Sesampainya di rumah, Argi memarkirkan mobilnya di halaman rumah bertingkat dua itu.
Kemudian keluar dari mobil dan mulai memasuki rumah. Karena hati yang terlampau bahagia, suara mama Lina yang menyapanya tidak dia dengar. Argi berlalu menuju tangga dan masuk dalam kamarnya, mengunci pintu kamarnya lalu meraih ponsel dan membaringkan tubuhnya di kasur empuk itu. Dia membuka ponselnya dan mulai mengirim pesan pada gadis pujaannya. [Tuan putri, lagi apa?] Menunggu sampai beberapa menit tidak ada balasan, pemuda itu tengah menatap foto profil Lena. Sambil menunggu balasan dari gadis itu. Tiga puluh menit kemudian Lena membalas pesannya. [Baru selesai makan. Kamu udah sampai rumah?] Balasan Lena. [Sudah baru aja sampai. Nanti sore ada waktu gak?] Pemuda itu dengan cepat membalas pesan tanpa menyia-nyiakan waktu. [Next time aja ya, hari ini aku gak bisa keluar.] [It's ok Beby, kapan ada waktu kabarin ya.] [Ok, aku tidur siang dulu, Gi.] [Selamat tidur princess.] Balas Argi disertai emoticon tanda hati. Walaupun sudah mengakhiri pesannya, dia tetap melihat ke ponselnya, mencari tahu apa nama sosial media Magdalena. Dia mengetik Magdalena Akira di daftar pencarian, setelah beberapa waktu berlalu akhirnya Argi menemukan akun sosial media gadis pujaannya itu. Namun sayangnya akun Magdalena di privasi. Tanpa menunggu lagi dia mulai mengikutinya dan mengirimkan pesan lewat direct messenger pada aplikasi itu. [Tolong confirm ya, Argi.] Tulisnya. Setelah itu dia mulai meletakkan ponsel di atas meja yang ada di samping tempat tidurnya. Kemudian kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur. Melihat ke langit-langit kamarnya. Baru kali ini dia merasakan perasaan ini, dia benar-benar jatuh cinta pada Magdalena Akira. Dia kembali membayangkan senyum manis milik gadis itu, sungguh membuatnya bahagia. Dan tanpa terasa diapun tertidur. *** Hari-hari berlalu, hubungan antara Argi dan Magdalena semakin dekat, yang dulunya Lena menolak diajak jalan, kali ini dia mau, ketika pemuda itu mengajaknya pergi nonton ataupun makan siang bareng. Walaupun sampai saat ini hubungan mereka backstreet dari orang tua Lena, namun Lena sudah diperkenalkan oleh mamanya Argi. Saat itu Argi mengajak Lena ke rumah, setelah mereka makan siang di cafe favorit keluarga Argi. Argi beralasan mamanya menitip makanan sup buntut favoritnya. Harus segera diantar karena makanan itu lebih nikmat kalau disantap ketika masih panas. Dengan terpaksa Lena mengikuti Argi untuk ke rumahnya. Hari itu ada jeda semester, siswa siswi pulang lebih awal. Lena Pun tak menolak ajakan Argi untuk makan siang. Lima belas menit perjalanan dari cafe D'resto ke rumah Argi. Sampailah mereka di kawasan perumahan elit. Rumah pemuda itu berada di gang paling ujung dan rumahnya di paling ujung juga. Bangunan bercat putih dua tingkat itu terlihat luas dan mewah. Argi memarkirkan roda empatnya di halaman rumah yang memiliki taman kecil dan kolam ikan. Rumah itu bersih dan rapi, Lena melihat ada seorang wanita yg lebih tua dari usia ibunya. Wanita itu sedang menyiram tanaman hias disampingnya rumah itu. Wanita setengah baya itu menoleh dan menunduk hormat kepada anak majikannya. "Bibi, dimana mama?" Argi berjalan menghampiri wanita itu. Sedangkan Lena masih berdiam diri di samping mobil. "Ada mas di dalam lagi nonton drakor." Tanpa membalas ucapan pembantunya, Argi langsung berjalan ke arah Lena, dia tersenyum dan mulai menggenggam tangan gadis pujaannya itu. Lena mengikuti kemana langkah pemuda itu membawanya. "Ma, ini sop buntutnya." Argi membawa bungkusan plastik berisi makanan kesukaan mamanya itu ke atas meja dimana mamanya berada. Tanpa melepas genggaman tangannya pada gadisnya. "Nak, siapa dia?" fokus mama Lina teralihkan ketika anak laki-lakinya datang menggandeng seorang anak gadis. Drakor dan sop buntut sudah tidak menjadi prioritasnya kali ini, gadis yang digandeng putranya lebih membuatnya penasaran. Karena selama ini Argi tidak pernah sekalipun membawa satu gadis pun main ke rumahnya. "Kenalin ma ini Lena, pacar aku." "Siang Tan, saya Magdalena." Lena menunduk dan mencium tangan mama Lina. "Cantik. Sini duduk Nak." komentar mama Lina sambil menggeser tempat duduknya untuk ditempati gadis itu. Lena pun duduk di sampingnya dan disusul oleh Argi dengan senyum bahagianya. Bahagia sudah mengenalkan Lena ke mamanya, dan semakin bahagia karena gadis pujaannya sangat santun. Hal ini membuat rasa kagum dan rasa cintanya bertambah berkali lipat. ***Baskoro tak berniat melanjutkan perkaranya di meja hijau. Tentunya atas saran dari Anggara dan Akira. Meski Ester begitu jahat, namun Akira sangat mengasihi anak perempuan dari wanita itu. Alea masih terlalu kecil untuk bisa menanggung hasil dari perbuatan ibunya. Entah apa jadinya Alea, jika Baskoro masih mencoba menuntut Ester dan Yosi. Tentunya itu hal yang mudah bagi Baskoro yang ingin memberi hukuman terhadap orang yang telah menjebak putranya. Bukti sudah lengkap, dan siap untuk menjerat Ester dalam jeruji besi untuk mempertanggung jawabkan kesalahannya. Namun Akira selalu menyatakan jika dirinya merasa kasihan pada Alea yang nantinya ditinggal oleh kedua orang tuanya jika nantinya harus dipenjara. Sungguh Akira tidak bisa membayangkan nasib anak itu. Akira sendiri sudah mengalami kehilangan kedua orang tuanya di usianya yang ke 17 tahun. Dan dia mampu melewatinya, berkat kehadiran Anggara yang selalu menjaga dan menemani. Namun bisakah anak sekecil Alea hidup tanpa kedua
Kini Akira bersimpuh di depan pusara ayah dan ibu. Anggara terus memeluk bahu kekasihnya.Baskoro dan Ruth menghampiri keberadaan mereka.“Nak Akira, mama ikut berduka cita. Jika kamu ingin bercerita, mama siap menjadi tempat ceritamu. Kamu anak yang baik, pasti ayah dan ibumu sangat bangga.” Ruth mengusap lembut bahu Akira.“Terima kasih Tante. Maaf jika selama ini saya merepotkan keluarga Tante dan Anggara.” Ucapnya tulus. Ya, selama ini memang Anggara yang mengeluarkan biaya rumah sakit dan biaya pemakaman untuk kedua orang tuanya. Bahkan Anggara sudah menempatkan orang tuanya di pemakaman elit.“Tidak masalah, nak. Bahkan jika kamu membutuhkan sesuatu tolong sampaikan pada mama atau Anggara. Kami siap untuk membantu. Tolong jangan segan untuk bercerita pada kami. Ya sudah, mama pulang dulu, nanti mampirlah ke rumah, sayang.” Ujar Ruth menghibur.Akira mengangguk samar, dia mencium tangan Ruth namun wanita itu membalas memeluknya.Akira begitu merindukan sosok ibunya, hingga dia l
Ternyata ucapannya memang didengar oleh Lidiya, secara perlahan mata Lidiya terbuka dengan jemari yang mulai bergerak. Menandakan jika wanita itu sudah sadar dari tidur panjangnya.Akira begitu senang hingga memeluk tubuh wanita yang telah melahirkannya itu.“Ibu terima kasih sudah mendengar Lena.” Ucap Akira bahagia.Lidiya masih merasa lemah, sangat lemah hingga ingin mengucapkan sesuatu pun dia tak berdaya.Anggara menangkap gerakan lemah itu, hingga akhirnya dia membantu Lidiya untuk melepas masker oksigennya.“Ibu mau bicara sesuatu?” Tanya Anggara, dijawab dengan anggukan lemah Lidiya.“Lena, dimana ayah nak?” Suara Lidiya terdengar lirih dan sangat kecil. Dia bisa melihat wajah sedih putrinya. Namun dia ingin memastikan keadaan suaminya.“Ayah sudah di surga, Bu.” Akira menjawab dengan suara gemetar menahan tangis. Dia tidak ingin membuat ibunya sedih, namun dia tidak bisa untuk berbohong.Lidiya begitu terkejut hingga nafasnya kembali tersengal. Anggara panik dan segera memasa
Anggara menuntun langkah Akira untuk bisa melihat ibunya dalam jarak lebih dekat.“Ibu, bangun Bu. Ini Lena sudah datang Bu.” Ucap Akira berbisik, dia tidak ingin mengganggu istirahat ibunya. Diraihnya tangan lemah yang terkulai itu dalam genggamannya.“Ibu pasti bisa melewati ini semua. Lena akan terus di sini jaga ibu. Tolong bangun Bu.” Ucap Akira lirih dengan air mata terus menetes tanpa henti.Anggara berdiri di belakang Akira, mengusap lembut bahu Akira. Seakan ingin berbagi kekuatan.*****Lidiya masih terbaring koma, kini dia sudah dipindahkan di salah satu rumah sakit di Jakarta. Tentunya atas saran Anggara, dan Anggara yang menanggung semua biaya perawatan, termasuk biaya pemakaman Bustomo.Pagi ini sangat cerah, namun hati Akira diliputi kabut mendung mengawal kepergian ayahnya menuju tempat peristirahatan terakhir.Dany dan Bayu sudah berada di tempat pemakaman. Yeni dan Handoko juga turut hadir. Begitu pun Ruth dan Baskoro, Anggara sudah menceritakan pada mamanya. Dan ent
“Keluarga atas nama pasien Bustomo?” Ucap suster itu sembari mengedarkan pandangan. “Saya sus, saya keluarga Bustomo.” Tio melangkah semakin mendekati suster itu. “Maaf saya harus menyampaikan kabar ini.” Suster terlihat menarik nafas panjang. Tentunya membuat Tio berfirasat buruk akan kabar yang akan disampaikan. “Ada apa sus? Bagaimana keadaan kakak saya dan istrinya?” Ucap Tio terbata, dia berusaha menguatkan hati untuk menerima apapun kabar yang akan disampaikan oleh suster. “Pasien atas nama Bustomo tidak bisa diselamatkan.” Seperti mendengar petir di siang bolong, kabar itu membuat Tio syok. Matanya berkaca-kaca, hingga tubuhnya gemetar menahan kesedihan yang mendalam. “Apa benar sus? Apa saya tidak salah dengar?” Ucap Tio mencoba tidak mempercayai pendengarannya. “Mohon maaf, apa yang saya sampaikan tadi benar adanya. Pasien atas nama Bustomo tidak bisa terselamatkan. Bapak yang sabar.” Ulang suster itu dengan raut sedih. Tak hanya sekali ia menghadapi suasana pilu seper
Mata Anggara melotot sempurna. Dia sangat terkejut mendengar berita itu. Sungguh dia pun ingin segera ke rumah sakit tempat ibu dan ayah Akira dirawat.“Baiklah kita siap-siap sekarang.” Anggara segera bersiap-siap untuk melakukan perjalanan ke salah satu rumah sakit di Bogor. Sambil menunggu Akira menyelesaikan acara mandinya, Anggara menelpon pak Yanto untuk segera mengirim mobilnya ke rumah Akira. Dia mengirimkan titik lokasi alamat rumah Akira pada supirnya.Anggara hanya mencuci mukanya, lalu mengganti bajunya dengan kaos hitam polos dan celana jeans panjang.Kini dia tengah menunggu di halaman rumah, hingga tak lama Yanto datang dengan mobilnya. Anggara segera menghampiri.“Pak, nanti bapak pulang dengan taksi.” Anggara memberi beberapa lembar uang pada Yanto. Lalu kembali memasuki rumah untuk mencari keberadaan kekasihnya. Tanpa mengetuk pintu kamar, Anggara segera membuka pintu yang tak terkunci.“Sudah? Ayo kita berangkat sekarang.” Ajak Anggara, sebenarnya dia tidak tega m