Share

Third

Vania belum terbiasa dengan kesempatan terbukanya. Hatinya masih diselimuti rasa sedih tentang kekasihnya yang jauh dari pandangannya, jauh pula dari genggamannnya. Betapa hatinya tersayat, setiap kali mengingat hal yang selalu ia lakukan bersama Aldy. Tiada yang bisa ia lupakan semua kenangan tentang Aldy.

Sudut sekolah menjadi saksi kesedihan Vania. Setelah kehilangan sesosok Aldy, ia pun akan jauh dari teman-teman yang baru dirasa dekat dengan dirinya. Ia akan jauh dari sosok Reno yang selalu menemani hariannya. Ia akan jauh dari teman satu geng yang dirasa sudah membangkitkan gairah  hidupnya dengan sempurna.

Vania pindah sekolah ke tempat lain yang tak bisa dijamah teman-temannya, termasuk Reno. Begitupun Aldy, tak mungkin menemukan keberadaannya sampai Vania kembali ke tempat yang berat ia tinggalkan. Ayah dan ibunya harus pindah ke pulau lain untuk mencari sesuap nasi dan untuk menyambung kehidupan mereka.

Satu minggu sebelum pindah..

“Ren,” Vania duduk di bawah pohon mangga yang merunduk teduh. Tangannya gesit mengirimi Reno pesan singkat.

“Kamu dimana? Aku nyari kamu sejak jam istirahat.” Balas Reno.

“Aku depan Ruang Multimedia.” Balas Vania.

Angin menerpa tubuh Vania. Matanya kembali menatap kakak kelasnya yang sedang bermain olah raga di lapangan. Ia memperhatikan satu persatu lelaki yang ada di sana. Tiada satupun yang melebihi ketampanan seorang lelaki yang masih menghantuinya.

“Lagi apa, Van? Enggak masuk? Bagian jam mata pelajaran siapa?” Pak Darmawan, Guru PLH kelas sepuluh bertanya pada Vania yang duduk termagu.

“Saya baru selesai menjalankan tugas UKS, Pak. Doni sakit tadi. Di kelas, tugas saya sudah selesai. Saya sudah dipersilahkan keluar.” Jawab Vania.

“Oh, baguslah. Semoga si Doni membaik.” Katanya sambil berlalu meningggalkan Vania.

“Amin, Pak.” Jawab Vania seraya senyum dan kembali melihat ponsel yang digenggamnya.

Lima meter dari tempat yang Vania duduki, angin menghias tubuh kuat seorang lelaki berkulit putih, hidung mancung, bibir merah muda, dan khas parfumnya yang berbau strawberry. Mata hijaunya menatap punggung Vania yang belum beranjak dari duduknya.

“Van,” lelaki itu menghampiri.

“Ren, gimana Doni?” Vania menoleh ke arah Reno.

“Doni sudah pulang. Gimana tugas kamu?” Reno duduk bersila.

“Syukurlah. Tugas aku udah selesai.” Vania menghembuskan nafasnya dengan berat.

“Ada apa?” Reno mulai pindah duduk. Kini Reno menghadap ke arah Vania. Mata hijaunya kini menatap mata cokelat gadis yang tepat di hadapannya.

“Aku mau pindah.”

“Maksudmu?”

“Aku mau pindah sekolah, Ren.”

Mata cokelat Vania mulai nanar. Hingga tak dapat lagi menyimpan rahasia dalam pelupuk kerinduannya. Semuanya terasa sungguh menyesakkan. Meski Vania baru mengenal seorang Reno, tapi baginya,  Reno adalah seseorang yang selalu mengerti dengan keadaannya, Reno juga orang yang pertama menerima Vania apa adanya. Dan kini Vania akna benar-benar jauh dari seorang Reno, teman sejatinya.

“Terus kenapa sedih kalau mau pindah? Harusnya kamu bersyukur, mendapat tempat yang lebih baik dari sekolah kita.” Reno mengangkat bahu dan tangannya. Kemudian menyilangkannya dalam dada.

Reno belum juga mengerti. Vania mulai membuka hati untuknya. Sahabat tak lagi menjadi sahabat. Hati Vania mulai lain rasanya setiap kali ia dekat dengan dirinya.

“Van?” Reno melambai-lambaikan tangannya pada tatapan kosong Vania.

“Aku pulang dulu.” Vania berlalu meninggalkan Reno yang juga tak mengerti dengan perasaannya.

“Van..” teriak Reno dengan tubuh mematungnya.

“Basket,  Ren?” teriak seorang kakak kelas yang sedang olahraga di lapangan.

“Enggak, Kak.” Tolak Reno dengan ramah.

Tak satu derajatpun Vania menoleh ke arah Reno. Punggungnya berlalu dengan langkah cepatnya.

Langkah Vania tak jua berhenti. Ia tak peduli siapapun di sekolah yang memperhatikan gelagatnya. Vania hanya peduli pada perasaannya. Ia sedang merasa tidak baik dengan keadaannya yang sekarang. Hatinya menolak untuk pindah sekolah karena tak ingin jauh dari sosok Reno yang menjadi tempat memadu rasa. Meski Reno tak pernah mengerti dengan apa yang dirasakannya, tapi baginya, Reno cukup baik untuk ia jadikan sebagai teman hidunya. Teman yang bisa menggantikan sesosok Aldy yang telah pergi darinya.

Angin masih menyelimuti tubuh Reno. Pohon mangga tak membuatnya pergi menjauhinya. Bahkan Reno merasa nyaman saat kembali duduk di tempat teduh itu.

Tangan Reno tak berhenti memutar HP-nya. Ia memikirkan gadis yang barusaja berlalu meninggalkannya. Punggungnya masih dalam bayangannya. Langkah Vania pun menjadi bulan-bulanan pertanyaannya.

“Siang..” Seorang gadis menghampiri Reno.

“Siang, Las.” Reno menatap kekosongan.

“Kenapa? Kok bengong?” Lastri menatap mata Reno. Reno tak menghiraukannya.

“Ren..?”

“Iya, Las?” Reno mulai membuka suasana hangatnya.

“Kamu kenapa? Kemana si Vania? Biasanya sama kamu?”

“Pulang duluan.”

“Tumben, enggak pulang bareng?”

“Enggak tahu, bosan kali dia.” Reno beranjak dari duduk. Langkahnya berlalu meninggalkan gadis yang barusaja menghampirinya.

Lastri hanya menatap punggungnya dengan datar. Mungkin ia keberatan dengan sikap Reno, tapi tak mampu mengungkapkannya karena ia belum menjadi siapa-siapa untuk Reno. Selama setengah semester, Lastri hanya memendam perasaannya pada Reno. Ia tahu bahwa untuk mendapatkan Reno bukan hal mudah dalam langkah cintanya. Banyak hal yang perlu ia perbaiki, termasuk cara  mengambil posisi Vania yang selalu ada di samping Reno. Hanya cemburu yang selalu Lastri dapatkan dari sikap Reno.

Waktu berlalu meninggalkan kekandasan Lastri. Vania terlarut dalam sedihnya hingga sore berdentang dalam waktu yang tak ia tunggu. Reno tak mencari jawaban dari pertanyaannya sendiri. Mentari menaungi rasa ketiganya.

Malam datang dengan dinginnya. Ketiganya tertidur dalam rasa kalut mereka. Tiada waktu yang membuat mereka tersenyum. Hanya rasa bingung yang bergelut di dada mereka.

Reno pun mulai merasakan hal lain saat tahu Vania ternyata telah memulai rasa itu. Ada rasa yang berbeda dari biasanya. Reno sungguh jatuh hati pada gadis yang selalu bersamannya setiap waktu di sekolah. Dan kini baru ia sadari perasaan itu.

“Kamu kenapa?” Reno melayangkan pesan singkatnya pada Vania.

Angin tak menggubris gadis yang sedang bersedih itu. Getar HP-nya dibiarkannya begitu saja. Tak ada yang ingin ia lakukan seperti yang biasa ia lakukan. Semua terasa hampa. Atap kamar selalu  menjadi bayangan kejamnya.

Matanya kini terpejam. Membiarkan waktu menyelimuti lelaki yang tengah menunggu balasannya. Hingga di getar kedua, Vania tak jua menolehnya. Dan di getar ketiga, Vania mulai merasa jengkel dengan getar HP-nya.

“Aku salah?”

“Aku minta maaf, Van.”

Vania hanya membaca pesan yang datang dari Reno. Tak sedikitpun hatinya luluh. Sedang dari langit yang berbeda, Lastri menunggu lama jawaban dari Reno. Berkali-kali Lastri mengirimi Reno pesan singkat, tak satupun Reno membalasnya.

Mata Vania kembali terpejam.  Membiarkan pesan Reno seakan sia-sia. Entah apa alasan Vania menikmati kesendiriannya tanpa Reno. Berbeda dengan Vania, Reno tak dapat memejamkan pelupuk kerinduannya hanya karena menunggu ketidakpastian dari Vania.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status