Gadis kecil itu naik ke pangkuan Maryam. “Bi Rumsih, tolong ambil Sarah dari pangkuan saya, kaki saya masih sakit.”Sarah menangis ketika Bi Rumsih menggendongnya. “Mau sama Bunda, huhuhu ....”Heru menatap Maryam, “Kamu mau pulang ke mana?”“Ke tempat saya.” jawab pria muda yang masih berdiri di dekat Maryam. Heru mengira pria itu adalah suami Maryam. Heru berucap, “Maryam masih butuh pengobatan dan terapi yang cukup panjang, biayanya juga lumayan. Kalau misalnya nanti Maryam butuh dana pengobatan, jangan sungkan menghubungi saya.” Heru meletakkan kartu namanya di pangkuan Maryam.“Terima kasih.” ucap Maryam, lantas memberikan kartu nama itu pada pria muda di sampingnya. Pria muda itu memasukkan kartu nama Heru ke saku bajunya.Heru agak heran melihat reaksi pria itu. Biasanya seorang suami akan merasa kesal, cemburu, dan emosi jika ada pria lain yang memberi perhatian pada istrinya. Akan tetapi pria muda itu malah tampak biasa saja.“Ehm, maaf Maryam, kalau boleh tahu, dia ini si
Heru masih menatap Maryam yang sedang berbicara dengan seorang wanita separuh baya. Sementara pria muda yang datang bersama wanita separuh baya itu, berdiri di dekat Maryam sembari merangkul bahu Maryam. Sepertinya Maryam sudah cukup kepayahan berdiri, karena kakinya masih sakit, maka dia kembali duduk di kursi roda. Wanita separuh baya itu menciumi Maryam, bahkan pria muda itu juga mencium kepala Maryam yang tertutup jilbab.Bu Farida sudah selesai diinterogasi oleh penyidik. Sejak awal pengacaranya sudah wanti-wanti agar Bu Farida tidak ngotot merasa paling benar sendiri. Karena kenyataannya Bu Farida memang salah, ketika pihak RS mengirim pesan bahwa ada kesalahan identifikasi pasien, Bu Farida tidak mengantarkan pasien yang dibawanya, untuk dikembalikan ke RS. Bahkan Bu Farida terkesan menghindar dengan cara meninggalkan rumahnya, sambil membawa Maryam.Di hadapan penyidik, dan pengacara dari para pelapor, Bu Farida memohon maaf. Dia tidak bermaksud untuk menyekap Maryam, apalagi
Mereka tiba di rumah sakit. Pengacara Heru sudah ada di situ, dia yang sudah berusaha menjadi mediator antara Bu Farida dengan pihak-pihak yang telah melaporkan Bu Farida ke polisi. Pengacara itu juga sudah nenghubungi Polres Bandung, memohon penyelesaian kasus secara kekeluargaan. Pihak rumah sakit mengatakan bahwa pada awalnya petugas nakes yang telah salah identifikasi, sehingga menimbulkan pelaporan ke polisi oleh keluarga Maryam dan orang tua Utami. Jadi pihak RS menyerahkan penyelesaian pada kedua keluarga tersebut. Karena jika laporan kedua keluarga tidak dicabut, maka pihak nakes RS juga terancam menjadi tersangka, karena nakes itulah yang pertama kali salah menunjukkan pasien kepada Bu Farida.“Mereka sudah dihubungi, sekarang ada di markas Polres Bandung.” ucap staf humas RS. “keluarga Maryam sudah tiba di sana, sedangkan keluarga Utami diwakili oleh pengacara.”Maryam diajak lagi naik mobil, kali ini menuju Polres Kabupaten Bandung. Tiba di sana, pengacara yang merupakan
Heru berujar pada ibunya, “Mamah bilang, nggak tega melihat Sarah menangis, karena tidak punya ibu. Sementara teman-teman di sekolahnya diantar jemput sama ibunya. Aku sudah bertekad, jika ada seorang wanita yang bisa diterima oleh putriku sebagai ibu sambung, maka aku akan berusaha untuk mewujudkan keinginan putriku. Apapun resikonya.”Bu Farida membentak anaknya, “Kamu mau cari ribut?”“Aku tidak takut sama suaminya Maryam, itupun andai benar dia punya suami. Tapi mungkin saja dia bohong. Dia sudah tahu kalau aku dan Sarah butuh dirinya, maka dia berlagak jual mahal, untuk nantinya bisa menaikkan mahar.”Bu Farida memperlihatkan sebuah surat, “ini surat dialamatkan ke rumah mamah, baru saja dikirim ke sini sama tukang kebun yang mamah suruh melihat situasi rumah. Tukang kebun itu menemukan surat ini diselipkan di bawah pintu. Kamu baca, itu surat panggilan dari Polres Bandung, perihal kesalahan kita membawa pasien dari RS. Karena yang menandatangani berkas penjemputan pasien adalah
Heru termenung di ruang tengah rumahnya. Pada mulanya dia setuju usulan ibunya untuk membujuk Utami agar datang ke Bandung. Heru sadar, memang semestinya mereka yang menjemput Utami ke Cirebon, tapi situasinya cukup sulit. Heru sedang banyak pekerjaan dan harus bertemu rekan bisnisnya, sementara Bu Farida sedang mendampingi suaminya yang menjalani perawatan di rumah sakit. Bahkan dalam kondisi belum sembuh benar, suami Bu Farida harus masuk lapas Sukamiskin lagi.Mereka belum pernah bertemu dengan Utami. Tatkala Bram menikahi Utami, dalam keadaan ayahnya sedang menjalani sidang kasus korupsi. Ketika itu Bram malah dikecam oleh ibu dan kakaknya, dianggap lebih mementingkan diri sendiri. Bram tetap pergi ke Cirebon untuk menikahi wanita pilihannya, karena katanya sudah berjanji mau menikah dari jauh-jauh hari, sebelum ada kasus yang membelit ayahnya. Bu Farida yang marah, tidak mau tahu soal menantu yang di Cirebon itu. Namun kemudian Bram sakit, dan meninggal. Beberapa bulan kemudian
Maryam tidak mengira bakal bertemu dengan Bi Rumsih, seorang ART yang pernah dilihatnya bekerja untuk keluarga Marco.“Jadi Bibi berhenti kerja dari rumahnya Marco?”“Iya, tadinya mah bibi pamit berhenti sama Ibu Marian, karena bibi mau nguruisn orang tua yang sudah sakit parah, di kampung bibi, di Ciwidey. Baru ngurusin enam bulan, orang tua bibi meninggal. Terus bibi cari kerja lagi. Kebetulan ada tetangga yang kerja untuk Bu Farida, katanya Bu Farida perlu pengasuh anak, makanya bibi melamar kerja. Ternyata yang diasuh itu anaknya Den Heru.”“Mereka baik sama bibi?”“Baik Neng.”“Bibi tahu nggak, kenapa saya dibawa ke sini?”“Tadinya mah, Bu Farida bilang kalau menantunya dari Cirebon bakal datang, bawa bayi, dan bakal diminta tinggal di rumah Bu Farida. Menantunya itu bukan istrinya Den Heru, tapi istrinya Den Bram, anak bungsu Bu Farida, tapi sudah meninggal. Makanya waktu Neng dibawa ke sini, bibi kira Neng itu istrinya Den Bram. Lagipula ada bayi juga yang dibawa.”“Saya bukan