Share

Tahu Diri

“Ngapain berdiri di tangga, Bang?” Tiba-tiba terdengar suara setengah matang dari belakang.

Farzan menoleh bingung ke sumber suara dan melihat Elfarehza, anak pertama Brandon dan Arini, berdiri tepat di belakang.

El yang heran dengan keanehan gelagat Farzan, segera mengalihkan pandangan ke ruang keluarga.

Oh shit my eyes!” ucapnya menirukan jargon yang diucapkan oleh Im Ju Young di drama Korea True Beauty, “My holy eyes. Astaghfirullah, ampuni dosa hamba.”

Pemuda itu mengusap pelan kedua belah mata.

Watch your mouth, Kid!” tegur Brandon di sela napas yang tidak teratur saat belaian panas bibirnya dengan Arini terlepas paksa.

El turun ke bawah dengan santai, seolah tanpa dosa. Dia duduk di antara Brandon dan Arini, lantas menunjuk ke arah Farzan.

“Gara-gara Mami-Papi nih. Kasihan tuh Bang Farzan sampe ragu mau turun ke bawah.” El berdecak pelan seraya geleng-geleng kepala. “Untung aku udah 15+ jadi udah boleh lihat adegan tadi, kalau nggak tanggung jawab loh sama dosaku.”

Brandon menepuk pelan kening El, kemudian menyuruhnya pindah ke samping Arini. Dia mengalihkan pandangan kepada Farzan yang masih bergeming di tengah tangga.

“Sini, Zan,” panggilnya menggamitkan tangan.

Kaki Farzan bergerak menuruni anak tangga meski terasa berat. Seulas senyum coba diberikan oleh paras dengan rahang tegas itu.

Pemuda tersebut duduk di sofa single, setelah meletakkan beberapa kantong yang berisikan oleh-oleh yang dibawa dari Zürich. Dia mengeluarkan sebuah kotak berwarna putih berukuran besar, lalu menyerahkannya kepada Arini.

“Ini buat Kakak,” katanya kemudian.

Brandon kepo melihat apa yang diberikan adiknya untuk Arini. “Apaan tuh isinya?”

“Kamu ini mau tau aja atau mau tau banget?” ledek Arini menjauhkan kotak tersebut dari Brandon.

“Ini untuk Mas.” Farzan memberikan kotak berukuran sedang kepada Brandon. Dia mengambil kotak satu lagi, lalu menyerahkannya kepada El. “Ini untuk Prince.”

Pria paruh baya itu menggoyangkan kotak tersebut dan menerka kira-kira apa isinya. “Ini sepatu, Zan?”

Farzan menggeleng. “Nanti buka aja di kamar. Jangan sekarang, Mas.”

Brandon kemudian manggut-manggut paham. “Kamu juga nanti aja bukanya, In.”

“Dih kamu kenapa sih, Sayang? Dari tadi kayaknya sensi banget,” tanggap Arini.

“Mama dan Papa mana?” sela Farzan tak ingin mendengar kalimat-kalimat mesra keluar dari bibir suami istri tersebut.

Sekali lagi, dulu ia senang melihat mereka bermesraan dan merayu satu sama lain. Tapi sekarang, terasa begitu sesak, bagai ada batu besar yang mengimpit dadanya.

“Ada di kamar. Baru aja sampai rumah. Paling lagi ganti baju,” sahut Brandon bermain dengan jari-jari lentik Arini.

Farzan hanya menghela napas berat melihat sang Kakak bisa leluasa menyentuh Arini. (Ya iyalah, orang mereka suami istri.)

Pandangannya beralih ke arah tangga saat melihat Alyssa turun dari lantai dua. Wajah gadis itu tampak semringah. Begitu tiba di anak tangga paling bawah, ia berlari kecil menghampiri Farzan. Al duduk di lengan kursi tempat pamannya berada.

“Makasih ya, Bang. Terbaik deh Abang satu ini,” ucap Al suka dengan pakaian yang dibelikan Farzan. Sebuah kecupan hinggap di pipi kanan pemuda itu.

“Sama-sama, Princess. Rajin-rajin belajar ya,” sahut Farzan mengusap puncak kepala Alyssa.

“Al belajarnya sekarang rajin banget, Bang. Rohis apa lagi, nggak pernah absen,” ledek El mengerling sinis kepada Al.

“Abang ini sewot aja deh lihat orang senang,” balas Al.

Farzan tersenyum penuh makna. Dia ingat Arini pernah cerita bahwa ada seorang pemuda yang nekat melamar Alyssa dan ingin menikahinya setelah berusia dua puluh tahun.

“Kamu beneran mau nikah muda, Dek?” Farzan menoleh ke samping kanan, melihat Al yang masih duduk di lengan kursi.

Gadis itu tersenyum kucing, malu-malu. Kepalanya tertunduk dalam, kemudian mengangguk tanpa ragu.

“Wah!” seru Farzan geleng-geleng kepala.

“Kalah kamu, Zan. Kapan mau bawa pacar ke sini?” goda Brandon tersenyum usil.

Farzan hanya tersenyum kecut menanggapi perkataan Bran. Tilikan netra elang berwarna hitam tersebut melihat sekilas ke arah Arini.

“Farzan mau nunggu apa itu namanya, nampan ya?” kata Arini dengan kening mengernyit.

“Mapan, Mi.” El membenarkan kesalahan pengujaran kata oleh ibunya.

“Oh iya, mapan.”

“Aku masih jauh untuk punya pacar, Mas. Umur masih dua puluh tiga. Waktunya untuk menikmati kebebasan dulu.” Farzan memberikan alasan yang bisa terima Brandon.

Brandon menarik napas panjang sebelum kembali berujar. “Paling nggak jangan sampai kesalip sama Al, Zan.”

Arini menepuk lengan suaminya pelan. “Cewek nggak apa-apa nikah muda, Sayang. Kalau cowok emang harus nampan dulu.”

“Mapan, Mi,” koreksi Al dan El bersamaan.

Wanita paruh baya itu kembali manggut-manggut. “Mapan maksudnya. Harus itu dulu, kalau nggak susah nanti.”

Farzan memantik jari membenarkan perkataan kakak iparnya. “Setuju, Kak. Apalagi aku baru lulus. Masa iya pacaran trus nikah?!”

Pemuda itu senang bukan main ketika didukung kakak iparnya. Padahal sebelumnya, Arini sempat mengungkapkan hal yang sama. Tapi, begitulah wanita paruh baya tersebut. Dia hanya meledek Farzan ketika hanya berdua saja dan membela ketika berada di antara anggota keluarga yang lain, seperti sekarang.

Belum sempat Brandon berkomentar lagi, Lisa dan Sandy keluar dari kamar. Suami istri yang sudah memasuki usia tujuh puluh lebih tersebut berjalan sambil bergandengan tangan. Jika ada yang melihat mereka sekarang, tidak akan ada yang menyangka dulunya Sandy pernah berkhianat sampai memadu istrinya.

Farzan langsung berdiri, lantas menghampiri Lisa dan Sandy. Dia meraih tangan mereka satu persatu dan memberi kecupan di punggung tangan.

Lisa membelai pinggir wajah Farzan tersenyum lebar. “Mama rindu sama kamu, Nak,” ucapnya mencium kening pemuda itu sebelum memeluknya.

“Aku juga, Ma. Kangen banget,” balas Farzan memberi kecupan di kedua belah pipi Lisa.

“Sehat di sana ‘kan, Zan?” Lisa memandang lekat anak tirinya itu.

Alhamdulillah sehat, Ma. Tuh lihat.” Farzan mendekatkan wajahnya, agar Lisa bisa melihat lebih jelas.

“Syukurlah kamu sehat, Zan. Sekarang sudah saatnya bantu Mas di perusahaan,” tutur Sandy kembali melanjutkan langkah menuju sofa.

Seluruh keluarga Harun sudah berkumpul di ruang keluarga yang luas itu. Mereka duduk berhadap-hadapan sekarang. Farzan duduk di sofa single. Brandon, Arini dan Elfarehza duduk di sofa sebelah kiri menghadap ke televisi. Sementara Sandy, Lisa dan Al duduk di sofa yang berukuran menengah, cukup ditempati oleh tiga orang.

“Karena udah ngumpul, sekarang saatnya kita diskusi keluarga.” Brandon membuka percakapan sambil menegakkan tubuh.

Mata sayu berwarna hitam itu melihat anggota keluarganya satu per satu. Brandon menarik napas dalam sebelum mengutarakan maksud mengumpulkan semua orang di sini.

“Karena kondisi Iin sekarang kurang baik, dokter menyarankan agar tinggal di tempat yang tenang.” Brandon meraih lagi jemari istrinya, lalu digenggam erat. “Rencananya, setelah Al dan El lulus kuliah, aku dan Iin mau tinggal di tempat yang jauh dari keramaian.”

Farzan tersentak mendengar perkataan Brandon. Apakah itu artinya ia tidak bisa lagi berjumpa dengan Arini?

“Jadi mulai sekarang. Papi minta Al dan El mulai belajar kelola perusahaan. Pelan-pelan aja, karena Papi tahu kalian masih sekolah.” Brandon melihat putra dan putrinya satu per satu.

“Tapi Al minatnya di fashion, Pi.” Alyssa melayangkan keberatan.

“Kamu bisa kelola bidang garment, Al,” balas Brandon memiringkan kepala.

Gadis itu tidak berani lagi membantah perkataan ayahnya.

“Dan kamu Farzan. Mas minta kamu belajar kelola bidang properti bareng El.” Brandon memundurkan tubuh ke belakang, sehingga bersandar di punggung sofa. “Properti lebih besar dibanding garment jadi nggak bisa diurus sendirian.”

“Maaf, Mas. Aku nggak bisa bantu kelola perusahaan,” tanggap Farzan menatap sendu Brandon.

“Kenapa?”

Karena aku nggak seharusnya berada di sini, Mas. Aku nggak punya hak apa-apa atas harta Papa, bisiknya di dalam hati.

Farzan menarik napas dalam-dalam berusaha mengalihkan pikiran, agar tidak larut dengan pemikiran tadi. Dia harus memberikan alasan yang bisa diterima oleh Brandon dan kedua orang tuanya.

“Karena bidangku bukan properti, tapi otomotif. Sejak kecil aku suka hal berbau otomotif dan mesin.”

Pemuda itu sangat tahu diri dengan posisinya sebagai anak yang tidak diharapkan. Bagaimana bisa ia menikmati apa yang bukan miliknya. Apalagi jika Farzan mengambil alih perusahaan, sudah tentu Ayu akan senang dan bisa menjadikan dirinya sebagai boneka untuk memenuhi sifat haus akan materi.

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status