Langit tak lagi lari menjauhi Vania. Pikirannya saja yang cukup liar menjaga jarak antara ia dengan angkasa. Ia tak menyadari bahwa Aldy telah berbesar hati tak memutuskan hubungan mereka. Namun, tanggapan Vania lain setelah sikap Aldy berubah dan tiba-tiba sering tak memberinya kabar.
Hari demi hari telah Vania lalui. Pikirnya, Aldy tak mungkin menjadi miliknya lagi. Mungkin Aldy akan pergi dari kehidupannya. Dan ia kan menyendiri lagi seperti hari yang pernah ia lewati sebelumnya. Namun, ia pun bimbang dengan perbandingan hidup yang ia miliki dengan Aldy. Ia hanya seorang anak petani yang penghasilannya tak pernah cukup meski hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan Aldy, kekasihnya, seorang pangeran dari negara lain.
“Aldy...” Vania mengirim pesan singkat. Waktu berjalan beberapa langkah. Tak ada jawaban dari Aldy. Vania mulai menunggu.
Waktu tak berpihak pada gadis itu. Di menit ke delapan, Aldy tak jua datang membalas pesan singkatnya. Hingga di menit ke sebelas, Vania mulai resah. Tak biasanya Aldy tak menjawab pesannya.
“Selamat pagi, Aldy.” Pesan kedua Vania telah terkirim. Angin mendesah, tapi suaranya tak dapat ia dengar. Hanya gejolak dalam dada yang kini ia rasakan.
“Apakah Aldy akan memulai perpisahan ini, Tuhan?” wajah lugunya menenggadah. Mulai mengeluh pada Tuhan.
Batang pohon berdiri kekar di pekarangan rumah Vania. Rimbun daun menghiasi keteduhan hari-hari yang dilalui. Tetapi hati Vania lain. Dikhianatinya takdir Tuhan yang ia dambakan. Langkah salahnya membiarkan tubuhnya berbaring sendirian tanpa menghiraukan gairah lain.
“Aldy...” Vania kembali mengirimi Aldy pesan singkat.
Tubuhnya kini merebah. Membiarkan ponselnya terjatuh di sampingnya. Membiarkan punggungnya bersatu dengan kasur yang terbalut sprai cokelat.
Angin bersiul mengetuk jendela. Dibiarkannya jendela itu tertutup. Angin tetap memaksa masuk ke sela-sela jendela dan pintu.
“Aldy, aku harus bagaimana?” pesannya kembali Vania kirim.
“Aldy,” Vania tak mendapat cahaya apapun dari angkasa yang ia damba. Pujaannya telah pergi meninggalkannya. Matanya mulai menunjukkan kaca kristal dan menetes bulir demi bulir yang tak dapat ia tahan. Pipinya basah, penuh dengan kesedihan. Ia telah kehilagan kekasih impiannya. Tubuhnya lesu. Matanya terpejam. Tapi air matanya tak jua pergi menjauhi kedua matanya. Sembab menemani rasa sakitnya.
Ponselnya bergetar sempurna. Membertitahukannya nomor yang terus menghubunginya, Vania tak memperdulikannya. Matanya enggan menatap kehadiran orang lain lagi dalam hidupnya. Hatinya sedang hancur.
Tiada satupun yang bisa mengganggunya. Sekalipun halilintar menyambar, matanya akan tetap terpejam menikmati rasa sakitnya. Sungguh, hatinya hampa. Aldy hanya menjadi kenangan yang harus ia lupakan. Bagaimanapun caranya. Aldy harus ia lupakan. Lupakan. Lupakan.
Rambut Vania merekah. Seperti mawar layu terbakar. Terkadang jarinya mengusik semua rambut yang tak jua diam menikmati kesendirian pemiliknya.
Ponselnya kembali bergetar. Menandakan seseorang datang mengirimi pesan. Vania tak peduli lagi. Siapapun yang menghubunginya, mungkin tidak penting lagi baginya. Aldy sudah pergi. Aldy sudah pergi. Aldy sudah pergi. Hanya Aldy yang Vania pikirkan. Pikirannya tak pernah lepas dari Aldy. Matanya tak jua terbuka menikmati langit yang tak dapat dilihatnya. Atap kamar menandakan keterbatasannya.
Ponselnya tak berhenti bergetar. Dalam waktu yang cukup lama Vania berpikir kembali bahwa siapa yang berkali-kali yang menghubungi mungkin memiliki maksud penting padanya.
“Sayang, hari ini aku akan menemuimu. Maaf aku tak pernah balas pesan. Aku sibuk sekali dengan urusan sekolahku.”
Mata Vania terbelalak. Saat tangannya perlahan mengangkat telepon, jantungnya berdetak kencang, tak dapat ia hentikan.
“Halo...” Aldy menyapa dari tempat nan jauh disana.
“Aldy...”
Ada air mata yang tak dapat ia tahan. Suara merdu itu ia dengarkan kembali dengan rasa cintanya. Vania mulai lemas. Tak dapat menahan segala harunya.
“Kenapa, sayang?” suara Aldy semakin membuat rasa sedih dan bahagia menyatu di dada Vania dan di waktu yang sama.
“Aldy...” Air mata Vania kembali mengalir saat memanggil kekasihnya. Ia menangis tersedu, lalu ia bangun dari tidurnya dan segera mengambil ponsel. Tiada pertanda apapun di ponselnya.
“Ya Allah, Cuma mimpi rupanya.”
Hari demi hari masih Vania lalui dengan penuh tanya dalam benaknya. Kisahnya dengan kekasihnya mungkin telah menjadi kenangan terindah baginya. Langit tak memberi kabar apa-apa tentang seseorang yang sangat ditunggunya.
Atap kamar tak lagi menjadi tatapan pertamanya kala Vania terbangun. Ia terpejam memikirkan hal yang tak perlu lagi ia pikirkan. Pikirnya, Aldy mungkin tak kan kembali.
Petang lalu, pelangi melukiskan keadaan hati. Langit menunjukkan senyumannya pada mata yang mudah mencerna. Hujan tak menjadikan rintiknya abadi di hari yang lain, mentari menjadi saksi kesesatannya. Tetapi hari ini, hari yang sedang Vania nikmati. Hujan jatuh sempurna di pipinya. Mentari menjadi saksi kenelangsaannya.
“Ya Allah, jika Aldy bukan jodoh hamba, maka, kuatkanlah hati hamba, dan jangan buat hamba menyesal.” Do’anya dalam hati.
Vania mengusap air mata dengan segera. Tetapi air mata itu mengalir sempurna meski telah terhapus malaikat penolongnya. Tangannya ikut terbanjiri rasa sedih yang Vania ungkapkan pada ruangan kecilnya.
Waktu menjadi bagian dari rasa sakit itu. Terungkap pada hari yang tak dapat ditemui lagi. Vania rasa, dirinya telah salah mengamati langit yang senjanya dianggap seindah kerinduan yang dirasakan. Entah berapa lama ia akan menjalani kesedihan itu. Kesedihan yang sulit disembuhkan. Matahari tak menganggapnya lagi sebagai cinta. Dirinya menjadi bagian luka dari sinar yang membakar tubuhnya. Melupakan dingin yang hendak mengobati rasa sakit itu. Membiarkan dingin pergi dan wnggan untuk menemuinya lagi.
Sajadah cinta terbentang tanpa terlihat. Vania bersujud dalam bayangan itu. Memohon pada Tuhan akan kebahagiaan yang selama ini sulit ia dapatkan. Entah sampai kapan ia menikmati tetes air mata dan keringat dingin yang sulit disembuhkan. Dirinya kini lain dari yang lain. Semakin sempit saat ia berjalan. Semakin sempit saat ia bernafas. Tiada sedikitpun ketenangan yang ia rasakan. Tiada sedikitpun keindahan yang ia dapatkan lagi.
Aldy menjauh dari hidup Vania. Namun, Aldy tak pernah pergi dari benaknya. Sampai tak dapat lagi Vania temukan jalan terbaik untuk menyikapi semua masalahnya. Hanya ada kebuntuan yang dapat ia temukan di jalan yang sedang Vania lalui sendiri tanpa siapapun yang menemani.
“Tuhan, mengapa begini? Hamba tak pernah mengerti dengan semua yang terjadi.” Ungkapnya pada Tuhan. Dalam bayangan itu.
Bibirnya bergetar, hatinya bergemuruh, tubuhnya membungkuk, kepalanya semakin menunduk, tangannya memeluk kedua lutut. Ia menangis tersedu dalam kegelapan itu. Vania meneteskan air mata berharganya. Menangisi seseorang yang terus mengganggu pikirannya. Entah kemana ia harus bertanya. Entah kemana ia harus mengadu. Nafasnya seakan berhenti begitu saja. Seperti cintanya yang telah mati dalam pelukannya sendiri.
Tanganku menyentuh punggung besi pembatas jalan. Tatapanku berpaling pada bukit yang terlihat asri yang terhias sungai cantik yang mengalir di sana. Ku rasakan gemuruh itu lebih menusuk jantung yang dibuat berdegup sakit oleh seseorang yang kini mengikutiku dengan tangan menyentuh besi pembatas jalan. Tubuhnya yang bersandar, memandang tubuhku yang sedang menikmati sore bersama seseorang yang akan membuat hatiku lebih sakit lagi suatu saat nanti.“Kamu tidak cantik, tapi aku mencintaimu dengan hati yang tak dapat kau lihat. Aku tidak kaya, semua yang ku miliki adalah milik orang tuaku dan itu semua hanya titipan Tuhan.”Kemeja abu tua dengan kancing yang terbuka, menunjukkan kaos abu muda yang dikenakannya. Tangannya terlihat kedinginan, warna ungu yang terhias pada kulit merahnya terlihat mengganggunya. Dan dengan cepat ia memasukkan tangan ke saku celananya.Tampan sekali, tapi kamu bukan untukku.Hatiku berucap kata dengan rasa sa
“Aku pulang, ya?”Ia hanya mengangguk dengan tatapan tak lepas dari tubuhku yang beranjak pergi meninggalkannya sendiri. Ketika kaki melangkah lebih jauh dari mobil yang terparkir dan masih menyala itu, ku lihat mobil itu masih terdiam dengan sendirinya. Tak ada tanda-tanda segera pergi meninggalkanku yang kan berlalu meninggalkannya terlebih dahulu.Sore kan segera hilang, mobil yang ku harap segera pergi itu tak jua meninggalkanku. Aku mencoba kembali melangkahkan kaki untuk segera menghampirinya. Senyum yang terhias di bibirnya, menatapku yang kembali mendekat padanya. Kaca mobil yang terketuk membuat jari telinjuknya segera memencet tombol untuk membukakan kaca untukku.“Ada apa? Masih kangen sama aku?” Godanya dengan mata nakal yang berkedip bersama senyumannya.“Aku hanya penasaran. Kenapa kamu masih di sini?”Tanganku mencoba untuk menelusuri tombol hitam untuk ku buka kunci pintu mobil yang masih terdiam bersama pe
“HATI INITELAH IA BAWA PERGIBERSAMAKESEMUASenyum cemara dalam rumpun cerita yang melihatku begitu sendu. Ku lihat bibirnya begitu manis. Bagai perasan anggur yang tertuang dalam cawan emas.Aku terduduk di sebuah mobil yang baru saja membawaku bersuka ria melewati bukit-bukit senyuman. Membawa mata untuk menyaksikan keindahan yang Tuhan anugerahkan, hamparan awan yang menutupi kepingan kota. Lambai daun yang masih tersisa di pinggir jalan menemaniku yang semakin menyerah untuk bertahan. Rasa lelah yang tiba-tiba memeluk tak menghancurkan jalan yang tak jua membiarkan roda yang membawaku menyentuh punggungnya.“Aku ingin menikah. Tidak pacaran terus seperti ini.”Adrian tersentak mendengar apa yang aku katakan dengan raut yang dilihatnya begitu datar.“Ada apa? Apa yang kamu pikirkan?”“Aku ingin kamu lamar aku. Jangan banyak alasan untuk hal ini!”
Langkah kakiku ku lihat begitu bergetar ketika kesulitan datang menyelubunginya. Penantian yang sungguh membelenggu kakak perempuanku benar-benar tak dapat ia pupus dengan air mata yang dibiarkannya terjatuh begitu saja. Tanganku pun menikmati getar, bagai kekokohan sebuah tiang yang berdiri di atas tanah yang segera ambruk, menjatuhkan segala sesuatu yang ditopangnya.Menghela nafas sedalam samudera hindia untuk sekejap menghirup debu yang penuh dengan alunan kematian dan rasa sakit yang kan meresap pada tubuh yang kian menikmatinya. Di antara langit yang terjunjung senyum yang selalu terenyuh bersama kebahagiaan, dan di antara bumi yang terpijaki kedamaian ketika tertunduk, merasa tersakiti dengan kehancuran semesta. Terlihat celah membelah batuan kebahagiaan. Seperti sebuah jurang yang menyimpan berjuta kesengsaraan. Ada cinta yang terhirup, menghitamkan dada yang dibuat pulas ketika mimpi memeluk mata yang tertidur. Surya meng
Irama keyword terus berkerlik, mengetuk pintu tombol huruf demi huruf, hingga tersurat gagasan cantik penuh rima.Seketika tongkat penopang amarah runtuh. Purnama itu terluka. Diam-diam geram merenggut keteguhan jiwa yang siap merana. Angin sejuk terhirup sesaat, ketika sesuatu tengah memberatkan beban yang ku pikul dengan benak yang lemah, purnama yang selalu ku puisikan.Hati ini tak pernah tegar, seringkali sedih berpangku pada nyanyian sukma yang terus mengganggu akal, nalar, dan pikiran yang penuh dengan rimbunan daun-daun kebutaan.Terlarut dalam kerasnya tantangan hukum dunia yang penuh dengan kebiadaban, aku terkalahkan. Aku tak mengerti dengan semua tuntutan kehidupan yang sungguh membebani.Daun-daun bertanya pada tumpukan kerinduan yang terdengar hampa.Aku milik siapa?Ombak yang membuat semua kegaduhan di hamparan samudera, tak menjawab apapun untuk lambaian nyiur yang tak bersuara.Aku butuh seseorang yan
Ku saksikan senja di tengah kota. Terduduk lesu dalam kelajuan roda di sore yang buta. Suara kendaraan tak lagi ku perhatikan, hanya rambu-rambu jalan yang ku jadikan sebagai tempat ku bertukar cerita, cerita yang begitu menyakitkan.Masih dalam detik kehilangan senja yang sungguh melelahkan. Menyambut kesedihan yang mengundang. Jingga menyalami langit yang menceritakan masalah tentang lepasnya penantian. Kecemasan tenggelam dalam kelam, hingga tiada rasa percaya, bahwa roda akan berputar, dan cahaya terang akan dating bersama rembulan yang menemani malam di tengah rumpun keramaian.Gerutu yang berkecamuk membakar suara kota. Gemuruhnya lenyap ditelan kepedihan. Lelahku siap menjemput malam. Hanya Jangkrik yang berderik di atas pohon yang berdiri di atas kekokohan trotoar. Tiang-tiang tak menghentikan kekacauan. Kehancuran seolah membunuh dan hatiku tiada hentinya mengeluh.Dalam kegelisahan yang mengutuk. Aku hanya diam, menyesali apa yang sudah terjadi.