Dan Amira baru menyadari hal itu. Saat sedang sarapan bersama. Amira bertanya pada Nikil. Tenang pekerjaan mereka berdua di rumah sakit. "Oh ya mas. Kapan kita ke rumah sakit lagi?" Tanyanya. Sekarang Amira sudah memanggil Nikil dengan sebutan mas. "Kamu sedang sakit? Apa yang kamu rasakan? Biar aku periksa." Nikil tidak menjawab pertanyaan Amira. Dia malah panik. Mengira wanita itu sedang sakit. "Tidak. Aku tidak sedang sakit. Tapi kamu kan seorang Dokter. Kamu bekerja di rumah sakit. Sepertinya sudah lama kita tidak bekerja." Amira menjelaskan maksud pertanyaannya. "Oh. Aku kira kamu sakit." Ucap Nikil. Kemudian pria itu melanjutkan menyuapkan makanan ke mulutnya. Amira merasa kesal karena pertanyaannya tidak mendapatkan jawaban. Wanita itu kembali bertanya hal yang sama. "Mas." Panggil Amira. "Iya sayang. Ada apa?" Jawab Nikil.
"Iwa. Apa nyonya belum bangun?" Tanya Nikil pada Iwa Kadek. "Sudah tuan. Tadi yang masak semua ini juga nyonya." Jawab Iwa Kadek. "Tuan di suruh makan duluan saja. Nanti nyonya akan makan sendiri katanya." Ucap Iwa Kadek lagi. "Sekarang nyonya ada di mana?" Tanya Nikil. "Ada di kamar. Tadi bilangnya mau istirahat sebentar." Jawab Iwa Kadek lagi. Nikil mengira kalau Amira sedang sakit. Pria itu tidak jadi makan. Tapi malah kembali ke kamarnya. Kemudian keluar lagi dengan membawa perlengkapan dokternya. Nikil mengetuk pintu kamar Amira dan memanggilnya. Berkali-kali dia memanggil. Tapi tidak ada suara sahutan dari dalam. Pria itu menjadi panik. Takut Amira kenapa-napa. "Mira. Mir. Buka pintunya Mir! Kamu baik-baik saja kan?" Teriak Nikil. Pria itu berusaha mendobrak pintunya. Tapi saat dia akan mendobrak. Amira membuka pintu itu dan akhirnya. Dia malah menabrak Amira. Lalu terdorong dan terjatuh. Nikil menindih tubuh Amira. Wanita itu meringis kesakitan. Karena tertimp
"Siapa yang datang Iwa?" Tanya Amira dan Nikil bersamaan. "Namanya Shella dan calon suaminya." Jawab Iwa Kadek. "Oh iya. Suruh mereka masuk!" Titah Amira. Nikil masuk ke kamarnya. Pria itu mau mandi dulu. Karena merasa badannya bau amis karena setelah mencuci udang tadi. Amira ke ruang tamu. Menyambut kedatangan temannya itu. Wanita itu terlihat sangat bahagia bertemu dengannya. "Shella. Apa kabar?" Ucap Amira sambil memeluknya. "Kabarku baik. Kamu sendiri gimana?" Tanya Sella. "Seperti yang kamu lihat." Jawab Amira. "Kamu nampak lebih baik di banding saat terakhir kita bertemu." Ucap Sella. "Oh ya?" Ucap Amira. "Iya. Beneran." Jawab Shella. "Kenalin. Ini Nandito. Calon suamiku." Shella memperkenalkan calon suaminya pada Amira. Setelah saling berkenalan. Mereka duduk di sofa. Kemudian Nikil datang. Pria itu sudah mandi dan mengganti baju santai yang lain. "Ada tamu rupanya." Ucap Nikil. "Iya mas. Ini temanku namanya Shella. Dan ini Nandito. Calon suaminya."