Share

Mencarimu dalam Bimbang
Mencarimu dalam Bimbang
Author: Sarahyo

First

Sepasang mata cokelat mengamati hamparan langit. Cahaya emasnya tak berani mengkhianati bintang yang semalam menyala begitu terang. Setiap kedua matanya berkedip, sisa cahaya yang menyinari bumi masih terbayang dalam pejamannya. Pohon yang berjajar di sepanjang jalan tak terlihat saling bermusuhan. Mereka selalu bersama, menghias ruas jalan dan menjaga kesejukan kota. Kedua kaki kecil itu berhenti begitu saja. Ia tak lagi mengetuk jalanan. Sepatu lusuhnya terlihat berdebu. 

Ia tertunduk lesu usai sadar bahwa ia berada di atas permukaan jalan yang gersang. Wajahnya sangat kusam dan tak terurus, seperti orang yang sungguh kelelahan. Kini tubuhnya terkulai lemas. Namun, ia berusaha untuk melanjutkan kembali langkah beratnya dengan gontai. 

Perlahan, angin yang berhembus dengan tenang, mengobati rasa panas yang menjelajahi seluruh tubuhnya. Ia merasa sedikit lebih baik setelah merasakan betapa ia menikmati separuh kesejukannya. Dan kini, sepasang mata cokelat itu berkelana mencari tempat kosong untuk ia duduki hingga tatapannya terhenti pada pilihannya.

“Ayo Vania.. kamu harus kuat!” gumamnya dalam hati. 

Langkah Vania kini menuju ke arah selatan. menyeberangi bentang jalan yang menyimpan banyak kenangan. Sesampai di sana, Vania duduk di sebuah bangku yang terbuat dari bilahan bambu memanjang dan berdiri rapi di pinggir lapang. Punggungnya sedikit membungkuk, menggendong tas kesayangan. Kakinya saling menumpang dan berayun. Lalu, memindahkan tas yang ia gendong di punggungnya,  tepat ke pangkuannya. Ia meraih buku catatan dan pena yang tersimpan rapi dalam tas punggungnya.

Kedua mata cokelat itu menatap atap bumi yang mungkin akan segera menghadirkan keindahan senja di horizon yang tak dapat ia lihat seluruh bentangannya. Dan ia mulai menulis.

'Aku gadis kecil, perindu langit yang kini tak memihakku. Tatapan ini mengalirkan air mata yang kubendung selama sedih itu ada.'

Curahannya sederhana. Ia mengatakan tentang siapa dirinya dan apa yang sedang dirasakannya. Angin menyapanya dengan tenang. Tubuhnya tak lagi merasa kepanasan. Penanya ia simpan sejenak di sampingnya dan mengambilnya kembali. Dan ia menulis lagi di halaman barunya. 

'Dunia saja tidak cukup untukku. Aku tak menginginkan harta seperti yang lainnya. Aku hanya ingin memiliki tangan halus yang setia membelai rambutku. Aku hanya ingin memiliki bibir manis yang setia mencium pucuk kepalaku. Aku hanya ingin memiliki tubuh yang benar-benar hangat saat mendekapku. '

Pena dan buku catatannya ia simpan kembali di tempat semula. Kini matanya terpejam, meresapi kembali catatan sederhananya. Mengingat lagi hal yang sungguh diinginkannya. Angin yang berhembus dengan tenang masih menelusup ke dalam sela pakaiannya. Matanya terbuka, menatap sesuatu yang tak nampak di hadapannya. Ia mendapati dirinya sedang tertidur di pangkuan seorang kakak perempuan.

“Kak, aku sakit hati.” Vania membuka percakapannya. Ia bicara dengan begitu hampa.

“Kenapa bisa sakit hati?” tanya kakak perempuannya.

“Di sekolah, aku diejek teman-teman.” Vania mengadu.

“Diejek bagaimana?” kakak perempuannya menatap pelipis Vania dan tiada henti mengusap keningnya.

“Kata mereka, aku miskin.” Vania cemberut.

“Loh, bukannya keadaan kita memang seperti ini?” kakak perempuannya mencubit pipi Vania dan tersenyum. Ada rasa sakit yang jua kakak perempuannya rasakan.

“Keadaan kita memang seperti ini, Kak...” Vania menghembuskan nafasnya dengan pelan. “Tapi..” sambung Vania menunjukkan rasa sedihnya.

“Tapi apa?” potong kakak perempuannya.

“Kak..” Vania membalikkan tubuhnya. Kini ia berbaring sempurna. Matanya menatap mata kakak perempuannya yang tengah memperhatikannya. Ada air mata yang mengalir di pelipis Vania.

“Kenapa?” kakak perempuannya tersenyum dan mengangkat kedua alisnya, sambil mengusap air mata yang mulai membasahi pelipis Vania dan mengalir ke arah telinganya.

“Salah, ya, aku lahir dari seorang ayah dan ibu yang tidak punya apa-apa?” Vania menatap kekosongan.

“Van, kita hanya seonggok daging yang membawa kotoran kita sendiri. Harta bukan apa-apa untuk kita bandingkan dengan kehidupan orang lain. Kita hanya butuh pengakuan dari Tuhan. Apakah ibadah kita sudah pantas Tuhan terima? Ataukah masih banyak hal yang harus kita perbaiki lagi? Bukankah begitu?” kakak perempuannya menjelaskan. “Kita harus bersyukur dan bangga dilahirkan dari keluarga yang tidak punya apa-apa, tapi kita masih mampu sekolah, masih bisa makan, dan masih bisa mendapat pakaian dan rumah yang layak. Coba kamu lihat di luar sana... banyak sekali orang yang ingin hidupnya seperti kita. Lihat mereka yang tinggal di rumah beralas bumi dan beratap langit, lihat juga mereka yang memiliki segalanya tapi putus sekolah. Kamu masih jadi orang yang sangat beruntung.” Sambung kakak perempuannya sambil tiada henti menghapus air mata Vania.

Vania hanya diam. Ia berbalik kembali. Tubuhnya menyerong. Ia meresapi baik-baik mengenai apa yang telah kakak perempuannya katakan. 

Separuh semesta memberitahu Vania bahwa hayalannya harus segera ia tepis. Tatapannya kini lumpuh. Tak dapat menatap kembali sesuatu yang tak nampak di hadapannya. Ia tertunduk lesu. Masih terbayang keinginan hati kecil yang ia gambarkan dalam keabstrakan semesta. 

Hidupnya yang terlahir sebagai puteri pertama, selama ini ia banyak mengeluh pada buku-bukunya. Namun, dalam sadar ia memikirkan bahwa mencurahkan isi hati hanya kepada bukunya, tak mungkin mendapat timbal balik yang ia harapkan. Berbeda dengan mengeluh pada seorang perempuan pengganti ibu, ia akan mendapat perhatian yang ia butuhkan.

Rumahnya tak lagi menjadi harapan terindah untuk pulang dengan tenang. Selalu ada keributan di sana. Seperti tangisan adik-adiknya, omelan ibunya, dan tekanan lain dari orang-orang yang ada di sekitarnya. 

Semua orang memiliki cara tersendiri dalam menghadapi masalahnya. Ada yang berlari menemui kekasihnya, dan menangis dalam dekapan kekasihnya. Ada yang berlari mencari sahabat sejatinya dan mencurahkan semua isi hatinya. Ada yang berlari meluapkan segala masalahnya dengan berteriak di tempat yang lebih jauh dari biasanya. Ada yang menangis haru sendirian merasakan kepedihan yang tak ingin dirasakan. Ada pula yang diam, marah pada dunia karena kehidupan yang tidak adil itu telah meminangnya. Dan masih banyak hal yang dilakukan seseorang ketika ia merasa berada di tempat yang paling bawah. Begitu juga dengan Vania.

Kakinya yang masih berayun, mengamati debu yang menebar di sekelilingnya. Ada seseorang yang ia tunggu, lelaki asing yang berasal dari negara lain. Vania memperhatikan angin yang terbang perlahan di hadapannya. Namun, penantiannya masih dibubuhi oleh sebuah tanda tanya. 

Apakah lelaki itu benar-benar datang? Ataukah lelaki itu sedang membodohinya?

Senja mewarnai langit dengan pekat. Cahaya jingganya mengintip suasana kota di sore hari. Kini, taman angkasa menyerupai surga yang tak dapat tersentuh oleh seorang pendosa. Semua pasang mata kagum memandangnya.  Entah bagaimana siasat untuk mengambil bagian dari cinta yang ada di sana. Mungkin, semua manusia akan merasa lelah untuk meraihnya hingga menciptakan keringat yang mengaduh pada punggung tangan, dan kemudian memupusnya. 

Vania menenggadah, menatap dunia bidadari yang menghias taman mimpi. Taman langit akan segera berubah menjadi biru tua dan melegam. Senja akan segera tengelam meninggalkan hari yang penuh dengan sandiwara. Rembulan akan segera datang menghias malam dan mengirim ketenangan. 

Sebuah Honda Jazz merah melaju perlahan di hadapan Vania. Pengemudinya sangat tampan. Mata sipitnya membelah dada Vania yang jua memperhatikan kedatangan lelaki itu. Kedatangan lelaki itu membuat jantung Vania berdebar sempurna. Debu yang mengiringi keempat rodanya menari dengan riang di sana. Honda Jazz tersebut berhenti tak jauh dari kursi panjang itu. Rodanya berhenti berputar. Debu yang menari di antara keempat rodanya turun sangat perlahan. Pintu pengemudinya terbuka. Turun dari sana sepatu sport mengkilap, menyentuh rumput hijau yang terpapas rapi. Kini, tubuh atletisnya berdiri sempurna. ia menutup pintu pengemudi yang masih terbuka.

Langkah paling sempurna telah lelaki itu ketuk, menginjak rumput demi rumput yang terhampar di sana. Celana putih tulangnya dihiasi kemeja merah maroon. Senyumnya menawan hati. Ia menghampiri Vania. 

“Good evening...” lelaki itu menyapa Vania. 

Vania hanya tersenyum memandanginya. Lelaki tersebut kemudian duduk di samping Vania. Dalam sejenak ia menikmati angin sore yang berhembus dengan tenang. Sedang mata Vania tak berhenti menatap lelaki tersebut sampai ia duduk hangat di sampingnya. Bibirnya pun tak berhenti melengkung. Sebuah pertanda bahwa ia sedang berbahagia. Penantiannya tak sia-sia.

 “Good evening, Aldy...” Vania membalas sapaannya. Mereka bersitatap dan saling senyum. 

Aroma tubuh Aldy begitu wangi dan benar-benar membuat Vania merasa kurang percaya diri dengan dirinya sendiri. Bayangkan saja, wajah Vania terlihat lusuh seperti itu. Mungkin badannya pun bau sekali.

“Jam berapa dari rumah?” Vania menatap Aldy yang sedang merapikan rambutnya dan baru saja duduk berdampingan di bangku panjang itu.

“Ada apa kamu memintaku ke sini?” Aldy menancapkan pertanyaan sambil tak berhenti menyisir rambutnya dengan sepuluh jari.

“Aku belum dapat jawaban dari kamu.” Vania mengingatkan pertanyaannya.

“Kamu nanya apa?” Aldy berhenti merapikan rambutnya dan menoleh ke arah Vania. Tatapannya cukup memperlihatkan rasa heran.

“Kemana dulu tadi? Lama sekali.” Tanya Vania sambil menunjukkan gigi bawahnnya. Tangannya mencubit lengan Aldy.

“Bukannya kamu nanya ‘jam berapa dari rumah?’, ya?” Mata nakal Aldy mulai menggoda Vania. Vania hanya diam tak menghiraukan ucapan lelaki yang menyebalkan tersebut.

“Sebentar lagi langit kan gelap. Lebih baik kita pulang sekarang.” Ajak Vania.

“Enggak,” jawab Aldy.

“Kenapa?” tanya Vania yang hampir setengah berdiri.

“Aku masih ingin tetap di sini.” Aldy mulai menatap kekosongan.

“Kok?” Vania mulai heran. “Ini kan sudah sore?”

“Aku tak ada nilainya buat kamu, ya.” Kekosongan itu masih Aldy tatap. “Untuk apa aku jauh-jauh datang dari luar kota? Kalau hanya untuk bertemu dua menit saja? Ah, kamu tak menghargai aku.” sambungnya dengan muka cemberut dan bersilang tangan di dada.

 Vania menghembuskan nafas perlahan. “Ya sudah,” katanya sembari duduk kembali di samping Aldy. “Habis, kamu janjinya jam dua, datangnya jam segini.” Sambung Vania.

“Apa kita akan tetap seperti ini?” tanya Aldy.

“Maksudmu?” Vania mengernyitkan dahi.

“Van, apa kita akan tetap seperti ini?” tanya terjelasnya sambil memegang bahu Vania dan menatap perempuannya dengan lekat.

“Aku tidak mengerti apa maksudmu, dr. Aldy.” Vania melepas tangan yang memegang bahunya, kembali menghembuskan nafasnya dengan perlahan, memiringkan kepalanya dengan manja. Bibir Vania mengerut. Aldy hanya diam dan kembali memperhatikan debu jalanan yang terkadang membuat wajahnya kusam. 

Gunung yang menjulang di sana, terhalang bangunan-bangunan yang saling bermunculan.

“Aku dijodohkan dengan perempuan lain.” Ucap Aldy tanpa menatap perempuan yang ada di sampingnya.

“Terus, aku?” Vania merasa direndahkan. Matanya menatap tajam mata Aldy.

“Kamu tetap milikku, kan?” 

Aldy mulai menunjukkan wajah merasa bersalahnya. Mereka saling menatap dengan berat. Ada air mata yang tak terlihat di antara keduanya. Kalimat yang Aldy ucapkan benar-benar membuat Vania harus kehilangan rasa bangganya memiliki seorang pria khas Asia. Dada Vania seakan sesak, tapi masih dapat ia tahan. Begitupun dengan Aldy, dadanya bergemuruh sempurna.

Hening kembali menemani keduanya. Suara kendaraan tak lagi terdengar. Senja yang segera hilang tak mereka pedulikan. Debu yang menari riang telah mereka abaikan. Keduanya terlarut dalam kebingungan yang tiba-tiba ada.

“Van,” Aldy menggenggam tangan Vania dengan erat dan tak henti menatapnya dengan lekat. Vania hanya menatap Aldy dengan datar.

“Vania...” Aldy memanggil kembali gadisnya.

“Iya, Al.” Jawab Vania dengan lesu. Tangannya melepas genggaman.

“Jangan dulu marah, ya... aku akan berusaha untuk menolaknya. Semoga keluarga menerima.” Aldy kembali menggenggam tangan Vania.

“Itu terserah kamu.” Vania berucap datar.

Vania berdiri melepas genggaman lelaki impiannya. Bayangannya yang selalu menghantui hidupnya akan hilang begitu saja. Aldy tak akan menjadi miliknya lagi. Cintanya kandas.

“Vania...” Aldy menghampiri kekasihnya yang berdiri membelakanginya. Vania tak menoleh.

 “Van,” panggilnya lagi sambil meraih tangan kanan Vania. Dingin. Tangan Vania begitu dingin.

“Apa?” jawab Vania tanpa menoleh.

“Maafkan aku, ya?” Aldy menjatuhkan tubuhnya. Kini lututnya beradu dengan rumput hijau itu.

Vania menoleh setelah merasa tangan yang menggenggamnya turun dengan tenang.

“Astaghfirullah, Aldy!” Vania kaget. 

Ia kemudian meminta Aldy berdiri kembali.

 “Kamu ini apa-apaan? Enggak baik kalau seperti itu. Aku tidak apa-apa. Semoga orang tuamu bisa terima aku apa adanya. Ayo bangun...” sambung Vania sambil meraih lengan Aldy.

“Van,” Aldy masih berlutut dengan wajah memelasnya. Vania mulai bingung.

“Ciieeee... sinetron.” Teriak seorang bocah yang sedang  bermain sepeda bersama temannya di sana.

Mereka menoleh. Aldy kini bangun dan berdiri dengan tegap. Vania mengusap wajahnya sendiri dan menahan senyum dengan menutup mulutnya menggunakan tangan kiri karena tangan kanannya tak Aldy lepaskan. Aldy pun tersenyum menyadari bahwa yang dilakukannya tadi terlalu dramatis. Mereka tertawa kecil dan tangan mereka saling berayun.

“Kita diledek anak kecil, ya.” Ucap Aldy sambil tersenyum menarik Vania dan mengajaknya duduk.

“Kita? Kamu aja kali.” Ucap Vania sombong.

Mereka saling berpegangan tangan dan menatap kerikil-kerikil kecil yang baru berdatangan. Mungkin teman-teman bocah yang meledek mereka. 

Senja belum jua tenggelam. Mereka masih dianugerahi waktu untuk menikmati kebersamaan itu.

“Aku punya sesuatu untukmu..” Aldy tergesa-gesa mengeluarkan buku kesayangannya, buku kecil berwarna hitam dari tas slempangnya. Kemudian memberikannya pada Vania.

“Apa ini?” Vania meraih buku yang Aldy berikan. Mereka duduk mengarah ke lapangan.

“Buka saja...” tatapan Aldy terlihat dingin dan datar. “Aku melihat cinta di lambai daun cemara, tapi entah dengan hatinya. Aku tak mengerti mengapa ia berkata tidak? Sedangkan iya-nya tak dapat ia sembunyikan.” Lanjut Aldy sambil mengayunkan kedua kakinya dan melirik Vania yang sedang memegang buku yang ia berikan. 

Setelah mendengar kata yang Aldy ucapkan, Vania hanya diam memandang hamparan hijau yang kerap menemaninya setiap senja akan tenggelam. Hening menemani keduanya. Mereka saling terdiam di antara langit sore dan suara kendaraan yang lalu lalang. 

“Ada yang salah?” Aldy memupus keheningan.

“Puisi apaan? Di sini semuanya kosong.” Ucap Vania sambil mengembalikan buku yang baru saja ia dapatkan.

“Maksudmu?” Aldy mengernyitkan dahi.

“Mana tulisan dari kata yang kamu ucapkan tadi?” Vania kembali mengambil buku kecil itu dari tangan Aldy. Ia membuka lembar demi lembar buku tersebut tepat di hadapan wajah Aldy. Aldy hanya tersenyum dan melakukan hal yang sama dengan Vania. Ia membuka lembar demi lembar buku tersebut tepat di hadapan wajah Vania.

 “Niiiiih, coba kamu perhatikan!” Vania menatap buku yang saling bertepuk itu. “Ada, enggak?” sambung Aldy sambil menatap wajah Vania.

“Kamu ini apaan sih? Aku enggak ngerti.” Vania mencubit pipi Aldy.

“Vania, ada yang salah dengan kata-kata yang tadi kuucapkan?” Aldy meletakkan bukunya di sampingnya.

“Aku makin enggak ngerti dengan semua yang kamu lakukan itu.” Vania mulai kesal.

“Hahahah, ya sudah... begini ya, aku memberimu buku kosong itu untuk kamu jadikan sebagai teman minggu ini. Minggu depan aku ke sini lagi.”

“Terus, puisinya?”

“Itu karangan dadakan.” Ucap Aldy sambil menjulurkan lidahnya.

“Ish... kamu...” Vania mencubit pinggang Aldy. Mereka tertawa bersama.

“Aku lapar. Ingin nasi bakar.” Aldy mengusap-usap perutnya.

“Agak jauh sih tempatnya. Aku malas ke sana.” ucap Vania dengan khas nada malasnya.

“Kamu mau biarkan aku kelaperan?” Aldy mendorong Vania dengan sikutnya.

“Ishh, kamu, kalau aku jatuh, gimana?” Vania melotot.

“Biarin aja.” Ucap Aldy dengan menunjukkan gelagat sombongnya.

“Emang di jalan enggak makan dulu, apa?” Vania menyilangkan tangan di dadanya.

 

“Sengaja enggak makan, biar bisa makan bareng bidadari.” Ucap Aldy bersama tatapan nakalnya.

Topik perjodohan itu hilang ditelan peraduan langit yang memberi mereka waktu untuk menikmati kebersamaan itu.

“Sebentar aja, ya. Sebentar lagi maghrib. Aku harus pulang.” 

“Yuk?” ucap Aldy dengan berdiri gagah mengajak perempuannya untuk bersantap sore dengannya. 

Vania bukan tipe orang yang peduli pada dirinya sendiri. Ia selalu membiarkan perutnya kosong. Tak jarang ia menikmati penyakit lambungnya. Tidak lapar menjadi alasan terringannya untuk tidak makan. Aldy menyiasatinya dengan sering mengajak perempuannya menikmati kuliner lokal. 

“Yuk,” Vania mengikuti mau Aldy.

Mereka cukup bahagia menikmati santapan sore di ujung senja. Maghrib telah datang. Mereka saling berpamitan dan menyisakan senyum dalam dada keduanya.

Vania berbaring sejenak di kamar kecilnya. Tubuhnya sangat lelah. Lalu ia bangun dengan cemas.

“Bukunya!” serunya dalam hati. 

Bahunya kini turun. Lebih rendah dari sebelumnya. Rupanya ia meninggalkan buku yang Aldy beri di bangku kosong itu. Lalu ia duduk di balik meja belajarnya, meraih pena dan buku catatannya, dan ia mulai menulis lagi.

Dear.. diary

'Hari ini aku disibukkkan dengan sesuatu yang tak bisa aku selesaikan. Langit tak mengajakku untuk menyaksikannya menenggelamkan senja. Ungu yang legam menghias semesta begitu saja. Dimana harga diriku? Apakah aku tak nampak baik di hadapan mereka? Ataukah aku terlalu kecil untuk berada dalam istana yang ku impikan itu? Aku pikir, hidup ini sederhana. Sesederhana keadaanku. Rupanya bumi sudah berpaling ke sisi yang lain. Aku hampa.'

Wajahnya mulai sendu. Tulisannya berahir di baris ke delapan. Ia menutup kembali bukunya dan diam dalam heningnya malam. Masih terbayang dalam lamunannya, Aldy memberitahu dirinya tentang perjodohan Aldy dengan perempuan lain pilihan ibu tirinya.

Kakinya melangkah, menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Handuk yang menggantung di punggungnya mengiringi langkahnya. Selesai tubuhnya benar-benar bersih, ia berbaring sempurna.

Ia kembali duduk di meja belajarnya. Dan mendapati dirinya tengah mengadu pada kakak perempuannya mengenai kejadian tadi. Rambutnya diusap mesra. Ah, sudahlah, itu hanya bayangan semata. Setiap hari Vania mendapati dirinya sedang bersama kakak perempuannya yang entah siapa dia dan darimana dia berasal.

Hatinya sedang dilanda kesedihan. Kekasih hatinya kan meminang orang lain. Pikirannya kini telah buntu. Dengan siapa ia akan menikah, kepada siapa ia akan mencintai. Dirinya benar-benar bingung. Aldy sudah menjadi bagian dari hidupnya. Jika Aldy hilang, ia akan sangat terpukul. 

Vania membuka lembar kosong selanjutnya dan menulis kembali.

'Tuhan, aku tidak tahu ada apa ini? Hatiku benar-benar sedih. Apakah aku akan kehilangan surgaku hingga aku menetap di neraka? Ataukah bagaimana? Hatiku sedang patah, Tuhan.'

Vania mengerti. Hidupnya tak akan berhenti di bangku SMA. Ia harus melanjutkan sekolahnya ke Perguruan Tinggi. Bagaimanapun caranya, ia harus tetap sekolah. Cintanya yang mulai kandas, tak dirasa akan menyakitinya sepanjang waktu. Ia membebaskan hatinya untuk tetap tegar menjalani hidup tanpa pangeran impiannya, walaupun ia tahu bahwa perjodohan Aldy dengan perempuan lain belum sepenuhnya terjadi. Kesendirian akan menemaninya sampai ia menemukan sesosok yang dirindukannya. Ia tak ingin mengenal orang lain selain seseorang yang selalu ia bayangkan. Walaupun ia tak mengenal siapa yang sedang ia bayangkan itu. Wajahnya selalu berubah, terkadang sangat cantik, cantik, sedikit cantik, dan cukup cantik. 

 

Kini tangan lentiknya kembali memegang pena dan menarikannya di atas kertas hampa. Ia menulis lagi. 

'Tuhan, aku tahu Aldy akan menerima pilihan kedua orang tuanya. Namun, apakah aku salah jika aku benar-benar mencintainya? Usiaku belum genap tujuh belas, tapi aku sudah memikirkan mengenai masa depan itu.' 

Penanya berhenti saling bergores dengan halaman hampanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status