LOGINSuri meringkuk sambil menutup kedua telinganya. Menjerit lagi saat ada sambaran petir kedua.
“Bodoh… bodoh…” Suri memaki dirinya sendiri sambil terus menutup mata dengan kening menempel di tanah berumput. Lupa sudah seluruh rencana yang disusunnya, Suri akan lari berlindung begitu petir itu selesai.
Tapi langit seolah mengejek seluruh rencana Suri. Setelah menurunkan hujan yang di luar perkiraan, mengadakan petir tepat di jantung rencananya, sekarang langit terus mencurahkan petir tanpa henti yang membuat Suri terlalu takut bergerak.
“Selesailah… kau akan baik-baik saja… tidak ada yang mati.” Suri berusaha memberanikan diri, tapi bayangan sosok tubuh yang gosong melepuh di depan matanya sangat jelas terbayang. Tubuh yang mengulurkan tangan meminta pertolongan, tapi Suri terlalu takut untuk bergerak.
Sekarang, otak Suri mengulang seluruh kenangan itu, dan membuat tubuhnya seolah lumpuh, hanya sanggup tersentak setiap kali petir memecah langit.
“HEI!”
Suri tersentak lagi. Bukan petir, tapi seruan itu terlalu tidak terduga. Suri ingin mendongak, tapi petir yang datang lagi, hanya membuatnya menjerit.
Suri tetap menunduk, menutup mata dan telinganya—sampai akhirnya merasakan sesuatu menutupi tubuhnya. Benda yang agak basah, tidak amat bisa menangkal air hujan, tapi tujuannya jelas—melindungi.
Belum selesai memproses, Suri merasakan ada tangan yang memeluk, dan tubuhnya terangkat. Bukan dalam gendongan manis ala pengantin, tapi diangkat pada bagian pinggang dengan kedua kaki menggantung di bawah.
Suri tidak bisa melihat apapun, karena kain itu menutupi wajahnya, tapi punya bayangan tangan siapa yang kini melingkar erat di pinggangnya. Hanya satu orang yang melihat tarian hujannya tadi—Leland.
Wajah Suri yang terbungkus tadinya masih mati rasa oleh dingin, tapi perlahan menghangat oleh semangat dan keriaan.
Meski berliku-liku, tapi tujuannya berhasil. Leland menatapnya—bahkan mendekatinya.
“Tunggu!” Suri memekik dalam hati dengan panik. Rencananya tidak sampai sejauh ini. Ia ingin menarik Leland ke kamarnya, agar bisa bicara.
Tapi kini Leland membawanya entah kemana.
***
“Duduk.”
Suara bernada rendah yang serak itu memerintah dengan nada kesal, dan Suri memang tidak punya tujuan lain saat merasakan alas empuk yang menjadi tempat pantatnya menempel.
Tidak mampu juga. Suri terlalu kedinginan untuk bergerak. Tangannya hanya bisa menurunkan kain yang menutupi wajahnya—lalu tersedak.
Suri melihat sesuatu yang tidak seharusnya dilihat—bagian dari rencana, tapi tidak sekarang—yaitu tubuh Leland. Suri menatap tepat saat Leland membuka kancing terakhir kemeja dan menurunkannya.
Suri selama ini hanya melihatnya terbalut baju, tapi sudah punya bayangan bentuknya akan seperti apa, karena Leland selalu memakai setelan yang pas di tubuh.
Tapi Suri merasa tertipu, karena bayangannya masih salah. Dalam penerangan lampu, tubuh Leland yang berkilau karena basah, terlihat seperti pahatan marbel yang ternoda—bukan noda buruk.
Noda itu berupa tato yang memenuhi bagian depan dadanya, jenis tato aesthetic yang membutuhkan jarak dekat untuk mengerti. Tapi Suri tidak amat tertarik untuk memahami filosofi tato itu, karena sudah teralihkan oleh otot dada yang bergerak saat Leland mengusap tubuhnya dengan handuk.
Mata Suri dengan patuh—padahal tidak ada yang menyuruh—mengikuti gerakan handuk itu, menyusuri lekuk tegas otot di perut Leland, ada enam gundukan yang memperlihatkan tingkat kerajinan Leland berolahraga.
Lalu bergerak lagi mengusap lengan kiri, Suri juga menyadari bagaimana otot di lengan itu terlihat mampu menyangga beban dunia.
Leland bergerak membuka ikat pinggang, membuka zipper, sebelum akhirnya berhenti dan berpaling, bersiborok dengan mata Suri—yang sangat terlambat berpaling.
“Kau harus membayar kalau ingin menikmati tubuhku lebih dari ini,” kata Leland, sambil menyipitkan mata. Agak terganggu karena Suri sejak tadi hanya menatapnya dalam diam.
Reaksi wanita normal biasanya akan berteriak—kalau yang sopan, atau memuji dan merayu kalau yang memang sudah berniat saling melampiaskan nafsu.
Mata besar Suri yang berwarna coklat cerah hanya tampak sedikit sayu, tapi membuatnya tertarik. Kesan polos yang membuat Leland ingin tahu apa yang memenuhi otaknya.
Leland membungkuk, mengangkat dagu Suri yang duduk di tepi ranjangnya, memaksa gadis itu menatap matanya. Tapi tidak perlu dipaksa, Suri menatap dengan suka rela.
“A…apa boleh?” Suri mengucapkannya dengan susah payah.
Tidak perlu berpura-pura tergagap seperti biasanya, otak Suri masih separuh lumpuh akibat sihir pesona tubuh Leland. Suri benar-benar memaksa akal sehatnya untuk ada saat ini.
Rencananya sudah keluar dari jalur, ia harus bekerja keras untuk mengembalikannya ke jalan lurus.
“Boleh apanya?” Leland masih menatap mata Suri, seolah mencari jawaban.
“Me…membayar tubuhmu.” Meski terlambat, Suri menjawab ucapan Leland tadi.
Leland menyeringai, agak geli mendengar keberanian Suri melanjutkan lelucon tentang harga tubuhnya. “Ya, tapi mahal. Berapa banyak uang yang kau punya?”
“Li lima qu.. quiid.” (lima pound)
Jumlah receh yang membuat Leland mendengus, dan melepaskan dagu Suri. Membahas uang mengembalikannya ke alam nyata. “Tidak cukup.”
Leland meraih bathrobe yang menumpuk di lemari, melemparkan satu untuk Suri, dan satu untuk dirinya sendiri.
“Lepas bajumu.” Leland menghilang ke dalam kamar mandi setelahnya, dan Suri tentu saja menerima perintah itu dengan suka rela. Kamar itu sudah cukup menghangatkan, tapi tubuhnya masih menggigil akibat pakaian yang dingin.
Suri membuka seluruh pakaian, menggantinya dengan bathrobe yang lembut dan kering itu.
Hanya gerakannya lambat, selain karena masih menyisakan kedinginan, memar dari seluruh cambukan dan pukulan di punggungnya masih nyeri. Suri harus menyesuaikan gerakannya agar tidak bertambah nyeri.
“Siapa yang melakukannya?”
Suri tersentak dan berpaling, sambil menutup bagian depan tubuhnya. Ia belum sempat memasukan tangan kirinya. Bathrobe itu kini menggantung di bahu kanannya.
Leland yang gerakannya lebih cepat, sudah keluar dari dalam kamar mandi, dan menatap Suri sejak tadi.
“Kau tidak mengerti pertanyaanku?” Leland mengernyit, teringat kalau Suri seharusnya mengalami gangguan mental. Tapi percakapan mereka soal harga tubuhnya tadi cukup normal.
Suri menggeleng. “Mengerti.”
“Lalu? Siapa yang melakukannya? Kau bisa melapor polisi.”
Suri menggeleng dengan segera. “Ta… takut…” bisiknya, sangat lirih.
Mewakili ketakutan yang nyata. Jawaban itu sudah disiapkan oleh Suri. Melapor polisi tidak akan menyelesaikan masalahnya.
Salah satu anggota keluarga besar Quinn memiliki jabatan tinggi di Scotland Yard (Sebutan untuk polisi di London). Melaporkan Mark ke polisi hasilnya akan sama seperti menceritakan lelucon pada mereka—ditertawakan.
Kalau hanya melapor saja bisa menyelesaikan masalah, Suri akan melakukannya sejak dulu.
“Takut apa? Kau bisa pergi ke rumah sakit dan mereka akan memberi visum.” Leland mencoba menjadi masuk akal, mengusir pikiran lain yang mengisi otaknya saat melihat tubuh Suri tadi.
Pikiran penuh nafsu, yang akhirnya agak tersingkir saat menyadari kalau gerakan pelan dari Suri adalah akibat dari memar tubuhnya.
Leland tidak mudah kasihan—terlalu banyak bertemu wanita yang bersandiwara di depannya, tapi hatinya tidak amat mati. Ia masih bisa menilai kalau Suri adalah makhluk bernasib mengenaskan, lalu menyarankan langkah mudah agar tertolong.
Tapi bukan langkah itu yang dicari Suri.
“Ja…ngan. Ttt…tidak mau.” Suri menggeleng lagi dan menambahkan gemetar yang tadi tidak ada agar ketakutannya tampak lebih meyakinkan.
“Kau takut?” Mudah saja Leland terpancing oleh umpan itu. Ia kembali mendekati Suri, dengan mata tertuju pada memar besar di bahu Suri yang masih terbuka,
Suri mengangguk, masih mempertahankan gemetar dan tundukan kepala.
“Kau punya bukti kuat. Untuk apa takut?” Leland mengusap memar di bahu Suri—bukti kuat, yang seharusnya bisa dipercaya.
Tapi gelengan kepala Suri semakin kuat. Ia tidak butuh polisi karena langkah itu tidak akan memuaskan.
Suri tidak lagi sekadar menginginkan keluarga Quinn—semuanya, katakanlah bisa secara ajaib terbukti bersalah dan dipenjara.
Suri tidak menginginkannya karena balasan itu masih terlalu ringan dibanding segala kesakitan yang ia terima selama sepuluh tahun terakhir.
Penawaran Leland benar, tapi tidak akan cukup untuk mengempiskan dendam yang kini menyesaki dada Suri.
Suri ingin mereka menderita; untuk membalas seluruh rasa sakitnya.
Ingin mereka hancur; untuk membalas perlakuan mereka yang dengan mudah menghancurkan kehidupannya.
Ingin mereka memohon ampun; membalas seluruh air mata dan permohonan ampun yang selama ini pernah terucap dari bibir Suri—dan diabaikan.
Suri ingin mereka menderita berkepanjangan sampai ingin mati agar semuanya berakhir; karena itulah yang dirasakan Suri selama bertahun-tahun.
Beberapa tahun sebelum saat ini, Suri berulang kali mengiba dan memohon agar mereka membunuhnya, tapi tidak dikabulkan. Mereka selalu berhenti pada saat Suri hampir mati.
Suri seperti mainan yang selalu berada di dalam genggaman mereka. Boleh dirusak, asalkan tidak sampai mati. Suri akan diperbaiki saat hampir mati, agar bisa dirusak lagi setelah itu.
Maka apa yang ditawarkan Leland itu belum cukup.
Maka Suri mengambil cara yang saat ini dijalaninya—mencuri Leland. Orang yang setengah mati dicintai Luna, dan bisa membantunya melawan Quinn.
Memang agak rumit, karena Suri harus memastikan Leland mencintainya, sampai tergila-gila padanya, karena untuk melawan Quinn, butuh nyali juga.
Langkah rumit dan detail yang sejak kemarin dijalankan Suri adalah untuk membuat Leland menginginkannya—lebih dari menginginkan Luna.
Dan mungkin akan berhasil, karena usapan tangan Leland yang tadi hanya menyasar memar di bahu Suri, terus merambat ke lehernya. Kedekatan dan aroma melati samar di tubuh Suri, membuat nafsu Leland yang sempat terlupa kembali ada.
Suri meninggalkan gemetar palsu itu. Tidak perlu dipalsukan karena sentuhan dari jari Leland yang sudah hangat itu memang mengalirkan listrik yang seolah menyengat tubuhnya.
Suri belum pernah disentuh oleh pria, tidak mungkin imun. Belum lagi saat Leland perlahan menarik tubuhnya mendekat, Suri bisa merasakan hembusan napas yang menyapu pipinya saat Leland menunduk.
Dan datanglah, bibir yang tiba-tiba memagut, mengagetkan sampai Suri nyaris mendorong, tapi perlawanan itu luruh saat Leland mulai rakus melumat seluruh bibir Suri yang dingin.
Dengan mudahnya menjelajah karena Suri dengan bodoh terhanyut dan berakibat pasrah. Tapi bagaimana rasanya melawan?
Suri hanya mendapati hangat menyenangkan yang merebak memenuhi tubuhnya. Suri yang selalu sendiri dalam dingin, langsung menerima hangat itu, ingin mereguk lebih rasa menyenangkan yang sudah lama tidak hadir dalam hidupnya dalam bentuk apapun.
Aroma tembakau, hangat, dan belaian, semua hal yang belum pernah ada dalam hidup Suri, dan diinginkannya.
Leland menggeram saat bibir Suri dengan polos membalas cumbuan itu, dan mendesak tubuhnya sampai Suri terjatuh ke atas ranjang.
Benturan lembut itu sedikit mengguncang otak Suri, mengembalikan akal sehatnya yang langsung dengan cepat mengingatkan kalau apapun yang akan terjadi setelah ini adalah bagian dari rencana—tapi tidak boleh sekarang.
Mereka belum boleh tidur bersama karena Leland akan dengan mudah melupakannya setelah ini. Leland sudah puas menikmati tubuhnya tidak akan lagi merasa penasaran ataupun merasa perlu memperhatikannya.
Suri seharusnya menolak cumbuan itu—tapi saat Leland kembali merengkuh dan mengelus bibirnya dengan lidah yang hangat, Suri merasa tubuhnya kehilangan nyali untuk melawan.
“Aku akan menghangatkanmu…” bisik Lelad, merayu dan memberi ujian pada akal sehat Suri.
Haruskan ia membiarkan Leland melakukannya? Rasanya tidak buruk, Suri ingin menerimanya juga—sepertinya akan sangat menyenangkan.
Lottie dan Mark saling berpandangan, tidak ada yang terucap, tapi mata mereka penuh sukacita.“Kau akan selamat… kau akan sehat lagi …” Lottie meremas tangan Mark yang mengangguk.“Suri…” Mark menatap Suri dengan mata penuh air mata haru. “Terima kasih.”Terdengar suara muak dari Leland, yang mendekati Suri. Masih ingin berusaha. “Rain… aku mohon. Jangan—”Suri mengangkat tangan, meminta Leland diam, kemudian berjalan mendekati Mark, berdiri di samping ranjangnya.“Te…terima kasih, Suri.” Mark berterima kasih lagi, bahkan berusaha meraih tangan Suri—yang mana dihindari.Suri mundur, masih dekat tapi di luar batas jangkauan tangan Mark. Pandangan Mark pun berubah heran.“Baru sekarang aku mendengar mu begitu sering menyebut namaku. Kau dulu lebih sering menyebutku ‘makhluk’, ‘anak sialan’, ‘kutukan’, ‘pembawa sial’, ‘makhluk aneh’ dan lainnya. Kau nyaris tidak pernah memanggilku dengan nama.” Suri hanya memberi sedikit contoh, masih banyak yang lainnya. Mata Mark melebar kebingungan. T
Leland ingin mencari Suri, tapi saat sampai di luar tentu Suri sudah tidak terlihat. Leland sangat bisa bertanya dimana Suri, tapi rasanya akan percuma. Suri terlihat sangat bertekad tadi.“Belum tentu akan cocok. Kau tenanglah.” Kaiden yang sudah menyusul keluar menepuk punggung Leland ingin menenangkannya.“Bagaimana kalau cocok?” Leland melotot padanya.“Well…” Kaiden mengangkat bahu. “Sekali lagi itu terserah Suri. Ia berhak memutuskan apa yang terjadi pada tubuhnya sendiri. Apalagi ini bukan hal ilegal.”“Seharusnya ilegal! Kenapa Suri harus menghabiskan seumur hidup hanya dengan satu ginjal? Pria itu tidak pantas mendapatkan apapun dari Suri!”Leland menghempaskan diri di atas kursi sambil meremas rambutnya sendiri. Tidak berusaha mencari Suri karena ia juga yakin usahanya itu akan percuma. Suri kemungkinan tidak mau mendengarnya.“Suri lebih baik dari kita. Aku pun mungkin tidak akan sudi memberikan.” Kaiden duduk di samping Leland, menepuk pahanya.Leland hanya bisa menghela na
Suri mendekat, menatap mata cekung yang tidak lagi menakutkan. Suri masih ingat bagaimana mata itu membuatnya takut. Mata itu yang dipakai Mark untuk memberi peringatan padanya. Suri akan menghindar setiap kali mata itu tertuju padanya.Tapi tidak untuk saat ini, Suri menatap balik. Mata gelap itu tidak menakutkan. Tidak bisa melotot, sayu dan tampak tidak fokus. Sama sekali tidak menunjukkan tanda kalau dulu pernah menjadi sumber teror.“Su—tolong aku…” Mark berbisik, lirih. Tangannya bergerak, ingin menggapai, meminta Suri menyentuhnya.Suri hanya menatap tentu. Tangan itu yang selalu menyakitinya. Tidak mungkin Suri ingin menyentuhnya.Tangan Mark akhirnya hanya menggantung di udara—tidak bersambut, sebelum akhirnya kembali jatuh lemas.Meski hanya separuh sadar, Mark mengerti kalau dirinya baru saja diabaikan, matanya tampak memerah.“Kau tahu…” Suri bergumam, tanpa senyum, hanya tatapan.Suri tidak ingin menjelaskan emosinya memang, ia ingin Mark menebak. Juga Lottie, yang perlah
“Kenapa kau ikut?” Leland memprotes kehadiran Kaiden di samping Silas yang sedang menyetir.Leland sudah cukup jengkel karena harus mengantar Suri, tambahan keberadaan Kaiden sangat tidak diinginkan.“Grandad yang menyuruhku. Katanya harus menjaga Suri juga.” Kaiden juga tidak berinisiatif. “Tapi memang aku ingin melihat bagaimana Quinn sekarang. Banyak yang bertanya padaku tentang mereka—terutama setelah berita itu, dan aku sudah bosan menjawab tidak tahu.”Kaiden menyebut sedikit motif lain yang membuatnya dengan rela mengikuti permintaan Martell. Karena pernikahan York dengan Quinn memang terjadi, Kaiden menjadi sasaran tanya orang yang penasaran.“Untuk apa Grandad menyuruhmu ikut?” Leland bingung.“Katanya untuk menjaga Suri.” Kaiden menyebut alasan Martell sambil mengerutkan kening. “Itu aneh.”Kaiden tadi menurut karena punya maksud lain, kini merasa alasan itu janggal.“Untuk apa juga? Sudah ada aku dan Silas.” Kejanggalan itu disebutkan oleh Leland.Bahkan Suri yang sejak tadi
Tapi ada satu orang yang tampak tidak waras—yaitu Lottie.“Ada ada dengannya?” gumam Suri, heran. Dari kejauhan pun mereka bisa melihat kalau Lottie dalam keadaan tidak baik-baik saja.Penampilannya berantakan. Rambutnya tidak tergelung rapi, dan mantelnya miring karena ikatan tali di pinggangnya tampak longgar. Penampilan yang sangat tidak mencerminkan Lottie seperti yang biasa dilihat Suri.“Suri!”Saat melihat Suri, Lottie langsung berseru penuh dengan kelegaan. Tidak ada bentakan atau hinaan, wajahnya murni lega saat menghampiri Suri.“Stop!” Leland tidak membiarkannya sampai menyentuh Suri tentu. Silas sudah maju dan menghadangnya dengan tangan.“Aku tidak akan melakukan apapun. Aku hanya—tolong lah!” Lottie merintih lalu membuat semua orang terkejut saat tiba-tiba saja menjatuhkan lututnya ke lantai.Suri tentu saja langsung mundur menjauh—bersama Leland. “Apa—”Suri mengangkat kedua tangannya, menghindar saat Lottie berusaha menjangkau. Suri tetap tidak mau disentuh meski sedang
“Oh… katakan saja kau iri.” Kaiden terkekeh, “Kau iri bentuk tubuhku lebih indah darimu.” Kaiden membusungkan dadanya yang kekar, lalu menepuk perutnya yang rata.“Apa yang harus aku irikan? Kau kecil dan—”“Apa? Siapa yang kau sebut kecil?” Kaiden lebih sabar dari Leland, tapi tentu tidak akan berlega hati begitu membahas ‘kecil’.“Kau merasa perlu memamerkan karena—”“Apa menurut kalian itu hal yang pantas dibahas di meja makan?!” bentak Martell, akhirnya menengahi.“Tapi dia mengejek!” Kaiden tidak mau dimarahi tentuk karena Leland yang mencela terlebih dulu.“Karena memang benar kau menyakiti mata! Grandad juga keberatan tadi!” Leland menyeringai, merasa menang.“Kau diamlah!” Martell malah menegur Leland. “Aku hanya merasa Kaiden tidak pantas, kau malah membahas kecil dan lainnya.’“Hei! Kau seharusnya mendukungku!” Leland tidak terima dan semakin kesal.“Rasakan! Kau seharusnya tidak ikut campur!” Kaiden yang tertawa sekarang.“Jangan merasa menang! Aku masih berpendapat kau tida







