Share

Bab 5: Akhirnya Terbongkar!

Sejenak, aku menatap kosong pada dinding kamar yang didominasi warna abu-abu. 

Tubuh lelah ini, terduduk dengan posisi bersandar di dashboard kayu kamar sederhana. Menikmati harum samar-samar dari pengharum ruangan otomatis yang tergantung di dinding. 

Hening! Sepi! Tidak ada satu suara pun yang menggema di setiap sisi rumah. Sesekali, sahut-sahutan suara cicak, lalu dengungan nyamuk menjadi alunan musik yang menemani malamku yang pilu. 

Aku ingat benar, hardikan kasar yang dilemparkan Anisya kepadaku magrib tadi. Gadis itu ingin sekali menjambak rambutku, namun berusaha dia tahan dengan sekuat tenaga demi menghormati mamak. 

Tidak pernah terbayangkan di dalam anganku, jika Bang Hasan akan mengetahui perasaan terpendam ini dengan cara memalukan begini. Bahkan, melalui mulut orang lain. 

Iya! Tyalah yang membeberkan semua hal itu pada Bang Hasan siang tadi. Membuat lelaki itu terperanjat dengan mulut yang membulat. 

Sungguh, aku sendiri tidak kuasa melihat wajah Bang Hasan yang kesulitan, juga kebingungan. Lelaki itu menundukkan wajah, lalu mengusapnya pelan. 

Tidak hanya parasnya yang memerah, juga kedua telinganya ikut menghangat. 

Jangan tanyakan perasaanku saat itu. Sebab, jika seandainya aku tidak mengingat Allah dan mamak, sudah pasti aku akan berlari dan melompat ke sumur, dan memilih untuk bersembunyi di sana. 

Lihat saja bagaimana siang tadi Tya memekik dan mengatai Bang Hasan gila, lalu menarik pria itu pergi dari restoran dengan kasar. 

“Kamu memang sudah gila, Bang!” ulang Tya kedua kalinya. Gadis itu mencebik berulang kali. 

“Tya? Gila gimana maksudnya? Duduk dulu Tya, malu dilihat orang. Kamu kayak istri yang sedang mergokin suaminya selingkuh.” Bang Hasan terus menunjuki kursi yang tadi diduduki Tya. Berharap gadis yang tadi sumringah itu mau menurut, agar tidak mengundang lebih banyak perhatian. 

“Tya, duduklah! Please?” pintaku dengan penuh harap. 

Tidak hanya berharap, aku bahkan sudah memelas dengan menggenggam lengan gadis itu. 

Tidak mungkin Tya akan mengumbar perasaanku pada Bang Hasan, kan? Apa jadinya dengan pernikahan Anisya jika hal ini terjadi? Belum lagi rasa malu yang harus aku tanggung di depan bang Hasan seumur hidupku nanti. 

“Bang! Ikut aku sekarang!” titah Tya. 

Bang Hasan yang masih kebingungan tidak segera menurut. Pemuda itu masih melirik kiri dan kanan, mencari penyebab dari kelakuan tidak lazim yang ditunjukkan oleh Tya.

“Ikut aku, Bang! Sebelum aku meledak di sini!” Tya yang semakin dikuasai amarah segera meraih lengan Bang Hasan dan menyeret pemuda itu menjauh dari restoran. 

Aku yang ikut panik, mengumpulkan tas, ponsel Bang Hasan juga Tya dan tasku sendiri lalu ikut berlari. Saat ini, aku acuh jika para pelanggan di sana mulai menggosipkan kelakuan kami.

Meski mengenakan rok span dan heels runcing, Tya berjalan dengan sangat cepat menuju parkiran mobil yang berjarak lumayan jauh dari restoran. Setidaknya, kami tidak jadi tontonan gratis untuk para pengunjung lagi. 

Gadis itu berhenti tepat di sebelah mobilnya sendiri, sedikit terhalang dari posisiku berdiri, karena saat ini, aku memilih posisi di depan mobil. Menjaga sedikit jarak dengan bang Hasan agar lelaki itu tidak melihat wajah menyedihkan ini. 

Aku tidak punya keberanian untuk melihat perdebatan antara Tya dan Bang Hasan. Apalagi jika Tya memarahi pemuda yang membuat jantungku berdetak dengan sangat cepat itu. Sudah dapat dipastikan, rasa sedihku akan menjadi berlipat ganda. 

“Apa maksud Abang menikahi Anisya?” Tya menatap Bang Hasan dengan tatapan yang menghunus tajam. Siap menghujam kedalaman manik mata pemuda itu. 

Bang Hasan terlihat meneguk saliva, dari jakunnya yang naik dan turun. “Karena Abang merasa dia pantas untuk Abang,” jawabnya yakin. 

“Alah, bilang aja karena Anisya cantik, kan? Udahlah, Bang. Aku kira, Abang akan lebih bijak dan bisa memilih dengan baik. Ternyata, Bang Hasan sama saja.” Terlihat kekecewaan yang mendalam terpancar dari manik mata Tya dari tempatku berdiri. 

Ingin sekali aku menumpahkan air mata dengan bebas, melihat bagaimana Tya begitu menyayangi diriku dan membelaku di depan Bang Hasan. 

“Bukan, Tya. Bukan karena dia cantik. Gadis cantik itu relatif, jika Abang memilih Anisya karena dia cantik, maka Abang akan tergoda gadis lain jika kecantikannya pudar suatu hari nanti.”

Perih sekali saat aku mendengar Bang Hasan melayangkan pembelaan untuk Anisya habis-habisan. Tidak terlihat sedikitpun persetujuan dari pemuda itu dengan ucapan Tya. 

Yah ... tentu saja. Anisya adalah gadis yang dia pilih untuk menjadi istrinya. Sangat tidak mungkin Bang Hasan akan membenarkan ucapan dari Tya dan menjelek-jelekkan Anisya. 

Sudahlah ... sudah usai semuanya. Perasaanku yang bertepuk sebelah tangan ini, sudah tidak lagi punya kesempatan, jika begitulah arti Anisya untuknya. 

Dari awal, ini memang salahku. Melabuhkan hati pada seseorang yang tidak halal untukku, hingga membuat Allah cemburu dan mematahkan hatiku, agar aku sadar, jika apa yang aku lakukan adalah sebuah kesalahan. 

“Sudahlah, Bang Hasan. Aku benar-benar kecewa karena pilihan Abang itu.” Tya mengibaskan tangan di depan wajah bang Hasan. 

Gadis itu beranjak mendekati pintu mobil di sisi kemudi, namun bang Hasan berbalik menahannya. 

“Jelaskan dulu, Tya! Apa maksud sikapmu ini?” 

“Tya? Kita pergi sekarang?” Buru-buru aku memotong pembicaraan keduanya sebelum Tya keceplosan. 

Tya masih diam meski sudah mendengar permintaanku padanya. “Tya? Ayolah. Jam mengajarku akan segera dimulai.”

“Sebentar, Zahrah. Abang juga tahu jam mengajarmu sudah selesai untuk hari ini. Biarkan Abang bicara dengan Tya.” Bang Hasan menatapku sejenak, sebelum kembali menundukkan sedikit paras tampannya demi menatap Tya yang tetap membisu. 

“Tya?” Aku terus mencoba mengingatkan gadis itu. 

“Abang akan tetap menikahi Anisya, apapun penjelasanmu, Tya.” 

“Sinting kamu, Bang! Kamu mau membunuh temanmu sendiri, hah?” Tya lagi-lagi menjerit yang membuat bang Hasan mundur selangkah. 

“Tya!!! Please, ayo pulang.” 

“Diam, Zahrah!” Akhirnya bang Hasan ikut meninggikan suara kepadaku. Membuatku berjengit, yang berakibat dengan gagalnya aku menahan tumpahan air mata. 

“Siapa yang Abang sakiti jika menikah dengan Anisya?” bang Hasan menatap wajah Tya. Menunggu gadis itu membeberkan rahasia yang kami pendam dalam-dalam. 

“Jelaskan, Tya!” 

“Tya, pulang, please?” pintaku hampir putus asa. 

“Zahrah! Abang akan membunuh Zahrah jika menikahi Anisya.” Tya membuka semuanya di hadapan bang Hasan dan aku. Membuat lelaki itu kembali berjalan mundur. 

--

Kuusap air mata yang meleleh tanpa henti, meski kejadian memalukan itu sudah berlalu berjam-jam lamanya. 

Tidak hanya soal Tya yang membuka semuanya, juga soal bang Hasan yang dengan segera menghubungi Anisya dan menanyai hal itu saat itu juga. 

Meski aku dan Tya tidak mengetahui pembicaraan apa yang keduanya lakukan. Namun bisa kulihat, jika bang Hasan begitu kebingungan, hingga menanyakan kebenaran akan hal ini pada calon istrinya. 

Akibatnya, Anisya membentakku dengan kasar begitu tiba di rumah. Lebih mirisnya lagi, mamak memandangku yang baru pulang dengan tatapan menyakitkan. Seolah-olah, tubuh ini telah berdosa dengan mencintai bang Hasan. Atau memang, diri ini sangat berdosa? 

“Kakak tega sekali sama Anisya! Memangnya salah Anisya apa sampai Kakak bilang ke calon suami Anisya, kalau Kakak punya perasaan sama dia?” Anisya segera menodongku tajam, tanpa membiarkanku beristirahat walau sejenak. 

“Kenapa? Kakak tidak rela kalau aku yang dilamar bang Hasan sampai-sampai bikin malu begitu, hah? Ya Allah, Kak. Apa Kakak sudah berniat merebut bang Hasan dari Anisya?” lanjut gadis itu dengan mata yang bergetar. 

Dadaku bagaikan dihantam oleh bebatuan yang besar berulangkali. Rasa sakitnya semakin menjadi-jadi saat aku menatap mamak yang berdiri di belakang adikku, menolehkan pandangan, seakan enggan menatap ke arahku. 

“Awas saja kalau sampai bang Hasan membatalkan pernikahan ini. Anisya pastikan hidup Kakak akan menderita.” Anisya menunjuk wajahku dengan telunjuknya. 

Gadis cantik itu tidak memberiku kesempatan untuk sekedar membela diri, meski wajahku sudah bersimbah air mata. 

“Mak? Lihat Mak, kakak nangis. Dia nangis setelah berusaha merebut calon suamiku,” adunya lagi. 

“Aku tidak merebut, Nisya!” Suaraku yang serak akhirnya keluar untuk membela diri. 

“Lalu apa maksudnya itu, hah? Kakak sengaja menemui bang Hasan dan membuka perasaan Kakak itu, hah? Apa Kakak enggak malu menyukai calon suami adik sendiri? Aku saja malu punya kakak seperti Kak Zahrah.”

“Ya Allah, Nisya. Tega sekali kamu!” lirihku dengan segala keputusasaan. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Namira P
mulut si anisya minta dilempar kampak
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status