Share

Second

Langit tak lagi lari menjauhi Vania. Pikirannya saja yang cukup liar menjaga jarak antara ia dengan angkasa. Ia tak menyadari bahwa Aldy telah berbesar hati tak memutuskan hubungan mereka. Namun, tanggapan Vania lain setelah sikap Aldy berubah dan tiba-tiba sering tak memberinya kabar.

Hari demi hari telah Vania lalui. Pikirnya, Aldy tak mungkin menjadi miliknya lagi. Mungkin Aldy akan pergi dari kehidupannya. Dan ia kan menyendiri lagi seperti hari yang pernah ia lewati sebelumnya. Namun, ia pun bimbang dengan perbandingan hidup yang ia miliki dengan Aldy. Ia hanya seorang anak petani yang penghasilannya tak pernah cukup meski hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan Aldy, kekasihnya, seorang pangeran dari negara lain.

 “Aldy...” Vania mengirim pesan singkat. Waktu berjalan beberapa langkah. Tak ada jawaban dari Aldy. Vania mulai menunggu.

Waktu tak berpihak pada gadis itu. Di menit ke delapan, Aldy tak jua datang membalas pesan singkatnya. Hingga di menit ke sebelas, Vania mulai resah. Tak biasanya Aldy tak menjawab pesannya.

“Selamat pagi, Aldy.” Pesan kedua Vania telah terkirim. Angin mendesah, tapi suaranya tak dapat ia dengar. Hanya gejolak dalam dada yang kini ia rasakan.

“Apakah Aldy akan memulai perpisahan ini, Tuhan?” wajah lugunya menenggadah. Mulai mengeluh pada Tuhan.

Batang pohon berdiri kekar di pekarangan rumah Vania. Rimbun daun menghiasi keteduhan hari-hari yang dilalui. Tetapi hati Vania lain. Dikhianatinya takdir Tuhan yang ia dambakan. Langkah salahnya membiarkan tubuhnya berbaring sendirian tanpa menghiraukan gairah lain.

“Aldy...” Vania kembali mengirimi Aldy pesan singkat.

Tubuhnya kini merebah. Membiarkan ponselnya terjatuh di sampingnya. Membiarkan punggungnya bersatu dengan kasur yang terbalut sprai cokelat.

Angin bersiul mengetuk jendela. Dibiarkannya jendela itu tertutup. Angin tetap memaksa masuk ke sela-sela jendela dan pintu.

“Aldy, aku harus bagaimana?” pesannya kembali Vania kirim.

“Aldy,” Vania tak mendapat cahaya apapun dari angkasa yang ia damba. Pujaannya telah pergi meninggalkannya. Matanya mulai menunjukkan kaca kristal dan menetes bulir demi bulir yang tak dapat ia tahan. Pipinya basah, penuh dengan kesedihan. Ia telah kehilagan kekasih impiannya. Tubuhnya lesu. Matanya terpejam. Tapi air matanya tak jua pergi menjauhi kedua matanya. Sembab menemani rasa sakitnya.

Ponselnya bergetar sempurna. Membertitahukannya nomor yang terus menghubunginya, Vania tak memperdulikannya. Matanya enggan menatap kehadiran orang lain lagi dalam hidupnya. Hatinya sedang hancur.

Tiada satupun yang bisa mengganggunya. Sekalipun halilintar menyambar, matanya akan tetap terpejam menikmati rasa sakitnya. Sungguh, hatinya hampa. Aldy hanya menjadi kenangan yang harus ia lupakan. Bagaimanapun caranya. Aldy harus ia lupakan. Lupakan. Lupakan.

Rambut Vania merekah. Seperti mawar layu terbakar. Terkadang jarinya mengusik semua rambut yang tak jua diam menikmati kesendirian pemiliknya.

Ponselnya kembali bergetar. Menandakan seseorang datang mengirimi pesan. Vania tak peduli lagi. Siapapun yang menghubunginya, mungkin tidak penting lagi baginya. Aldy sudah pergi. Aldy sudah pergi. Aldy sudah pergi. Hanya Aldy yang Vania pikirkan. Pikirannya tak pernah lepas dari Aldy. Matanya tak jua terbuka menikmati langit yang tak dapat dilihatnya. Atap kamar menandakan keterbatasannya.

Ponselnya tak berhenti bergetar. Dalam waktu yang cukup lama Vania berpikir kembali bahwa siapa yang berkali-kali yang menghubungi mungkin memiliki maksud penting padanya.

“Sayang, hari ini aku akan menemuimu. Maaf aku tak pernah balas pesan. Aku sibuk sekali dengan urusan sekolahku.”

Mata Vania terbelalak. Saat tangannya perlahan mengangkat telepon, jantungnya berdetak kencang, tak dapat ia hentikan.

“Halo...” Aldy menyapa dari tempat nan jauh disana.

“Aldy...”

Ada air mata yang tak dapat ia tahan. Suara merdu itu ia dengarkan kembali dengan rasa cintanya. Vania mulai lemas. Tak dapat menahan segala harunya.

“Kenapa, sayang?” suara Aldy semakin membuat rasa  sedih dan bahagia menyatu di dada Vania dan di waktu yang sama.

“Aldy...” Air mata Vania kembali mengalir saat memanggil kekasihnya. Ia menangis tersedu, lalu ia bangun dari tidurnya dan segera mengambil ponsel. Tiada pertanda apapun di ponselnya.

“Ya Allah, Cuma mimpi rupanya.”

Hari demi hari masih Vania lalui dengan penuh tanya dalam benaknya. Kisahnya dengan kekasihnya mungkin telah menjadi kenangan terindah baginya. Langit tak memberi kabar apa-apa tentang seseorang yang sangat ditunggunya.

Atap kamar tak lagi menjadi tatapan pertamanya kala Vania terbangun. Ia terpejam memikirkan hal yang tak perlu lagi ia pikirkan. Pikirnya, Aldy mungkin tak kan kembali.

Petang lalu, pelangi melukiskan keadaan hati. Langit menunjukkan senyumannya pada mata yang mudah mencerna. Hujan tak menjadikan rintiknya abadi di hari yang lain, mentari menjadi saksi kesesatannya. Tetapi hari ini, hari yang sedang Vania nikmati. Hujan jatuh sempurna di pipinya. Mentari menjadi saksi kenelangsaannya.

“Ya Allah, jika Aldy bukan jodoh hamba, maka, kuatkanlah hati hamba, dan jangan buat hamba menyesal.” Do’anya dalam hati.

Vania mengusap air mata dengan segera. Tetapi air  mata itu mengalir sempurna meski telah terhapus malaikat penolongnya. Tangannya ikut terbanjiri rasa sedih yang Vania ungkapkan pada ruangan kecilnya.

Waktu menjadi bagian dari rasa sakit itu. Terungkap pada hari yang tak dapat ditemui lagi. Vania rasa, dirinya telah salah mengamati langit yang senjanya dianggap seindah kerinduan yang dirasakan. Entah berapa lama ia akan menjalani kesedihan itu. Kesedihan yang sulit disembuhkan. Matahari tak menganggapnya lagi sebagai cinta. Dirinya menjadi bagian luka dari sinar yang membakar tubuhnya. Melupakan dingin yang hendak mengobati rasa sakit itu. Membiarkan dingin pergi dan wnggan untuk menemuinya lagi.

Sajadah cinta terbentang tanpa terlihat. Vania bersujud dalam bayangan itu. Memohon pada Tuhan akan kebahagiaan yang selama ini sulit ia dapatkan. Entah sampai kapan ia menikmati tetes air mata dan keringat dingin yang sulit disembuhkan. Dirinya kini lain dari yang lain. Semakin sempit saat ia berjalan. Semakin sempit saat ia bernafas. Tiada sedikitpun ketenangan yang ia rasakan. Tiada sedikitpun keindahan yang ia dapatkan lagi.

Aldy menjauh dari hidup Vania. Namun, Aldy tak pernah pergi dari benaknya. Sampai tak dapat lagi Vania temukan jalan terbaik untuk menyikapi semua masalahnya. Hanya ada kebuntuan yang dapat ia temukan di jalan yang sedang Vania lalui sendiri tanpa siapapun yang menemani.

“Tuhan, mengapa begini? Hamba tak pernah mengerti dengan semua yang terjadi.” Ungkapnya pada Tuhan. Dalam bayangan itu.

Bibirnya bergetar, hatinya bergemuruh, tubuhnya membungkuk, kepalanya semakin menunduk, tangannya memeluk kedua lutut. Ia menangis tersedu dalam kegelapan itu. Vania meneteskan air mata berharganya. Menangisi seseorang yang terus mengganggu pikirannya. Entah kemana ia harus bertanya. Entah kemana ia harus mengadu. Nafasnya seakan berhenti begitu saja. Seperti cintanya yang telah mati dalam pelukannya sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status