Share

Pertemuan Kedua

Farzan memandang pantulan diri di depan cermin ketika memastikan pakaian dan juga tatanan rambut sudah rapi. Hari ini ia akan pergi ke Beer Garden bertemu dengan Bramasta sesuai dengan janji sebelumnya.

Semenjak pertemuan keluarga tiga hari yang lalu, Arini dan Brandon masih berusaha membujuk Farzan untuk bekerja di The Harun Group. Pemuda itu masih bersikukuh tidak akan bekerja di sana, karena tidak memiliki minat di bidang properti dan garment.

Beruntung tadi pagi ia mendapatkan panggilan kerja di salah satu perusahaan otomotif berskala internasional di Cikarang. Farzan bisa bernapas lega, karena bisa lolos dari bujukan kedua kakaknya tersebut.

“Cie, mau ke mana malam Minggu, Dek?” tanya Arini melihat Farzan turun dari tangga.

“Ketemu sama Bram di Beer Garden, Kak,” jawab Farzan sembari mengenakan jaket kulit.

“Bram atau gebetan?” Arini mulai menggoda adik iparnya.

Farzan menyipitkan mata sambil berdecak. “Nih telepon Bram kalau Kakak nggak percaya,” tanggapnya menyodorkan ponsel.

Arini tertawa puas karena berhasil membuat Farzan kesal.

“Kenapa sih ribut-ribut?” Tiba-tiba Brandon muncul dari kamar.

“Tahu nih Kak Arini,” sungut Farzan memasang restleting jaket.

Setelahnya ia berjalan mendekati Brandon dan Arini, lantas mengecup punggung tangan mereka satu per satu.

“Pergi dulu ya, Mas, Kak,” pamitnya tak ingin menjadi bulan-bulanan ledekan sang kakak ipar.

“Jangan minum alkohol, Zan,” teriak Arini ketika Farzan menjauh.

“Aman, Kak. Tenang aja. Aku cuma minum jus atau soft drink kok,” balasnya mengacungkan ibu jari.

Dia ingin lekas pergi dari hadapan suami istri itu sebelum mereka bermesraan lagi. Sungguh hatinya merasa tidak nyaman dengan itu semua. Rayuan yang dilontarkan juga terdengar menyakitkan di telinga.

Farzan langsung memacu motor Honda CBR keluaran terbaru yang baru saja dibeli kemarin. Dia membutuhkan kendaraan sendiri, karena bisa digunakan untuk bekerja juga. Motor itu dibeli dari uang hasil tabungannya.

Tidak jauh dari rumah keluarga Harun, ia melihat seorang wanita paruh baya berambut putih mengendap-endap berdiri di dekat tiang listrik. Meski perempuan itu menutupi wajah dengan kacamata dan selendang, Farzan bisa tahu siapa sosok tersebut.

Farzan mendengkus kesal sebelum mendekati perempuan itu. Dia berhenti tepat di depannya, kemudian turun dari motor. Kaca helm dinaikkan setengah, sehingga Ayu bisa mengenali putranya.

“Farzan?” cetusnya terkejut.

Pemuda itu menarik Ayu menjauh ke balik pagar yang ada di sana. Dia tidak ingin keluarganya tahu wanita itu berkeliaran di dekat rumah.

“Ngapain Mommy di sini?” balas Farzan dingin.

“Mau ketemu sama kamu dong.”

“Kenapa Mommy nggak balik lagi ke Uluwatu?”

Ayu berusaha meraih tangan putranya, namun ditepis. “Kamu nggak mau Mommy sentuh lagi?”

“Sebaiknya Mommy pergi dari sini,” suruh Farzan menunjuk ke sisi berlawanan dengan rumah keluarga Harun.

“Kamu kenapa, Nak?” Sorot mata Ayu menajam. “Arini pasti udah cuci otak kamu biar benci sama Mommy, ‘kan? Dia juga yang suruh kamu untuk nggak ambil andil di perusahaan, ‘kan?”

Mata elang Farzan melebar mendengar tuduhan yang dilontarkan Ayu. “Mommy jangan asal tuduh. Kak Arini nggak pernah berpikiran jahat kayak gitu.”

Ayu tertawa singkat.

Rahang Farzan mengeras seiring mengetatnya pegangan di lengan Ayu. Wanita bertubuh ringkih itu meringis kesakitan.

“Sakit, Farzan!” sergahnya.

“Lebih sakit hatiku, Mom,” desis Farzan berusaha menahan amarah yang mulai meluap.

Dia melepaskan genggaman, kemudian mengacungkan jari telunjuk tepat di depan wajah Ayu. “Jangan pernah tuduh Kak Arini kayak tadi lagi!”

Farzan menurunkan lagi tangan ke bawah, lalu menggenggamnya erat. “Harusnya Mommy bersyukur udah diperhatikan sama Kak Arini selama ini. Siapa yang biayai Mommy setelah keluar dari penjara? Siapa juga yang kasih informasi kalau aku pulang ke Indonesia?” cecarnya dengan napas mulai memburu.

“Sekarang Mommy cepat pergi dari Jakarta. Jangan pernah ganggu keluargaku lagi! Kalau saja Mommy masih recokin Papa dan Mama, aku nggak akan tinggal diam. Aku nggak akan segan-segan lapor polisi atas tuduhan mengganggu ketenangan orang lain,” ancam Farzan sebelum pergi meninggalkan ibunya.

Pemuda itu pergi bersama dengan hati yang tercabik. Tidak ada yang tahu bagaimana luluh lantaknya hati itu sekarang, sehingga Farzan merasa malu karena telah lahir dari rahim wanita seperti Ayu. Bahkan hukuman penjara tidak membuatnya berubah menjadi baik.

***

Alunan musik terdengar memanjakan telinga di kawasan Beer Garden SCBD, Jakarta. Embusan angin malam turut memberi kesejukan di tengah hangatnya kota metropolitan tersebut. Kerlap-kerlip lampu gedung menambah keelokan panorama malam di daerah yang dikelilingi gedung tinggi.

Farzan memejamkan mata ketika menyesap minuman soda berwarna putih. Dia membiarkan kandungan soft drink tersebut menggigit lidah dan rongga dalam mulut, hingga akhirnya menghilang ditelan. Sepiring nasi goreng kambing telah tandas berpindah ke perut ratanya.

“Serius nggak mau kerja di perusahaan bokap lo, Zan?” tanya Bram sambil memutar gelas bir yang dipesan.

Pemuda bertubuh tinggi itu mengangguk tanpa ragu.

Bramasta berdecak pelan sambil geleng-geleng kepala. “Heran deh sama lo. Udah enak kerja di perusahaan keluarga, tinggal kelola doang. Nggak perlu capek-capek rintis dari awal, apalagi sampai jadi bawahan orang.”

Farzan tersenyum tipis mengalihkan pandangan melihat band yang mengisi malam minggu di Beer Garden.

“Gue lebih suka kerja berdasarkan passion, Bram.” Tilikan mata elangnya berpindah kepada Bramasta yang meneguk sedikit bir di gelas besar tersebut. “Bidang otomotif kesukaan gue, makanya ambil teknik mesin. Ngapain kerja di bidang properti dan garment yang nggak ada kaitannya dengan otomotif?!”

Dia memberikan alasan seragam kepada Bram, agar tidak menimbulkan kecurigaan.

“Ada, Zan. Lo aja nggak tahu,” kata Bramasta berpendapat.

“Nggak ada!”

“Ada! Garment ‘kan ada mesinnya, Zan. Lo bisa jadi teknisi gitu,” canda Bramasta terkikik.

“Sialan lo!” sungut Farzan menepuk bahu kurus Bram.

Bram melepas kacamata, lantas menyeka air mata yang keluar akibat tertawa. Dia kembali memasangnya lagi dan melihat kepada Farzan.

“Emang faktanya pabrik garment punya mesin, Zan. Nggak salah ‘kan?”

“Ya tapi bukan mesin mobil. Gue ‘kan senang sama otomotif,” balas Farzan menyipitkan mata.

“Hidup lo itu ya lurus terus, Zan. Nggak bisa diajak bercanda,” ledek Bramasta.

“Gue lagi serius, Bram.”

“Ya sorry,” ucap Bramasta mengatupkan kedua tangan di depan wajah.

Mereka hening beberapa saat. Keduanya kembali menikmati live music yang begitu enak didengar.

Farzan menyesap lagi soft drink hingga tersisa setengah. Pikirannya masih kalut ketika ingat pertemuannya dengan Ayu tadi sore.

Gimana caranya biar Mommy nggak ganggu lagi? Ini nggak bisa dibiarkan, kasihan Mama kalau dia sampai bertemu Papa lagi, bisik Farzan dalam hati.

Tarikan napas berat terdengar dari hidungnya. Pandangan netra hitam milik Farzan berpindah ke meja lain di restoran yang memiliki konsep outdoor tersebut. Dia terpaku melihat seorang gadis berambut hitam panjang dan tebal sedang duduk sendirian menikmati tequila.

“Lagi lihat siapa sih?” Rupanya Bramasta tahu ke mana arah pandangan Farzan.

“Eh?” Farzan terkesiap.

“Lagi lihatin siapa?” Bram melirik ke tempat yang tadi dilihat Farzan. Senyum usil mengembang di wajahnya. “Oh, lagi lihatin cewek toh.”

“Samperin gih sana. Kali aja bisa bikin lo move on dari pujaan hati yang nggak bakalan bisa lo dapatkan,” sambung pemuda tersebut menyenggol lengan Farzan.

Mata elang Farzan melebar mendengar ucapan Bram. Dia langsung menggeleng cepat tidak ingin sahabatnya salah paham.

“Bukan itu, Bram.” Farzan kembali mengerling kepada perempuan tadi. “Kayaknya gue pernah lihat tuh cewek, tapi di mana ya?”

Bramasta tersenyum jail. “Dalam mimpi lo kali, Zan. Udah sana, bisa jadi jodoh.”

Farzan kembali menggeleng cepat sambil mengibaskan tangan.

Ketika ingin mengalihkan pandangan ke tempat lain, perempuan tersebut melihat kepadanya. Manik hitam milik perempuan itu menyipit sebelum mengerjap pelan. Tangannya menyelusup masuk ke belakang tengkuk. Bibir terisi penuh yang menghiasi wajah tirus itu sedikit terbuka. Jari telunjuknya bergerak ke arah Farzan.

“Astaga gue baru ingat,” seru Farzan setelah memperhatikan perempuan yang duduk sekitar lima meter darinya.

“Ingat apanya?” Bram bingung sendiri.

“Dia cewek yang waktu itu nginap di flat gue. Lo ingat nggak?”

“Yang cantik itu? Siapa namanya? Na-na—”

“Nadzifa,” sela suara lembut dari samping kanan Farzan duduk, “ternyata beneran lo ya?”

Perempuan bernama Nadzifa itu mengangkat tangan singkat, sebelum berkata, “Nggak nyangka bisa ketemu lo lagi di Jakarta.”

Untuk kedua kalinya Farzan berjumpa dengan wanita asing yang pernah ditemui di Zürich.

Bersambung....

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status