Home / Romansa / Mencuri Calon Suami Adikku / #006 Bagian Yang Harusnya Tidak Sekarang

Share

#006 Bagian Yang Harusnya Tidak Sekarang

Author: aisakurachan
last update Last Updated: 2025-08-12 13:37:40

Suri meringkuk sambil menutup kedua telinganya. Menjerit lagi saat ada sambaran petir kedua. 

“Bodoh… bodoh…” Suri memaki dirinya sendiri sambil terus menutup mata dengan kening menempel di tanah berumput. Lupa sudah seluruh rencana yang disusunnya, Suri akan lari berlindung begitu petir itu selesai.

Tapi langit seolah mengejek seluruh rencana Suri. Setelah menurunkan hujan yang di luar perkiraan, mengadakan petir tepat di jantung rencananya, sekarang langit terus mencurahkan petir tanpa henti yang membuat Suri terlalu takut bergerak.

“Selesailah… kau akan baik-baik saja… tidak ada yang mati.” Suri berusaha memberanikan diri, tapi bayangan sosok tubuh yang gosong melepuh di depan matanya sangat jelas terbayang. Tubuh yang mengulurkan tangan meminta pertolongan, tapi Suri terlalu takut untuk bergerak.

Sekarang, otak Suri mengulang seluruh kenangan itu, dan membuat tubuhnya seolah lumpuh, hanya sanggup tersentak setiap kali petir memecah langit.

“HEI!”

Suri tersentak lagi. Bukan petir, tapi seruan itu terlalu tidak terduga. Suri ingin mendongak, tapi petir yang datang lagi, hanya membuatnya menjerit. 

Suri tetap menunduk, menutup mata dan telinganya—sampai akhirnya merasakan sesuatu menutupi tubuhnya. Benda yang agak basah, tidak amat bisa menangkal air hujan, tapi tujuannya jelas—melindungi.

Belum selesai memproses, Suri merasakan ada tangan yang memeluk, dan tubuhnya terangkat. Bukan dalam gendongan manis ala pengantin, tapi diangkat pada bagian pinggang dengan kedua kaki menggantung di bawah.

Suri tidak bisa melihat apapun, karena kain itu menutupi wajahnya, tapi punya bayangan tangan siapa yang kini melingkar erat di pinggangnya. Hanya satu orang yang melihat tarian hujannya tadi—Leland.

Wajah Suri yang terbungkus tadinya masih mati rasa oleh dingin, tapi perlahan menghangat oleh semangat dan keriaan. 

Meski berliku-liku, tapi tujuannya berhasil. Leland menatapnya—bahkan mendekatinya.

“Tunggu!” Suri memekik dalam hati dengan panik. Rencananya tidak sampai sejauh ini. Ia ingin menarik Leland ke kamarnya, agar bisa bicara.

Tapi kini Leland membawanya entah kemana.

***

“Duduk.” 

Suara bernada rendah yang serak itu memerintah dengan nada kesal, dan Suri memang tidak punya tujuan lain saat merasakan alas empuk yang menjadi tempat pantatnya menempel.

Tidak mampu juga. Suri terlalu kedinginan untuk bergerak. Tangannya hanya bisa menurunkan kain yang menutupi wajahnya—lalu tersedak. 

Suri melihat sesuatu yang tidak seharusnya dilihat—bagian dari rencana, tapi tidak sekarang—yaitu tubuh Leland. Suri menatap tepat saat Leland membuka kancing terakhir kemeja dan menurunkannya.

Suri selama ini hanya melihatnya terbalut baju, tapi sudah punya bayangan bentuknya akan seperti apa, karena Leland selalu memakai setelan yang pas di tubuh.

Tapi Suri merasa tertipu, karena bayangannya masih salah. Dalam penerangan lampu, tubuh Leland yang berkilau karena basah, terlihat seperti pahatan marbel yang ternoda—bukan noda buruk.

Noda itu berupa tato yang memenuhi bagian depan dadanya, jenis tato aesthetic yang membutuhkan jarak dekat untuk mengerti. Tapi Suri tidak amat tertarik untuk memahami filosofi tato itu, karena sudah teralihkan oleh otot dada yang bergerak saat Leland  mengusap tubuhnya dengan handuk.

Mata Suri dengan patuh—padahal tidak ada yang menyuruh—mengikuti gerakan handuk itu, menyusuri lekuk tegas otot di perut Leland, ada enam gundukan yang memperlihatkan tingkat kerajinan Leland berolahraga. 

Lalu bergerak lagi mengusap lengan kiri, Suri juga menyadari bagaimana otot di lengan itu terlihat mampu menyangga beban dunia. 

Leland bergerak membuka ikat pinggang, membuka zipper, sebelum akhirnya berhenti dan berpaling, bersiborok dengan mata Suri—yang sangat terlambat berpaling.

“Kau harus membayar kalau ingin menikmati tubuhku lebih dari ini,” kata Leland, sambil menyipitkan mata. Agak terganggu karena Suri sejak tadi hanya menatapnya dalam diam. 

Reaksi wanita normal biasanya akan berteriak—kalau yang sopan, atau memuji dan merayu kalau yang memang sudah berniat saling melampiaskan nafsu.

Mata besar Suri yang berwarna coklat cerah hanya tampak sedikit sayu, tapi membuatnya tertarik. Kesan polos yang membuat Leland ingin tahu apa yang memenuhi otaknya. 

Leland membungkuk, mengangkat dagu Suri yang duduk di tepi ranjangnya, memaksa gadis itu menatap matanya. Tapi tidak perlu dipaksa, Suri menatap dengan suka rela.

“A…apa boleh?” Suri mengucapkannya dengan susah payah. 

Tidak perlu berpura-pura tergagap seperti biasanya, otak Suri masih separuh lumpuh akibat sihir pesona tubuh Leland. Suri benar-benar memaksa akal sehatnya untuk ada saat ini.

Rencananya sudah keluar dari jalur, ia harus bekerja keras untuk mengembalikannya ke jalan lurus.

“Boleh apanya?” Leland masih menatap mata Suri, seolah mencari jawaban.

“Me…membayar tubuhmu.” Meski terlambat, Suri menjawab ucapan Leland tadi.

Leland menyeringai, agak geli mendengar keberanian Suri melanjutkan lelucon tentang harga tubuhnya. “Ya, tapi mahal. Berapa banyak uang yang kau punya?”

“Li lima qu.. quiid.” (lima pound)

Jumlah receh yang membuat Leland mendengus, dan melepaskan dagu Suri. Membahas uang mengembalikannya ke alam nyata. “Tidak cukup.”

Leland meraih bathrobe yang menumpuk di lemari, melemparkan satu untuk Suri, dan satu untuk dirinya sendiri.

“Lepas bajumu.” Leland menghilang ke dalam kamar mandi setelahnya, dan Suri tentu saja menerima perintah itu dengan suka rela. Kamar itu sudah cukup menghangatkan, tapi tubuhnya masih menggigil akibat pakaian yang dingin.

Suri membuka seluruh pakaian, menggantinya dengan bathrobe yang lembut dan kering itu.

Hanya gerakannya lambat, selain karena masih menyisakan kedinginan, memar dari seluruh cambukan dan pukulan di punggungnya masih nyeri. Suri harus menyesuaikan gerakannya agar tidak bertambah nyeri.

“Siapa yang melakukannya?”

Suri tersentak dan berpaling, sambil menutup bagian depan tubuhnya. Ia belum sempat memasukan tangan kirinya. Bathrobe itu kini menggantung di bahu kanannya.

Leland yang gerakannya lebih cepat, sudah keluar dari dalam kamar mandi, dan menatap Suri sejak tadi.

“Kau tidak mengerti pertanyaanku?” Leland mengernyit, teringat kalau Suri seharusnya mengalami gangguan mental. Tapi percakapan mereka soal harga tubuhnya tadi cukup normal.

Suri menggeleng. “Mengerti.”

“Lalu? Siapa yang melakukannya? Kau bisa melapor polisi.”

Suri menggeleng dengan segera. “Ta… takut…” bisiknya, sangat lirih. 

Mewakili ketakutan yang nyata. Jawaban itu sudah disiapkan oleh Suri. Melapor polisi tidak akan menyelesaikan masalahnya.

Salah satu anggota keluarga besar Quinn memiliki jabatan tinggi di Scotland Yard (Sebutan untuk polisi di London). Melaporkan Mark ke polisi hasilnya akan sama seperti menceritakan lelucon pada mereka—ditertawakan.

Kalau hanya melapor saja bisa menyelesaikan masalah, Suri akan melakukannya sejak dulu. 

“Takut apa? Kau bisa pergi ke rumah sakit dan mereka akan memberi visum.” Leland mencoba menjadi masuk akal, mengusir pikiran lain yang mengisi otaknya saat melihat tubuh Suri tadi.

Pikiran penuh nafsu, yang akhirnya agak tersingkir saat menyadari kalau gerakan pelan dari Suri adalah akibat dari memar tubuhnya.

Leland tidak mudah kasihan—terlalu banyak bertemu wanita yang bersandiwara di depannya, tapi hatinya tidak amat mati. Ia masih bisa menilai kalau Suri adalah makhluk bernasib mengenaskan, lalu menyarankan langkah mudah agar tertolong.

Tapi bukan langkah itu yang dicari Suri. 

“Ja…ngan. Ttt…tidak mau.” Suri menggeleng lagi dan menambahkan gemetar yang tadi tidak ada agar ketakutannya tampak lebih meyakinkan.

“Kau takut?” Mudah saja Leland terpancing oleh umpan itu. Ia kembali mendekati Suri, dengan mata tertuju pada memar besar di bahu Suri yang masih terbuka,

Suri mengangguk, masih mempertahankan gemetar dan tundukan kepala. 

“Kau punya bukti kuat. Untuk apa takut?” Leland mengusap memar di bahu Suri—bukti kuat, yang seharusnya bisa dipercaya.

Tapi gelengan kepala Suri semakin kuat. Ia tidak butuh polisi karena langkah itu tidak akan memuaskan. 

Suri tidak lagi sekadar menginginkan keluarga Quinn—semuanya, katakanlah bisa secara ajaib terbukti bersalah dan dipenjara.

Suri tidak menginginkannya karena balasan itu masih terlalu ringan dibanding segala kesakitan yang ia terima selama sepuluh tahun terakhir.

Penawaran Leland benar, tapi tidak akan cukup untuk mengempiskan dendam yang kini menyesaki dada Suri.

Suri ingin mereka menderita; untuk membalas seluruh rasa sakitnya. 

Ingin mereka hancur; untuk membalas perlakuan mereka yang dengan mudah menghancurkan kehidupannya.

Ingin mereka memohon ampun; membalas seluruh air mata dan permohonan ampun yang selama ini pernah terucap dari bibir Suri—dan diabaikan.

Suri ingin mereka menderita berkepanjangan sampai ingin mati agar semuanya berakhir; karena itulah yang dirasakan Suri selama bertahun-tahun.

Beberapa tahun sebelum saat ini, Suri berulang kali mengiba dan memohon agar mereka membunuhnya, tapi tidak dikabulkan. Mereka selalu berhenti pada saat Suri hampir mati.

Suri seperti mainan yang selalu berada di dalam genggaman mereka. Boleh dirusak, asalkan tidak sampai mati. Suri akan diperbaiki saat hampir mati, agar bisa dirusak lagi setelah itu.

Maka apa yang ditawarkan Leland itu belum cukup. 

Maka Suri mengambil cara yang saat ini dijalaninya—mencuri Leland. Orang yang setengah mati dicintai Luna, dan bisa membantunya melawan Quinn. 

Memang agak rumit, karena Suri harus memastikan Leland mencintainya, sampai tergila-gila padanya, karena untuk melawan Quinn, butuh nyali juga. 

Langkah rumit dan detail yang sejak kemarin dijalankan Suri adalah untuk membuat Leland menginginkannya—lebih dari menginginkan Luna.

Dan mungkin akan berhasil, karena usapan tangan Leland yang tadi hanya menyasar memar di bahu Suri, terus merambat ke lehernya. Kedekatan dan aroma melati samar di tubuh Suri, membuat nafsu Leland yang sempat terlupa kembali ada.

Suri meninggalkan gemetar palsu itu. Tidak perlu dipalsukan karena sentuhan dari jari Leland yang sudah hangat itu memang mengalirkan listrik yang seolah menyengat tubuhnya.

Suri belum pernah disentuh oleh pria, tidak mungkin imun. Belum lagi saat Leland perlahan menarik tubuhnya mendekat, Suri bisa merasakan hembusan napas yang menyapu pipinya saat Leland menunduk.

Dan datanglah, bibir yang tiba-tiba memagut, mengagetkan sampai Suri nyaris mendorong, tapi perlawanan itu luruh saat Leland mulai rakus melumat seluruh bibir Suri yang dingin.

Dengan mudahnya menjelajah karena Suri dengan bodoh terhanyut dan berakibat pasrah. Tapi bagaimana rasanya melawan?

Suri hanya mendapati hangat menyenangkan yang merebak memenuhi tubuhnya. Suri yang selalu sendiri dalam dingin, langsung menerima hangat itu, ingin mereguk lebih rasa menyenangkan yang sudah lama tidak hadir dalam hidupnya dalam bentuk apapun.

Aroma tembakau, hangat, dan belaian, semua hal yang belum pernah ada dalam hidup Suri, dan diinginkannya.

Leland menggeram saat bibir Suri dengan polos membalas cumbuan itu, dan mendesak tubuhnya sampai Suri terjatuh ke atas ranjang.

Benturan lembut itu sedikit mengguncang otak Suri, mengembalikan akal sehatnya yang langsung dengan cepat mengingatkan kalau apapun yang akan terjadi setelah ini  adalah bagian dari rencana—tapi tidak boleh sekarang.

Mereka belum boleh tidur bersama karena Leland akan dengan mudah melupakannya setelah ini. Leland sudah puas menikmati tubuhnya tidak akan lagi merasa penasaran ataupun merasa perlu memperhatikannya.

Suri seharusnya menolak cumbuan itu—tapi saat Leland kembali merengkuh dan mengelus bibirnya dengan lidah yang hangat, Suri merasa tubuhnya kehilangan nyali untuk melawan.

“Aku akan menghangatkanmu…” bisik Lelad, merayu dan memberi ujian pada akal sehat Suri.

Haruskan ia membiarkan Leland melakukannya? Rasanya tidak buruk, Suri ingin menerimanya juga—sepertinya akan sangat menyenangkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mencuri Calon Suami Adikku   #107 Pengaruh Yang Ditanamkan

    “Itu dia.” Lottie lega saat melihat Rowena berdiri bersama seorang gadis yang tampak asing.“Siapa?” Luna yang ada di sampingnya berbisik, ia menunjuk gadis itu karena merasa gadis itu cukup dekat dengan Rowena. Mereka bicara dengan kepala yang nyaris menempel.“Entahlah. Tamu mungkin.” Lottie belum pernah melihat—maupun bertemu. Ia akan ingat kalau pernah bertemu karena memang sangat menawan. Kostum yang dipakainya cantik—mode cinderella berwarna biru, dan jelas terlihat dibuat dengan hati-hati. Bukan orang sembarangan.“Sudahlah. Fokus pada Rowena.” Lottie tidak akan membahas wanita yang tidak dikenalnya.“Bukan anaknya?” Luna menebak.“Bukan, terlalu tua.” Lottie tahu Rowena memiliki putri yang sangat cemerlang dan bukan itu orangnya. Ia pernah bertemu.“Lady Rowena.” Lottie menyapa hangat begitu sampai di hadapannya.“Terima kasih atas undangannya. Saya gembira melihat Anda sehat.” Lottie berbasa-basi biasa.Rowena menyambut jabat tangan, dan ciuman pipi kanan-kiri seperti biasa,

  • Mencuri Calon Suami Adikku   #106 Lupa Yang Agak Fatal

    “Kita masih punya banyak waktu, jadi tenang saja.”Suri langsung merasa hina, karena Leland malah sudah kembali serius memijat, sementara otaknya masih perlu disucikan.“Ka–kau serius sa–at mengatakan bisa memijat.” Suri mengalihkan pikirannya agar kembali suci. Suri dulu juga nyaris tidak bisa membedakan tangan Leland dengan wanita yang melakukan pijatan saat di resort.“Memang aku serius—aku belajar secara serius. Seharusnya kau tahu kalau tangan ini sangat profesional.” Leland mengangkat kedua tangannya.“Ke–kemampuan ya–ng random. Untuk a–pa?” Suri jelas menganggap ilmu itu sesuatu yang tidak dibutuhkan oleh Leland.Ia bisa membayar siapapun untuk memijatnya—atau siapapun yang diinginkan—tidak perlu belajar sendiri. “Ibuku. Dia memiliki masalah di kaki,” kata Leland sambil meremas betis Suri.“Mom tidak suka memakai hak tinggi, tapi harus karena acara seperti ini. Ia akan cepat kesal saat terapis langganannya tiba-tiba cuti atau berhalangan. Aku memijatnya sekali dan ibuku menga

  • Mencuri Calon Suami Adikku   #105 Hangat Yang Dulu Tidak Terlihat

    “Bagaimana kau bisa mengubahnya begitu cepat?” Leland dengan heran menatap gaun yang akan dipakai Suri nanti.Masih menempel di manekin, Suri sudah bersiap memakai, tapi Maxi dengan ribut mengeong dan mengganggu kakinya. Suri harus mengelusnya beberapa kali sebelum bisa melangkah.Ini yang memberi waktu bagi Leland untuk kagum pada hasil kerja tangan Suri. Setelah pulang dari bakery milik Mae, kemarin Leland baru memberitahu kalau mereka harus menghadiri acara Rowena. Agak terpaksa karena sudah berjanji.Leland menawarkan pada Suri untuk membeli gaun baru, tapi Suri menolak dan mengatakan punya gaun yang tepat untuk acara itu. Acara yang dihadirinya adalah bukan sekedar pesta biasa—tapi pesta dengan tema. Kostumnya harus khusus.Untuk Leland, tidak perlu banyak berpikir. Ada Silas yang menyiapkannya, dan memang lebih mudah. Pernik dan aksesoris Suri yang lebih banyak. Tapi Suri ternyata hanya perlu membeli beberapa yang cukup umum, juga penyesuaian untuk kostum dari gaun yang sudah a

  • Mencuri Calon Suami Adikku   #104 Uang Yang Sangat Banyak

    “Jangan begitu!” sergah Suri. “Aku sudah cemas saat Leland hampir mengenalimu kemarin.”Jelas tidak akan mengizinkan Connor menantang bahaya sejauh itu—berbahaya juga untuknya.Dan Suri tahu ia juga tidak boleh terlalu lama bertemu Connor saat ini. Ia segera mengambil dompet dan menyerahkan kartu kreditnya pada Connor.“Oke.” Connor dengan santai mengeluarkan mesin pembaca kartu kredit dari dalam tasnya lalu menggesekkan kartu itu pada mesin. Ia mengetikkan jumlah uang yang harus dibayar Suri, dan memprosesnya.“Kenapa banyak sekali? Berapa jumlah nolnya?” Sarah panik saat melihat berapa kali Connor menekan angka nol. Ia bahkan belum selesai menghitung jumlah nol dalam nominal itu saat layar mesin itu kembali berganti.“Apa yang kau lakukan, Suri?” Sarah menatap Suri, langsung mencium ketidakberesan lagi.“Tidak ada, Sarah.” Suri menenangkan“Tidak ada bagaimana? Kau melakukan apa dengannya?” Sarah meremas tangan Suri, sangat cemas.“Yang pasti Suri tidak membayar jumlah itu untuk tubu

  • Mencuri Calon Suami Adikku   #103 Pria Yang Harus Rahasia

    “Anda ingin memesan apa?” Mae mengetuk meja kasir sambil tersenyum, menarik perhatian Leland yang sejak tadi hanya berdiri di depan etalase, tanpa benar-benar memilih.“Kopi.” Itu saja yang terlintas dalam benak Leland.“Ah! Kebetulan sekali” Mae tampak girang. “Kami baru seminggu ini menjual kopi, dan belum banyak peminatnya. Kami juga menyediakan banyak kue baru dengan rasa kopi. Ini… dan ini juga. Semuanya menu baru.” Mae dengan bersemangat menunjuk kue-kue terbaru buatannya.“Kau baru seminggu menjual kopi di cafe?” Leland tidak jadi memilih karena terlalu heran. Tentu saja aneh mendengar ada cafe yang tidak menyediakan kopi. Teh dan kopi seperti menu wajib yang harus ada di cafe.“Saya tidak menyukai aroma kopi, tapi sekarang sudah mulai terbiasa. Jadi mulai menjualnya.” Mae menjelaskan dengan senyu, simpul.“Tidak menyukai aroma kopi?” Leland nyaris merasa terhina saat mendengarnya. Kopi termasuk aroma yang menurutnya paling eksotik—bersanding sama dengan melati.“Ya, preferensi

  • Mencuri Calon Suami Adikku   #102 Rahasia Yang Tiba-Tiba

    “Temanmu di sini? Dia bisa menyewa tanah di toko di area ini?” Leland kaget saat Silas menghentikan toko di area yang strategis.“Pasti dia sangat percaya diri dengan kemampuannya membuat kue, sampai berani sekali menyewa di area premium seperti ini,” kata Leland.“Bu–bukan. Te–temanku hanya bekerja di sini. Dia bu–bukan pemiliknya.” Suri belum sempat menjelaskan tadi.“Oo, oke. Aku mengerti.” Leland salah mengira saat Suri menyebut tujuannya adalah bakery, ia langsung menebak kalau teman Suri pemiliknya.“Bagaimana kau bisa berteman dengannya?” Leland bertanya saat mereka berjalan ke toko itu, penasaran.“Kau bertemu dengannya di mana? Apa sebelum kau masuk ke dalam keluarga Quinn?”Suri menggeleng. “D–dia bekerja untuk keluarga Quinn, ta–tapi dipecat ka–karena menolongku.”“Saat aku merasa mereka tidak bisa lagi jatuh ke titik yang terendah, ternyata bisa. Mereka memang menjijikkan.” Leland bergidik sambil membuka pintu bakery itu untuk Suri. Bermodel klasik yang langsung berdenting b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status