Beranda / Romansa / Mencintai Kakak Ipar / Bagian 8 : Ide Buruk Lagi

Share

Bagian 8 : Ide Buruk Lagi

Penulis: Kaka Put
last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-21 14:10:03

***

"Kak, tadi si Putri ketawain aku ngga?" tanya Dira. Karena tidak ada Dosen, ia memilih ke Butik Kakaknya.

"Ngga tau. Males kakak liat mukanya," ucap Dina sembari sibuk dengan laptopnya. Hari ini pesanan pakaian batik couple keluarga via online sangat banyak. Ia sedang mengecek alamat pelanggannya satu persatu.

"Mana mas Radit ngebela. Aduh, Kak, siaga dong. Tuh, mas Radit udah mulai membela. Besok-besok apa lagi," ucap Dira.

Dina menghentikan aktifitasnya, beralih menatap Adiknya yang duduk di sofa, wajah gadis itu terlihat kesal. "Mas Radit ngga mungkin berpaling. Kurang apa kakak sampai dia melakukan itu?" tanyanya.

Dira mendengkus. Buatnya, Dina memang tidak ada kekurangan. Cantik, putih, pintar bisnis dan seksi. Ia lagi-lagi merasa iri.

"Lagian, mas Radit itu tipe suami setia dan penurut. Emang selama kamu tinggal di rumah, pernah dengar kabar huruk tentang dia dengan perempuan lain dan apa kamu pernah dengar dia membantah ucapan kakak? Ngga kan?" tanya Dina.

"Iya." Dira menjawab dengan malas. Semua yang Dina ucapkan benar. Andai dia yang berada di posisi kakaknya, pasti akan sangat bahagia karena mendapat suami tampan, kaya, penyayang dan penurut seperti Radit.

"Jadi, jangan kamu ragukan kesetiaan iparmu itu." Dina kembali menatap Laptopnya. Ia sedikit kesal dengan Dira yang meragukan suaminya. Bagaimana mungkin pria itu berpaling, sedangkan pelayanannya selalu memuaskan. Bukan hanya bagian kasur, tetapi mata suaminya pun terpuaskan dengan penampilannya yang selalu modis, tubuh yang terawat dan wajah yang glowing. Ia tidak pernah membuat malu saat dibawa ke mana-mana.

"Kak, Kakak ngga lupa niat anak pelakor itu tinggal di rumah Kakak? Putri sudah dekat dengan Diana dan sudah dapat pembelaan dari mas Radit, loh. Kalau keseringan, bisa-bisa kita yang di skak sama suami Kakak itu." Dira masih terus mengompori.

Ada benarnya ucapan Dira. Menurut Dina, langkah putri sangat bagus sebagai pelakor pemula. Pertama, masuk rumahnya, mengambil hati anaknya. Kemudian suaminya, setelahnya meminta perlindungan dua orang itu untuk aksinya membalas dendam padanya dan Dira. Sungguh, itu tidak boleh terjadi.

"Kamu ada ide?" tanya Dina sambil menatap Dira.

"Ya ngga ada." Dira menegakkan duduknya. "Tapi kita harus buat mas Radit ilfil sama dia, biar ngga ada lagi yang belain."

"Caranya?"

"Ngga tau. Gue laper. Belom bisa mikir."

Dina mendengkus.

"Kak, bagi uang. Mau beli makan." Dira menyengir setelah berucap.

"Kamu beli makan sekalian jemput Diana." Dina mengambil uang dalam tasnya.

"Males pakek banget. Belum bisa lupain kaki gue diinjak sama teman Diana. Gue mutusin itu hari pertama dan terakhir gue jemput anak elo. Elo tau, gue ngga suka anak-anak. Tingkah mereka itu bikin gue siaga melulu." Dira berdiri, berjalan ke arah meja kerja Dina untuk mengambil uang merah yang disodorkan.

"Kakak lagi sibuk masalahnya." Dina kembali fokus pada Laptopnya.

"Suruh asisten Kakak aja."

"Dia juga lagi sibuk packing. Barang hari ini harus dikirim semua. Ngga mungkin mau nyuruh mas Radit, dia pasti juga lagi sibuk."

"Nah, repot, kan? Kenapa juga harus cepat-cepat punya anak kalau masih mau berkarir."

Ucapan Dira menohok hati Dina. Hatinya terasa nyeri. Namun, kembali memfokuskan pikiran pada info pelanggan.

"Kenapa ngga suruh Putri aja," saran Dira yang membuat senyum Dina terbit.

"Benar. Kakak lupa kalau ada Putri di antara kita sekarang. Kenapa kita harus merepotkan diri mikir ini itu, kan ada Putri. Tugas kita sekarang itu membuatnya repot." Dina menatap manis pada Dira.

"Bener. Gue setuju. Kan dia sekarang pembantu kita, jadi harus direpotin." Dira tertawa.

"Bener-bener. Ya udah, kamu ada nomernya?" tanya Dina.

"Ngga ada, Kak." Dira melipat tangan di depan dada. Ia bersandar di meja kerja Kakaknya. "Ponsel gue mendadak pecah layarnya kalau masukin nomer dia."

"Ya udah, kakak telpon ibu aja, sekalian mau tanya kabarnya."

"Boleh. Aku keluar beli makanan, ya."

"Ya." Jawaban Dina membuat Dira berjalan pergi. Sedangkan sang Kakak sibuk mencari nomer ibunya dalam ponsel.

Ngobrol lima belas menit, Dina mendapatkan apa yang ia mau. Nomer Putri. Beralasan kalau lupa meminta dan sedang membutuhkan jasa gadis itu untuk menjemput Diana. Amalia pun memberinya dengan suka rela. Mengira anak tirinya sudah diterima di keluarga anak kandungnya.

"Ibu, hati-hati. Jaga kesehatan," ucap Dina diakhir komunikasi.

"Iya, Nak. Ibu sehat dan akan baik-baik saja kalau kamu akur dengan kedua adikmu."

Dina menghela napas. Ia sebenarnya sedikit bingung dan kesal dengan perhatian lebih yang Putri dapatkan dari Ibunya. Harusnya anak pelakor itu dibenci bukan disayangi. Sudah ibunya mengambil Bapak, malah masih saja berbaik hati dengan anak haram itu. Entah terbuat dari apa hati Ibunya.

"Dina mau kembali kerja. Lagi sibuk, Bu."

"Iya. Sesibuk apapun jangan lupa tugas sebagai istri dan seorang ibu."

"Dina tau."

Dina menutup komunikasi dengan Ibunya tanpa salam. Rasanya kesal selalu mendapat ceramahan. Mana mungkin melupakan status. Ini juga perjuangannya untuk anak dan suami, jadi kalau melakukan kesalahan, harus dimaklumi. Saat ia sukses, dua orang tercinta itu pasti juga bangga.

Dina menyimpan nomer Putri dengan tulisan 'Babu Forever' setelahnya ia menelepon.

"Hallo, Kak." Kalimat pembuka dari Putri dengan suara yang lembut.

"Lama banget angkat telepon. Lagi ngapain kamu? Enak-enakan makek fasilitas rumahku, kan? Dasar kurang ajar!" maki Dina.

"Ngga, Kak. Putri baru selesai balik jemuran."

Dina menghela napas. "Jemput Diana sekarang ke sekolahnya. Bawa pulang ke rumah."

"Iya, Kak. Tapi ... sekolahnya di mana?" tanya Putri.

"Cari sendiri."

Dina memutuskan komunikasi. Ia tersenyum puas saat mengerjai Putri. Hatinya sangat senang.

"Biar mampus!" ucapnya sembari menaruh ponsel di atas meja. Namun, dering kembali berbunyi dari benda pipih itu. Mawar, nama teman arisannya muncul.

"Hallo, War," ucap Dina setelah menerima telepon, menaruh benda pipih itu ke telinga kanannya.

"Mawar. Manggil itu yang lengkap, Dina, biar kedengarannya bagus."

Dina tertawa. "Iya, sorry. Kenapa, Say?"

"Ngga lupa besok kita arisan, kan? Teman-teman ngajak ketemuan di restoran mewah, mau?"

"Mau, lah. Eh ... tapi gimana kalau arisan besok di rumah aku aja." Seketika Dina dapat ide untuk kembali membuat repot Putri.

"Di rumah kamu?"

"Iya. Tenang, makanan dari restoran terkenal, banyak cemilan dan kita lebih leluasa ngobrol."

"Boleh. Oke. Aku bilang sama yang lainnya. Sampai jumpa besok."

"Oke."

Dina tersenyum semakin lebar. Entah mengapa ia tidak sabar menunggu hari esok. Putri akan benar-benar menjalani perannya sebagai pembantu. Melihat gadis itu menderita adalah kebahagiaan tersendiri baginya.

"Kak, kenapa?" tanya Dira yang baru datang. Di tangan gadis itu ada dua box nasi.

"Besok ada arisan di rumah kakak."

"Kenapa di rumah Kakak? Biasanya juga di luar. His, Kak, arisan di rumah itu merepotkan. Harus siapin makanan, cemilan, minuman dan bikin males saat beberes pas udah kelar acara. Aku males lo turun tangan bersih-bersih. Baru pakek kuteks mahal nih." Dira duduk di sofa, menaruh box nasi di meja. Kemudian memperlihatkan sepuluh kuku jarinya yang berwarna putih mengkilat.

Dina menghela napas. "Kenapa kita yang repot, kan ada Putri."

"Oh iya, Bener pakek banget. Setuju banget kalau ada acara arisan di rumah. Nanti kenalin aku sama teman-teman sosialita Kakak, ya."

"Oke. Putri juga bakalan kakak kenalin ke mereka."

"Putri juga?" tanya Dira tidak percaya.

"Ya. Liat aja besok."

Walaupun masih bingung, Dira pun tersenyum membalas seringaian mengerikan Kakaknya. Ia tidak sabar menunggu kejutan yang dibuat saudara kandungnya untuk si anak pelakor.

****

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mencintai Kakak Ipar   Insiden Makan Bersama

    ***"Ibu besok mau pulang ya Nak Radit," ucap Amalia saat mereka semua, Dina, Dira, Diana, dirinya dan Radit tengah makan malam bersama."Kok cepat, Bu? Baru juga seminggu," ucap Radit menatap mertuanya."Udah kelamaan ibu di sini. Diana udah sehat, ibu punya tanggung jawab di kampung. Jadinya harus pulang." Amalia menatap Diana yang sedang makan dalam diam."Kalau gitu besok Radit antar ke terminal," ucap Pria itu setelah minum air mineral. Dia sudah selesai makan."Iya. Makasih, Nak." Amalia tersenyum manis. Kembali melahap makanannya.Dina dan Dira, dua wanita itu tidak ada respon apapun tentang momen izin pamit ibunya. Terlalu fokus menikmati makanan lezat yang terhidang di atas meja."Diana, mau nambah, Sayang?" tawar Radit.Diana tidak menjawab. Namun, gadis kecil itu menggeleng.Radit menghela napas. Semenjak pulang

  • Mencintai Kakak Ipar   Membahas Putri

    ***"Pa, aunty Putri belum datang?" tanya Diana. Rasa rindu dua hari tidak bertemu sudah tidak bisa dibendung lagi."Belum, Sayang. Sebentar lagi. Mungkin masih di jalan. Sabar, ya." Radit mengusap puncak kepala anaknya. "Papa cari makan dulu, ya? Diana mau makan apa?" tanyanya."Terserah Papa aja.""Ya sudah. Papa keluar dulu. Kamu sama Mama."Diana mengangguk. Gadis yang duduk bersandar di bantal itu tersenyum manis pada Papanya.Radit membalas senyuman anaknya itu. Pria itupun berdiri dan berjalan ke pintu. Namun, menghentikan langkah dan menoleh ke arah sofa. Melihat istrinya yang sibuk dengan ponselnya."Di, titip anakku," ucap Radit yang sukses mengambil perhatian Dina wanita itu menatap ke arah suaminya yang sudah kembali melangkah keluar ruangan. Alis matanya bertaut. Titip anakku? Bukannya Diana juga anaknya? Aneh sekali suaminya.

  • Mencintai Kakak Ipar   Penganggu

    ***Putri mengajak Tama ke rumah sakit lagi. Kali ini dia ingin melihat sendiri alias mengintip, memastikan kalau keponakannya itu baik-baik saja."Kita ngga bawa buah tangan?" tanya Tama. Mereka baru saja sampai di parkiran."Ngga usah, Mas. Cuma pengen liat aja. Habis itu pulang." Setelah berbicara, Putri keluar dari mobil, begitu juga Tama."Elo sayang banget sama dia, ya."Putri mengangguk setuju. "Diana itu adalah teman pertamaku di kota ini, Mas.""Kalau gue yang keberapa?" tanya Tama iseng.Putri menoleh. Kemudian tersenyum lebar. "Mas yang ke tiga. Pertama, Diana. Kedua itu mas Radit."Tama mengangguk. "Oke. Ya udah, ayo kita masuk," ajaknya."Ayo, Mas." Putri mengangguk dan mereka berdua pun beriringan berjalan masuk ke bangunan rumah sakit."Kalau elo ketahuan?" tanya Tama.Putri

  • Mencintai Kakak Ipar   Dina Terancam

    ***Tama menjemput Putri setelah menelepon. Sesuai janji semalam, mereka menuju ke toko pakaian bayi. Masuk beriringan dan kini berhadapan dengan berbagai pakaian bayi yang terlihat imut tersusun rapi di rak."Kalau adik Mas Tama beneran perempuan, pakaiannya yang ini aja, imut." Putri menunjuk setelan baju tidur bergambar panda."Boleh." Tama mengambil dua lembar. "Yang mana lagi yang bagus?" tanyanya."Ini juga bagus." Putri kembali menunjuk. Namun, kali ini jaket bulu warna pink. "Ini, ini dan ini." Gadis itu sekarang bukan hanya menunjuk, tetapi sudah mengambil topi, sepatu, kaos kaki yang menurutnya imut dan itu mengundang senyum Tama."Aku ambil troli dulu," ucap Tama dan Putri mengangguk. Gadis yang ditinggal itu kembali mengambil satu jaket lagi dan beberapa topi dan kaos kaki."Put," panggil Tama. Pria itu sungguh cepat. Kini sudah berada di belakang Putri bersama

  • Mencintai Kakak Ipar   Kemungkinan

    ***Radit mengecup kening Dina yang cemberut, setelahnya pria itu keluar dari ruangan anaknya, pulang ke rumah untuk bersiap berangkat kerja. Ada meeting penting yang harus dihadiri dan berjanji setelah selesai, akan langsung menemui Diana lagi."Ma, mau pipis." Diana berkata pada Dina yang berada di depan pintu. Walaupun kesal, wanita itu tetap mengantar kepergian suaminya dan mengiyakan saat pria tercinta mengatakan untuk baik-baik menjaga anak mereka."Mama mau cari makan. Kamu pipis sendiri saja." Dina masuk kembali ke ruangan hanya untuk mengambil ponsel dan tas selempang, setelahnya berjalan keluar. Kekesalan tadi malam masih berefek sampai pagi ini dan melihat Diana, membuatnya teringat Bagas, ayah biologisnya yang seenaknya meninggalkannya saat sedang mengandung dan sekarang datang disaat dia sudah move on juga bahagia. Menurutnya, sifat anak dan bapak itu sama aja. Sama-sama menyebalkan.***

  • Mencintai Kakak Ipar   Bantuan Tama

    ***"Kak Dina belum masuk ruangan?" tanya Putri saat dia kembali dari toilet."Belum? Emang dia ngga ada di dalam?" tanya Mita yang heran dengan pertanyaan Putri."Tadi hampir ketemu di toilet. Untung cepat sembunyi," ucap Putri."Kenapa harus sembunyi?" tanya Tama. "Hadapi aja. Kalau perlu bantuan, gue bantu."Putri tersenyum. Entah dengan cara apa berterima kasih dengan pria tampan ini. "Bukan sekarang. Keadaan masih panas. Sekarang Mas Tama masuk dan serahin boneka serta makanan itu. Aku sama Mita tunggu di mobil.""Ya udah." Tama mengangguk. Kemudian segera berjalan ke ruangan Diana. Sedangkan Putri menarik tangan Mita menuju parkiran.**Tama mengetuk. Kemudian membuka pintu perlahan. Matanya langsung beradu dengan mata Radit, setelahnya Diana."Selamat malam, Mas, Diana," ucap Tama ramah."Om baik,"

  • Mencintai Kakak Ipar   Beli Boneka

    ***Putri mengajak Mita ke toko boneka. Rencananya dia mau membeli boneka panda buat keponakannya itu. Dia yang tidak bisa menemani, berharap pemberiannya bisa."Put, kamu ngga ada niat mau pindah kota, kan?" tanya Mita. Sahabatnya itu kekeh mengajaknya membeli barang kenang-kenangan."Ngga tau, Mit. Pikir nanti aja. Kita beli aja dulu boneka, habis itu antar ke rumah sakit dan pulang. Kamu pasti udah ngantuk." Putri membuka pintu Toko boneka. Langsung melihat sekeliling. Banyak sekali boneka dengan berbagai ukuran."Beli yang kecil aja. Biar bisa dibawa-bawa," ucap Mita."Iya, tapi ngga kecil-kecil banget.""Iya. Mau boneka apa?" tanya Mita."Panda aja. Gemuk tuh, ya, jadi enak di peluk.""Kayak gue dong?""Bener." Putri menyengir. Setelahnya, Gadis itu menggandeng Mita. Menariknya menuju rak pojok. Mengambil boneka panda

  • Mencintai Kakak Ipar   Chat Asing

    ***Putri menarik Mita untuk bersembunyi dibalik tembok. Saat berbelok, matanya langsung melihat Dina dan Dira berdiri berhadapan, terlihat serius mengobrol di depan ruangan Diana di rawat."Kenapa?" tanya Mita yang kaget."Ada kak Dira dan Dina," ucap Putri. Gadis itu kini sedang mengintip. Jarak yag tidak jauh membuatnya bisa sedikit mendengar percakapan dua orang itu."Maksud kamu apa sok perhatian sama Diana dan mas Radit?"Alis mata Putri bertaut. Dina bertanya sinis pada Adik tersayangnya. Kok tumben?"Perhatian sama ipar dan ponakan bukannya wajar, Kak?" tanya Dira santai."Ngga wajar. Harusnya kamu abai. Perhatian buat mereka cukup kakak yang kasih. Liat, gara-gara kamu mas Radit nyinggung kakak."Dira mendengkus. "Kakak abai, sih. Masak anaknya sakit malah duduk di sofa dan main ponsel. Ya udah, gue sebagai aunty yang baik, kasih

  • Mencintai Kakak Ipar   Perhatian Dira

    ***"Put, kamu belum tidur?" tanya Mita. Gadis gemuk itu baru saja pulang dari kerja. Wajah lelahnya nampak jelas. Langsung menuju kamar mandi tanpa mendengar jawaban dari Putri yang duduk di atas kasur sembari melihat ponsel di depannya.Putri menghela napas. Dia mengambil ponsel, menatap sendu. Kemudian meletakkan lagi benda pipih itu ke atas kasur. Dia dari tadi sedang bimbang antara mengaktifkan ponsel apa tidak. Aktif, berarti siap menghadapi apapun. Telepon dari Dina, Dira dan ibu Amalia, tetapi tidak mengaktifkan, dia ingin tau kabar tentang Diana."Put, kenapa belom tidur?" tanya Mita yang baru keluar dari kamar mandi. Gadis gemuk itu terlihat segar. Selesai mandi.Putri menghela napas. "Menurutmu, apa yang aku lakukan ini benar, Mit?" tanya gadis itu sembari menatap sahabatnya.Mita duduk bersila di depan Putri. Sambil menggosok rambut basahnya, gadis itu tersenyum. "Bener pakek b

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status