Bia berjalan memasuki kantor dengan wajah tertunduk lesu. Sedari tadi ia berpikir siapa orang di dalam rumah Oma yang berhubungan dengan Bella?
"Makan dulu, Daf, keburu dingin." Suara seorang wanita terdengar begitu asing di telinga Bia. Bia pun mengangkat wajahnya. Ia melihat seorang wanita berada di sebelah Dafa. Duduk berdekatan tanpa sekat. Wanita itu membawakan sarapan untuk Dafa.Sementara itu, Yoga dan Sandi saling berpandangan. Mereka merasa canggung dengan situasi saat ini."Hai, Bel," menyadari kehadiran Bia, wanita dengan kulit putih itu mulai menyapa dengan senyuman.Dafa tampak membeku, ia tidak bergerak sedikit pun. Suasana yang memang cukup canggung, terutama untuk Dafa.Bia membalas senyuman wanita di dekat Dafa itu, "Hai," balasnya. Bia berjalan mendekati meja Dafa. Ia menarik kursi plastik di meja Sandi dan memindahkannya tepat di sebelah Dafa. Hal itu membuat Dafa semakin merasa sesak.Melihat Bia duduk dekat dPerlahan genggaman tangan itu melonggar. Bia mengambil kesempatan itu untuk melepaskan tangannya. Ia pergi meninggalkan Dafa yang masih tercengang mendengar perkataannya. Tanpa sadar, air mata Bia terjatuh seiring dengan tetesan darah di tangannya. Tangan yang semula berada di genggaman Dafa itu kini terluka akibat jam tangan di pergelangan tangan Bia yang ikut tergenggam oleh Dafa.Di luar, Bia berpapasan dengan Sandi dan Yoga yang kini tengah kembali dengan membawa botol minuman bersamanya."Kamu kenapa, Bel?" tanya Sandi ketika melihat Bia berjalan sambil menangis. Bia tidak memperhatikan Sandi, ia berlari meninggalkan kantor."Tangannya berdarah," ucap Yoga saat melihat tangan Bia."Serius? Ayo masuk," balas Sandi dan segera memasuki ruangan.Sandi dan Yoga kembali ke meja masing-masing. Ruangan begitu hening. Baik Sandi maupun Yoga tak berani bersuara. Mereka hanya menatap satu sama lain. Sementara Dafa masih berdiri di dekat tembok
Ruangan begitu hening. Desir angin malam masuk melewati celah jendela, tak terasa menyentuh kulit Bia. Sekujur tubuh Bia menjadi kaku, ia bahkan tak berani untuk sekedar mengedipkan mata.Dafa berjalan mendekati Bia. "Bianca Lariza. Nama panggilannya Bia. Keponakan dari almarhum pak Tiar. Cucu dari Dahlia Rani, pemilik perusahaan kopi yang cukup besar. Berpura-pura menjadi Bella. Sementara Bella dimakamkan atas nama Bia. Apa tujuannya?"Dafa berhenti tepat di hadapan Bia. Sementara itu Bia masih terdiam kaku, ia tak memiliki keberanian untuk menatap langsung mata pria yang telah mengetahui rahasianya itu."Kenapa diam padahal punya sejuta pertanyaan di kepala?" tanya Dafa menekan Bia agar berbicara padanya.Bia menghela nafas. Diamnya tak akan merubah kenyataan bahwa Dafa telah mengetahui siapa dirinya. "Udah tau, kenapa selama ini diam aja?" tanya Bia perlahan melirik ke arah Dafa. Dafa tersenyum, "penasaran aja, sejauh mana Bia bisa be
Bia membuat semua orang terkejut. Emosinya tak mampu lagi ia redam. Walau Bia memiliki pemikiran yang sama dengan Sandi, namun hatinya tetap sakit. Ia tak mampu menerima jika orang yang paling menyayanginya adalah sosok wanita tua yang jahat."Kenapa bukan?" tanya Dafa sambil memutar kursi mengarahkannya pada meja Bia. Bia memandang Dafa dengan mata yang sedikit memerah."Kayanya kita jangan berprasangka dulu deh," ucap Yoga menengahi.Sandi mengangguk, "ya, semoga aja bukan."Bia perlahan mengontrol emosinya. Matanya pun jernih kembali. Menarik nafas lalu mengeluarkannya secara perlahan.***"Bia yang awalnya menjalankan peran dengan sangat baik, kenapa sekarang mendadak ceroboh?" tanya Dafa. Di dalam ruangan hanya tersisa Dafa dan Bia. Sementara Sandi dan Yoga pergi untuk makan siang.Bia melirik ke arah Dafa yang memandanginya sedari tadi, "menurut kamu apa mungkin Oma pelakunya?" tanyanya."Mungkin," jawab D
Bia terdiam mendengar ucapan Dafa. Ia teringat bahwa besok adalah hari Jum'at, hari dimana Dafa akan berlibur dan menemani kekasihnya."Nemenin Selly?" Meski telah mengetahuinya, Bia tetap ingin memastikan bahwa pria di dekatnya itu akan meninggalkannya sendirian dirumah untuk bersama sang kekasih.Dafa mengangkat tubuhnya. Kini ia duduk berhadapan dengan Bia. "Gak takut sendirian?""Kan udah pernah," jawab Bia ketus, nampak tidak rela jika Dafa harus meninggalkannya sendirian.Dafa mengangguk pelan, "apa mau ikut?" tanyanya."Gila! Ngapain ngikutin orang yang mau pacaran. Mau jadi nyamuk? Ogah." Dafa berhasil memancing emosi Bia. Namun, hanya beberapa saat, Bia kembali berbicara pelan. Kali ini, nampak begitu serius. "Tapi kenapa sih, harus nemenin Selly tiap hari Jum'at? Emang dia tinggal dimana? Orang tuanya kemana?" tanya Bia mencaritahu lebih dalam tentang Selly.Dafa terdiam. Ia menyenderkan bahunya pada sofa. Seakan begitu berat untuk menjawab pertanyaan Bia. "Rumit." Satu kata
Bia membuka mata dengan perlahan. Suasana yang begitu sunyi tanpa ada seorang pun di sekitarnya. Terdengar di balik pintu, suara nyaring hak sepatu bolak-balik dari arah satu ke arah yang lain. Bia kini berada di salah satu ruangan rumah sakit swasta di Bogor."Krekk."Tiba-tiba beberapa orang masuk ke ruangan Bia. Bia tidak terkejut, ia merasa pusing yang begitu hebat di kepalanya dan tak berani untuk bangun."Pasien sudah sadar, " ucap seorang dokter kepada kedua orang yang datang bersamanya."Bella, gimana keadaan kamu?" tanya seseorang yang terlihat 20 tahun lebih tua dari Bia."Bella siapa?" Bia tampak kebingungan."Ya kamu lah siapa lagi," jawab seorang yang lain. Kali ini terlihat laki-laki yang mungkin usianya sedikit lebih tua dari Bia. Entah dari mana lelaki tampan nan mempesona ini datang."Kamu siapa?" tanya Bia lagi semakin kebingungan.Melihat Bia yang tampak linglung, kedua orang yang datang bersama dokter itu pun saling memandang
Cahaya mentari belum bersinar sempurna, namun Dafa sudah pergi meninggalkan rumah. Ia mengenakan celana hitam senada dengan kaos serta jaket yang melindunginya dari dinginnya pagi. Tak luput, topi hitam di kepala menutup rambut klimisnya. Ia melangkah dengan cepat sambil memakan sepotong roti yang ia beli di toko dekat rumah. Setelah sekitar 10 menit berjalan kaki, sampailah Dafa pada sebuah bangunan yang tampak dari luar seperti sebuah kantor. Dafa memasuki pintu dengan penuh semangat. Rupanya di sini lah tempat Dafa bekerja."Pagi, Daf," sapa salah satu teman kerja Dafa yang duduk di meja paling depan. Di atas meja pun terpampang papan namanya 'Yoga Andityo'.Dafa hanya melambaikan tangan membalas sapaan temannya sambil berlalu menuju mejanya."Pagi, Daf," sapa teman Dafa yang lain. 'Sandika Rama' adalah nama yang tertempel di akrilik di atas mejanya.Sama seperti sebelumnya, Dafa hanya membalas dengan lambaian tangan. Ia pun duduk di meja seberang Sandi. Di m
Bia berada di sebuah mall besar di Jakarta. Kini, penampilannya pun berubah, ia tampak seperti Bia asli, bukan Bella. Mengenakan dress selutut berwarna putih, topi putih, sepatu putih, serta masker hitam yang menutupi wajahnya. Sambil menenteng banyak belanjaan, ia berjalan dengan suka ria. Di tangannya, ia menggenggam sebuah ponsel yang baru saja ia beli menggunakan uang Bella."Banyak duit juga si Bella," ucapnya. "Huh, sayang banget dia harus meninggal di usia muda. Tapi tenang aja Bel, gue akan cari tau kebenaran tentang elo," lanjutnya seakan Bella berada di depan matanya.Sambil berjalan, Bia menghubungi seseorang dengan ponsel baru miliknya."Halo, Di, lo dimana?" tanya Bia pada seseorang yang diteleponnya."Oke, gue kesana sekarang," ucap Bia lalu mematikan telepon. Ia pun berjalan menuju lantai 3 mall.Sampai lah Bia di cafe lantai 3. Ia melihat sekeliling, pandangannya terhenti ketika melihat sosok pria berjaket cokelat tengah duduk sambil melambai
Kantor nampak hening, Dafa dan Sandi sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tidak ada suara yang terdengar selain suara keyboard komputer Sandi serta kertas yang bergesekan di meja Dafa. Sementara itu, Bia hanya termenung, ia nampak jenuh.Dafa beranjak dari kursi dan pergi ke belakang, tempat toilet kantor. Bia pun menggunakan kesempatan untuk bertanya-tanya pada Sandi."Sandi." Bia mulai memanggil Sandi dengan suara pelan."Kamu ingat siapa aku, Bel?" tanya Sandi yang sontak terkejut mendengar Bia memanggil namanya.Bia menunjuk akrilik yang terpampang nama Sandi. Sandi pun kecewa, "iya, kan ada papan nama ya, kirain kamu udah ingat," ucap Sandi melemas."Oh iya, aku liat semua pada sibuk. Emang banyak kerjaan?" tanya Bia lanjut. Bia dan Sandi mengobrol dalam kejauhan. Meja mereka berjarak sekitar 5 meter."Iya lah, Bel. Kita gak pernah gak ada kerjaan," jawab Sandi yang kini kembali fokus pada komputer di hadapannya."Oh ..." Bia mengangguk-angguk. "Ter