“Apa-apaan ini, Bang Hasan? Keterlaluan sekali kelakuanmu ternyata, pantas kamu pulang-pulang langsung ngawinin Kak Zahrah, ternyata kamu mencari ibu buat anakmu, hah?” tukas Anisya.Aku yang melihat responnya barusan tercengang luar biasa. Dia yang biasanya tidak peduli dengan urusanku, tiba-tiba saja menjadi begitu menggebu-gebu hingga berhasrat untuk mencaci serta memaki Bang Hasan. Bibirnya aktif bergerak, seiring dengan jemari yang terus menunjuk pada Bang Hasan.Walau perutnya bulat dan ketat, Anisya berdiri dengan tegak, memandangi Bang Hasan yang baru saja mengaku di depan kami semua. Anisya membelaku, menentang hal yang akan menyakitiku meski dirinya tidak tahu asal-muasal permasalahannya.“Bang, kamu nikahin Kak Zahrah karena ini, hah? Picik sekali kelakuanmu. Aku makin bersyukur kita bercerai dulu,” selorohnya lagi. “Bisa-bisanya kamu melakukan hal busuk begini untuk Kak Zahrah, Bang? Setelah dulu menyakitinya, dan membuatnya menangis siang dan malam, sekarang kamu menambah
Bab 79: Di Ujung Kisah IniTiga Bulan KemudianAku menarik napas lega setelah mendengar jawaban dari Bang Hasan di seberang sana. Sudah beberapa jam kami terpisah. Bang Hasan sejak subuh tiba sudah berada di bandara Sultan Iskandar Muda, dan akan terbang bersama teman-teman sekantornya menuju Jakarta. Lagi, Bang Hasan kembali bertugas, kali ini seminggu lamanya.“Abang baru sampai, Sayang?!” ujarnya renyah. Tidak terasa lelah dari lekuk suaranya yang dalam itu. Padahal, aku hampir tidak bisa bernapas, tidak bisa lepas dari gawai serta jam yang terpampang di layar. Setiap detiknya kuhabiskan dengan terus berdoa, agar Bang Hasan selamat dalam perjalanan, tidak kurang suatu apapun.“Alhamdulillah, Bang. Dijemput, ya?” balasku.Kuremas gorden kecoklatan yang menjuntai dari atas itu. Rumah yang sudah direnovasi oleh Bang Hasan lebih kokoh dan bagus, lengkap dengan beberapa perabotan yang dicicil oleh kami bersama. Ada sesuatu yang terasa hilang; kehadiran Bang Hasan di dalam keseharianku.
“Menikah? Siapa yang akan menikah, Mak?” tanyaku setelah melepas heels yang seharian begitu menyiksa kaki.Tubuhku yang setinggi 155 cm membutuhkan bantuan dari sepatu berhak demi menunjang tinggi tubuhku ini. Mengendarai motor matik yang tinggi, juga cukup membantu dengan menggunakan heels.Aku meletakkan sepatu mengkilap berwarna hitam yang telah kusemir pagi ini di atas rak sepatu teratas. Sebuah senyum kusematkan saat melihat raut wajah bahagia yang tersurat dari wajah Mamak dan Anisya, adikku satu-satunya.
“Astagfirullah!” Aku memekik cukup keras saat terbangun dari tidur.Ponsel menjadi tujuanku saat ini demi mengetahui jam yang tertera di layar. Bisa kurasakan wajah yang masih panas dan mata yang membengkak, meski begitu aku ingat benar jika aku telah melewatkan salat dhuhur.Jam 14.30! Mataku membulat dengan cepat.Aku menghempas ponsel tersebut di kasur lalu melompat turun dari ranjang. Bergegas mengganti pakaian dengan setelan rumahan.
Sejenak aku tertegun mendapati pesan dari nomor tidak dikenal itu.“Abang Zaky?” Aku merenung, sembari mengingat nama Zaky yang pernah terlintas di dalam hidupku. Memang benar, pernah ada lelaki bernama Zaky yang singgah, sebagai teman, tidak pernah lebih dari itu. Seingatku, Bang Zaky juga sudah menikah dengan bidadarinya dari kota Medan tiga tahun yang lalu. Gadis berparas cantik yang sanggup membuatku iri. Drt! Ponsel
“Zahrah? Yang bener aja, ditelpon susah banget, sih?” Seruan keras yang mendadak terdengar membuatku segera berbalik. Terik panas matahari yang menyengat ubun-ubun, meski berpelindung jilbab tetap saja terasa menyakitkan. Meski begitu, aku memilih diam, menahan panas dengan tangan yang aku tangkupkan di kening. “Aduh! Tya?! Ngapain di sini? Kok Bu Sekretaris seperti kamu nyasar ke kampus?” sindirku begitu mengenali gadis dengan setelan jas dan jilbab yang melilit leher datang mendekat. Langkah gadis itu begitu anggun, ditunjang dengan heelsnya yang seruncing jarum. “Nyindir? Dasar, Bu Dos!” ujarnya begitu berdiri di hadapanku. “Aku mau ngajakin kamu makan siang. Mumpung atasanku lagi dinas, bisa berleha-leha di kantor, terus jam makan siang bisa lebih lama. Hahaha!” Gelak tawa Tya terdengar cukup keras. Gadis itu memamerkan barisan giginya yang putih dengan deret atas dipagari behel. Buru-buru aku menutup mulut Tya dengan tanga
Sejenak, aku menatap kosong pada dinding kamar yang didominasi warna abu-abu. Tubuh lelah ini, terduduk dengan posisi bersandar di dashboard kayu kamar sederhana. Menikmati harum samar-samar dari pengharum ruangan otomatis yang tergantung di dinding. Hening! Sepi! Tidak ada satu suara pun yang menggema di setiap sisi rumah. Sesekali, sahut-sahutan suara cicak, lalu dengungan nyamuk menjadi alunan musik yang menemani malamku yang pilu. Aku ingat benar, hardikan kasar yang dilemparkan Anisya kepadaku magrib tadi. Gadis itu ingin sekali menjambak rambutku, namun berusaha dia tahan dengan sekuat tenaga demi menghormati mamak. Tidak pernah terbayangkan di dalam anganku, jika Bang Hasan akan mengetahui perasaan terpendam ini dengan cara memalukan begini. Bahkan, melalui mulut orang lain. Iya! Tyalah yang membeberkan semua hal itu pada Bang Hasan siang tadi. Membuat lelaki itu terperanjat dengan mulut yang membulat. 
Sudah larut malam namun mamak dan Anisya tidak kunjung pulang ke rumah. Keduanya nekat mendatangi rumah Bang Hasan karena khawatir jika pemuda itu akan membatalkan pernikahan.Beranjak dari ranjangku yang hangat, aku keluar dari kamar lalu duduk di ruang keluarga dengan perasaan bimbang.Dalam hati, kurapalkan sejuta do'a, agar kepulangan mamak dan Anisya membawa kabar gembira, untuk Anisya. Tidak bisa kubayangkan jika gadis itu akan menyalahkanku seumur hidupnya jika terjadi sesuatu dengan rencana pernikahannya.Lama aku duduk sembari menggenggam ponsel di tangan. Pesan-pesan beruntun yang terus bermunculan terus aku abaikan. Tya, Wulan juga Bang Hasan terus memberondongku dengan pesan-pesan yang semakin lama semakin tenggelam.Tidak ada sedikitpun keinginan untuk membuka pesan-pesan chat tersebut. Sebab, pikiranku masih berkecamuk soal Anisya dan mamak yang belum juga pulang.Hampir satu jam lamanya aku duduk, deru mesin motor matikku terdengar. Sebuah kab