Seperti yang diperkirakan Lottie, mereka tidak peduli. Percaya saja begitu Suri diperkenalkan sebagai asisten Luna.
Tidak aneh juga kalau Luna bepergian membawa asisten, karena saat bekerja pun, Luna selalu membawa managernya.
“Kau pasti semakin sibuk saja pasti sampai memerlukan asisten tambahan.” Leah, salah satu teman Luna yang menjadi bridesmaid, menatap Suri dengan pandangan prihatin karena penampilannya.
Suri sudah memakai baju miliknya yang paling bagus, yaitu celana jeans pudar berpadu dengan blouse biru dan cardigan longgar, tapi belum cukup baik untuk disandingkan dengan kemilau tamu lain yang datang ke resort itu.
Mereka semua datang membawa penampilan indah yang tidak mengandung rambut berkuncir memakai karet gelang seadanya dan kacamata minus besar seperti Suri.
Suri sebenarnya bisa memilih gaun lain, tapi Luna hanya mengizinkan pakaian yang tertutup rapat tentu, agar memar di lengan Suri tidak terlihat orang lain.
“Kau akan membawanya ke acara malam ini? Tidak akan cocok untuk dipamerkan.” Leah masih memandangi Suri dengan penuh penghakiman. Ia tentu khawatir kalau foto mereka malam ini tidak akan cocok untuk dipajang di sosial media kalau mengandung Suri di dalamnya.
“Astaga! Tentu tidak. Aku akan meninggalkannya di hotel. Dia akan menyelesaikan pekerjaan yang memang harus dikerjakannya.” Luna mengibaskan tangan, agar perhatian semua temannya tidak lagi menempel pada Suri. “Sudah, abaikan saja.”
Suri pun akan gembira kalau mereka tidak peduli. Sejak tadi ia berusaha melirik daftar tamu yang ada di meja resepsionis. Kalau terus ditatap, akan ada yang curiga dengan tujuannya.
Mereka setelah itu ribut memekik, menyambut rombongan lain yang baru datang. Petugas resepsionis yang menunggu mereka tampak kembali sibuk karena harus mencari kunci dan mencocokkan nama.
Mereka semua harus diberi kunci yang benar sesuai dengan pesanan, atau akan ada amukan yang berujung gangguan acara.
Suri bergeser pelan ke belakang konter resepsionis yang sibuk, berusaha membaur dengan tembok, sampai akhirnya bisa menatap ke layar laptop yang menyala.
Tentu berisi daftar tamu dan nomor kamar masing-masing. Suri tidak perlu mencari lama, karena nama Duke of York ada di urutan paling atas sebagai tamu VVIP.
Tidak heran, karena resort mewah yang ada di lereng bukit berpemandangan cantik itu memang milik Leland. Tentu mereka menandainya dengan khusus.
“Kenapa kau di situ?!”
Suri tersentak mendengar bentakan Luna, dan bergegas mendekatinya sambil menyeret koper.
“Luna, kau membawa makhluk apa?” Teman Luna yang lain berkomentar lebih pedas lagi saat melihat penampilan Suri. Komentar Leah tadi rupanya yang paling lembut.
“Kau menemukannya di jalan dan memutuskan untuk memungut?”
“Apa kau sekarang memutuskan untuk beramal dengan rutin?”
“Aku rasa dia perlu mandi.”
“Astaga! Aku pikir dia gelandangan yang salah masuk.”
Dan lain sebagainya. Luna ikut tertawa dan menganggap semua itu lelucon. Tidak merasa sakit hati meski yang mereka hina adalah kakaknya.
Tidak ada yang sedap didengar, baik hinaan maupun tawa Luna, tapi Suri tidak sakit hati. Ia sudah pernah mendengar yang lebih buruk, dan fokusnya saat ini tercurah pada pada gambar peta detail letak kamar resort yang ada di belakang Luna. Ia berusaha keras untuk menghapal, mengukur jarak dan memutuskan harus ada di mana.
“Ayo! Jangan lambat.” Luna sudah menerima dua kunci, dan menyuruh Suri mengikutinya.
“Lu.. A..apa boleh… aku meminta kamar…l.llain?” Suri berbisik terbata, sepelan mungkin di dekat telinga Luna.
Ini karena Suri tahu Luna akan marah kalau ada yang mendengarnya terbata. Luna menyuruhnya diam sebanyak mungkin agar kesulitan bicara Suri tidak membuatnya malu.
“Kau tidak usah lancang meminta!” desis Luna sambil mendelik. Kamar Suri terpisah dari Luna, tidak mungkin ia mau memakai kamar yang sama, tapi masih agak dekat.
“Aku… aku butuh tenang… agar bbisa menyelesaikan jahitan itu.” Suri berbisik lagi. Luna menganggap gaun itu lebih penting dari nyawa Suri, alasan itu seharusnya kuat.
“Kkkalian akan berpesta… aku ti..tidak bisa berkonsentrasi men…menjahit.” Suri menambahkan alasan kenapa dirinya harus berpindah kamar.
Luna menempati kamar yang berdekatan dengan rombongan temannya. Mereka akan berpesta semalaman tentu, dan pasti berisik.
“Ck!” Luna masih tidak suka, tapi mulai berpikir. Ia memang ingin Suri berada sejauh mungkin darinya.
“Aku tanya.” Luna akhirnya kembali ke resepsionis.
Acara pernikahan itu menyewa seluruh resort, tapi tamunya termasuk sedikit, hanya berkisar empat puluh orang karena memang sangat private. Karenanya banyak kamar yang masih kosong. Memindahkan Suri ke kamar lain seharusnya masih bisa.
“Di.. si… sini. Jauh.” Suri menunjuk denah, tempat yang diinginkannya jauh dari kamar Luna, ideal seharusnya. Ada tiga kamar di deretan itu, yang manapun boleh dan sepertinya kosong karena jauh dari tempat pusat pesta..
Luna melirik sekilas lalu mengangguk. Asalkan jauh tidak masalah untuknya.
Suri menggigit bibir, menahan senyum saat melihat kunci kamarnya berganti. Punggungnya sampai berkeringat karena tegang sejak tadi.
Suri sebenarnya tidak yakin apakah Luna akan mengabulkan permohonannya. Suri tahu Luna tidak akan mencurigai niatnya, tapi belum tentu mau repot-repot bicara untuk mengganti kamar.
Yang membuat Luna bergerak memang alasan gaun itu. Harus diselesaikan tanpa halangan agar bisa dipakai besok.
***
“Kemana? Kenapa tidak ada?!” Luna memekik frustasi, karena tidak menemukan kunci kamar Suri di dalam tasnya. Ia merasa sudah memasukkannya ke dalam tas, tapi begitu dicari, tidak ada.
Luna merogoh semua kantong, membuka setiap celah tas tangan yang kemarin ditunjukkannya kepada Leland, dan masih nihil.
“Ak.. aku tidak akan keluar…Tidak sempat… ha… harus men…jahit…” Suri meyakinkan.
Luna memerlukan kunci itu untuk menunjukkan kalau Suri tidak boleh keluar kamar—Luna yang akan membawa kuncinya.
“Hhhh!” Luna masih tidak puas, tapi tidak bisa marah berkepanjangan. Ponselnya tidak berhenti berbunyi sejak tadi, dari pesan masuk yang menyuruhnya bergegas ke lobi dari teman-temannya.
“Ya sudah!” Luna akhirnya membentak. “Awas kalau aku melihat kau berkeliaran di luar. Jangan membuatku malu!” Luna mengancam lagi sebelum menutup pintu.
“Ya.” Suri mengangguk dan mulai membuka koper untuk mengambil gaun yang belum jadi itu, bersama peralatan jahitnya.
Luna melemparkan pandangan puas melihat kepatuhan itu, dan menutup pintu sambil tersenyum.
Suri menghela napas panjang, lalu menarik lengan cardigannya. Mengeluarkan kartu kunci kamar yang sejak tadi tersembunyi di sana.
Suri mencopet kartu itu saat berpura-pura menabrakkan diri ke tas Luna di lorong tadi. Masih ada beberapa temannya, jadi Luna tidak bisa terlalu marah dan lupa dengan cepat.
Suri yang lega karena sebenarnya nyaris lupa untuk mengambil. Kalau sampai lupa, sudah pasti ia akan terkunci di kamar itu sampai lusa.
Suri beranjak membuka pintu teras yang menghadap ke paviliun VVIP. Alasannya memilih kamar itu tentu saja karena posisi itu. Paviliun VVIP hanya berisi satu kamar, dan hanya Leland saja yang akan memakainya.
Suri bisa memperkirakan ini semenjak Luna menyebut kalau resort itu milik Leland. Sudah pasti ia akan menempati kamar terbaik meski bukan pengantin. Suri hanya perlu mengkonfirmasi saat mengintip laptop tadi.
“Oke, aku selesaikan dulu.” Suri tersenyum menatap teras kamar paling mewah yang saat ini masih kosong. Menurut keterangan jadwal yang diintipnya tadi, Leland akan datang nanti malam.
Masih ada waktu bagi Suri untuk bersiap—terutama harus menyelesaikan jahitan itu agar selamat. Selebihnya, Suri akan bersiap untuk ‘menyambut’ Leland.
“Itu dia.” Lottie lega saat melihat Rowena berdiri bersama seorang gadis yang tampak asing.“Siapa?” Luna yang ada di sampingnya berbisik, ia menunjuk gadis itu karena merasa gadis itu cukup dekat dengan Rowena. Mereka bicara dengan kepala yang nyaris menempel.“Entahlah. Tamu mungkin.” Lottie belum pernah melihat—maupun bertemu. Ia akan ingat kalau pernah bertemu karena memang sangat menawan. Kostum yang dipakainya cantik—mode cinderella berwarna biru, dan jelas terlihat dibuat dengan hati-hati. Bukan orang sembarangan.“Sudahlah. Fokus pada Rowena.” Lottie tidak akan membahas wanita yang tidak dikenalnya.“Bukan anaknya?” Luna menebak.“Bukan, terlalu tua.” Lottie tahu Rowena memiliki putri yang sangat cemerlang dan bukan itu orangnya. Ia pernah bertemu.“Lady Rowena.” Lottie menyapa hangat begitu sampai di hadapannya.“Terima kasih atas undangannya. Saya gembira melihat Anda sehat.” Lottie berbasa-basi biasa.Rowena menyambut jabat tangan, dan ciuman pipi kanan-kiri seperti biasa,
“Kita masih punya banyak waktu, jadi tenang saja.”Suri langsung merasa hina, karena Leland malah sudah kembali serius memijat, sementara otaknya masih perlu disucikan.“Ka–kau serius sa–at mengatakan bisa memijat.” Suri mengalihkan pikirannya agar kembali suci. Suri dulu juga nyaris tidak bisa membedakan tangan Leland dengan wanita yang melakukan pijatan saat di resort.“Memang aku serius—aku belajar secara serius. Seharusnya kau tahu kalau tangan ini sangat profesional.” Leland mengangkat kedua tangannya.“Ke–kemampuan ya–ng random. Untuk a–pa?” Suri jelas menganggap ilmu itu sesuatu yang tidak dibutuhkan oleh Leland.Ia bisa membayar siapapun untuk memijatnya—atau siapapun yang diinginkan—tidak perlu belajar sendiri. “Ibuku. Dia memiliki masalah di kaki,” kata Leland sambil meremas betis Suri.“Mom tidak suka memakai hak tinggi, tapi harus karena acara seperti ini. Ia akan cepat kesal saat terapis langganannya tiba-tiba cuti atau berhalangan. Aku memijatnya sekali dan ibuku menga
“Bagaimana kau bisa mengubahnya begitu cepat?” Leland dengan heran menatap gaun yang akan dipakai Suri nanti.Masih menempel di manekin, Suri sudah bersiap memakai, tapi Maxi dengan ribut mengeong dan mengganggu kakinya. Suri harus mengelusnya beberapa kali sebelum bisa melangkah.Ini yang memberi waktu bagi Leland untuk kagum pada hasil kerja tangan Suri. Setelah pulang dari bakery milik Mae, kemarin Leland baru memberitahu kalau mereka harus menghadiri acara Rowena. Agak terpaksa karena sudah berjanji.Leland menawarkan pada Suri untuk membeli gaun baru, tapi Suri menolak dan mengatakan punya gaun yang tepat untuk acara itu. Acara yang dihadirinya adalah bukan sekedar pesta biasa—tapi pesta dengan tema. Kostumnya harus khusus.Untuk Leland, tidak perlu banyak berpikir. Ada Silas yang menyiapkannya, dan memang lebih mudah. Pernik dan aksesoris Suri yang lebih banyak. Tapi Suri ternyata hanya perlu membeli beberapa yang cukup umum, juga penyesuaian untuk kostum dari gaun yang sudah a
“Jangan begitu!” sergah Suri. “Aku sudah cemas saat Leland hampir mengenalimu kemarin.”Jelas tidak akan mengizinkan Connor menantang bahaya sejauh itu—berbahaya juga untuknya.Dan Suri tahu ia juga tidak boleh terlalu lama bertemu Connor saat ini. Ia segera mengambil dompet dan menyerahkan kartu kreditnya pada Connor.“Oke.” Connor dengan santai mengeluarkan mesin pembaca kartu kredit dari dalam tasnya lalu menggesekkan kartu itu pada mesin. Ia mengetikkan jumlah uang yang harus dibayar Suri, dan memprosesnya.“Kenapa banyak sekali? Berapa jumlah nolnya?” Sarah panik saat melihat berapa kali Connor menekan angka nol. Ia bahkan belum selesai menghitung jumlah nol dalam nominal itu saat layar mesin itu kembali berganti.“Apa yang kau lakukan, Suri?” Sarah menatap Suri, langsung mencium ketidakberesan lagi.“Tidak ada, Sarah.” Suri menenangkan“Tidak ada bagaimana? Kau melakukan apa dengannya?” Sarah meremas tangan Suri, sangat cemas.“Yang pasti Suri tidak membayar jumlah itu untuk tubu
“Anda ingin memesan apa?” Mae mengetuk meja kasir sambil tersenyum, menarik perhatian Leland yang sejak tadi hanya berdiri di depan etalase, tanpa benar-benar memilih.“Kopi.” Itu saja yang terlintas dalam benak Leland.“Ah! Kebetulan sekali” Mae tampak girang. “Kami baru seminggu ini menjual kopi, dan belum banyak peminatnya. Kami juga menyediakan banyak kue baru dengan rasa kopi. Ini… dan ini juga. Semuanya menu baru.” Mae dengan bersemangat menunjuk kue-kue terbaru buatannya.“Kau baru seminggu menjual kopi di cafe?” Leland tidak jadi memilih karena terlalu heran. Tentu saja aneh mendengar ada cafe yang tidak menyediakan kopi. Teh dan kopi seperti menu wajib yang harus ada di cafe.“Saya tidak menyukai aroma kopi, tapi sekarang sudah mulai terbiasa. Jadi mulai menjualnya.” Mae menjelaskan dengan senyu, simpul.“Tidak menyukai aroma kopi?” Leland nyaris merasa terhina saat mendengarnya. Kopi termasuk aroma yang menurutnya paling eksotik—bersanding sama dengan melati.“Ya, preferensi
“Temanmu di sini? Dia bisa menyewa tanah di toko di area ini?” Leland kaget saat Silas menghentikan toko di area yang strategis.“Pasti dia sangat percaya diri dengan kemampuannya membuat kue, sampai berani sekali menyewa di area premium seperti ini,” kata Leland.“Bu–bukan. Te–temanku hanya bekerja di sini. Dia bu–bukan pemiliknya.” Suri belum sempat menjelaskan tadi.“Oo, oke. Aku mengerti.” Leland salah mengira saat Suri menyebut tujuannya adalah bakery, ia langsung menebak kalau teman Suri pemiliknya.“Bagaimana kau bisa berteman dengannya?” Leland bertanya saat mereka berjalan ke toko itu, penasaran.“Kau bertemu dengannya di mana? Apa sebelum kau masuk ke dalam keluarga Quinn?”Suri menggeleng. “D–dia bekerja untuk keluarga Quinn, ta–tapi dipecat ka–karena menolongku.”“Saat aku merasa mereka tidak bisa lagi jatuh ke titik yang terendah, ternyata bisa. Mereka memang menjijikkan.” Leland bergidik sambil membuka pintu bakery itu untuk Suri. Bermodel klasik yang langsung berdenting b