***
Dira menatap iri saat Radit menghampiri mereka ke meja makan. Menghadiahi kecupan hangat penuh kasih sayang ke puncak kepala Dina dan Diana. Gadis itu menghela napas karena merasa menjadi obat nyamuk di keluarga bahagia ini. Pikirannya penuh dengan berbagai pertanyaan, kenapa bukan dia yang berada di posisi Kakaknya? Kapan dia menjadi penganti Kakaknya? Dan cara apa sekiranya biar bisa merebut perhatian bahkan hati kakak iparnya?
"Woe! Melamun aja!" Dina menoyor kepala Dira membuat lamunan gadis itu buyar. Walaupun hatinya dongkol, ia tetap tersenyum.
"Kakak, ih!" ucapnya sembari merapikan rambut pirang sebahunya. Dira selalu mengikuti model rambut, merk skincare yang kakaknya pakai, berharap kecantikannya akan menular.
"Habisnya melamun sambil liatin kakak. Kenapa? Apa kakak tambah cantik?" Dina tersenyum lebar.
Dira mendengkus. Kemudian mengangguk.
"Makasih." Dina merasa tersanjung. Anggukan adiknya itu pujian yang tidak ak
***Dina keluar kamar. Menghampiri Dira yang duduk sendirian di sofa."Mana Diana?" tanyanya.Bukannya menjawab, Dira malah memperhatikan wajah Kakaknya sampai ke leher dan bekas merah di area itu membuatnya mencebik."We, di mana Diana?" Dina menoyor kepala adiknya."Di kamarnya. Mas Radit mana?" tanyanya balik dengan wajah manyun."Di kamar. Lagi tidur. Kelelahan." Dina tersenyum manis. "Kakak mau makan dulu.""Panasin dulu, udah dingin sayur dan lauknya. Gue tutup di atas meja. Kelamaan, sih, di kamar.""Dir, kamu ngga tau enaknya di kamar bersama suami, sih. Apalagi hujan-hujan kayak gini. Kakak aja kalau bisa, pengen di kamar terus. Mainnya mah udah kelar dari tadi, tapi mau melepas pelukan mas Radit itu ngga tega. Ya, karena udah laper, jadi nekat. Ya udah, kakak mau nyuruh Putri beli bakso dulu. Pengen makan yang panas-panas." Dina
***Pagi ini Putri bangun lebih pagi. Ia sangat bersemangat mengerjakan pekerjaan rumah. Bukan karena semalam dapat perhatian dari Radit, tetapi semalam membaca chat dari nomer baru yang menyuruhnya besok datang ke Mall tempatnya menaruh surat lamaran, buat interview."Kamu udah siap?" tanya Putri pada Mita lewat telepon."Siap.""Aku juga. Langsung ke tempatmu aku, ya. Berangkat bareng.""Oke.""Assalamualaikum, gemuk.""Waalaikumsalam, langsing."Sebelum mengakhiri panggilan, 2 sahabat itu saling adu tawa. Perasaan bahagia membuat hati berbunga-bunga dan tertawa adalah buktinya.Putri memasukkan ponsel dalam tas selempangnya. Ia kembali menatap diri di cermin. Celana jeans hitam, sweater rajut warna pink gambar hello kitty bagian depannya, make up naturan, model rambut diikat satu, tinggi, memakai sneakers warna pink mem
***Walupun tidak bisa menemani Diana ke pesta perpisahan, Radit menepati janji untuk mengantar anaknya ke sekolah."Maaf ya, Sayang. Semua di luar kuasa papa," ucap Radit sembari mengusap puncak kepala anaknya yang duduk di sisinya. Sedangkan, Putri duduk di kursi belakang."Padahal mau ada pertunjukan. Itu kenapa mama dan Papa harus ikut, tapi ngga papa, kan ada Aunty Putri." Diana menoleh ke belakang. Ia tersenyum dan Putri membalasnya. Walaupun dalam hati gadis itu menangis. Ia gagal interview."Makasih, Put," ucap Radit tulus sembari melihat gadis itu dari kaca kecil di depannya, bagian atas."Sama-sama, Mas." Kanaya membalas tatapan dan senyuman."Oya, apa kakakmu sudah kasih amplop?""Sudah, Mas. Makasih. Harusnya Mas ngga usah repot-repot. Saya dibolehkan tinggal saja sudah cukup."Radit tersenyum. Hati Putri begitu baik dan lembut
***Saat mata Putri hampir terlelap, pintu kamarnya terbuka, memperlihatkan Dira yang masuk tanpa sopan. Langsung membuka selimut dan menarik adik tirinya itu supaya duduk."Ada ap--""Sapu kamar gue dulu. Gantiin sarung bantal, sprei sama gordennya." Dira berucap layaknya majikan menyuruh pembantu. Tegas dan pasti tidak menerima penolakan.Putri melirik jam tangannya. Pukul 22:25. Gadis itu mengangguk. Walaupun mengantuk dan tubuhnya lelah setelah seharian menemani Diana menjalani pesta perpisahan, ia tidak bisa menolak, karena memang'lah pembantu sesuai perjanjian. Jadi, ia akan mengabdi dan siap ditugaskan kapanpun. Sedihnya, gaji pertama sebagai Babu sudahbia terima tadi pagi."Buruan!""Iya, Kak." Putri langsung beranjak keluar kamar."Put, cuci piring dulu," ucap Dira yang melihat Putri akan menginjak anak tangga pertama."Dia beresi
***Putri menyeka keringat. Melihat dengan senyuman manis jemuran pakaian, sprai dan sarung bantal yang tergantung semua. Selesai juga berurusan dengan kain kotor. Ia pun masuk rumah, berniat ke kamar."Put, ambilin make up gue di atas meja. Gue lupa masukin tas," ucap Dira. Gadis itu berada di anak tangga terakhir paling bawah. Enggan naik lagi, membuatnya lebih baik menyuruh orang yang memang harus disuruh-suruh."Baik, Kak." Putri yang sudah sempat membuka pintu kamarnya, menutup lagi. Kemudian berjalan mendekati tangga, menaiki satu persatu untuk masuk ke kamar Kakaknya."Aunty," panggil Diana di depan pintu. Gadis itu baru bangun tidur. Masih acak-acakan."Ya?""Temani mandi, yuk."Putri tersenyum. "Bentar, ya. Aunty ambilin dulu make up aunty Dira.""Ya udah. Aku tunggu di kamar, ya."Putri mengangguk. Ia segera masu
***Seminggu berlalu dengan cepat. Putri mulai nyaman dengan suruhan yang tidak pernah berhenti dari Dina dan Dira. Dua kakaknya itu tidak segan-segan menyuruh walaupun ada Radit dan pria itu tidak banyak komentar karena malas ribut dengan istrinya.Dina semakin sibuk. Butiknya semakin berjaya. Radit juga tidak kalah sibuk. Ia sedang membuat cabang perusahaan di kota-kota lain. Dira, gadis itu sibuk mengerjai Putri. Menyuruhnya apapun. Merasa diri adalah nyonya besar di rumah ini. Sedangkan, Diana selalu bersama Putri. Karena belum sekolah, Dina dan Radit menyerahkan tanggung jawab pengurusan anaknya pada Putri, membuat gadis itu tidak bisa mengajukan surat lamaran kerja di manapun.Minggu pagi yang cerah, Putri yang sudah selesai dengan tugas beberes, langsung menuju dapur. Ia membuat mie instan dengan campuran telur dan segera makan saat masih panas di teras belakang. Ya, saat yang lain makan di meja makan, ia memilih ma
***Amalia memeluk baju Putri. Wanita paruh baya itu berada di kamar anak tirinya, duduk di tepi kasur. Ia rindu. Kebersamaan membuat mereka dekat. Bertukar kasih sayang membuat mereka berdua mempunyai ikatan batin. Hari ini jantungnya terus berdebar, perasaannya tidak enak dan ia merasa gelisah. Pikirannya hanya tertuju pada Putri, sedang apa gadis itu? Bagaimana keadaannya? Mungkinkah firasat ini untuknya?Amalia mengambil ponsel. Ia berniat menelepon Putri. Kangen bisa ia obati dengan mendengar suara, saling tanya kabar dan sedikit bertukar cerita. Namun, sampai panggilan ketiga, anaknya itu tidak merespon."Kamu lagi apa, Nak? Semoga ngga terjadi hal buruk sama kamu," ucap Amalia lirih. Wanita itu menghela napas. Kemudian berbaring di tempat tidur Putri, memeluk guling kesayangan anaknya.Putri, nama yang Amalia pilih untuk bayi perempuan baru lahir yang tergeletak di lantai depan pintu rumahnya. Bersa
***"Assalamualaikum," ucap Dina di depan pintu rumah mertuanya."Waalaikumsalam. Loh, Mbak Dina, tumben," ucap Riri, adik perempuan Radit."Iya. Mas Raditnya ada?""Jelas ada. Ini kan hari dia biasa jenguk ibu. Mbak datang buat?" tanya gadis berkaca mata itu dengan alis yang terangkat. Wajah datarnya membuat Dina gelagapan. Tujuannya mengejar suami dan anaknya, ingin meluruskan hubungan yang sedikit bengkok, tetapi alasan seperti itu entah mendapat reaksi apa dari adik iparnya yang menyebalkan ini."Kok malah melamun? Kalau Mbak datang buat panggil suami dan anak Mbak, nanti aku panggilan, mbak cukup tunggu aja di sini, tapi kalau niat ke sini mau tenggok ibu, silahkan masuk.""Em ... itu ... anu ...." Dina melirik jam tangannya. Kurang 10 menit lagi adalah waktunya mereka packing barang kemudian melakukan pengiriman dan ia harus ada sebagai pengawas supaya karyawan