Share

Mencuri Nafkah Batin
Mencuri Nafkah Batin
Penulis: Wafa Farha

Membeli Via Online

Semua bermula atas pernyataan Gus Bed, yang memberiku dua pilihan, bertahan atas sikap dinginnya atau minta cerai saja. Malam pertama yang kukira penuh kebahagiaan dan kehangatan. Tapi ... aku diabaikan. 

Bisa saja kuambil keputusan minta cerai, tapi bagaimana dengan keluargaku? Pernikahan kami bahkan belum sehari. 

Suatu malam, aku menunggu Gus Ubed dengan gelisah. Tangan menggenggam sachet obat yang kudapatkan tadi sore. Pikiran ini melayang pada kejadian tadi siang saat berdiskusi dengan salah seorang ustazah, teman mengajar di pesantren.

"Jadi boleh menggunakan obat perangsang?" tanyaku malu-malu.

"Kalau melakukannya dengan pasangan halal kenapa tidak? Asal kandungannya halal. Apalagi misal hubungan keduanya bermasalah karena urusan ranjang. Misal si suami atau si istri tidak bisa bergairah."

"Tanpa sepengatahuan pasangan?" Kulebarkan mata, mengangkat kedua alisnya. Aku sendiri tahu bagaimana hukumnya. Namun, rasa tak terima telah membuat rasaku buta. 

Aku juga ingin tahu rasanya dicintai, diingini dan dimiliki seutuhnya. Mungkin dengan cara ini Gus Bed tak akan pernah meninggalkanku. 

Siapa tahu hubungan yang terjadi akan membuahkan janin di kandungan. Dengan begitu, Gus Ubed bukan hanya ingin berlama-lama dengan Alhesa -anak perempuan dari istri pertamanya, Liana- tapi juga dengan anak kami di sini.

Aku pun memutuskan mencari obat tersebut di situs online. Lantaran tak mungkin mendapatkan di apotik, bukan hanya obat tersebut yang dijual bebas, tapi juga rasa malu yang mungkin kudapat saat menanyakannya pada penjual. Dengan transaksi online, setidaknya aku merasa bebas dalam bertanya. Setelah deal, kami hanya perlu bertukar barang dan uang lalu pergi. Selesai.

Mataku menyipit, kala membuka layar ponsel.

"Tak biasanya pesan W* sebanyak ini?"

Kualihkan fokus sementara ke sana, mencari tahu, siapakah pengirim pesan selain chat beberapa grup yang aku ikuti.

Mataku melebar ketika mendapati kontak atas nama Habib. Seorang pria yang sempat menjadi partner di Mesir dulu.

Kami sama-sama dipercaya untuk menjadi penghubung dalam organisasi Ikatan Mahasiswa Indonesia. 

Jika dia menghandle urusan mahasiswa, maka aku lah yang dipercaya mengurus bagian mahasiswinya. Tak pernah ada interaksi selain kegiatan mahasiswa. Bahkan saat teman-teman dari mahasiswi bertitip salam pun, aku enggan menyampaikan. Mengingat kami tidak boleh memanfaatkan tugas untuk bermaksiat, walau dengan celah kecil. Hingga suatu hari saat akan pulang ke Indonesia, pria dengan kulit putih bersih tersebut mengirim sebuah pesan. Dia ingin mengkhitbahku.

[Assalamualaikum. Afwan bila mengganggu. Ana berniat mengkhitbah anti saat di Indonesia nanti. Semoga anti berkenan dan membicarakannya dengan keluarga.]

Aku hanya termangu menatap pesannya kala itu. Habib bukan pria buruk rupa, miskin atau buruk agamanya. Hanya saja aku belum siap. Traumaku belum hilang. 

Masih terekam jelas dalam ingatan, dan sakitnya masih sama saat seorang laki-laki dulu mencampakkanku saat tahu kondisiku sebagai korban perkosaan. Aku merasa menjadi wanita menjijikkan, kotor dan hina. Dan sampai saat itu aku belum siap menerima lelaki mana pun, lantaran hal sama akan terjadi lagi.

Kubuka pesan dari pria tersebut.

[Assalamualaikum, Ukhty. MaasyaAllah. Ana dengar kabar pernikahan anti dengan seorang anak Kiai. Semoga menjadi keluarga yang samawa.🙏]

Khi, kalau saja antum tahu rumah tangga seperti apa yang ana jalani sekarang?

Bersambung

Deuh, Raudah.... 

Jangan lupa mampir di buku otor yang lain. 

1. Dilamar Anak Kiai (End) 

2. Istri Mudaku (End) 

3. Istriku Kurus (End) 

4. Naik Ranjang Ibuku (on going) 

5. Kakak Ipar (on going) 

Da masih banyak lagi. Dijamin seru dan banyak hikmah di dalamnya. InsyaaAllah 😍

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status