LOGIN“Hujan?”
Suri mengeluh saat mendengar tetes air dari luar. Ia hanya membuat rencana untuk malam cerah. Suri sudah memeriksa prakiraan cuaca juga dan seharusnya malam ini cerah.
Tapi siapapun yang mengumpulkan data alam untuk hari ini sepertinya melakukan pekerjaan buruk sampai prakiraannya meleset.
Suri menarik tirai dan melihat hujan bertambah deras. Untungnya pernikahan itu masih bertema indoor, jadi tidak akan berdampak untuk acara besar besok, tapi tetap saja berdampak untuk Suri.
Suri menatap ke arah kamar Leland dan melihat lampunya masih mati. Kemungkinan ia belum datang, tapi pasti sebentar lagi.
Suri mengulurkan tangan sampai tetes hujan membasahinya, memikirkan cara cepat untuk membuat Leland menatapnya.
Suri tadinya ingin duduk di teras, dan Leland akan melihatnya. Pertemuan ‘tidak sengaja’ yang lain. Lebih mengesankan, terutama kalau dirinya terlihat menangis sendirian, memelas bersama hembusan angin malam dan lainnya.
Tapi tidak akan bisa terlihat di antara tetes air hujan. Kemungkinan sosoknya hanya akan terlihat seperti hantu putih dari teras kamar Leland. Detail emosinya tidak akan terlihat.
“Bagaimana… bagaimana…” Suri bergumam, menyusun rencana baru. Harapannya adalah Leland datang setelah hujan reda. Itu saja.
Kalau malam ini ia tidak bisa membuat Leland memperhatikannya, Suri akan kehilangan kesempatan untuk membuat Leland mengingat dirinya ada. Jedanya terlalu lama. Ia tidak punya kesempatan bertemu Leland sebelum bulan depan kemungkinan.
Pria itu hanya datang kurang lebih sebulan sekali ke rumah, belum tentu setiap kalinya Suri bisa mendapatkan kesempatan seperti kemarin.
Lagi pula Suri tidak bisa mengulang ‘kebetulan’ semacam itu lagi. Terlalu mencurigakan. Leland harus yakin benar kalau semua itu takdir alami agar lebih mengesankan.
“Oh, tidak!” Suri mendesah saat melihat lampu kamar Leland menyala saat itu juga—sudah datang.
“Ck!” Suri punya satu rencana, hanya tidak yakin akan bagus. Tapi hanya itu cara menarik perhatian orang saat hujan.
Suri menyingkirkan gaun Luna yang sudah ia selesaikan—hanya butuh dua jam menjahit, Suri hanya melebih-lebihkan tadi—lalu mengeluarkan isi tasnya.
Suri memilih gaun putih tipis yang kemarin dipakainya saat Leland mengintip ke dalam kamarnya. Sengaja, karena Leland akan lebih mudah mengingat kalau penampilannya tidak berbeda jauh.
Lampu di sekitar taman yang memisahkan paviliun VVIP dan kamarnya tidak amat terang, warna putih itu akan memberinya keuntungan juga.
Suri mengganti pakaiannya—seperti kemarin, menyisakan gaun dan celana dalam saja. Tidak merapikan rambut karena akan basah, lalu menunggu.
Suri berdiri di balik tirai tebal agar bayangannya tidak terlihat dari luar, mengawasi pintu teras kamar Leland, menunggunya bergerak.
Berapa persen kemungkinan Leland akan ada di teras itu? Suri memperkirakan lebih dari 70%, cukup besar karena Leland adalah perokok.
Suri dua kali melihatnya merokok sendirian di teras samping rumah. Ia langsung mematikan rokok itu saat ada orang yang mendekatinya. Itu berarti Leland adalah perokok yang masih peduli dengan keberadaan orang lain—tidak ingin membuat orang lain menghirup asap beracun itu.
Karenanya, kemungkinan besar Leland akan keluar ke teras kalau ingin merokok. Masih ada kemungkinan 30% Suri akan salah, tapi masih besar kemungkinan benar.
Setengah jam, pintu teras itu tidak memperlihatkan gerakan. Suri mendesah lelah, karena hanya melihat bayangan Leland berjalan di balik tirai.
Rasanya Suri ingin sekali lari melintasi taman dan mengetuk, lebih mudah tapi itu tidak mengesankan. Suri memperkirakan Leland sudah bosan menghadapi wanita yang dengan mudah melempar diri ke dalam pelukannya.
Suri tidak bisa menjadi biasa saja kalau ingin mengalahkan Luna.
Lalu, pintu itu bergeser membuka, padahal Suri sudah hampir yakin kalau Leland mengikuti kemungkinan yang tiga puluh persen.
Pria itu memakai kemeja putih yang lengannya sudah digulung, bersandar santai di teralis pembatas, lalu menyalakan rokoknya. Asap mulai mengepul setelahnya.
Suri memekik bahagia, tapi kemudian menarik napas panjang. Ia tidak punya waktu untuk merayakan. Waktunya hanya sampai batas rokok Leland habis.
Suri tidak punya waktu untuk ragu juga. Ada dua kemungkinan, Leland akan menganggapnya indah, atau menganggapnya benar-benar gila. Suri mengambil resiko itu, paling tidak, Leland akan tetap mengingatnya.
Suri turun dari teras dalam langkah pelan, tentu saja tidak menatap ke arah Leland sama sekali, berpura-pura tidak menyadari keberadaannya.
Suri mulai berjalan di bawah deras hujan, mengangkat tangan dan berputar menikmati curahan air dingin itu. Sebenarnya terlalu dingin—bibir Suri sampai gemetar, tapi ia berusaha tertawa dan terus menari, seperti anak kecil menikmati hujan.
Melompat kecil, mencipratkan air dari kubangan, sampai menepuk wajahnya yang hampir mati rasa. Cukup menyenangkan, sampai akhirnya ada satu hal yang merusak, petir yang menyambar!
Suri menjerit, dan langsung meringkuk sambil menutupi kepalanya.
Terlalu fokus pada rencananya, Suri melupakan satu hal—ia takut pada petir. Ia lupa karena bisa mengabaikan petir saat fokus pada menjahit dan mengawasi teras kamar Leland—dan memang langit lebih banyak menghasilkan gemuruh saja sejak tadi.
Petir besar yang menyambar itu adalah yang pertama, dan Suri tepat ada di luar ruangan, di tengah taman lapang yang terbuka—paling rawan tersambar petir.
***
Leland menatap rokoknya, memastikan kalau yang dihisapnya murni berisi tembakau, bukan rokok berisi daun yang akan membuatnya berhalusinasi.
Leland punya, tapi tidak akan menghisapnya sekarang, karena tentu bodoh. Acara pernikahan itu cukup penting, dan ia harus dalam keadaan sadar saat menghadirinya.
Tapi kalau rokok itu murni tembakau, kenapa sekarang matanya melihat sesuatu yang tidak tampak seperti manusia?
Tidak mungkin ada manusia yang nekat menari di tengah hujan—malam hari saat cuaca mendekati musim gugur—terlalu dingin.
Tapi setelah mengusap mata pun, sosok itu tetap ada. Leland memutuskan kalau siapun gadis itu tidak waras, karena malah tertawa sambil berputar di bawah hujan.
“Kau… yang itu.” Leland ingat. Namanya lupa, tapi tidak dengan sosoknya. Gadis penuh memar yang memakai gaun putih—lalu membukanya. Penampilannya kurang lebih sama hanya sekarang basah kuyup.
Leland kemarin menilainya waras, tapi sekarang tidak yakin lagi. Mungkin ada benarnya ia tidak diizinkan muncul selama ini.
Leland melupakan rokoknya setelah itu—sampai abunya terus memanjang dan patah. Matanya terlalu terpaku menatap makhluk yang semakin tampak tidak nyata.
Campuran halusinasi dongeng dan mimpi demam di musim panas yang tidak masuk akal. Aneh memang, tapi tidak buruk, tidak ingin dilupakan karena terlalu unik.
Leland menopang dagu, memutuskan untuk menikmati mimpi itu, karena semakin lama semakin menarik—terutama saat ia bisa dengan jelas melihat siluet tubuh yang berlekuk itu.
Sedikit terlalu kurus untuk seleranya, tapi tetap menarik melihat tubuh basah dalam balutan kain yang menempel ketat.
“Ah… dia tidak memakai apapun… lagi.” Leland bergumam saat melihat bagian atas, menampakkan dua benda kenyal bertitik yang nyaris terlihat. Gaun itu tipis dan putih, perbedaan warna di baliknya membayang hampir nyata.
Leland menjentikkan rokok di ujung jarinya, membayangkan apakah akan ada suara desahan seumpama ia menyentil lembut dua titik itu.
Tentu saja ada, Leland bisa membayangkan suaranya, sudah mendengar contoh desahannya beberapa hari lalu—lembut, sedikit serak juga.
“Shit!” Leland memaki karena tahu nafsunya menginginkan desahan dan sentuhan itu menjadi nyata—bagian bawah tubuhnya sudah menampakkan tanda.
Tidak seharusnya terjadi tentu. Wanita serupa mimpi itu kakak dari tunangannya—diakui atau tidak, seperti itu adanya. Belum lagi keadaan yang jelas rumit—antara tidak waras atau dalam keadaan yang sangat buruk sampai membuatnya terluka sedemikian rupa.
Batasan ‘tidak boleh’ yang terlalu banyak. Leland biasanya akan menjauh—tidak akan mencampuri urusan yang nanti akan merepotkan.
Tapi peringatan waspada itu padam saat petir datang dan terdengar jeritan.
Leland menyambar jas yang tadi tersampir di kursi, melompat turun dari teras, menghampiri gadis yang kini terpuruk itu.
Lottie dan Mark saling berpandangan, tidak ada yang terucap, tapi mata mereka penuh sukacita.“Kau akan selamat… kau akan sehat lagi …” Lottie meremas tangan Mark yang mengangguk.“Suri…” Mark menatap Suri dengan mata penuh air mata haru. “Terima kasih.”Terdengar suara muak dari Leland, yang mendekati Suri. Masih ingin berusaha. “Rain… aku mohon. Jangan—”Suri mengangkat tangan, meminta Leland diam, kemudian berjalan mendekati Mark, berdiri di samping ranjangnya.“Te…terima kasih, Suri.” Mark berterima kasih lagi, bahkan berusaha meraih tangan Suri—yang mana dihindari.Suri mundur, masih dekat tapi di luar batas jangkauan tangan Mark. Pandangan Mark pun berubah heran.“Baru sekarang aku mendengar mu begitu sering menyebut namaku. Kau dulu lebih sering menyebutku ‘makhluk’, ‘anak sialan’, ‘kutukan’, ‘pembawa sial’, ‘makhluk aneh’ dan lainnya. Kau nyaris tidak pernah memanggilku dengan nama.” Suri hanya memberi sedikit contoh, masih banyak yang lainnya. Mata Mark melebar kebingungan. T
Leland ingin mencari Suri, tapi saat sampai di luar tentu Suri sudah tidak terlihat. Leland sangat bisa bertanya dimana Suri, tapi rasanya akan percuma. Suri terlihat sangat bertekad tadi.“Belum tentu akan cocok. Kau tenanglah.” Kaiden yang sudah menyusul keluar menepuk punggung Leland ingin menenangkannya.“Bagaimana kalau cocok?” Leland melotot padanya.“Well…” Kaiden mengangkat bahu. “Sekali lagi itu terserah Suri. Ia berhak memutuskan apa yang terjadi pada tubuhnya sendiri. Apalagi ini bukan hal ilegal.”“Seharusnya ilegal! Kenapa Suri harus menghabiskan seumur hidup hanya dengan satu ginjal? Pria itu tidak pantas mendapatkan apapun dari Suri!”Leland menghempaskan diri di atas kursi sambil meremas rambutnya sendiri. Tidak berusaha mencari Suri karena ia juga yakin usahanya itu akan percuma. Suri kemungkinan tidak mau mendengarnya.“Suri lebih baik dari kita. Aku pun mungkin tidak akan sudi memberikan.” Kaiden duduk di samping Leland, menepuk pahanya.Leland hanya bisa menghela na
Suri mendekat, menatap mata cekung yang tidak lagi menakutkan. Suri masih ingat bagaimana mata itu membuatnya takut. Mata itu yang dipakai Mark untuk memberi peringatan padanya. Suri akan menghindar setiap kali mata itu tertuju padanya.Tapi tidak untuk saat ini, Suri menatap balik. Mata gelap itu tidak menakutkan. Tidak bisa melotot, sayu dan tampak tidak fokus. Sama sekali tidak menunjukkan tanda kalau dulu pernah menjadi sumber teror.“Su—tolong aku…” Mark berbisik, lirih. Tangannya bergerak, ingin menggapai, meminta Suri menyentuhnya.Suri hanya menatap tentu. Tangan itu yang selalu menyakitinya. Tidak mungkin Suri ingin menyentuhnya.Tangan Mark akhirnya hanya menggantung di udara—tidak bersambut, sebelum akhirnya kembali jatuh lemas.Meski hanya separuh sadar, Mark mengerti kalau dirinya baru saja diabaikan, matanya tampak memerah.“Kau tahu…” Suri bergumam, tanpa senyum, hanya tatapan.Suri tidak ingin menjelaskan emosinya memang, ia ingin Mark menebak. Juga Lottie, yang perlah
“Kenapa kau ikut?” Leland memprotes kehadiran Kaiden di samping Silas yang sedang menyetir.Leland sudah cukup jengkel karena harus mengantar Suri, tambahan keberadaan Kaiden sangat tidak diinginkan.“Grandad yang menyuruhku. Katanya harus menjaga Suri juga.” Kaiden juga tidak berinisiatif. “Tapi memang aku ingin melihat bagaimana Quinn sekarang. Banyak yang bertanya padaku tentang mereka—terutama setelah berita itu, dan aku sudah bosan menjawab tidak tahu.”Kaiden menyebut sedikit motif lain yang membuatnya dengan rela mengikuti permintaan Martell. Karena pernikahan York dengan Quinn memang terjadi, Kaiden menjadi sasaran tanya orang yang penasaran.“Untuk apa Grandad menyuruhmu ikut?” Leland bingung.“Katanya untuk menjaga Suri.” Kaiden menyebut alasan Martell sambil mengerutkan kening. “Itu aneh.”Kaiden tadi menurut karena punya maksud lain, kini merasa alasan itu janggal.“Untuk apa juga? Sudah ada aku dan Silas.” Kejanggalan itu disebutkan oleh Leland.Bahkan Suri yang sejak tadi
Tapi ada satu orang yang tampak tidak waras—yaitu Lottie.“Ada ada dengannya?” gumam Suri, heran. Dari kejauhan pun mereka bisa melihat kalau Lottie dalam keadaan tidak baik-baik saja.Penampilannya berantakan. Rambutnya tidak tergelung rapi, dan mantelnya miring karena ikatan tali di pinggangnya tampak longgar. Penampilan yang sangat tidak mencerminkan Lottie seperti yang biasa dilihat Suri.“Suri!”Saat melihat Suri, Lottie langsung berseru penuh dengan kelegaan. Tidak ada bentakan atau hinaan, wajahnya murni lega saat menghampiri Suri.“Stop!” Leland tidak membiarkannya sampai menyentuh Suri tentu. Silas sudah maju dan menghadangnya dengan tangan.“Aku tidak akan melakukan apapun. Aku hanya—tolong lah!” Lottie merintih lalu membuat semua orang terkejut saat tiba-tiba saja menjatuhkan lututnya ke lantai.Suri tentu saja langsung mundur menjauh—bersama Leland. “Apa—”Suri mengangkat kedua tangannya, menghindar saat Lottie berusaha menjangkau. Suri tetap tidak mau disentuh meski sedang
“Oh… katakan saja kau iri.” Kaiden terkekeh, “Kau iri bentuk tubuhku lebih indah darimu.” Kaiden membusungkan dadanya yang kekar, lalu menepuk perutnya yang rata.“Apa yang harus aku irikan? Kau kecil dan—”“Apa? Siapa yang kau sebut kecil?” Kaiden lebih sabar dari Leland, tapi tentu tidak akan berlega hati begitu membahas ‘kecil’.“Kau merasa perlu memamerkan karena—”“Apa menurut kalian itu hal yang pantas dibahas di meja makan?!” bentak Martell, akhirnya menengahi.“Tapi dia mengejek!” Kaiden tidak mau dimarahi tentuk karena Leland yang mencela terlebih dulu.“Karena memang benar kau menyakiti mata! Grandad juga keberatan tadi!” Leland menyeringai, merasa menang.“Kau diamlah!” Martell malah menegur Leland. “Aku hanya merasa Kaiden tidak pantas, kau malah membahas kecil dan lainnya.’“Hei! Kau seharusnya mendukungku!” Leland tidak terima dan semakin kesal.“Rasakan! Kau seharusnya tidak ikut campur!” Kaiden yang tertawa sekarang.“Jangan merasa menang! Aku masih berpendapat kau tida







