Share

Apakah hanya kecelakaan biasa?

Ramon menunggu Ganis keluar dari kamar mandi dengan gelisah. Ia mulai menimbang-nimbang. Tak mungkin juga ia mengambil langkah aborsi kalau memang Ganis benar-benar hamil. Ia bukan pria sekejam itu.

Ganis muncul dari kamar mandi dengan wajah yang sulit ditebak. Bagi gadis itu positif atau negatif baginya sama saja. Sekarang ia bukan gadis lagi. Tubuhnya telah ternoda. Hal yang di banggakan dan akan ia persembahkan untuk orang yang paling dicintainya sudah hilang.

"Bawa sini!" perintah Ramon tak sabar.

Ganis mengangsurkan test pack itu.

Ramon menatap alat itu dengan seksama. Desahan berat terdengar dari nafasnya.

"Hasilnya negatif. Ini akan menjadi hal mudah bagi kita. Kita tak perlu lagi terlibat dalam suatu hubungan," ucap Ramon tak bisa menyembunyikan kelegaannya.

"Kau telah merugikanku!" rutuk Ganis marah.

"Maaf. Ya aku khilaf. Jangan jumawa. Entah apa yang aku pikir saat itu hingga bisa menodaimu. Kau tak begitu cantik. Aku juga punya tunangan. Lagipula mencari gadis yang mau aku tiduri tak sulit bagiku. Ucapanmu terlalu lancang. Apapun alasanmu itulah hukumanmu," ucap Ramon tak mau terlihat bersalah di depan Ganis. Ganis berdecak.

"Sombong sekali. Kau pikir dengan mengatakan itu aku tak akan berani menuntut dan melaporkanmu? kau pikir aku akan bangga menjadi wanita yang kamu nodai? Ok, kau memang tampan tapi ketampananmu tak sebanding dengan Marco. Setidaknya Marco sangat menghormati wanita," sahut Ganis sinis.

Hari Ramon kembali meradang.

"Jangan sebut Marco lagi! Apalagi membandingkannya denganku. Kita bisa menyelesaikan semua ini secara dewasa. Ok, aku memang merugikanmu tapi itu sepadan. Aku sendiri juga tak mau repot dan aku masih kasihan denganmu kalau melapor. Aku bisa membuatmu malah masuk penjara. Ingat disini yang punya uang dan kuasa adalah aku. Jadi kau harus menuruti semua tawaranku,"

"Aku rasa Marco mungkin sekarang sedang menangis melihat kelakuan kakaknya. Kau mau membeli hukum rupanya. Marco pasti menyesal telah begitu bangga padamu. Bagaimana bisa aku jatuh cinta padamu," Ganis menatap jijik pada Ramon.

Pria itu mulai hilang kesabaran. Ia meraih dagu Ganis. Mata mereka bersitatap.

"Kau selalu menyebut Marco untuk membuatku marah. Apa kau ingin aku menodaimu lagi? Apa kau malah penasaran gimana rasanya bermain bersamaku tanpa paksaan? kau berkata apa tadi, kau jatuh cinta padaku?" seringai Ramon menekan dagu Ganis lebih keras.

Ganis langsung menepis tangan Ramon dan membuang muka.

"Siapa yang jatuh cinta padamu," ralat Ganis buru-buru. Bisa-bisa makin besar kepala saja ini orang.

Sebenarnya Ramon sendiri hanya menggoda Ganis saja. Namun keberanian dan sifat keras kepalanya mengusik sisi lain Ramon. Segera ia meraih tengkuk Ganis dan menutup bibir Ganis dengan mulutnya. Mulanya Ganis berontak tapi sapuan lembut bibir Ramon di atas bibirnya membuatnya terpaku. Sungguh ini di luar kendali Ganis. Pikirannya menolak tapi gelayar nikmat dari gerakan bibir pria itu membuatnya hilang akal. Lidah Ramon mulai bermain di dalam mulutnya begitu dominan saat gadis itu membuka mulutnya hendak bicara.

Jujur Ramon tak pernah berhasrat sekuat itu pada seorang wanita. Jiwa pemberontakan Ganis membuatnya tertantang untuk menguasai nya dalam cumbuannya.

Hampir semenit keduanya terlena sampai kesadaran Ganis mulai menguasai akalnya. Ganis mendorong tubuh Ramon dengan keras.

"Dasar mesum tak tahu diri!" bentak Ganis sambil menyesali diri yang telah terlena dengan kenikmatan ciuman Ramon. Matanya langsung berkaca-kaca.

Perlahan Ramon jadi paham mengapa Marco sampai jatuh cinta padanya.

Ganis sendiri sangat ketakutan dengan ciuman kakak Marco itu. Sebelum kejadian perudapaksaan itu mungkin berciuman dengan Ramon adalah impiannya. Pernah juga ia membayangkan percintaan yang panas dengan pria itu.

Untuk saat ini tentu saja tidak. Rasa sakitnya begitu membekas meninggalkan trauma. Bahkan bekas kebuasan Ramon masih tersisa di beberapa titik tubuhnya.

Sejenak Ramon membayangkan bagaimana permainan Ganis di atas ranjang. Ia masih ingat bagaimana kesat dan legitnya keperawanan Ganis. Apalagi bila gadis itu aktif di atas ranjang, mengerang penuh kenikmatan di bawah tubuhnya dengan penuh penyerahan. Ada keinginan untuk memiliki tubuh Ganis dan tak ingin ada pria lain yang menyentuh gadis itu. Namun ia tak punya alasan untuk menahan Ganis. Gadis itu pasti punya keluarga yang juga mencari dan mengkhawatirkannya.

Ramon sedikit menyesal tak bisa mengendalikan diri dan kembali mencium dan melecehkan gadis itu. Ia bisa melihat mata Ganis yang hampir menangis.

"Mungkin aku tak bisa mengembalikan kesucianmu tapi aku akan memberi kompensasi untuk kesalahpahaman ini," ucap Ramon mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya.

"Aku tak tertarik. Memang kesucianku bisa diganti dengan uang," bantah Ganis kesal.

"Entahlah. Yang jelas kita sudah selesai. Jangan mengusikku lagi. Kurasa uang yang ada di kartu itu cukup untuk kamu bisa sekolah atau buka usaha. Kau tak berbakat jadi jalang atau sugar daddy siapapun. Kau masih muda," kata Ramon tak bisa menyembunyikan rasa penyesalannya.

Ganis bisa melihat mata hazel milik Ramon meredup. Ya Ramon tulus menyesali perbuatannya. Ia hanya membuang muka tak ingin terperdaya oleh pria itu.

"Jalani hidupmu. Lupakan Marco dan apa yang telah aku perbuat. Kau boleh tinggal di sini sampai kau benar-benar pulih. Ada bibi pelayan yang bisa membantumu," ujar Ramon menatap Ganis sejenak dan melangkah menuju pintu kamar.

Ganis tak bisa mengatakan apapun. Sampai di ambang pintu Ramon menoleh,

"Tunggu. Jangan senang dulu. Aku masih akan menyelidiki penyebab kecelakaan Marco. Jika kau terlibat jangan harap kau bisa lolos dariku. Kau masih dalam pengawasanku selama 3 bulan ke depan sampai penyelidikan ini selesai," ucap Ramon tegas dan kemudian berbalik menghilang di balik pintu.

"Tidak hanya kau, aku juga akan mencari tahu kenapa Marco bisa kecelakaan," desis Ganis penuh tekad.

Ia menatap kartu kredit dari Ramon. Tentu saja kesuciannya tak bisa tergantikan. Sakit hati dan perasaan cintanya pada pria itu membuat perasaannya campur aduk tak karuan.

Ia mendengus kesal. Kenapa uang selalu menggiurkan. Ia pun meraih kartu itu dan memasukkan ke saku kemeja yang ia pakai. Uang bisa berguna dalam banyak hal. Uang juga bisa mempermudah segalanya. Ia jadi teringat ponsel dan juga tasnya.

Ia bangkit dan keluar mencari bibi suruhan Ramon.

"Bibi!"

"Ya Nona manggil saya," seru wanita itu begitu ia panggil.

"Apa pak Ramon sudah pergi?"

"Baru saja Nona. Ada apa ya?"

"Kau tahu pak Ramon menyimpan tas kecil dan ponselku?"

Wanita itu berpikir sejenak.

"Saya tak melihat sama sekali Non," jawabnya akhirnya.

Ganis menepuk dahinya. Gawat! Tanpa ponsel ia akan kehilangan semua kontak teman-temannya dan juga teman Marco. Ia ingat tas kecilnya itu tertinggal di mobil Ramon saat Ramon memaksanya keluar dari mobil. Ponselnya sendiri ia masih tak tahu pasti hilang dimana. Tas kecil itu hanya berisi KTP dan juga kartu sosial.

*****

Ramon sendiri kini tengah dalam perjalanan menuju suatu tempat di mana ia telah menahan beberapa teman dekat Marco untuk mencari tahu kronologi kejadian. Ia tahu Marco sangat ahli dalam berkendara. Mustahil ini kecelakaan biasa.

Mengenai Ganis melalui KTP gadis itu yang ia dapatkan dari jok belakang mobilnya ia telah menyuruh anak buahnya menyelidikinya.

"Sergio apa yang bisa kau informasikan mengenai gadis itu?" tanya Ramon pada salah satu anak buahnya yang kini sedang menginterogasi teman-teman Marco.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status