Baru kemarin Ryan mendapat teror, kaca depan mobilnya dipecahkan orang yang tidak dikenal saat tengah terparkir di basement kantor. Pagi ini, Ryan tengah fokus memantau data, atas situasi rentan serangan siber susulan di saat-saat tenang perusahaan itu.
White Stone Construction akan merayakan ulang tahun perusahaan dalam waktu dekat, sangat mungkin muncul gangguan pihak asing yang ingin mengacaukan perayaan itu.
Di dalam ruangannya, Ryan kini tersentak oleh kehadiran seorang pria berjas hitam yang sangat tiba-tiba.“Kau tanda tangani berkas ini, Ryan. Mulai besok kau gantikan posisiku.”
Sebuah folder berisi lembaran surat perjanjian sengaja tergantung menutupi layar laptop. Tatapan Ryan pun merespon cepat ke arah pemilik tangan yang menyodorkan folder itu. Dia mendongak menatap orang itu yang ternyata seorang pria tua.Pekerjaan itu membuat Ryan menulikan telinga, dia tidak menyadari kedatangan orang lain yang menyelonong masuk. Pasti karena Ryan lupa menutup pintu ruangan. Namun, siapa pria tua ini begitu santai masuk tanpa mengetuk.
Bibir tipis Ryan tertutup rapat tanpa senyum. Ekspesinya bingung bercampur kesal melihat bolak-balik ke wajah sang pria asing, juga folder yang berada di tangannya. Dengan perasaan terpaksa Ryan menyambut berkas dari tangan pria kisaran enam puluh tahunan itu.Sambil menatap heran, Ryan menaikkan sebelah alisnya. “Menggantikan posisimu?Apa maksudnya?” Dia membuka folder itu dan membaca cepat isi lembaran di dalamnya. “Huf ... surat yang sama. Sudah kukatakan pada orang-orang seperti Anda yang mendatangiku sejak kemarin. Aku tidak ingin membahasnya lagi.” Ryan mengendikkan bahu seakan tidak peduli, pasalnya dari isi lembaran surat itu memaksanya untuk setuju akan kenaikan jabatan sebagai CEO-White Stone Construction, yang notabene adalah perusahaan terbesar kedua di negara itu.Dengan abai, dia menaruh folder itu di sisi kiri laptopnya. Ryan kembali fokus pada tanpa banyak berbicara.
Pria itu mengulurkan jabat tangan. “Selamat. Kurasa kau tahu maksud kedatangan dua pria asing ke ruanganmu beberapa waktu lalu. Tuan Steel, kau kenal?”
Sorot mata biru Ryan naik turun melihat wajah pria dan uluran jabat tangannya. Ryan melepas kacamata dan menyandarkan kepala di kursi. “Belum kusetujui. Tentu harus menunggu promosi jabatan dua tahun lagi. Itu syarat dari Tuan White sebagai CEO perusahaan. Lantas, siapa yang mengutus Anda?”
“Aku?" balas pria tua itu sambil tertawa. "Ha-ha-ha, Albert James White, senang bertemu dengan Anda.”
“Kau?” Ryan sempat tersentak di kursinya, mata pria tiga puluh tahunan itu pun membulat sempurna. Dia baru menyadari bahwa orang yang mengikutinya sejak masuk ke lobi kantor adalah seorang CEO.
“Ryan Miller. Dengar, akan kuberikan bonus fantastis di luar pendapatan utamamu, bagaimana? Karena selain itu ... ada penawaran misi untukmu.""Jika tidak ada kaitannya dengan perusahaan, maka aku berhak menolak.""Anak gadisku tidak mampu memimpin perusahaan ini, Ryan. Tapi aku tetap akan mengawasi dia.” Tuan White mendengkus kesal mengingat kelakuan anak tunggalnya. “Dia seorang direktur! Tapi kebiasaan mabuk gadis pembangkang itu membuatku tidak tahan! Perusahaanku akan hancur di tangannya, banyak tender gagal karena sikapnya yang keras kepala!” Dia tampak gusar dan berjalan mondar-mandir di depan meja kerja Ryan.
Ryan tampak heran, bagaimana Tuan White begitu percaya orang asing yang baru setahun bekerja ketimbang anaknya sendiri. “Aku rasa ini bukan keputusan main-main. Ini waktu yang tidak tepat, maaf, aku harus kembali pada pekerjaanku.” Ryan menggeser kembali surat itu di atas mejanya. “Tuan bisa dapatkan orang lain yang potensial.”
Ryan mengetahui keberadaannya di tengah persaingan para petinggi departemen. Sampai-sampai segelintir dari mereka rela berada di bawah kaki para pemilik saham demi memperebutkan posisi CEO. Tercium kabar, Tuan White terkesan buru-buru mengambil keputusan tapi tanpa alasan jelas.
Meskipun begitu, Ryan merasa belum sepadan dengan para pesaingnya. Pria tampan berambut cokelat gelap itu memilih berkutat di posisi manager IT yang baru satu tahun ditekuni. CEO adalah lonjakan kedudukan yang terlalu cepat dan tinggi bagi dirinyaAlis keabu-abuan Tuan White bertaut. Baru kali ini ada orang yang menolak tawaran besar hingga membuat dirinya turun tangan langsung meminta.
Merasakan penolakan tajam itu, tiba-tiba tangan sang pria tua terangkat lalu menepuk dada kirinya. Dia meringis, seakan merasakan kemunculan rasa sakit yang mendadak.
“Apa yang terjadi? ... Tuan White!" Ryan yang panik segera bangkit dari duduknya dan menangkap tubuh Tuan White yang hampir tumbang ke karpet, lalu memapahnya duduk ke sofa panjang sudut ruangan. "Aku segera panggilkan ambulan! Bersabarlah.”
Langkah Ryan pun dihentikan Tuan White. “Ryan, tunggu dulu! A-ambilkan saja obat dalam tasku. Cepat!”Ryan membalikkan tubuhnya beralih pada tas yang diminta, lalu membawanya pada Tuan White. Dia merogoh-rogoh bagian saku tas untuk mencari obat yang dimaksud. Kemudian dia mendapatkan sebuah botol kecil berisi penuh kapsul berwarna merah.
"Apakah ini?" tanya Ryan dengan panik.White pun mengangguk pelan tanpa berkata-kata. Ryan pun menyodorkan sebutir kapsul itu beserta segelas air putih yang tersedia di meja.
Tuan White menepuk dadanya dengan sesak dan terbatuk-batuk, dia kerap memaksa kepastian dari Ryan. “Dengar ini baik-baik, Ryan. Percayalah, kau tidak punya pilihan lain." Senyum licik muncul di bibir pria tua itu. "Ikuti permintaanku … atau dalam waktu 10 menit, polisi akan datang menangkapmu karena telah meracuniku.”
"Sial! Ini jebakan!" Ryan membatin. “Kau melakukan agar aku menyetujuimu? Tuan White, aku tidak mungkin melangkahi Christopher Burton, dia yang berambisi mengincar kesempatan itu. Bukan aku! Dan mengharapkan keputusan sepihak tanpa pertimbangan para investor, kau sungguh aneh.” Ryan menegaskan prosedur kenaikan jabatan pada Tuan White, dia mengerutkan dahinya terheran-heran.
“Chris mengincar putri dan hartaku, isi kepala si pirang itu sudah kuselidiki. Dan kau tentunya. Tidak kubiarkan perusahaan ini jatuh di tangan seseorang yang ingin merampas kejayaanku.”
“Berpikirlah jernih, Tuan, ini darurat! Tapi kau masih memaksaku menerima tawaran ini, apa kau gila?”“Pilihan ada di tanganmu. Tanda tangani surat itu atau siapkan pembelaan diri di ruang pengadilan. Kujamin kau tidak bisa lolos, semua alat bukti ini ada padamu.”“Kau sengaja menjebakku, huh?”“Yang kau berikan adalah obat pemicu penyakit jantungku. Mudah saja. Kau sengaja ingin membunuhku. Surat itu ada dan sidik jarimu membekas di botol itu,” jelas Tuan White yang tertawa sambil menahan napasnya yang semakin sesak.
Geram dengan rencana busuk Tuan White. Ryan dengan geram membalikkan tubuhnya dan membuang napas kasar. “Baiklah! Aku akan menandatanganinya, jika itu maumu!” Ryan melangkah menuju mejanya mengambil lembaran tadi. Ryan mengumpat pelan, “Sialan!”
Sekilas membaca surat pernyataan itu, Ryan cepat meraih pena di atas meja kerjanya dan membubuhkan tanda tangan di dasar surat. Dia membuang pena itu dengan kasar, lalu melayangkan surat itu tinggi menghadap Tuan White.
“Lihat! Kita telah sepakat, Sekarang hentikan berakting di depanku!”
“Hahaha … mudah sekali ternyata. Anak buahku saja sulit membujuknya, tapi si bodoh ini mudah sekali mengikuti kemauanku,” ejek Tuan White dalam hati. Lalu diameraih botol kapsul lain dari dalam sakunya sendiri dan meminumnya. “Kuberikan tugas pertama untukmu, Ryan.”
“Katakan.” Ryan menjawab dingin, wajahnya masih menegang merasa dipermainkan.
“Jaga anak gadisku ... Briana.”
“Akan kucarikan pengawal khusus untuknya, ini tidak ada kaitannya dengan tugasku di perusahaan,” ucap Ryan tegas.“Tolong! Aku percaya kau bisa mengendalikan Briana, aku mengkhawatirkannya. Maka mulai nanti malam, awasi dia. Hanya dia yang kumiliki saat ini.” Tuan White merogoh sesuatu dari dalam sakunya dan memberikan sebuah kartu pada Ryan. “Simpanlah, untuk berjaga-jaga.”
Ryan mengambil kartu itu, mengernyitkan dahinya. “Malam ini? Ya Tuhan ... tapi bagaimana—.”“Briana hampir dilecehkan oleh pengawalnya sendiri.” Tuan White kini leluasa menghela napas setelah meminum obat penawar. Akan tetapi, tatapannya menerawang seakan mengkhawatirkan kejadian nahas yang hampir mencelakai putrinya. “Ha-ha-ha, tentu saja, Ryan. Aku tidak bodoh melepaskan penjaga itu. Dia berakhir di gudang. Tiga tembakan di kepala." Tatapan pria paruh baya itu kini mengarah pada Ryan yang bergeming dekat meja kerjanya. "Tidak terkecuali jika kau macam-macam.”
Ryan terkejut membayangkan eksekusi pada si pelaku Namun, dirinya masih bingung dan terpojok. Mendapatkan wewenang yang tidak ada kaitannya dengan tugas utama jabatannya. Ryan membanting tubuh duduk di kursi, menggeleng sambil mengusap wajah dengan kasar.
“Briana, apa lagi ini. Direktur angkuh itu anak tunggal Tuan White? Dan aku harus bertaruh nyawa demi wanita itu?!" Ryan membatin.Sedangkan Tuan White membatin menatap tajam Ryan dan tersenyum licik. “Kau pikir bisa mudah melepaskan tanggung jawab itu, Anak muda. Kubuat kau menderita jika berani menyentuh putriku.”Di sebuah bar pada salah satu hotel ternama di kota New york, seorang gadis tengah duduk di hadapan meja bar, termenung sambil memutar-mutar ujung jari pada bibir gelas minumannya. Pakaian formal yang dikenakannya kini tampak sudah tidak rapi, bagian lengan blusnya sudah digulung naik. Dari kejauhan Ryan berjalan pelan menghampiri wanita itu. Malas dan lelah bercampur dari aktivitas kerja hari ini. Semakin terbebani karena harus mendekati seorang wanita angkuh seperti anak gadis Tuan White, Briana. Ryan baru hendak menepuk bahu gadis itu dari belakang, tapi niatnya dihentikan hingga dia menurunkan tangannya kembali. Akhirnya dia memilih mendekat dan mengambil posisi duduk di sebelah wanita itu. Berpura-pura memesan minuman dari salah seorang bartender yang menghampiri. “Ya, Tuan?” tanya sang bartender. “Bir saja, terima kasih,” ucapnya sekilas, lalu Ryan kembali memperhatikan wanita di sebelahnya. “Baik, Tuan,” jawab sang bartender yang berlalu dan menyiapkan pesanan.Ryan menc
Setelah malam itu, Ryan tidak pernah lagi menemui Briana di bar dan hotel yang sama. Pria itu kehilangan jejak. Akan tetapi, Tuan White yang memberitahukannya bahwa Briana sempat pulang dan bertengkar dengan sang ayah. Ryan tidak ingin ikut campur masalah keluarga itu, bersikap seakan itu di luar jangkauannya untuk membuntuti keberadaan Briana. Pria itu memilih diam, walau sebenarnya dia mampu mendeteksi lokasi Briana dan bisa meyakinkan bahwa putrinya baik-baik saja. Beberapa hari kemudian. Tuan White menghubungi Ryan melalui telepon ruangan kantor. Kala itu Ryan tengah sibuk memeriksa beberapa laporan masuk yang mulai ada kejanggalan lagi pada database. "Ryan, di sini.""Ini aku, White. Sebentar lagi akan datang seseorang ke ruanganmu, membawa setelan jas untuk kau pakai pukul 10 nanti." "Aku memilikinya sendiri di ruanganku, untuk apa kau mengirimkan jas?" Ryan tidak habis pikir, sepagi ini pria tua itu menelepon hanya untuk mengatakan membelikannya jas untuk dipakai rapat.
"Seharusnya keputusan ini lebih dulu diketahui oleh pihak dalam perusahaan, terutama investor. Apa Tuan tidak pertimbangkan hati-hati, siapa orang yang kompeten memimpin perusahaan Anda?!" ucap Chris dengan suara bergetar menahan emosi."Dan siapa kau berani bicara, hum? Apa kau salah satu investor?" Tuan White berjalan pelan ke arah Ryan. "Keputusan yang kuambil tentu bukan hal yang mudah. Aku hanya tidak ingin terpengaruh oleh para penjilat di dalam perusahaan ini. Dan aku tahu permainan-permainan kotor di belakangku." Tuan White menatap sinis ke arah Chris."Tapi itu tidak etis!""Baiklah, kuperjelas. Meski kau bukan salah satu pemegang saham." Tuan White memutar tubuhnya kembali berjalan ke kursinya. "Seharusnya ini menjadi rahasia kami, tapi mungkin pemuda yang terlalu bersemangat seperti kau terlalu banyak ingin tahu. Ha-ha-ha ... ya, ya, baiklah." Sesaat setelah dia duduk, sekretaris wanita menekan remote untuk mematikan seluruh lampu di ruangan itu. Layar presentasi itu kini
Ryan berdiri melihat ke atas di depan gedung perkantoran itu. Lalu dia berjalan pelan di sisi jalan dengan lalu lintas padat dan gemerlap lampu kota malam hari itu yang menemani langkahnya menuju apartemen. Dia memilih santai berjalan kaki, setelah menolak ajakan Jacob untuk menumpang. Kendaraannya kini masih berada di bengkel dengan masalah kerusakan lain yang begitu aneh karena merambat pada hal lain, yang seharusnya hanya mengganti kaca depan saja. Saat dia melangkah pelan di jalur yang mulai sedikit tidak ramai, tiba-tiba sebuah sedan mewah merapat dan berjalan pelan di sebelah seakan mengikuti langkahnya. Awalnya Ryan tidak menyadari hal itu, karena risih merasa diikuti akhirnya menoleh ke arah kendaraan itu.Kaca mobil itu pun terbuka pelan, muncul sosok Briana yang memanggilnya untuk berhenti. “Hati-hati kepalamu, kau melihatku sambil berjalan!” teriak Briana dari dalam mobilnya. “Berhentilah sebentar.”“Kau?” Ryan tersentak, dia berhenti dan diam di posisinya. “Mau kuantar?
Ryan memperhatikan Briana dengan seksama, adegan kali ini hampir mirip dengan mimpinya kala itu. Matanya terkecoh oleh cara duduk Briana, benar-benar mengacaukan pikirannya. Pria itu pun sengaja bangkit dari sofa dan berpura-pura mengambil sesuatu di dalam lemari pendingin. “Hey, kau tidak menjawab pertanyaanku!” teriak Briana dari ruang utama. Ruang apartemen berukuran tidak luas yang dihuninya, terdapat ruang-ruang yang saling terhubung dan mudah dilihat dari titik tengah ruangan. Sedangkan kamar pribadi dan kamar mandi yang terpisah, tidak bisa mudah disambangi siapa pun karena letak pintunya terdapat di sudut ruangan dan terhalang sebuah penyekat ruang. Sangat bisa dikatakan kecil untuk orang sekelas Ryan, yang awalnya seorang manager dan kini telah menjadi CEO perusahaan besar.“Untuk apa?” Ryan kembali dengan membawa dua buah apel dan pisau buah di tangannya.“Kau harus menjawabnya. Atau ... akan kubongkar identitasmu pada semua rekan kerja,” ancam Briana pelan.Ryan sempat ka
Ryan lantas berbalik dan berlari keluar dari ruang apartemennya, mencari sumber suara yang kini tidak lagi terdengar. Pria itu bergegas turun dari lantai 2 apartemen dengan berlari, dia yakin Briana belum jauh dari lokasi. “Maaf, apa kau melihat seorang wanita berambut cokelat keluar dari gedung ini?” tanya Ryan pada seorang staff yang sedang sendirian di area lobi. “Aku berada di sini selama beberapa jam dan tidak ada siapa pun yang melewati lobi.” jawabnya tak acuh, dia merasa tidak melihat siapa pun melewati area itu. “Ah, tentu saja!” gumam Ryan dengan malas. Ryan membuang napas kasar dengan jengkel, ketika melihat sebuah headphone di dekat meja penjaga itu, maka bisa dipastikan kalau si staff sedari tadi memasang headphone dan tidak mengawasi sekitarnya.Tidak ingin berhenti untuk mencari Briana, Ryan berlari ke arah luar apartemen. Jika pikirannya benar, Briana mungkin saja dilarikan melalui tangga darurat di luar gedung berlantai 4 itu. Sesampainya di depan apartemen. D
Dengan langkah pelan, Ryan kini masuk ke apartemennya. Dia terus memegangi balutan perban di lengan kiri yang terluka. Tubuhnya begitu lelah, hari yang begitu berat sejak kemarin pagi. Kini dia pun harus mengabaikan kewajiban dan segala masalah kantor. Tidak habis pikir, hari pertamanya sebagai CEO begitu banyak pertentangan dan tantangan dari berbagai arah.Pesan masuk ke ponsel saat Ryan tengah berbaring di tempat tidur. Tak acuh oleh bunyi panggilan telepon sekali pun. Dia berusaha meraih lalu mematikan ponselnya saat panggilan itu sudah terlampau mengganggu. Logika pikirannya ingin menyerah, tapi pria itu telanjur penasaran dan hatinya membara akan dendam. Ryan terpaksa menunjukkan jati dirinya sesegera mungkin. Dia sudah muak oleh segala perlakuan dan hanya mampu berdiam saja. Pria itu akan memastikan tidak akan ada lagi orang yang mencoba mengganggu, karena kekuasaan itu sudah berada di tangannya. Berita kejadian itu cepat menyebar di media. Dua petugas keamanan yang turut menj
"Dia ... tidak melakukan apa-apa padaku. Dan kau sudah berjanji tidak akan bertanya apa pun!" pekik Briana."Hm. Baiklah. Perlukah kucari tahu sendiri?" desak Tuan White."Ayah! Kalau begitu, aku tidak akan makan apa pun sampai tubuhku kering dan mati!""Oke ... oke ... aku tidak akan mencari tahu urusan kalian. Tapi keputusan ayah sudah bulat, Ryan akan mendapatkan asistennya besok."Tuan White segera beranjak dari kamar Briana. Tidak memedulikan putrinya yang menentang keras asisten baru untuk Ryan. Briana tidak pernah berharap ada sosok lain yang akan berada dekat dengan Ryan. Satu-satunya cara bagi dirinya untuk selalu dekat adalah dengan melanggar peraturan sang ayah lagi seperti dulu."Jika aku menurut pada Ayah, maka Ryan tidak akan mengawasiku lagi." ****Jacob menggedor pintu apartemen Ryan, karena staff apartemen tetap bertahan tidak memberikan kunci ganda padanya. Selain demi keamanan, bagi mereka Jacob adalah pria asing, dan Ryan sudah memberikan ketegasan untuk tidak me