“Zahrah? Yang bener aja, ditelpon susah banget, sih?” Seruan keras yang mendadak terdengar membuatku segera berbalik.
Terik panas matahari yang menyengat ubun-ubun, meski berpelindung jilbab tetap saja terasa menyakitkan. Meski begitu, aku memilih diam, menahan panas dengan tangan yang aku tangkupkan di kening.
“Aduh! Tya?! Ngapain di sini? Kok Bu Sekretaris seperti kamu nyasar ke kampus?” sindirku begitu mengenali gadis dengan setelan jas dan jilbab yang melilit leher datang mendekat. Langkah gadis itu begitu anggun, ditunjang dengan heelsnya yang seruncing jarum.
“Nyindir? Dasar, Bu Dos!” ujarnya begitu berdiri di hadapanku. “Aku mau ngajakin kamu makan siang. Mumpung atasanku lagi dinas, bisa berleha-leha di kantor, terus jam makan siang bisa lebih lama. Hahaha!” Gelak tawa Tya terdengar cukup keras.
Gadis itu memamerkan barisan giginya yang putih dengan deret atas dipagari behel. Buru-buru aku menutup mulut Tya dengan tangan saat menyadari jika beberapa mahasiswa mulai melirik ke arah kami.
Wajar saja, penampilan Tya yang tidak cocok dengan suasana kampus ini membuatnya jadi pusat perhatian, belum termasuk tawanya yang suka meledak itu.
Sebelum gadis itu menjadi lebih tenar, aku memutuskan untuk menariknya pergi meninggalkan gedung Fakultas Ekonomi dan Bisnis tempatku mengabdi.
Menumpang dengan mobil gadis itu, kami berpindah cepat ke restoran yang menghidangkan ayam geprek dengan berbagai level pedas. Cukup sepuluh menit perjalanan, dan kami tiba di sana.
Kebetulan saat kami datang, restoran sudah disesaki pengunjung. Maklum saja, jam makan siang sudah dimulai saat aku selesai mengajar.
“Lesehan?” Aku menilik Tya yang mulai mencari-cari posisi duduk terbaik.
Restoran yang kami datangi saat ini, menyediakan dua opsi tempat duduk untuk pelanggannya yang menggunung. Opsi pertama tentu saja duduk di kursi dan meja, opsi kedua duduk lesehan di pondok-pondok mungil beratapkan daun.
“Rok ...,” keluh Tya. Gadis itu menunjuk rok span panjangnya yang sedikit sempit. Pasti tidak akan nyaman jika harus duduk lesehan dengan rok sempit begitu.
“Oke! Di meja paling pojok.”
Tya tersenyum lalu berlari kecil menuju meja di sudut restoran. Gadis itu terlihat begitu buru-buru, takut jika pelanggan lain akan merebut tempat favoritnya.
“Seperti biasa, ya? Hihi ....” Tya cekikikan saat melihat sederet menu yang terdaftar di buku menu.
“Okey ... paket couple, walau kita bukan couple.”
“Hemat, Bu! Akhir bulan ini.”
“Berhemat? Bu Sekretaris bisa berhemat juga?”
Aku dan Tya cukup kaget saat mendengar sahutan dari seseorang.
Suara yang cukup familiar di telingaku membuat bulu kudukku meremang. Sangat tidak mungkin pemuda yang aku bayangkan itu sedang ada di sini. Tetapi, siapa lagi pemuda lain yang memiliki suara indah itu?
“Bro ... Lanjut! Aku gabung sama temen-temen dulu.” Pemuda itu berucap pada sekelompok lelaki lain yang menempati meja agak jauh dari kami.
Tanpa permisi, dia sudah menduduki kursi di sebelah Tya. Nampan berwarna pekat, yang berisi paket makan siangnya ikut dia letakkan di meja.
“Hai Tya, hai Zahrah?!”
“Bang Hasan? Makan di sini juga?” Tya segera memberondong pemuda itu dengan pertanyaan.
Bang Hasan dan Tya, meski duduk bersebelahan, keduanya menarik jarak yang cukup hingga siku tidak beradu saat bergerak. Apalagi sampai menyentuh lutut satu sama lain. Sungguh, keduanya sangat paham batasan dalam berteman.
“Yap! Mau coba menu baru, bosen sama catering di kantor.” Bang Hasan menyahuti gadis di sebelahnya.
“Pamer mulu, Bang. Mentang-mentang anak BUMN,” sindir Tya.
Keduanya bertukar kata cukup seru, mengabaikanku yang hanya diam seribu bahasa. Gadis seperti Tya memang tipikal gadis yang menyenangkan untuk diajak bicara.
Abaikan Tya yang cerewet, sekarang aku begitu terfokus pada pemuda di hadapanku.
Bang Hasan, lelaki yang akan menikahi adikku, dan begitu kukagumi itu terlihat sangat tampan hari ini. Kemeja navy yang melekat di tubuhnya, berpadu celana bahan gelap dan sepatu pantofel mengkilap, juga badge dari perusahaan BUMN ternama yang tersimpan di saku kemeja.
Aku menggeleng dengan cepat demi mengusir pikiran tentang Bang Hasan, sebelum pikiranku melompati batas. Ya Allah! Kenapa sulit sekali untuk berhenti mengagumi pemuda ini?
“Zahrah? Kamu sudah tahu, kan?”
Samar-samar kudengar suara Bang Hasan memanggil namaku. Meski kedua mata ini nanar, bisa kulihat jika Bang Hasan dan Tya sama-sama memandang ke arahku.
“Zahrah?” Tya kembali memanggil. Terlihat jelas jika gadis itu mulai khawatir denganku.
“Kenapa, Zahrah? Sakit?”
“Enggak kok, Bang Hasan. Aku enggak sakit. Biasa, cuaca panas, jadi agak gerah,” elakku cepat.
Aku berusaha sekuat tenaga untuk acuh pada jantung yang memompa. Meski aku bisa menutupi debaran jantung, namun tidak bisa menutupi tangan yang mulai gemetar serta terasa dingin, juga pelipis yang telah banjir keringat.
Ingin sekali aku melarikan diri dari situasi saat ini. Sebab bagaimanapun, aku tidak punya kekuatan untuk makan siang bersama Bang Hasan.
Kenapa Bang Hasan setega itu padaku? Apa aku tidak boleh makan dengan tenang bersama Tya? Hingga dia dengan polosnya datang dan bergabung di sini? Seharusnya, Bang Hasan duduk dengan teman-temannya yang sedari tadi memandangi kami. Bukannya nyasar ke sini!
“Zahrah, apa bunda sudah menelfon mamak?” Bang Hasan mengubah arah pembicaraan kami.
Sejenak aku tertegun. Oh ... mungkin ini alasan kenapa Bang Hasan duduk bersama kami. Sudah tentu, tidak akan jauh-jauh soal calon istrinya.
Sakit? Iya! Namun entah yang mana yang lebih sakit. Sebab semuanya terasa sangat sakit saat ini.
“Memangnya ada perlu apa, Bang?” potong Tya. Gadis itu berpura-pura tidak sadar jika aku sudah begitu gemetaran di hadapan Bang Hasan. Namun tanpa sadar, gadis itu sudah mengorek rahasia yang kututupi darinya dan Wulan.
Baik Tya dan Wulan, keduanya sudah mengikat janji untuk tidak ikut campur soal aku dan Bang Hasan. Apalagi sampai membeberkan pada pemuda itu, jika hatiku terus saja berdenyut karenanya.
“Ah ... kamu belum tahu? Abang sudah ngelamar ....”
“Oh, aku sudah tahu, kok. Group Alumni heboh gara-gara Bang Hasan lamaran. Kenapa enggak bilang-bilang kalau mau lamaran? Maunya kode dulu, Bang.”
“Sudah tahu, ya? Memang sengaja Abang rahasiakan sampai hati ini mantap, Tya. Sekarang sudah mantap, jadi Abang cerita ke beberapa teman saat kuliah dulu, sekalian minta saran mereka yang sudah lebih dulu nikah,” jelas Bang Hasan dengan wajah tersenyum.
Dari tempatku duduk, bisa kubaca, jika Bang Hasan begitu bahagia sudah berhasil mempersunting Anisya. Walau, pemuda itu tidak tahu, jika Anisya sempat membandingkan dirinya dengan Bang Burhan.
“Wah ... bagus dong, Bang. Bidadarinya cantik pasti?!” Tya terus mengorek informasi soal calon pengantinnya Bang Hasan.
Gadis itu begitu terfokus dengan tujuannya saat ini, hingga nasi uduk dan ayam geprek level tiga yang sudah datang dia abaikan.
“Loh? Kirain kamu sudah tahu, Tya. Memangnya Zahrah enggak cerita?” Kini Bang Hasan menoleh ke arahku.
Astagfirullah! Kenapa sulit sekali untuk sekedar membela diri? Suaraku seakan tercekat. Hilang tidak tersisa.
Kuteguk salivaku yang macet di tenggorokan, lalu mengukir senyum yang aku sendiri tidak tahu alasannya. Aneh, tersenyum saja sudah tidak tahu penyebabnya. Ternyata, patah hati bisa menyeretku hingga ke batas kewarasan.
“Cerita apa?” Tya mendelik ke arah Bang Hasan, lalu ke arahku, “Apa, sih? Jangan bikin aku penasaran.”
“Abang ngelamar Dek Anisya, memangnya Zahrah belum cerita? Rencananya, lamaran resminya dalam waktu dekat. Tunggu kesepakatan tanggal dari keluarga Dek Anisya.”
Astaga, Bang Hasan! Ingin sekali aku kabur saat ini juga. Sungguh, rasanya seperti dicabik-cabik.
“Hah? Anisya? Sudah gila kamu, Bang?” sembur Tya dengan telunjuk yang menunjuk wajah Bang Hasan.
Gadis itu bangun dari duduknya, wajahnya merah padam, menatap Bang Hasan dengan seluruh kemarahan yang ingin dia umbar.
Bab 79: Di Ujung Kisah IniTiga Bulan KemudianAku menarik napas lega setelah mendengar jawaban dari Bang Hasan di seberang sana. Sudah beberapa jam kami terpisah. Bang Hasan sejak subuh tiba sudah berada di bandara Sultan Iskandar Muda, dan akan terbang bersama teman-teman sekantornya menuju Jakarta. Lagi, Bang Hasan kembali bertugas, kali ini seminggu lamanya.“Abang baru sampai, Sayang?!” ujarnya renyah. Tidak terasa lelah dari lekuk suaranya yang dalam itu. Padahal, aku hampir tidak bisa bernapas, tidak bisa lepas dari gawai serta jam yang terpampang di layar. Setiap detiknya kuhabiskan dengan terus berdoa, agar Bang Hasan selamat dalam perjalanan, tidak kurang suatu apapun.“Alhamdulillah, Bang. Dijemput, ya?” balasku.Kuremas gorden kecoklatan yang menjuntai dari atas itu. Rumah yang sudah direnovasi oleh Bang Hasan lebih kokoh dan bagus, lengkap dengan beberapa perabotan yang dicicil oleh kami bersama. Ada sesuatu yang terasa hilang; kehadiran Bang Hasan di dalam keseharianku.
“Apa-apaan ini, Bang Hasan? Keterlaluan sekali kelakuanmu ternyata, pantas kamu pulang-pulang langsung ngawinin Kak Zahrah, ternyata kamu mencari ibu buat anakmu, hah?” tukas Anisya.Aku yang melihat responnya barusan tercengang luar biasa. Dia yang biasanya tidak peduli dengan urusanku, tiba-tiba saja menjadi begitu menggebu-gebu hingga berhasrat untuk mencaci serta memaki Bang Hasan. Bibirnya aktif bergerak, seiring dengan jemari yang terus menunjuk pada Bang Hasan.Walau perutnya bulat dan ketat, Anisya berdiri dengan tegak, memandangi Bang Hasan yang baru saja mengaku di depan kami semua. Anisya membelaku, menentang hal yang akan menyakitiku meski dirinya tidak tahu asal-muasal permasalahannya.“Bang, kamu nikahin Kak Zahrah karena ini, hah? Picik sekali kelakuanmu. Aku makin bersyukur kita bercerai dulu,” selorohnya lagi. “Bisa-bisanya kamu melakukan hal busuk begini untuk Kak Zahrah, Bang? Setelah dulu menyakitinya, dan membuatnya menangis siang dan malam, sekarang kamu menambah
Aku menarik napas dalam hingga dada ini membusung saat dua tapak kaki menapak di teras rumah yang beralaskan semen. Dingin terasa di ujung jemari, terlebih begitu menyadari jika pintu rumah terbuka lebar dan Si Kembar terlelap di atas sofa. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Anisya yang harusnya menjaga anak-anak menggemaskan itu. Pun Bang Burhan juga tidak terlihat rimbanya.Kuputuskan untuk segera masuk, tidak lupa tetap memberi salam. Bang Hasan menyusul dari arah belakang tanpa mengucapkan sepatah kata selain salam. Dia mengikutiku, memasang wajah bingung dengan kondisi rumah yang seperti kapal pecah. Mainan berhamburan, sepertinya baru dibelikan Bang Burhan untuk anak-anaknya. Sebab seingatku, saat mereka tiba kemarin, tidak ada satu mainan pun dibawanya pulang.Plastik yang membalut susunan pakaian juga tergeletak di lantai. Atasnya telah terbuka, dan sebagian isinya terburai keluar. Sepertinya, hasil dari laundry.“Nisya?” panggilku. Meradang hati ini membayangkan bagaimana dia me
“Lain kali jangan sembarangan memanggil nama istriku, Bang!” Bang Hasan menegur sepupunya dengan intonasi yang dalam. Pria itu berdiri tegak, menghalangi sepenuhnya pandanganku dari pria yang pernah singgah di dalam hidup kami berdua. Bang Hasan bahkan tidak bersedia membiarkanku menjawab sapaan Bang Zaky barusan.“Aku tidak suka mendengarnya, terlebih jika itu darimu!” sambung Bang Hasan.Terasa suasana di antara kami kian mencekam. Bang Hasan tersulut emosinya hanya dengan kehadiran Bang Zaky. Padahal pria itu hanya menegur, sebab tidak sengaja bertemu dengan kami di rumah sakit ini.“Santai, San! Santai ....” Dua tangan Bang Zaky terhampar di depan dada Bang Hasan. Sikapnya seolah ingin menegaskan bahwa niatnya tidak lebih dari menyapa. “Aku tidak tahu kalau kamu tidak menyukai saudaramu sendiri.”“Ya, aku memang tidak suka.” Bang Hasan menjawabnya dengan tegas.Kupandangi belakang kepala Bang Hasan. Pria itu tidak bergeming. Meski di antara kami, banyak keluarga pasien yang melint
“Kenapa diam? Ada apa dengan ekspresimu, Sayang?” tanya Bang Hasan.Dia mendekat padaku hingga jarak kami tidak lebih jauh dari sebilah penggaris. Dua tangannya yang besar dan hangat jatuh di pundakku, lalu sorot mata kami saling beradu. Dari pergerakan pupilnya aku segera tahu jika Bang Hasan sedang mencoba menerjemahkan perubahan dari raut wajah istrinya sendiri.“Mamak masih tidak setuju, Zahrah?” ucapnya.Aku terdiam, lidah ini kelu rasanya. Tidak mungkin kujelaskan bagaimana respon mamak mertua saat keinginan ini sampai padanya. Tapi diam terlalu lama hanya akan membuat Bang Hasan sibuk menduga-duga. Bagaimana solusinya? Apa yang harus kulakukan agar dua orang yang berbagi darah ini tidak saling salah paham nantinya?“Abang akan bicara dengan mamak sekarang!” tegasnya.Bang Hasan telah berdiri saat tangannya berhasil kucegat dengan cepat. Pria itu tidak peduli dengan responku dan terus berjalan sampai aku sedikit terseret olehnya. “Abang?”“Zahrah? Biarkan Abang bicara dengan mam
Sore harinya, aku keluar dari kamar usai melaksanakan salat asar. Terdengar suara mamak mertua yang sedang bermain dengan Husein di ruang keluarga. Suaranya yang renyah dan dendang lagunya menandakan betapa senang hati wanita itu.Kuberanikan diri untuk mendekat, menuruni setiap anak tangga dari lantai dua menuju lantai pertama tanpa memindahkan pandangan dari dua insan itu. Guratan wajah mamak mertua begitu ceria, sedangkan si kecil Husein sibuk mendorong mobil-mobilannya dengan tangan gempalnya. Dia tidak rewel, tidak menuntut susu coklat seperti pagi tadi, atau meminta digendong sepanjang hari. Bagiku, Husein cukup mandiri dibanding anak-anak kebanyakan. Mungkin, hati kecilnya paham bahwa dunia yang dimasukinya saat ini bukanlah dunia yang sama dengan yang dihadirkan oleh kedua orang tuanya dulu.“Mau apa Adek?” Mamak mertua memanggil Husein. “Mau apa, Sayang?”Husein mengangkat wajah. Tidak ada jawaban apapun, dia hanya memperlihatkan mobilan truck warna kuningnya. Lalu, seolah me
Setelah mendapatkan apa yang kucari dari apotek, kami bergerak dengan cepat menuju rumah mamak mertua. Bang Hasan di sebelah mobil tidak bertanya apapun, bahkan dia lupa jika hari ini seharusnya masuk kerja.Mobil yang disetirinya mengambil jalur putar arah, lalu bergerak menuju sebuah rumah yang begitu familier dengan kami. Halamannya hening sempurna, tidak ada siapapun di depannya, seolah-olah tidak ada satu kehidupan pun yang bersembunyi di balik bangunan besar itu.“Abang langsung ke kantor saja, aku akan masuk dan bicara sendiri!” pintaku pada Bang Hasan. Kantong plastik bertuliskan nama apotek ternama itu kuremas sekuat tenaga. Perasaanku bercabang banyak arah, namun terus tertahan di dalam rongga dada agar pria itu tidak merasakannya sedikitpun.Bukannya aku tidak menghargai hadirnya sebagai seorang suami, melainkan semuanya hanya untuk menjaga hubungan kami. Aku tidak ingin memberinya terlalu banyak harapan akan sesuatu yang belum pasti, dan ingin fokus pada hal yang sudah ter
“Apa lagi ini, Abang? Di mana kalimatku yang menegaskan kalau aku keberatan jika Husein bersama kita?” protesku segera. Padahal hanya satu kalimatnya, namun emosiku tersulut begitu hebat dan dalam waktu yang begitu singkat.Bang Hasan salah paham? Tapi kenapa? Apa yang membuatnya mengira kalau aku membenci anak kecil malang yang begitu polos itu? Tidakkah dia tahu bahwa dirinya juga menikahi seseorang yang tidak lagi memiliki orang tua di dunia ini?Selesai masalah antara Annisa dan Bang Burhan, kini Bang Hasan mulai memupuk masalah di dalam rumah tangga kami. Dia baru saja pulang dari dinasnya, belum usai rindu kami bina bersama dan Bang Hasan malah membuat perasaanku berderak geram karenanya.“Apa menuduhku tanpa ada penyebabnya. Padahal aku tidak pernah berpikir begitu terhadap Husein.”“Tidak, Zahrah ... Abang hanya terawa perasaan setelah melihat Anisya.”“Lalu Abang mengira aku akan sama dengannya? Aku tahu, Abang pernah menikah dengan Anisya, tapi sekarang yang Abang nikahi itu
Pagi menyingsing dengan cepat. belum genap dua jam aku beristirahat, semburat matahari terasa dari jendela kamar. Kemudian, disusul hiruk-pikuk dari orang-orang di luar sana. Beberapa perawat berlalu lalang di depan kamar Anisya, pun sesekali dokter, petugas kebersihan dan keluarga pasien.Aku yang tertidur di sofa segera mengusap wajah. Kulirik Anisya, wanita itu masih terlelap di brangkar, dengan posisi yang sama seperti semalam. Satu tangannya masih mendekap gawai, dan raut wajahnya sesekali merengut, seperti sedang bermimpi buruk.Kuhela napas, semuanya tetap saja sama beratnya di pundak. Andai saja mamak dan bapak ada di sini, mungkin perjalanan hidup kami akan terasa berbeda. Seberat apapun masalahnya, jadi lebih mudah kala dihadapi dengan nasihat mamak dan bapak, saat ditemani oleh dua orang yang telah melahirkan kami berdua ke dunia.Sesaat, aku memutuskan untuk menghapus lamunan itu, lalu beristigfar segera. Tidak boleh begini, sama sekali tidak boleh mengeluhkan takdir yang