Share

Bab 4: Obrolan Siang Itu

“Zahrah? Yang bener aja, ditelpon susah banget, sih?” Seruan keras yang mendadak terdengar membuatku segera berbalik. 

Terik panas matahari yang menyengat ubun-ubun, meski berpelindung jilbab tetap saja terasa menyakitkan. Meski begitu, aku memilih diam, menahan panas dengan tangan yang aku tangkupkan di kening. 

“Aduh! Tya?! Ngapain di sini? Kok Bu Sekretaris seperti kamu nyasar ke kampus?” sindirku begitu mengenali gadis dengan setelan jas dan jilbab yang melilit leher datang mendekat. Langkah gadis itu begitu anggun, ditunjang dengan heelsnya yang seruncing jarum. 

“Nyindir? Dasar, Bu Dos!” ujarnya begitu berdiri di hadapanku. “Aku mau ngajakin kamu makan siang. Mumpung atasanku lagi dinas, bisa berleha-leha di kantor, terus jam makan siang bisa lebih lama. Hahaha!” Gelak tawa Tya terdengar cukup keras. 

Gadis itu memamerkan barisan giginya yang putih dengan deret atas dipagari behel. Buru-buru aku menutup mulut Tya dengan tangan saat menyadari jika beberapa mahasiswa mulai melirik ke arah kami. 

Wajar saja, penampilan Tya yang tidak cocok dengan suasana kampus ini membuatnya jadi pusat perhatian, belum termasuk tawanya yang suka meledak itu.

Sebelum gadis itu menjadi lebih tenar, aku memutuskan untuk menariknya pergi meninggalkan gedung Fakultas Ekonomi dan Bisnis tempatku mengabdi. 

Menumpang dengan mobil gadis itu, kami berpindah cepat ke restoran yang menghidangkan ayam geprek dengan berbagai level pedas. Cukup sepuluh menit perjalanan, dan kami tiba di sana. 

Kebetulan saat kami datang, restoran sudah disesaki pengunjung. Maklum saja, jam makan siang sudah dimulai saat aku selesai mengajar.

“Lesehan?” Aku menilik Tya yang mulai mencari-cari posisi duduk terbaik. 

Restoran yang kami datangi saat ini, menyediakan dua opsi tempat duduk untuk pelanggannya yang menggunung. Opsi pertama tentu saja duduk di kursi dan meja, opsi kedua duduk lesehan di pondok-pondok mungil beratapkan daun. 

“Rok ...,” keluh Tya. Gadis itu menunjuk rok span panjangnya yang sedikit sempit. Pasti tidak akan nyaman jika harus duduk lesehan dengan rok sempit begitu. 

“Oke! Di meja paling pojok.” 

Tya tersenyum lalu berlari kecil menuju meja di sudut restoran. Gadis itu terlihat begitu buru-buru, takut jika pelanggan lain akan merebut tempat favoritnya. 

“Seperti biasa, ya? Hihi ....” Tya cekikikan saat melihat sederet menu yang terdaftar di buku menu. 

“Okey ... paket couple, walau kita bukan couple.” 

“Hemat, Bu! Akhir bulan ini.”

“Berhemat? Bu Sekretaris bisa berhemat juga?” 

Aku dan Tya cukup kaget saat mendengar sahutan dari seseorang. 

Suara yang cukup familiar di telingaku membuat bulu kudukku meremang. Sangat tidak mungkin pemuda yang aku bayangkan itu sedang ada di sini. Tetapi, siapa lagi pemuda lain yang memiliki suara indah itu? 

“Bro ... Lanjut! Aku gabung sama temen-temen dulu.” Pemuda itu berucap pada sekelompok lelaki lain yang menempati meja agak jauh dari kami. 

Tanpa permisi, dia sudah menduduki kursi di sebelah Tya. Nampan berwarna pekat, yang berisi paket makan siangnya ikut dia letakkan di meja. 

“Hai Tya, hai Zahrah?!” 

“Bang Hasan? Makan di sini juga?” Tya segera memberondong pemuda itu dengan pertanyaan. 

Bang Hasan dan Tya, meski duduk bersebelahan, keduanya menarik jarak yang cukup hingga siku tidak beradu saat bergerak. Apalagi sampai menyentuh lutut satu sama lain. Sungguh, keduanya sangat paham batasan dalam berteman. 

“Yap! Mau coba menu baru, bosen sama catering di kantor.” Bang Hasan menyahuti gadis di sebelahnya. 

“Pamer mulu, Bang. Mentang-mentang anak BUMN,” sindir Tya. 

Keduanya bertukar kata cukup seru, mengabaikanku yang hanya diam seribu bahasa. Gadis seperti Tya memang tipikal gadis yang menyenangkan untuk diajak bicara. 

Abaikan Tya yang cerewet, sekarang aku begitu terfokus pada pemuda di hadapanku. 

Bang Hasan, lelaki yang akan menikahi adikku, dan begitu kukagumi itu terlihat sangat tampan hari ini. Kemeja navy yang melekat di tubuhnya, berpadu celana bahan gelap dan sepatu pantofel mengkilap, juga badge dari perusahaan BUMN ternama yang tersimpan di saku kemeja. 

Aku menggeleng dengan cepat demi mengusir pikiran tentang Bang Hasan, sebelum pikiranku melompati batas. Ya Allah! Kenapa sulit sekali untuk berhenti mengagumi pemuda ini? 

“Zahrah? Kamu sudah tahu, kan?” 

Samar-samar kudengar suara Bang Hasan memanggil namaku. Meski kedua mata ini nanar, bisa kulihat jika Bang Hasan dan Tya sama-sama memandang ke arahku. 

“Zahrah?” Tya kembali memanggil. Terlihat jelas jika gadis itu mulai khawatir denganku. 

“Kenapa, Zahrah? Sakit?” 

“Enggak kok, Bang Hasan. Aku enggak sakit. Biasa, cuaca panas, jadi agak gerah,” elakku cepat. 

Aku berusaha sekuat tenaga untuk acuh pada jantung yang memompa. Meski aku bisa menutupi debaran jantung, namun tidak bisa menutupi tangan yang mulai gemetar serta terasa dingin, juga pelipis yang telah banjir keringat. 

Ingin sekali aku melarikan diri dari situasi saat ini. Sebab bagaimanapun, aku tidak punya kekuatan untuk makan siang bersama Bang Hasan. 

Kenapa Bang Hasan setega itu padaku? Apa aku tidak boleh makan dengan tenang bersama Tya? Hingga dia dengan polosnya datang dan bergabung di sini? Seharusnya, Bang Hasan duduk dengan teman-temannya yang sedari tadi memandangi kami. Bukannya nyasar ke sini!

“Zahrah, apa bunda sudah menelfon mamak?” Bang Hasan mengubah arah pembicaraan kami. 

Sejenak aku tertegun. Oh ... mungkin ini alasan kenapa Bang Hasan duduk bersama kami. Sudah tentu, tidak akan jauh-jauh soal calon istrinya. 

Sakit? Iya! Namun entah yang mana yang lebih sakit. Sebab semuanya terasa sangat sakit saat ini. 

“Memangnya ada perlu apa, Bang?” potong Tya. Gadis itu berpura-pura tidak sadar jika aku sudah begitu gemetaran di hadapan Bang Hasan. Namun tanpa sadar, gadis itu sudah mengorek rahasia yang kututupi darinya dan Wulan. 

Baik Tya dan Wulan, keduanya sudah mengikat janji untuk tidak ikut campur soal aku dan Bang Hasan. Apalagi sampai membeberkan pada pemuda itu, jika hatiku terus saja berdenyut karenanya. 

“Ah ... kamu belum tahu? Abang sudah ngelamar ....”

“Oh, aku sudah tahu, kok. Group Alumni heboh gara-gara Bang Hasan lamaran. Kenapa enggak bilang-bilang kalau mau lamaran? Maunya kode dulu, Bang.” 

“Sudah tahu, ya? Memang sengaja Abang rahasiakan sampai hati ini mantap, Tya. Sekarang sudah mantap, jadi Abang cerita ke beberapa teman saat kuliah dulu, sekalian minta saran mereka yang sudah lebih dulu nikah,” jelas Bang Hasan dengan wajah tersenyum. 

Dari tempatku duduk, bisa kubaca, jika Bang Hasan begitu bahagia sudah berhasil mempersunting Anisya. Walau, pemuda itu tidak tahu, jika Anisya sempat membandingkan dirinya dengan Bang Burhan. 

“Wah ... bagus dong, Bang. Bidadarinya cantik pasti?!” Tya terus mengorek informasi soal calon pengantinnya Bang Hasan. 

Gadis itu begitu terfokus dengan tujuannya saat ini, hingga nasi uduk dan ayam geprek level tiga yang sudah datang dia abaikan. 

“Loh? Kirain kamu sudah tahu, Tya. Memangnya Zahrah enggak cerita?” Kini Bang Hasan menoleh ke arahku. 

Astagfirullah! Kenapa sulit sekali untuk sekedar membela diri? Suaraku seakan tercekat. Hilang tidak tersisa.

Kuteguk salivaku yang macet di tenggorokan, lalu mengukir senyum yang aku sendiri tidak tahu alasannya. Aneh, tersenyum saja sudah tidak tahu penyebabnya. Ternyata, patah hati bisa menyeretku hingga ke batas kewarasan. 

“Cerita apa?” Tya mendelik ke arah Bang Hasan, lalu ke arahku, “Apa, sih? Jangan bikin aku penasaran.”

“Abang ngelamar Dek Anisya, memangnya Zahrah belum cerita? Rencananya, lamaran resminya dalam waktu dekat. Tunggu kesepakatan tanggal dari keluarga Dek Anisya.”

Astaga, Bang Hasan! Ingin sekali aku kabur saat ini juga. Sungguh, rasanya seperti dicabik-cabik. 

“Hah? Anisya? Sudah gila kamu, Bang?” sembur Tya dengan telunjuk yang menunjuk wajah Bang Hasan. 

Gadis itu bangun dari duduknya, wajahnya merah padam, menatap Bang Hasan dengan seluruh kemarahan yang ingin dia umbar. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status