Seorang pria berkemeja hitam yang tidak tampak rapi, menenteng jas dan tas punggung berisi laptop. Ryan Miller, manajer IT White Stone Construction itu melirik jam yang melingkar di lengan kanannya. “Sial! 15 menit lagi rapat dimulai!" Dia menggeleng gusar memikirkan para petinggi departemen sudah menunggu di ruang rapat sedangkan lift kini tertahan di lantai 9.
“Kau bisa memakai lift VIP tanpa berdesakan, pergilah,” saran Jacob, sahabatnya.
Ryan berdecak, sesungguhnya enggan menyetujui. “Kutunggu kau di ruangan!” ucap Ryan menepuk bahu Jacob sambil melewatinya untuk beralih ke lift khusus. “Persetan dengan VIP!” gumamnya.
Sudut mata pria bermata elang itu kini tersita perhatian oleh sosok wanita berambut cokelat, yang dengan langkah terburu-buru mendahuluinya hingga bunyi heels-nya terdengar menggema di lantai granit area lobi.
Ryan mempercepat langkah dan sedikit berlari menyusul ke lift yang sama agar tidak tertinggal saat pintunya mulai menutup. Cepat-cepat tangannya menyela pintu lift kemudian menerobos masuk.
Setelah menekan tombol menuju lantai 29, kemudian Ryan melangkah ke belakang untuk bersandar di sudut. Matanya sempat berpapasan dengan sang wanita cantik berpakaian rapi yang tadi terburu-buru masuk ke lift yang sama. Rasanya sangat canggung, kini hanya dia dan sang wanita yang berada di dalam lift.
Seketika saja wanita itu merapat ke sisi kanan pintu lift, menghindari Ryan. Sambil sesekali mata keabu-abuan wanita itu melirik sinis mengawasi pria berusia 30 tahun itu.
“Sangat mengherankan, demi apa orang bisa berani masuk ke dalam lift khusus ini,” sindir wanita itu sambil menaikkan dagunya. “Sudah beberapa kali kuajukan keamanan sensor wajah, tapi belum juga dikerjakan!” imbuhnya.Tidak ingin menanggapi, Ryan hanya berdeham karena menyadari kata-kata itu tertuju padanya. Dia menjatuhkan pandangan ke lantai, tetapi seketika matanya tertahan, menyorot pada sesuatu yang janggal di bagian rok wanita itu.
Demi apa pun, Ryan yang tidak berniat berkomunikasi, tetapi karena iba dia pun mencoba mengajak bicara, “Nyonya—.” Dia sengaja menahan kepalanya agar tetap tertunduk. Hanya jari tangannya yang menunjuk ke arah rok sang wanita.“Apa? Nyonya!” bentak wanita itu yang sontak menoleh geram, tidak membiarkan Ryan melanjutkan bicara.
“Oke. Nona, aku hanya—.” Lagi-lagi ucapan Ryan tertahan.“Apa yang kau lihat, huh? Kau terus saja memandangi bokongku. Hey, kujelaskan padamu, Pria asing. Keamanan di sini begitu ketat dengan banyak kamera pengawas. Berani sekali kau memandangiku dengan tatapan kotor?” cecar sang wanita.Bibir tipis Ryan terbuka dan spontan menganga, tidak habis pikir, tatapan kotor apa? Jangankan memandangi terus menerus, baru sedikit saja mendongak, wanita itu membulatkan mata mengawasi gerak-geriknya.“Ngomong-ngomong, jangan menyesal jika kau tidak mau mendengarkan kata-kataku.” Ryan melipat tangannya di dada sambil membalas tatap dengan sombong. Niat baiknya bahkan dicecar pikiran negatif wanita itu. "Terus saja kau bicara. Apa masalah hidupmu begitu rumit sampai tantrum seperti ini!" Ryan membatin. “Kau pikir siapa dirimu, huh?”Ryan hanya mendengkus kesal, wanita itu terus menyela dengan cacian. “Terserah apa katamu.”Meskipun begitu, Ryan yang terusik malah merasa kasihan jika tidak memberitahu bahwa resleting rok wanita itu terbuka dan menganga di posisi belakang. Tentu wanita itu akan merugi dan malu selama berada di dalam kantor.
Lantai yang dituju pun kini sudah sampai. Ryan memikirkan cara lain untuk memberitahu, dia pun lantas maju dan segera melebarkan jas miliknya. Akan tetapi, dirinya tidak menyadari bahwa tatapan curiga wanita itu masih tertuju kepadanya.
“Kau mau apa?!” tanya wanita itu dengan tatapan tajam.
Tidak banyak basa-basi, Ryan menempelkan jasnya pada punggung wanita itu. “Kau pasti membutuhkan itu,” ucapnya sekilas sambil melangkah keluar dari dalam lift.
Wanita pemarah itu pun cepat melangkah maju, menangkap dan menarik lengan Ryan hingga tubuh pria itu kehilangan keseimbangan. Langsung saja tamparan keras mendarat ke pipi pria itu. Jas yang merosot jatuh di dekat kakinya pun dilemparkannya pada Ryan.
“Hei! Kau gila, ya!” Ryan meninggikan suara. Baginya ini tidak setimpal dengan niat baiknya.
“Kau menyentuh pinggangku, Pria mesum! Aku akan mengingat wajahmu, penyusup brengsek!”
Makian itu terdengar jelas di telinga Ryan. Dia mengusap pipinya yang terasa panas akibat tamparan, sambil menatap geram. Pintu pun kini tertutup lalu lift naik ke lantai atas. Pria itu meraih jas miliknya yang terjatuh di lantai akibat dilemparkan wanita itu.
“Ya, Tuhan. Wanita macam apa itu, bar-bar sekali!” Dia mengerutkan kedua alisnya. Sekilas matanya melihat ke arah tombol lift yang menyala, saat hendak beranjak dari posisi. “Lantai 35? Bukankah itu lantai ruangan direksi?”
Baru hitungan menit kejadian tadi, Jacob yang akhirnya sampai di lantai yang sama, memanggilnya dari kejauhan. “Ryan!“"Kau cepat sekali.""Aku nekat menaiki lift barang, Kawan.“ ucap Jacob sambil mengatur napasnya karena berlari. "Hey, ini kabar mendadak. Tim kita menyerah, teror siber bermunculan dan lokasinya terpencar. Aku mendapat data satu peretas berlokasi di kota Dallas, kupikir kita harus melaporkan ini ke atasan,” ungkap Jacob berjalan cepat beriringan dengan Ryan menuju ruang manajer.
“Aku sudah mengaturnya tadi malam. Baru saja data keuangan turut diretas oleh IP Blacklist. Akan ada sistem baru untuk menjaga seluruh data perusahaan,” ucap Ryan setengah tidak peduli, sambil membuka pintu dan masuk ke ruangannya. “Kupikir kau telah paham bagaimana perusahaan ini menekan biaya. Mereka anggap ini sepele! Bahkan untuk keamanan data pun, mereka memilih melarikannya untuk investasi. Biaya pemulihan data ini sangat besar. Tapi mereka menutup telinga!"“Aku akan mengawasi pergerakan, percayakan ini padaku, tidak akan kulepas kalian begitu saja. Dan apabila mereka tidak ingin para investor menarik kembali sahamnya di perusahaan ini, hanya menunggu waktu untuk bernegosiasi di ruang rapat.”
“Aku mengandalkanmu, Kawan. Posisi tim bergantung padamu, kau yang memimpin.”
“Mereka hanya punya dua pilihan. Mempercayakan sistem baru ini, atau … perusahaan akan berhenti merayakan ulang tahun. Ah, dengar, itu hanya politik, Jac.” Ryan menghentikan kata-katanya dan kemudian membatin, “Atau ... jika kecurigaanku benar, ada yang ingin bermain-main di sini. Kalian tidak perlu mengetahuinya.” Ryan berdiri melipat tangannya sambil melirik sekilas pada Jacob, dia lalu mengalihkan pandangannya lagi ke arah laptop.Ryan bisa melakukan segalanya tanpa menggunakan biaya fantastis dari perusahaan, dengan gratis. Akan tetapi, dia sedang menelisik ke mana arah aliran uang perusahaan yang selalu saja ditahan untuk kepentingan khusus. Dia berpikir lebih baik menyerahkan hasilnya untuk para tim, meski sangat mudah baginya untuk menangani ini sendiri dalam waktu singkat.
Jacob mengangguk pelan, dia adalah orang pertama yang mendukung segala keputusan Ryan. Sang sahabat tidak pernah meragukan kecekatan Ryan dalam bekerja.Keduanya kini tengah memantau beberapa kejanggalan, untuk segera melakukan penanganan. Sorot cahaya dari layar mengenai sebagian wajah Ryan, hal itu membuat Jacob tiba-tiba menahan tawa.
“Sepertinya malammu hebat, Ryan? Seorang wanita beruntung, hum?” tegur Jacob yang masih memperhatikan Ryan fokus dengan laptopnya.
“Pertanyaan apa itu? Aku tidak tidur beberapa malam membuat program ini, kau tahu!”
“Tenang, Kawan.” Tawa Jacob semakin menjadi-jadi. “Ha-ha-ha, maksudku … apa kau bergulat dengan laptop berkostum lingerie?”"Oh. Jadi kau yang meninggalkan lingerie di apartemenku, huh!" balas Ryan sambil menegakkan tubuhnya dan menatap marah. "Apa maksudmu?"Ryan melirik jengkel, lalu kembali fokus pada bahan presentasinya saat ini. “Ayolah, Jac. Hentikan candaanmu, aku sedang serius.”“Aku tidak sedang bercanda, Kawan. Tapi … apa kau ingin menampilkan pipi merah seperti itu saat presentasi?”Mendengar teguran sahabatnya, Ryan sontak terkejut. “Apa?” "Ha-ha-ha ... lihat saja wajahmu sendiri." Mendengar Jacob semakin tertawa puas. Ryan pun cepat-cepat membuka ponsel untuk melihat wajah melalui kamera depan. “Dasar wanita gila!” umpatnya.“Apa itu sakit? Hei, katakan saja kau terlambat hari ini karena menghabiskan malam yang hebat, ha-ha-ha.” Jacob malah menggodanya seakan Ryan habis bermalam dengan seorang wanita.“Seorang wanita tantrum menamparku.” Ryan kemudian meletakkan ponselnya kembali dengan cepat, lalu menutup layar laptopnya. “Lihat saja apa yang terjadi padanya pagi ini,” gumamnya.“Tapi bagaimana ….” Dengan sedikit kesal Ryan pun berjalan meninggalkan Jacob yang mengikutinya sambil tertawa. Keduanya pun berjalan menaiki lift
“Masih belum tidur, Kawan?” Ryan mendorong tubuh Jacob. Sang sahabat malah tertawa terpingkal-pingkal melihat ekspresi kesal Ryan.“Minggir kau. Aku ingin mandi!” Dini hari pukul 2 pagi itu, mata pria setinggi 185 cm itu masih terjaga di hadapan laptop, bersama dengan Jacob yang datang ke apartemen saat Ryan tertidur lelap di sofa. Ryan terlupa rencana malam itu, dia harus mencari jalan keluar kasus peretasan setelah beberapa jam lalu mendapat e-mail persetujuan dari pihak direksi. Perdebatan yang tidak sia-sia antara dirinya dan Chris kemarin membuahkan hasil, dana dipersiapkan dengan sejumlah bonus ribuan dolar untuk para tim. Di pagi yang gelap sebelum terbit matahari, Ryan dan Jacob sudah berada di kantor tengah menyiapkan beberapa hal sebelum berkoordinasi dengan tim divisi IT, mendahului karyawan lain. Penyelesaian yang baginya membutuhkan waktu sebentar, hanya saja Ryan sengaja melibatkan tim agar perusahaan tetap mengeluarkan bonus untuk mereka.Di dalam ruang kerja Ryan,
Baru kemarin Ryan mendapat teror, kaca depan mobilnya dipecahkan orang yang tidak dikenal saat tengah terparkir di basement kantor. Pagi ini, Ryan tengah fokus memantau data, atas situasi rentan serangan siber susulan di saat-saat tenang perusahaan itu. White Stone Construction akan merayakan ulang tahun perusahaan dalam waktu dekat, sangat mungkin muncul gangguan pihak asing yang ingin mengacaukan perayaan itu. Di dalam ruangannya, Ryan kini tersentak oleh kehadiran seorang pria berjas hitam yang sangat tiba-tiba.“Kau tanda tangani berkas ini, Ryan. Mulai besok kau gantikan posisiku.” Sebuah folder berisi lembaran surat perjanjian sengaja tergantung menutupi layar laptop. Tatapan Ryan pun merespon cepat ke arah pemilik tangan yang menyodorkan folder itu. Dia mendongak menatap orang itu yang ternyata seorang pria tua. Pekerjaan itu membuat Ryan menulikan telinga, dia tidak menyadari kedatangan orang lain yang menyelonong masuk. Pasti karena Ryan lupa menutup pintu ruangan. Namun,
Di sebuah bar pada salah satu hotel ternama di kota New york, seorang gadis tengah duduk di hadapan meja bar, termenung sambil memutar-mutar ujung jari pada bibir gelas minumannya. Pakaian formal yang dikenakannya kini tampak sudah tidak rapi, bagian lengan blusnya sudah digulung naik. Dari kejauhan Ryan berjalan pelan menghampiri wanita itu. Malas dan lelah bercampur dari aktivitas kerja hari ini. Semakin terbebani karena harus mendekati seorang wanita angkuh seperti anak gadis Tuan White, Briana. Ryan baru hendak menepuk bahu gadis itu dari belakang, tapi niatnya dihentikan hingga dia menurunkan tangannya kembali. Akhirnya dia memilih mendekat dan mengambil posisi duduk di sebelah wanita itu. Berpura-pura memesan minuman dari salah seorang bartender yang menghampiri. “Ya, Tuan?” tanya sang bartender. “Bir saja, terima kasih,” ucapnya sekilas, lalu Ryan kembali memperhatikan wanita di sebelahnya. “Baik, Tuan,” jawab sang bartender yang berlalu dan menyiapkan pesanan.Ryan menc
Setelah malam itu, Ryan tidak pernah lagi menemui Briana di bar dan hotel yang sama. Pria itu kehilangan jejak. Akan tetapi, Tuan White yang memberitahukannya bahwa Briana sempat pulang dan bertengkar dengan sang ayah. Ryan tidak ingin ikut campur masalah keluarga itu, bersikap seakan itu di luar jangkauannya untuk membuntuti keberadaan Briana. Pria itu memilih diam, walau sebenarnya dia mampu mendeteksi lokasi Briana dan bisa meyakinkan bahwa putrinya baik-baik saja. Beberapa hari kemudian. Tuan White menghubungi Ryan melalui telepon ruangan kantor. Kala itu Ryan tengah sibuk memeriksa beberapa laporan masuk yang mulai ada kejanggalan lagi pada database. "Ryan, di sini.""Ini aku, White. Sebentar lagi akan datang seseorang ke ruanganmu, membawa setelan jas untuk kau pakai pukul 10 nanti." "Aku memilikinya sendiri di ruanganku, untuk apa kau mengirimkan jas?" Ryan tidak habis pikir, sepagi ini pria tua itu menelepon hanya untuk mengatakan membelikannya jas untuk dipakai rapat.
"Seharusnya keputusan ini lebih dulu diketahui oleh pihak dalam perusahaan, terutama investor. Apa Tuan tidak pertimbangkan hati-hati, siapa orang yang kompeten memimpin perusahaan Anda?!" ucap Chris dengan suara bergetar menahan emosi."Dan siapa kau berani bicara, hum? Apa kau salah satu investor?" Tuan White berjalan pelan ke arah Ryan. "Keputusan yang kuambil tentu bukan hal yang mudah. Aku hanya tidak ingin terpengaruh oleh para penjilat di dalam perusahaan ini. Dan aku tahu permainan-permainan kotor di belakangku." Tuan White menatap sinis ke arah Chris."Tapi itu tidak etis!""Baiklah, kuperjelas. Meski kau bukan salah satu pemegang saham." Tuan White memutar tubuhnya kembali berjalan ke kursinya. "Seharusnya ini menjadi rahasia kami, tapi mungkin pemuda yang terlalu bersemangat seperti kau terlalu banyak ingin tahu. Ha-ha-ha ... ya, ya, baiklah." Sesaat setelah dia duduk, sekretaris wanita menekan remote untuk mematikan seluruh lampu di ruangan itu. Layar presentasi itu kini
Ryan berdiri melihat ke atas di depan gedung perkantoran itu. Lalu dia berjalan pelan di sisi jalan dengan lalu lintas padat dan gemerlap lampu kota malam hari itu yang menemani langkahnya menuju apartemen. Dia memilih santai berjalan kaki, setelah menolak ajakan Jacob untuk menumpang. Kendaraannya kini masih berada di bengkel dengan masalah kerusakan lain yang begitu aneh karena merambat pada hal lain, yang seharusnya hanya mengganti kaca depan saja. Saat dia melangkah pelan di jalur yang mulai sedikit tidak ramai, tiba-tiba sebuah sedan mewah merapat dan berjalan pelan di sebelah seakan mengikuti langkahnya. Awalnya Ryan tidak menyadari hal itu, karena risih merasa diikuti akhirnya menoleh ke arah kendaraan itu.Kaca mobil itu pun terbuka pelan, muncul sosok Briana yang memanggilnya untuk berhenti. “Hati-hati kepalamu, kau melihatku sambil berjalan!” teriak Briana dari dalam mobilnya. “Berhentilah sebentar.”“Kau?” Ryan tersentak, dia berhenti dan diam di posisinya. “Mau kuantar?
Ryan memperhatikan Briana dengan seksama, adegan kali ini hampir mirip dengan mimpinya kala itu. Matanya terkecoh oleh cara duduk Briana, benar-benar mengacaukan pikirannya. Pria itu pun sengaja bangkit dari sofa dan berpura-pura mengambil sesuatu di dalam lemari pendingin. “Hey, kau tidak menjawab pertanyaanku!” teriak Briana dari ruang utama. Ruang apartemen berukuran tidak luas yang dihuninya, terdapat ruang-ruang yang saling terhubung dan mudah dilihat dari titik tengah ruangan. Sedangkan kamar pribadi dan kamar mandi yang terpisah, tidak bisa mudah disambangi siapa pun karena letak pintunya terdapat di sudut ruangan dan terhalang sebuah penyekat ruang. Sangat bisa dikatakan kecil untuk orang sekelas Ryan, yang awalnya seorang manager dan kini telah menjadi CEO perusahaan besar.“Untuk apa?” Ryan kembali dengan membawa dua buah apel dan pisau buah di tangannya.“Kau harus menjawabnya. Atau ... akan kubongkar identitasmu pada semua rekan kerja,” ancam Briana pelan.Ryan sempat ka